Tangan besar Leona meraba ke sisi kiri tempat tidur dengan mata masih terpejam. Kening berkerut menyadari tidak ada orang di sana. Kelopak netra abu-abu itu perlahan terbuka, lantas menatap lesu ruang kosong yang ada di sebelah.
Tidak ada Mark di sana. Biasanya ia memeluk pria itu sebelum membuka mata, kemudian suaminya memberi kecupan selamat pagi. Begitulah setiap pagi yang ia lewati dulu. Kini semua berubah setelah pengkhianatan Mark. Lelaki itu bahkan masih bersandiwara seolah masih mencintainya, sebelum aksi bejatnya diketahui Leona.
Hari kedua tanpa suami di sisi, masih terasa berat bagi Leona. Bayangkan, ia telah menghabiskan waktu sepuluh tahun bersama, berbagi suka dan duka. Sekarang hanya luka yang ia rasakan. Lagi, bulir bening meluncur begitu saja dari sudut matanya.
“Leona.” Tiba-tiba terdengar suara bariton dari luar. Sudah jelas milik West, pria yang baru dikenalnya selama tiga hari.
“Ya?” sahutnya dengan suara serak khas bangun tidur.
Kedua jari telunjuk Leona bergerak ke bagian mata, lantas menguceknya sebentar. Dia beranjak duduk, merentangkan kedua tangan dan meregangkan otot-otot yang bisa jadi sakit akibat posisi tidur yang kurang pas, atau karena tertindih tubuhnya yang gempal.
“Kau masih tidur?” tanya West di balik pintu.
“Kalau masih tidur, bagaimana aku bisa menjawabmu, West?” jawab Leona mengeraskan suara.
Samar terdengar suara West tertawa di luar, membuat wanita itu berdecak. Leona kemudian berdiri seraya mengikat seluruh rambut ke atas, sebelum membuka pintu.
“Ada apa?” desis Leona setelah membuka pintu. Pandangannya melihat ke arah lantai, bukan kepada West.
Pria berambut cokelat itu mengamatinya beberapa saat. “Kau menangis lagi?” tebak West setelah melihat sisa air mata di sudut mata Leona.
“Siapa yang menangis?” kilah Leona menyeka air mata yang siap mengalir sambil mengedipkan mata cepat.
Dua detik kemudian, ia malah menangis tersedu. “Sampai kapan aku terbiasa dengan keadaan ini, West?”
Lelaki bertubuh tinggi tegap itu menarik napas berat, kemudian menarik tubuh besar Leona ke dalam pelukan. Dia menepuk pelan punggung yang dilapisi lemak itu, mencoba menenangkannya.
“Kau bisa pinjam bahuku saat ingin menangis, Leona,” bisik West membuat wanita tersebut semakin sesegukan.
“Kenapa kau baik sekali? Kita baru kenal tiga hari,” isak Leona di dada bidang itu. Aroma citrus menyeruak di rongga hidungnya.
Tangan West naik membelai lembut belakang kepalanya. “Tidak perlu mengenal lama untuk melakukan kebaikan, Leona. Itu semacam panggilan hati.”
Wanita itu melonggarkan pelukan, lalu mundur satu langkah ke belakang. Netra abu-abunya memandang paras West yang dihiasi rambut halus di pinggir wajah hingga dagu.
“Ternyata penipu sepertimu gampang tersentuh,” komentar Leona tersenyum kecut.
Bibir West terbuka sedikit ketika jari telunjuk naik ke atas. “Aku menipu orang yang pantas untuk ditipu, Leona. Jangan lupa itu.”
Leona mengangguk kecil.
“Sekarang mandilah. Setelah sarapan kita akan pergi ke suatu tempat.”
“Ke mana?” Raut bingung menghiasi wajah wanita tersebut.
“Membeli pakaian untukmu.”
Jari telunjuk dilapisi lemak itu bergerak ke wajah chubby-nya. “Pakaian untukku? Buat apa? Aku masih punya pakaian yang bagus.”
West berdecak sambil geleng-geleng kepala. “Bukan pakaian seperti itu maksudku, tapi gaun berukuran nol alias size zero.”
“What?” Leona terbelalak mendengar perkataan West.
“Ukuran yang cocok untuk tubuh dan identitas barumu, Leona.” West menyeringai dengan sebelah alis naik ke atas.
***
“Apa tidak sebaiknya beli nanti saja? Belum tentu aku bisa kurus lagi,” keluh Leona ketika mereka sudah berada di mall.
West menggeleng dengan pandangan mencari outlet yang bagus untuk dikunjungi. “Pakaian itu bisa menjadi motivasi untukmu menurunkan berat badan, Leona.”
“Tapi ….”
Mata biru itu melebar saat kedua alis naik ke atas. “Kau harus menurunkan berat badan empat puluh kilogram. Bayangkan, empat puluh kilogram!!” katanya mempertegas kalimat terakhir.
“Aku tidak yakin berhasil. Sekarang saja tubuhku lemas karena kurang makan,” keluh Leona memperlihatkan wajah yang menyedihkan.
Pria itu menggeleng cepat, lalu melanjutkan lagi langkah menuju outlet pakaian wanita.
Leona terpaksa mengikutinya dari belakang. Sejak tadi ia merasa was-was jika bertemu dengan Mark di sini, karena mall ini sering dijadikan tempat untuk bertemu dengan klien.
Dia tertawa miris menyadari pria itu tidak menghubunginya sejak bertengkar dua hari yang lalu.
“Dasar pria brengsek,” gerutunya pelan.
“Siapa yang brengsek?” Langkah West berhenti tepat di depan pintu outlet pakaian. Dia memutar balik tubuh menghadap Leona dengan sebelah tangan masuk ke saku celana jeans.
“Siapa lagi?”
“Maksudmu Mark?” Pria itu mengedarkan pandangan ke lantai mall tempat mereka berada. “Kau melihatnya?”
Leona menggeleng lesu. “Aku hanya ingin memakinya saja.”
“Why?”
Wanita itu mengibaskan tangan singkat. “Lupakan. Aku sedang tidak ingin membahas pria itu.”
West bingung melihat sikap plin-plan wanita yang ada di depannya sekarang. Terkadang Leona terlihat seperti membenci Mark, tapi tidak jarang juga menangis karena masih mencintainya. Dia meraih tangan yang membengkak karena lemak tersebut, kemudian menggenggamnya erat.
“Ayo masuk.”
Leona bergeming menatap pegangan tengan West.
“Kita sudah sepakat akan berkencan sebelumnya, Leona. Kau lupa?”
Kepala dengan rambut dikuncir satu itu menggeleng.
“Apa kau tidak malu berjalan dengan wanita gendut sepertiku?”
Pria berahang tegas itu menggeleng singkat, kemudian menarik tangan Leona memasuki outlet pakaian. “Untuk apa malu? Kau cantik,” katanya membuat pipi chubby memancarkan semu merah.
Leona memilih diam ketika melihat West berinteraksi dengan penjaga outlet. Dia sendiri bingung harus membeli apa, karena sudah lama tidak berbelanja di toko yang menjual gaun untuk tubuh langsing.
“Bisa pilihkan pakaian yang cocok untuknya?” pinta West setelah disambut ramah oleh pelayan.
Pelayan dengan rambut disanggul tersebut tidak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya ketika melihat Leona.
“Jangan lihat tubuhnya yang sekarang, tapi nanti,” ujar West lagi seakan tahu makna tatapan mata hitam pelayan tersebut.
“Maaf, Tuan,” ucap pelayan menundukkan sedikit tubuh ke depan.
West mengalihkan pandangan kepada Leona, memintanya agar ikut dengan pelayan. “Pilih yang kau suka.”
Meski merasa sedikit aneh, akhirnya wanita bertubuh besar tersebut mengikuti pelayan. Dia kebingungan dengan ukuran berapa yang akan dipilih.
“Ingat size zero, Leona,” cicit pria itu menahan tawa.
Leona memandang West dingin. Dia sendiri tidak yakin bisa menurunkan berat badan sebanyak itu dalam waktu singkat.
Dua jam mengitari mall membuat tungkai Leona lelah menopang tubuh gempalnya. Beberapa pakaian yang dibutuhkan sudah berada di tangan West. Pandangannya beredar mencari keberadaan tempat duduk.
“West, aku lelah. Sebaiknya kita istirahat dulu,” ajak Leona dengan keringat mulai muncul di sela pori-pori.
“Oke. Kita cari tempat santai dan minum kopi dulu.” Pria itu mengacungkan telunjuk ke atas. “Tapi ingat, kau hanya boleh mengkonsumsi espresso atau jus buah dengan sedikit gula.”
Leona mengangguk pasrah. Keinginan meminum cappuccino creamy terpaksa diurungkan demi menurunkan berat badan. Target yang diberikan West hanya tiga bulan. Wow!!
Mereka berdua mengambil tempat duduk yang berada di sudut kanan café agar bisa berbicara dengan leluasa. Leona menghempaskan tubuh dengan lesu di kursi yang berada tepat di depan West duduk.
“Apa kau selalu seperti itu?” tanya West sebelum membuka buku menu.
“Seperti itu apa?” Leona malah balik bertanya.
“Cepat lelah.” Pria itu menutup lagi buku menu setelah menemukan pesanan yang diinginkan. Dia mengalihkan pandangan kepada Leona. “Kita baru berjalan dua jam dan kau sudah mengeluh kelelahan.”
Dagu West terangkat menunjuk wanita itu. “Lihatlah wajahmu sekarang. Benar-benar menyedihkan,” sambungnya setengah meledek.
“Berat badanku terlalu berlebih, West. Karena itulah cepat lelah.”
“Kenapa kau tidak menurunkan berat badan sebelumnya?”
Leona mengangkat bahu singkat. Dia meraih buku menu, sebelum menjawab pertanyaan kesekian dari West. “Aku lebih banyak di rumah, stress dan menjadikan makanan sebagai pelampiasan.”
Pantas saja suaminya selingkuh. Aku jamin dia tidak bisa memuaskannya di ranjang, komentar West dalam hati.
“Sekarang kau harus berjuang untuk menurunkan berat badan,” tanggapnya kemudian.
Baru saja ingin merespons perkataan pria tersebut, tilikan netra Leona tak sengaja menangkap kehadiran sosok yang sangat dikenal di pintu café. Udara mendadak hilang di sekitar, sehingga napasnya menjadi sesak. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam hati saat ini.
Marah, benci dan … rindu. Sial! Wanita itu tidak tahu harus mengikuti rasa yang mana.
“Kau kenapa Leona?” gumam West melihat perubahan drastis wajah perempuan yang duduk di depannya.
Leona menundukkan kepala dalam-dalam, sebelum menjawab pertanyaan West. “Mark ada di sini.”
Bersambung....
Hai Kakak-kakak, mohon maaf novel ini aku pending update hingga kontrak dari Good Novel turun ya. Tenang aja, aku akan langsung update ketika sudah sign kontrak. Jangan lupa follow I* @Leena_gie, agar bisa mendapatkan informasi terkini tentang novel ini :*
West menoleh ke arah pandangan Leona. Dia melihat seorang pria berambut model Ivy League berjalan memasuki area café bersama dengan seorang pria lainnya. Kening berukuran ideal tersebut berkerut bingung. “Itu Mark?” gumam West kembali beralih kepada Leona. Wanita itu mengangguk singkat. Dia masih mengawasi pergerakan Mark dengan sudut mata. “Dia ke sini,” balas Leona mulai cemas. Ternyata pria yang masih berstatus sebagai suaminya itu melihat keberadaan dirinya di sana. Tubuh Leona mulai bergetar merespons perasaan yang bercampur aduk saat ini. Mengetahui hal itu, West langsung pindah ke samping Leona. Dia menggenggam erat jemari wanita tersebut, agar menguatkannya. “Kau tidak perlu takut, Leona. Kita lihat bagaimana reaksinya setelah ini,” ujar West pelan. Mark semakin dekat dengan mereka sekarang. Mata elang kecokelatan itu tidak beranjak seperti ingin melahap Leona hidup-hidup. “Thanks God, akhirnya
Mata abu-abu lebar milik Leona mengitari rumah minimalis yang terbuat dari kayu. Suasana sekitar terasa begitu hening, karena rumah ini terletak di tempat terpencil. Jika saja West mengajaknya ke sini saat awal mereka bertemu, tentu ia akan menolak mentah-mentah. Tentu khawatir jika diculik dan disekap di sini hidup-hidup.“Semoga kau menyukainya, Leona,” ujar West memandang wajah takjub wanita itu.Leona menoleh dengan semringah. “Sure, West. I love it. Suasana di sini begitu tenang dan nyaman.”West mengangguk cepat. “Aku bisa melihatnya. Ayo masuk!”Dia menarik tangan Leona ketika melangkah memasuki rumah tersebut.Begitu berada di dalam, Leona semakin dibuat terkesima dengan interior rumah. Sebuah kepala rusa terpajang di atas tungku perapian. Satu set meja kayu berada di depan tempat perapian. Tak jauh dari sana terdapat satu set sofa berukuran menengah.“Ke mana Shaun dan Cass
“Maaf, aku hanya ingin memberikan bantal dan selimut ini kepadamu,” ucap Leona ketika suasana semakin terasa tegang. Lebih menegangkan dibanding film horor yang pernah ditontonnya bersama dengan Mark dulu.Dia menarik napas panjang sebelum mundur sedikit ke belakang. Entah kenapa jantungnya menjadi terusik ketika melihat wajah West dari jarak dekat. Apalagi mereka sempat berbagi pandang beberapa saat. Untuk pertama kali dalam sepuluh tahun, Leona merasa debaran tak biasa di dalam diri.Ini hanya karena terbawa suasana saja. Jangan berpikir aneh-aneh, Leona, gumamnya dalam hati.“Selimutnya hanya satu, Leona.” West mengubah posisi menjadi duduk, lantas menyerahkan lagi selimut kepada Leona.Wanita itu menggeleng. “Buatmu saja. Lemakku masih cukup untuk menghangatkan tubuh,” sahutnya setengah bercanda.West tergelak mendengar perkataan Leona barusan. “Di sini dingin ketika malam hari. Kau yakin lemak
Satu bulan kemudianLeona berusaha membuka mata yang masih terasa berat. Setelah memaksa agar kelopak terangkat, akhirnya ia bisa melihat pria yang terlelap di sisi lain tempat tidur dengan jelas. Siapa lagi jika bukan West Taylor.Ya, sampai saat ini mereka masih berbagi tempat tidur dan selimut. Pada awalnya Leona dan West merasa canggung, tapi sekarang sudah terbiasa. Terlebih hubungan keduanya juga menjadi akrab, layaknya teman dan rekan kerja.Hari ini adalah hari penimbangan berat badan. Sesuai dengan saran West, Leona boleh menimbang berat badan satu bulan setelah program penurunan berat badan dimulai.Satu bulan dijalani Leona dengan penuh perjuangan. Apalagi West benar-benar menerapkan peraturan ketat kepadanya, terutama perihal makanan. Jangan harap wanita itu bisa mengkonsumsi es, cokelat, kopi dicampur krim dan sejenisnya.Mengenai Mark, pria itu ternyata benar-benar telah melayangkan gugatan cerai kepada istrinya. Tak
Leona menggelengkan kepala sambil memejamkan mata sebentar. Langkah kakinya terus bergerak menuju dapur. Tangan meraba dada kiri yang masih berdebar sejak ia memeluk West tadi.“Sepertinya aku terlalu senang, sehingga jantung ini jadi tidak beraturan,” racaunya pada diri sendiri.Senyum kembali terurai di wajah yang sudah tidak chubby lagi. Kedua tangan Leona berpindah naik ke pipinya. Dia menepuknya pelan masih belum percaya dengan berat badan yang turun mencapai angka lima belas kilogram.“Kau harus tetap semangat, Leona. Sedikit lagi,” katanya menyemangati diri, “aku sudah tidak sabar menanti saatnya tiba.”Leona mengambil adonan roti yang telah disediakannya tadi malam dari lemari yang menggantung di dapur. Ternyata sudah mengembang dan tinggal dipanggang. Dia mengeluarkan satu kepal adonan, kemudian meninjunya keras-keras.“Aku akan menghajarmu, Mark,” gerutunya seolah menghajar wajah sa
Leona tercenung mendengar cerita cinta West yang ternyata di luar dugaan. Dia berpikir pria itu tidak menyukai wanita, tapi pikirannya ternyata salah besar. Lelaki yang ia kenal satu bulan lebih tersebut mencintai seseorang secara sepihak.Di saat dirinya berpikir, lelaki di dunia ini brengsek dan tukang selingkuh, West berhasil membuktikan kesetiaan. West masih mencintai wanita itu meski tidak bisa memilikinya.“Apakah wanita itu sudah menikah sekarang?” Pertanyaan lain diajukan lagi oleh Leona.Dia menoleh kepada Cassie yang nyaris menumpahkan minuman karena tersedak. Leona segera meraih tisu dan menyerahkannya kepada wanita berambut pirang tersebut.Bahu yang berukuran ideal milik Cassie terangkat sebentar ke atas. “Entahlah. Shaun tidak menceritakannya kepadaku. Yang jelas wanita itu sudah melakukan kesalahan besar, karena telah menolak pria sebaik Bos.”Leona mengangguk membenarkan perkataan rekan kerja West ini. Satu b
West berdiri di depan pintu kamar yang kini terbuka lebar. Pria itu memegang bantal dan selimut dengan kedua tangan. Pandangannya tampak sayu mengitari paras Leona. Jantungnya bertalu-talu melihat wanita itu. Suasana mendadak menjadi syahdu, karena penerangan yang minim. Ada apa dengan mereka berdua? Padahal sebelumnya biasa-biasa saja selama satu bulan ini tidur satu kamar. (Beuh ini nggak penting. Abaikan haha) “I can’t sleep without you, Leona,” lirih West masih menatap lekat wanita itu. Leona menarik napas yang terasa berat karena ada perasaan aneh di dalam hati. Dia berusaha tersenyum, tapi tidak bisa. “Boleh aku tidur di sini lagi?” tanya West hati-hati. Wanita itu menelan ludah mendengar pertanyaan yang diajukan West. Kepalanya perlahan mengangguk. “Thank you,” ucap lelaki itu kemudian melangkah memasuki kamar. “Kau mau ke mana?” West kembali bertanya setelah meletakkan bantal dan selimut. “Aku?
Sepasang manik hitam dikelilingi warna biru terlihat saat kelopak mulai terangkat. Senyum terurai di parasnya melihat wajah cantik yang masih terlelap. West tak pernah menyangka akan melewati malam yang menggairahkan dengan Leona.Jari-jari West perlahan bergerak menyingkirkan rambut yang menutupi sebagian kening Leona. Dia membelai lembut pinggir pipi yang mulai mengecil, tidak lagi se-chubby dulu. Ah, wanita itu mulai memperlihatkan seperempat dari kecantikan yang ia miliki.Kilat bayangan pertemuan West dengan perempuan yang berhasil mencuri hatinya tiga belas tahun silam, kembali melintas di pikiran. Perasaannya kembali meluap ketika mengingat pertemuan pertama dengan gadis itu.Perasaan itu muncul lagi, bisik West dalam hati.Kepala pria itu bergerak maju mendekati wajah Leona. Sebuah kecupan diberikan di kening beberapa detik. Ketika ingin melabuhkan ciuman di bibirnya, Leona mulai bergerak pelan. Tubuhnya menggeliat di bawah selim
Tujuh bulan kemudianLeona sedang duduk di sofa ruang tamu rumah yang telah ditempatinya satu tahun belakangan. Dia sedang menonton televisi yang menayangkan berita kriminal. Di sampingnya ada West yang juga ikut menyaksikan siaran udara tersebut.Hari ini sidang vonis atas kepemilikan narkotika yang dituduhkan kepada Mark digelar, sehingga mereka berdua menantikan bagaimana hasil dari sidang tersebut. Setelah itu, Mark akan melakukan sidang lainnya atas tuduhan penipuan yang pernah dilakukan kepada West. Ternyata begitu banyak skandal yang telah dilakukannya, sehingga tuntutan menjadi berlipat.“Apa kau yakin ingin menjual rumah itu, Sayang?” tanya West memecah keheningan seraya memainkan rambut hitam istrinya.Oya, sekarang mereka telah resmi menjadi suami istri yang sah di mata hukum. West langsung mengurus berkas pernikahan, setelah sidang putusan akhir perceraian Leona dan Mark. Kini ia telah memiliki wanita itu secara ut
Leona bangun di pagi hari dengan senyum merekah. Dia masih belum percaya bisa berhasil mengelabui Mark. Wanita itu berpikir orang yang akan menjadi mantan suaminya adalah pria yang pintar. Ternyata tidak, pria itu bisa ditipu oleh perempuan bernama Tatiana.“Sepertinya kau bahagia sekali,” gumam West dengan mata separuh terbuka.Leona menoleh ke kiri, melihat suaminya berusaha membuka mata. Kepala yang dihiasi rambut burgundy itu mengangguk cepat.“Kita berhasil, West!!” seru Leona mengulang lagi antusiasme yang sempat diperlihatkan tadi malam.“You did it, Honey,” puji West memberi kecupan di bibir istrinya.Kening yang berukuran ideal itu langsung mengernyit. Bau mulut West yang terendus barusan membuatnya kembali mual. Tangan Leona langsung menutup bibir sendiri. Wanita itu menyingkirkan selimut, tak peduli dengan tubuh yang tidak mengenakan sehelai benang pun.“Kau kenapa, Sayang?”
Malam hari menjelang sidang keduaLeona sedang duduk di dalam mobil mendengar pengarahan yang diberikan West kepadanya. Malam ini adalah misi terakhir yang harus dijalankan menjelang persidangan. Target yang ditetapkan harus tercapai sebelum sidang kedua.“Karena ini misi terakhir kita, pastikan kau tidak melakukan kesalahan seperti sebelumnya,” terang West ketika mereka berempat berembuk di dalam mobil van, tak jauh dari kediaman Mark.Leona mengangguk paham. Berhasil atau tidaknya dari rentetan penipuan yang telah dilakoni West beberapa tahun belakangan ini, ada pada misi terakhir.“Pastikan kau memasukkan obat ini ke dalam minumannya, Leona,” ujar Cassie menyerahkan satu butir pil kepada wanita itu.“Apa ini?” tanya Leona dengan kening berkerut.“Itu pil yang bisa membuatnya melayang ke langit ketujuh,” jelas wanita berambut pirang itu.“Maksudmu sejenis narkoti
Beberapa hari kemudianLeona memutar tubuh ke kiri dan kanan, memastikan penampilan sebagai Tatiana Clark sudah sempurna. Cassie baru saja selesai mengaplikasikan make-up khas Tatiana. Eyeliner bersayap di bagian sudut kelopak mata dan lipstik berwarna merah menyala.Kali ini ia mengenakan gaun berwarna maroon yang pernah dibelikan West untuknya. Leona sengaja datang menjelang pulang jam kerja, karena Mark akan mengajaknya langsung ke rumah. Sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.“Kau terlihat cantik sekali, Sayang,” puji West tiba-tiba memeluk Leona dari belakang.Wanita itu tersenyum melihat pantulan diri mereka di cermin. Beberapa hari belakangan ini suasana hatinya benar-benar membaik. Bayangkan dia telah melakukan dua aksi penipuan dengan target politisi kelas kakap.“Semua karena kerja kerasmu, Suamiku,” balas Leona masih tersenyum ringan.West menggelengkan kepala. “Se
Manik abu-abu milik Leona perlahan mengerjap, berusaha untuk terbuka. Samar tampak sosok pria sedang berbaring di samping seraya menatap dirinya.“Aku pasti rindu denganmu, West. Sehingga bermimpi kau ada di sini,” gumamnya dengan suara serak.Kelopak mata lebar itu kembali tertutup dengan senyum lebar. Mustahil jika West ada di sini, karena baru tiga jam yang lalu ayahnya menghubungi pria itu dan mengatakan Leona ada di Outville. Perjalanan dari Earth Ville menuju Outville memakan waktu setidaknya lima jam.“Sayangnya kau benar, Leona,” ucap suara bariton membuat senyum Leona semakin lebar.“Tidak mungkin. Rasanya tiga jam yang lalu Daddy menghubungi—” Kedua mata Leona langsung terbuka nyalang sebelum kalimat yang diucapkan selesai.“Astaga! Apa itu benar-benar dirimu, Sayang? Aku tidak bermimpi?” cicit Leona mengusap kedua mata, kemudian meraba pipi kiri West.Pria yang tidur d
Leona mengamati perubahan raut wajah ibunya. Seperti ada yang disimpan oleh wanita paruh baya itu. Dia memiringkan kepala mengejar mata Emilia.“Mom?” panggil Leona ketika belum mendapatkan jawaban darinya.Pandangan mata yang sudah tua itu meredup. “Jangan menyalahkan West atas apa yang terjadi, Le.”Meski tidak diutarakan, Emilia sudah tahu apa yang membuat putrinya pergi ke Outville seorang diri di malam hari. Apalagi jika bukan berpikiran West ingin membalas perbuatan Mark dengan memperalat Leona.Wanita berambut burgundy itu mengembuskan napas frustasi seraya mengusap keras kening sendiri. “Jangan menyalahkannya bagaimana, Mom? Sudah jelas dia menjadikanku sebagai alat untuk mendapatkan lagi harta yang telah ditipu. Dia yang menyarankanku untuk membalas perbuatan Mark.”“Dia datang ketika aku berada di jembatan, pura-pura menawarkan bantuan. Dan aku masuk ke dalam perangkapnya,”
Leona melihat koper besar yang dibawa dari rumah hampir empat bulan yang lalu. Pandangannya beralih ke arah foto dan kertas memo yang ada di tangan kiri. Dia menggigit kuku, sehingga membuat polesan cat di bagian ujung ibu jari terkikis. Berbagai dugaan muncul di pikiran saat ini.“West sengaja menjadikanku alat untuk mengambil lagi harta yang telah digelapkan oleh Mark,” duganya beberapa jam lalu.Dia berpikir bahwa West berkedok membantunya untuk membalaskan dendam, agar bisa mengambil lagi harta yang telah ditipu oleh Mark.“Ternyata West tidak benar-benar mencintaiku. Dia menyelidiki Mark dengan tujuan lain.” Pikiran negatif lain kembali muncul di pikiran wanita itu.Entah berapa kali ia melirik ke arah pintu masuk, tapi belum ada tanda-tanda West dan kedua rekannya muncul. Leona menarik napas singkat, kemudian meletakkan foto Mark dan kertas memo di atas meja. Setelahnya, ia berdiri dan bersiap untuk pergi dari sana.Le
West, Shaun dan Cassie terdiam mendengar pertanyaan Leona barusan. Mereka saling berpandangan satu sama lain beberapa saat. West kemudian memalingkan paras melihat istrinya.“Aku sudah berjanji untuk mengatakan semuanya padamu setelah menikah.” Dia menarik napas panjang sebelum kembali bersuara. “Baiklah, sekarang akan kuceritakan yang sebenarnya.”Cassie dan Shaun menundukkan kepala sebelum West mengatakan apa yang terjadi selama tiga belas tahun ini.“Setelah kau pergi dari rumah, Ibumu menghubungiku. Dia sangat mencemaskan keadaanmu, karena berada jauh darinya.” Pria itu mengubah posisi duduk menghadap Leona.Leona mengamati ekspresi suaminya ketika bercerita. Tampak kesedihan dari caranya memandang.“Emilia berpikir hanya aku yang bisa melindungimu. Dia memintaku untuk mencarikan orang yang bisa mengawasimu, Leona,” sambung West kemudian.“Kau melakukannya?” desis Leona tak perc
West meniup punggung tangan kanan Leona yang memerah, karena digosok terlalu keras dalam waktu yang lama di bawah air. Dia mengoleskan obat merah, kemudian membalutkan perban. Setelahnya pandangan netra biru kecil itu beranjak naik ke wajah cantik istrinya.“Kau tidak perlu melakukan ini, Sayang. Lihatlah kau melukai dirimu sendiri,” ujar West lembut. Tangannya meraih pipi tirus Leona, lalu mengusapnya lembut.“Aku hanya ingin menghilangkan bekas bibirnya di sini, West,” sahut Leona dengan kening mengernyit.“Sssttt … jangan menangis lagi,” hibur West menyeka bulir bening yang siap turun di sudut mata abu-abu milik Leona.Mereka berdua sudah berada lagi di rumah, sehingga tidak ada lagi pernak-pernik yang dikenakan ketika menyamar. Sepanjang perjalanan Leona lebih banyak diam. Dia merenung dan memikirkan apakah akan terus melanjutkan semua ini atau berhenti.Andai saja West tidak mengeluarkan uang yang ban