Bagian 14Aku mengelus dada, mengucapkan istighfar sebanyak-banyaknya, agar hatiku tetap tenang. Aku tidak boleh stres, dan harus tetap waras menghadapi semua ini. Ponselku bergetar, ternyata Mas Ilyas menelponku."Kenapa ia mencariku?"Aku menarik napas dalam, mengembuskannya secara perlahan. Menghapus air mata yang membasahi pipi. Mas Ilyas tidak boleh mengetahui kalau aku habis menangis."Halo, Sandra, kenapa lama sekali mengangkat teleponnya?" Terdengar suara Mas Ilyas di seberang sana."Maaf, Mas," jawabku sopan. Untuk saat ini, aku masih bersikap biasa kepada Mas Ilyas."Sandra, Mas cuma mau mengabarkan, kemungkinan malam ini Mas pulangnya telat, soalnya ada lembur di kantor. Nggak usah nungguin Mas ya, kamu nanti tidur duluan saja.""Iya, Mas," jawabku sambil menahan bulir bening yang hendak keluar dari sudut netra."Ya sudah, Mas tutup teleponnya sekarang ya, soalnya mau lanjut kerja lagi." Sambungan telepon pun terputus.Sepertinya Mas Ilyas berbohong lagi padaku. Setelah se
Bagian 15 Untungnya, ponselku tidak bergetar lagi. Mungkin orang yang menghubungi ponselku tadi sudah mengakhiri panggilannya. "Kok' getarannya nggak ada lagi, Mas?" "Ya iyalah, kamu salah dengar, Sayang. Mungkin kamu terlalu takut pada Sandra, makanya kamu jadi seperti ini, selalu was-was!" "Apa yang kamu katakan memang benar, sih, Mas. Aku takut jika Sandra mengetahui hubungan kita. Mas juga, kapan kamu ceraikan Sandra, Mas? Kamu nggak kasihan padaku? Aku jadi was-was seperti ini, takut jika sewaktu-waktu Sandra muncul," keluh Nia. Ia kembali mendesak agar Mas Ilyas menceraikanku. "Nia sayang, Mas tidak bisa menceraikan Sandra begitu saja. Sandra begitu baik pada Mas, ia melayani Mas dengan sepenuh hati. Mas dapat melihat ketulusan di wajahnya. Sandra terlalu sempurna. Mas tidak tahu alasan apa yang akan Mas berikan padanya jika dia bertanya kenapa Mas sampai menceraikannya." "Aku juga bisa melayani Mas, bahkan lebih baik dari pelayanan Sandra. Asalkan Mas bersedia menceraikan
Bagian 16 Entah sudah berapa lama aku berada di bawah kolong ranjang ini. Kulihat suasana sekitar sudah gelap. Sepertinya mereka sudah pergi, pasalnya aku sudah tidak mendengar suara mereka. Selama mereka berada di atas ranjang, aku sengaja memejamkan mata dan menutup telinga agar tak melihat dan mendengar apa-apa. Pelan-pelan, aku keluar dari bawah ranjang. Aku harus memastikan bahwa mereka sudah benar-benar pergi dari sini. Setelah berhasil keluar dari bawah kolong ranjang yang lumayan sempit, aku mengintip ke atas ranjang terlebih dahulu. Ternyata benar, mereka sudah meninggalkan kamar ini. Di atas ranjang hanya ada selimut dan bantal yang sangat berantakan. Aku berjalan mendekati jendela kaca, menyingkap tirai untuk melihat keadaan di luar rumah. Mobil mereka sudah tidak ada, berarti mereka sudah pergi. Aku langsung mengambil ponsel untuk melihat jam, ternyata sudah jam 7 malam. Di bawah kolong ranjang terlalu sempit dan juga pengap. jangankan untuk mengambil ponsel, mau berg
Bagian 17Selesai melaksanakan sholat isya, aku pun turun ke bawah, menuju ruang makan. Aroma ayam bakar menguar saat aku membuka bungkus nasi Padang tersebut. Lauknya sederhana, hanya ada ayam bakar, sambal ijo dan juga lalapan. Ditambah kuah rendang yang menandakan ciri khas masakan Padang.Dulu setiap menemani Ibu mencari barang bekas, aku selalu menelan air liur saat melewati rumah makan Padang. Aku ingin sekali makan di rumah makan tersebut, tapi aku tidak berani mengatakannya kepada Ibu karena aku tahu ibu tidak akan sanggup untuk membelinya. Bisa makan nasi sama garam juga sudah syukur Alhamdulillah. Kembali aku teringat masa-masa itu. Masa-masa sulit yang kulewati bersama Ibu.Sekarang kehidupanku sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Aku memiliki semuanya, harta, uang, perhiasan semuanya aku miliki. Kukira kehidupanku sudah sempurna, ternyata aku salah. Aku sama sekali tidak dicintai oleh suamiku. Tidak ada cinta di dalam hatinya untukku. Seluruh cinta yang dimiliki
Bagian 18Mentari pagi telah menampakkan dirinya. Cahayanya menembus kaca jendela, membuat mata terasa silau saat terkena sinarnya.Mas Ilyas menarik selimut untuk menutupi wajahnya. Ia menyembunyikan wajahnya dari sinar mentari yang menembus kaca jendela saat aku menyingkap gorden.Aku hanya geleng-geleng kepala menyaksikannya. Mas Ilyas susah sekali untuk bangun subuh padahal sudah beberapa kali kubangunkan. Mas Ilyas jarang sekali menunaikan sholat subuh. Ia mengabaikan panggilan azan dari mesjid dan lebih memilih melanjutkan tidurnya."Sandra, tutup lagi dong tirainya. Silau," protes Mas Ilyas."Udah pagi. Ayo bangun. Memangnya Mas enggak ngsntor?"Mas Ilyas pun segera beranjak dari tempat tidur dan langsung menuju kamar mandi.Seperti biasa, setelah menyiapkan pakaian kerja Mas Ilyas, aku pun membantu Mbok Yuli untuk menyiapkan sarapan.Saat sedang asyik menumis bumbu, tiba-tiba Nia muncul di dapur. "Mbok, bikinin aku bubur ayam, dong! Aku lagi pengen makan bubur ayam, nih!" pin
Bagian 19"Sandra, kita langsung saja ke kantornya, Mas sudah membuat janji dengannya," ucap Mas Rian saat aku menurunkan kaca jendela mobil, ternyata Mas Rian sudah sampai lebih dulu di tempat kami janjian."Baik," ucapku sambil menganggukkan kepala."Ikuti mobil Mas dari belakang, ya. Mas akan jalan lebih dulu."Aku mengacungkan jempol, pertanda menyetujuinya.Kami pun mengendarai mobil masing-masing, menuju kantor notaris. Perlahan tapi pasti, akan kubuat Mas Ilyas jatuh miskin. Kita lihat, apakah Nia akan bertahan setelah lelaki yang direbutnya dariku itu jatuh miskin? Sesampainya di kantor notaris, aku dan Mas Rian langsung menuju lantai tiga karena sudah membuat janji dengan orang yang akan kami temui terlebih dahulu.Sebenarnya, Mas Rian yang mengatur pertemuan ini, bukan aku. Aku hanya menuruti kemana Mas Rian membawaku. Dan aku sangat yakin kalau Mas Rian bisa membantuku.Tok tok tok!Mas Rian mengetuk pintu sebuah ruangan yang berada tepat di hadapan kami."Masuk!" Terdeng
Bab 20"Baiklah, jelaskan maksud kedatangan kalian kemari," ucap Mas Romi, kali ini ia terlihat serius."Seperti yang sudah kusampaikan sebelumnya, Sandra butuh bantuanmu untuk memindahkan seluruh aset yang dimilikinya bersama suaminya. Sandra mau semuanya menjadi atas namanya." Mas Rian menyampaikan apa yang barusan ingin kuucapkan."Itu gampang. Langkah pertama yang harus Sandra lakukan adalah, Sandra harus bisa mendapatkan tanda tangan suaminya," ucap Mas Romi."Sudah, aku sudah mendapatkan tanda tangannya," ucapku sambil mengeluarkan kertas bermaterai yang sudah ditandatangani oleh Mas Ilyas tersebut, lalu menyerahkannya kepada Mas Romi."Bagus! Bahkan aku belum memberitahumu, tapi kamu sudah mendapatkannya terlebih dahulu. Btw, kalau boleh tau, kenapa kamu ingin melakukan ini?" tanya Mas Romi, sepertinya Mas Rian belum bercerita padanya."Aku melakukan ini untuk mempertahankan hakku. Aku tidak mau jika seluruh harta dan aset yang kami miliki dikuasai oleh pelakor. Itu saja," tega
Bagian 21 Aku harus segera mengamankan surat-surat berharga ini, sebelum Mas Ilyas mengetahuinya. Apakah aku jahat? Kurasa tidak, mereka bahkan lebih jahat dari aku. Selama menikah dengan Mas Ilyas, aku memang tidak pernah bekerja. Aku tidak ikut membantunya mencari nafkah. Semua harta dan aset yang kami miliki saat ini adalah murni hasil kerja kerasnya. Rumah ini, apakah aku pantas mengambilnya? Rumah ini sudah dibeli oleh Mas Ilyas sebelum kami menikah. Ah, aku tidak peduli. Bagiku pengkhianat harus mendapatkan balasan yang setimpal. Akan kuambil semuanya dan akan kubuat Mas Ilyas menyesal karena telah mengkhianatiku. Tekadku sudah bulat, setelah semua aset telah berpindah menjadi atas namaku, aku akan melepaskan Mas ilyas untuk Nia, si pengkhianat itu. "Assalamu'alaikum, Mas, ada di kantor nggak? Aku mau kesana." Sebuah pesan kukirimkan kepada Mas Romi. "Waalaikumsalam, iya, datang saja. Syukurlah, Mas Romi langsung membalas pesanku. Segera kugulung dokumen dan surat pent
Bagian 63"Sandra, izinkan aku menyematkan cincin ini di jari manismu, ya. Pertanda bahwa aku telah mengikat hatimu," pinta Mas Romi.Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Terharu, senang, bahagia semuanya berpadu menjadi satu."Ma, kalau cuma pegang tangan doang boleh ya? Nggak dosa kan megang tangan calon istri sendiri?" "Boleh, tapi sebentar saja. Kalau lama-lama bisa menimbulkan dosa. Makanya, buruan nikah biar halal." "Iya, sebentar saja, kok!""Boleh, tapi sebentar saja. Kalau lama-lama bisa menimbulkan dosa. Makanya, buruan nikah biar halal." "Iya, sebentar saja, kok!"Mas Romi meraih tanganku, lalu menyematkan cincin di jari manisku. Ia kemudian mengecupnya. Membuatku tersipu malu."Udah ya pegangan tangannya. Sekarang mari kita tentukan tanggal pernikahan kalian. Mama sudah tidak sabar pengen punya mantu!" Mamanya Mas Romi tersenyum manis padaku. Membuatku teringat kepada almarhumah mama mertua. Sifatnya tidak jauh beda dengan mamanya Mas Romi. Ah, aku jadi rindu padanya."Leb
Bagian 62"Mas Romi datang bersama keluarganya, Mbok? Pagi-pagi begini? Serius?" Aku masih tidak percaya dengan apa yang disampaikan Mbok Yuli barusan."Iya, Non. Sekarang mereka sedang nungguin Non sambil menikmati teh dan juga pisang crispy buatan Mbok. Non kenapa? Kok wajahnya jadi tegang begitu? Deg-degan ya mau ketemu sama calon mertua?" Mbok Yuli masih sempat-sempatnya menggodaku."Tuh kan, pipinya bersemu merah," ledeknya."Mbok apa-apaan, sih? Biasa aja kok!" Aku memalingkan wajah agar Mbok Yuli tidak bisa lagi melihat raut wajahku. Jujur, aku deg-degan dan juga grogi."Kapan nemuin tamunya kalau kita ngobrol terus di sini? Yasudah, Non siap-siap ya. Mbok mau turun lagi ke bawah."Aku pun menganggukkan kepala dan buru-buru menutup pintu kamar.Apa Mas Romi serius dengan ucapannya semalam? Apa ia sungguh-sungguh mencintaiku? Ia bahkan membawa keluarganya untuk bertemu denganku.Ah, kenapa aku jadi salah tingkah begini sih? Nggak biasanya aku begini. Gegas aku berjalan ke kamar
Bagian 61"Sebaiknya kalian pulang saja, Mas. Beri aku waktu untuk berpikir karena aku belum bisa memutuskan sekarang."Setelah diam cukup lama, akhirnya aku angkat bicara."Nggak bisa gitu dong, Sandra. Kamu harus jawab sekarang juga. Mas sudah sangat lama menunggumu. Mas mohon, mau ya jadi istrinya Mas." Mas Rian tetap memaksa. Ia sama sekali tidak mau mendengarku."Rian, sebaiknya kita pulang. Kasih waktu untuk Sandra berpikir. Lagian, Ini sudah malam dan Sandra mau beristirahat." Mas Romi memberi saran."Kamu saja yang pulang. Aku tidak akan pulang sebelum Sandra menerima lamaranku." Mas Rian tetap bersikeras pada pendiriannya."Rian, jangan paksa Sandra. Beri waktu padanya untuk memikirkan jawabannya. Biarkan dia beristirahat malam ini sambil memikirkan siapa yang akan dipilihnya.""Tidak, aku maunya malam ini.""Memang benar-benar keras kepala ya! Kamu nggak bisa diajak bicara baik-baik. Jangan salahkan jika aku berbuat kasar padamu." Mas Romi terlihat kesal melihat sikap Mas Ri
Bagian 60"Hentikan, Mas. Tolong jangan membuat keributan di sini. Jika pelanggan butik ini melihat ada keributan di sini, pasti mereka enggak akan mau berbelanja di butik ini. Aku mohon, Mas!" Aku menangkupkan kedua tangan, berharap Mas Rian mendengar permintaanku."Maafin Mas, Sandra. Mas hanya terbawa emosi. Mas sudah mencarimu ke mana-mana. Tiap hari tiada lelah untuk mencari keberadaanmu. Mas juga sudah bertanya pada Romi, dia bilang tidak mengetahui keberadaanmu. Tapi nyatanya dia bohong, bahkan dia sedang menemuimu sekarang. Benar-benar licik!" Mas Rian terlihat kecewa pada Mas Romi. Padahal ini bukanlah salah Mas Romi. Ia melakukan itu atas permintaanku."Aku memang sengaja meminta Mas Romi agar tidak memberitahu siapapun tentang keberadaanku. Aku ingin hidup tenang, Mas. Sudah terlalu banyak masalah dan ujian hidup yang harus kuhadapi. Itu sebabnya aku memilih untuk pergi jauh, aku tidak ingin diganggu oleh siapapun. Jadi tolong mengertilah!"Aku sengaja menjauh dari Mas Rian
Bagian 59Enam bulan sudah aku menetap di tempat kediamanku yang sekarang. Sekarang, hari-hariku disibukkan dengan urusan butik. Seminggu sekali aku juga menyempatkan diri mengikuti pengajian untuk memperdalam ilmu agama. Kuakui ilmu agama yang kumiliki masih sangat dangkal. Aku harus sering-sering mengikuti pengajian untuk menambah kecintaanku kepada Allah SWT, sang pemilik kehidupan.Aku tahu, di balik ujian dan cobaan hidup yang diberikan oleh Allah padaku, pasti ada hikmah di balik semua itu."Sarapan yuk, Non. Nasi gorengnya sudah Mbok hidangkan di atas meja!" Ucapan Mbok Yuli tersebut seketika membuyarkan lamunanku."Iya, Mbok. Kita sarapan sama-sama ya," ajakku sambil menyunggingkan senyum manis kepada wanita yang sudah kuanggap seperti orang tuaku tersebut. "Baik, Non, mari!" Mbok Yuli tidak lagi memanggilkan dengan sebutan Bu Sandra, kini beliau memanggilku dengan sebutan Non. Padahal aku sudah memintanya untuk memanggilku dengan menyebut namaku saja, tapi beliau tidak mau
Bagian 58Akhirnya rumah ini pun terjual. Rumah yang sudah dihuni selama empat tahun lebih. Rumah yang dulu di dalamnya terdapat kehangatan dan kasih sayang. Tapi itu dulu, sekarang semuanya telah sirna. Saatnya membuka lembaran baru dan mengubur semua kenangan pahit. "Mbok, mohon maaf ya. Sandra tidak bisa lagi mempekerjakan Mbok. Rumah ini sudah dijual dan sebentar lagi akan ditempati oleh pemilik yang baru. Maaf jika Sandra ada salah selama Mbok tunggal di sini," ucapku saat memberikan gaji terakhir kepada Mbok Yuli beserta pesangonnya. Mata si Mbok terlihat berembun, mungkin ia sedih karena tidak bisa tinggal di rumah ini lagi. Sebenarnya aku jauh lebih sedih dibanding Mbok Yuli. Telah kehilangan suami, sekarang bahkan rumah ini juga terpaksa kujual.Jujur saja, aku tidak menginginkan harta yang berlimpah. Keinginanku cukup sederhana. Hanya ingin hidup bahagia bersama suami. Tapi ya sudahlah! Hati akan semakin sakit jika mengingatnya terus-menerus."Mbok nggak tahu harus tingg
Bagian 57Bel berbunyi, aku pun segera membukakan pintu untuk melihat siapa yang datang. Saat membuka pintu, aku terkejut karena Nia masih berada di depan rumahku. Padahal aku sudah terang-terangan mengusirnya. Kukira yang datang adalah Mas Romi, karena tadi sudah berjanji akan datang bersama calon pembeli rumah ini. Ternyata yang datang justru Mas Rian. Entah kenapa, aku sedang tidak ingin bertemu dengan Mas Rian. Aku juga tidak tahu apa penyebabnya. Yang jelas, aku tidak ingin ditemui oleh lelaki manapun kecuali jika itu menyangkut hal penting."Ngapain kamu datang kemari, Mas?""Mas ada perlu denganmu, Sandra. Lagian sudah lama Mas tidak datang kemari. Kenapa? Sepertinya kamu tidak suka dengan kehadiran Mas?" Mas Rian malah balik bertanya padaku. "Hanya Sandra kah yang penting bagimu, Mas? sahut Nia, ia sepertinya kesal karena mantan suaminya itu mengunjungiku."Tentu! Lagian untuk apa kamu menanyakan hal itu? Kita sudah tidak memiliki hubungan apa-apa, jadi kamu tidak usah ikut
Bagian 56Sesampainya di tempat parkiran, aku terkejut melihat Mas Romi yang sedang berdiri di samping mobilku."Mas Romi? Ngapain kamu di sini?" tanyaku sesaat setelah menghampirinya."Nungguin kamu, jawabnya santai."Nungguin aku? Aku tidak pernah menyuruhmu untuk menungguku. Kamu tahu dari mana kalau aku sedang berada di tempat ini?" tanyaku penuh selidik. "Si Mbok yang memberitahu bahwa kamu sedang ziarah saat aku mendatangi rumahmu."Ah, aku lupa mengatakan kepada si Mbok agar jangan memberitahukan keberadaanku kepada siapapun."Sandra, kamu lupa ya? Tempo hari 'kan kamu yang menghubungiku untuk meminta bantuanku. Masih muda kok' sudah pikun," ledeknya sambil menertawakanku. Menyebalkan!Memang benar aku menghubungi Mas Romi tempo hari untuk meminta bantuannya. Pasalnya, aku akan menjual rumah yang sekarang kutempati. Aku ingin menghapuskan semua kenangan dengan Mas Ilyas. Aku berharap semoga dengan menjual rumah itu, bisa melupakan semua kenangan bersama Mas Ilyas. Aku ingin mo
Bagian 55POV Sandra Di sinilah aku sekarang. Mengunjungi makam ibu dan juga mama mertua. Ibu dan mama mertua memang dimakamkan di tempat pemakaman yang sama, makam mereka berdua pun berdampingan.Aku duduk di atas tanah, di antara makam Ibu dan mama mertua, lalu memandangi makam mereka secara bergantian.Saat menatap batu nisannya, kembali aku teringat pada wajah Ibu dan juga wajah mama mertua. Sungguh aku sangat merindukan kedua wanita yang sangat kusayangi tersebut. Tapi sayangnya, aku hanya bisa memendam rindu ini. Hanya untaian doa yang bisa kukirimkan. Semoga Ibu dan mama mertua bahagia di alam sana."Maafkan Sandra, Bu, Ma, Sandra telah gagal mempertahankan rumah tangga Sandra dengan Mas Ilyas. Sandra tidak bisa menjadi istri yang baik untuk Mas Ilyas."Air mata mengalir begitu saja dari kelopak mata tanpa bisa dibendung saat mengucapkan kalimat itu. Fisikku memang kuat, tapi tidak dengan hatiku. Hatiku begitu sakit dan terluka. Sekuat tenaga mencoba untuk tetap tegar, tapi k