Sabrina menjalani aktivitas sebagai mana biasanya hingga ia tak sengaja mendengar obrolan wali murid yang menunggu siswa di area tunggu taman sekolahan."Masa sih Bu Sabi pelakor? Kayanya gak mungkin ya." Salah satu ucapan wali murid yang tak sengaja di dengar Sabrina di area sekolahan membuatnya menahan langkah. Ibu-ibu wali murid itu tak menyadari keberadaan Sabrina di dekat mereka. Para wali murid itu tampak fokus dengan masing-masing ponsel pintarnya. Mereka semua melihat postingan seseorang yang tak diketahui namanya memberitakan mengenai Sabrina seorang pelakor.Sabrina tak mengetahui mengenai berita panas tentangnya. Ia mendekati para ibu muda kitu kemudian mendehem."Ekhem!" Ibu-ibu itu tetap saja tak menyadari keberadaan Sabrina karena fokus dengan layar ponsel masing-masing."Wajah Bu Sabi 'kan lugu dan baik. Gak nyangka ya bisa jadi pelakor.""Mungkin Bu Sabi balas dendam. Suaminya dulu katanya diambil pelakor.""Masa sih?""Iya loh. Bisa jadi 'kan Bu Sabi balas dendam."
Sabrina nampak melangkahkan kaki hendak menghampiri ayah dan anak itu, namun di waktu yang bersamaan pula Sesil menarik tangan Sabrina dan menahan langkahnya."Mau kemana, Mba?" tanya Sesil berbisik."Aku akan buat perhitungan," jawab Sabrina berbisik pula. Sesil menggelengkan kepalanya sebagai kode. Ia kemudian menarik tangan kakaknya untuk masuk ke dalam toko.Sabrina tampak enggan, namun Sesil terus saja menarik paksa tangannya."Kenapa kamu tarik aku, Sil? Aku mau buat perhitungan pada laki-laki itu," protes Sabrina pada adiknya. Saat ini mereka sudah berada di dalam toko. Sedikit menjauh dari pemandangan Hasbi dan anaknya."Mba, cukup tahu saja deh. Aku pikir Mba Sabi tak usah mengurusi mereka lagi. Apalagi sekarang kita sudah tahu kalau anak itu hanya dijadikan umpan saja. Mba Sabi tak usah lagi percaya pada laki-laki itu. Sekali pendusta selalu saja pendusta. Tak akan pernah berubah." Sesil berbicara dengan serius.Sabrina tak lagi berusaha menghampiri Hasbi. Dia bergeming dan
Sementara di toko Sabrina's Cake, setiap harinya terlihat semakin ramai saja oleh pembeli. Sabrina selalu disibukan dengan bahan-bahan kue yang stoknya selalu menipis. Beruntung ia sudah memiliki orang kepercayaan untuk manghandle dalam memenuhi kebutuhan bahan kue.Tak butuh waktu lama, setelah satu bulan akhirnya uang Sabrina sudah terkumpul untuk modal membuka cabang baru di Bogor. Sabrina juga berniat membeli mobil secara kredit. Biar bagaimana pun dia akan membutuhkan kendaraan roda empat itu.Di sebuah meja bundar di toko kue nya, Sabrina, Jaka dan Sesil berkumpul untuk meeting. Mereka sengaja mengambil jadwal di hari minggu agar semuanya bisa meeting dengan santai tanpa dikejar-kejar waktu."Jadi, kapan kita bisa launching toko baru di Bogor?" Sesil langsung bertanya."Sebelum launching, kita harus tentukan siapa Pastry Chef di cabang Bogor nanti. Selain itu, kita juga harus mempersiapkan beberapa kariyawan yang akan bekerja di sana. Bukan hanya itu, kalian juga harus tentukan
Isi dada Sesil bergetar namun ia berusaha menenangkan diri. Ia harus sadar situasi. Ia merasa tak boleh berpikir yang aneh-aneh.Sepanjang perjalanan, berkali-kali Jaka memastikan rasa sakit yang dialami Sabrina saat ini. Berkali-kali pula Jaka mengatakan agar Sabrina bersabar dengan rasa sakitnya."Sabar ya, Sabi. Kita akan segera sampai." Itu adalah kalimat yang kesekian kalinya yang diucapkan Jaka pada Sabrina. Telinga Sesil serasa panas mendengarnya."Cukup, Jak. Aku tidak apa-apa kok." Sabrina tak nyaman dengan perhatian dari Jaka, ia tak enak pada Sesil. Khawatir salah sangka.Sesil hanya bergeming di kursi belakang. Dia berusaha mengatur napas yang terasa sesak. Berusaha memahami kondisi saat ini.Sesampainya di klinik, Jaka lagi-lagi dibuat tak sadar dengan keberadaan Sesil. Ia langsung membopong Sabrina ke dalam klinik, gegas meminta petugas medis untuk melakukan tindakan pada Sabrina.Jaka menunggu di kursi tunggu, hingga ia menyadari satu hal."Ya Tuhan, Sesil dimana ya?" I
Di sofa ruang tengah, Sesil melihat Jaka tengah menyuapi makan Sabrina. Ia tak kuasa mendekat, hingga memilih menempelkan tubuhnya dibalik dinding ruangan."Sudah, Jak. Pulanglah. Aku bisa makan sendiri kok. Tanganku masih berpungsi dengan baik," titah Sabrina pada Jaka."Tidak, Sabi. Aku tahu kamu memang tak menginginkan keberadaanku. Tapi, ijinkan aku memastikan keadaan kamu yang harus baik-baik saja." Jaka berbicara pada Sabrina.'Apa-apaan mereka!' Sesil yang dapat mendengar obrolan Sabrina dan Jaka di ruang tamu tampak terkejut."Jaka, aku baik-baik saja. Pulanglah, Jak. Jangan berlebihan." Sabrina masih berusaha mengusir Jaka."Kamu selalu saja begitu, Sabi. Kamu tak pernah menghargai perasaanku. Kurang apa pengorbananku selama ini sama kamu?" Sesil membekap mulutnya tatkala mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Jaka. Ia amat terkejut kemudian memilih segera keluar dari rumah, meninggalkan Jaka dan Sabrina.Dengan kendaraan roda dua, Sesil kembali ke toko. Bulir be
Hasbi nampak menelaah benda segi tiga berwarna coklat di bawah ranjang. Benda itu benar-benar bukan milik dia. Ia tidak mengenalnya."Miranda!" Suara keras Hasbi memanggil nama istrinya. Ia dibuat penasaran dengan benda sensitif dibawah ranjang."Ada apa, Mas? Bisakah dikecilkan volume suaranya 'kan," protes Miranda setelah menghampiri suaminya di dalam kamar."Celana dalam milik siapa ini?" Jari telunjuk Hasbi melurus pada benda segi tiga itu.Seketika bola mata Miranda nampak membulat. Ia menelan saliva cukup berat. "Itu milik Papa, Mas," jawabnya tanpa bisa mengelak."Apa!" Hasbi terkejut. Dahinya mengekerut. "Bagaimana bisa celana dalam Papa ada di kamar ini?" tanyanya disertai tatapan nanar.Miranda tampak menarik napas cukup dalam kemudian dikeluarkannya dengan perlahan. "Aku baru saja selesai mengangkat jemuran. Aku bawa ke kamar untuk dilipat sebelum disetrika. Mana aku tahu kalau celana dalam Papa terjatuh di situ," terangnya."Aku bahkan belum selesai dengan pekerjaanku, Ma
Sesil menekan dada. Ia segera beranjak dari tempat duduknya. Sesil segera pergi meninggalkan area mall. Ia sudah tidak kuat lagi mendengarkan obrolan mamahnya Jaka dan teman-temannya.Bola mata Sesil kembali mengembun. Ia merasakan kesedihan yang mendalam.'Bagaimana mungkin aku menikahi laki-laki yang ternyata mencintai Mba Sabi,' lirih Sesil dalam hati. Ia terlihat menangis tersedu-sedu di area tempat parkir di dekat motornya.Serba salah jadinya. Sesil menekan kepalanya terlihat kebingungan. "Apa yang harus aku lakukan?" Ia bertanya-tanya sendirian.Sore itu Sesil memutuskan tak pulang ke rumah. Ia belum sanggup menghadapi kakaknya dalam keadaan wajah sendu.Sampai mentari tenggelam di ufuk barat Sesil tetap tak pulang ke rumah membuat Sabrina khawatir. Di rumahhya, Sabrina terlihat sibuk memainkan jemarinya pada layar ponsel. Ia sudah beberapa kali mencoba menghubungi Sesil lewat sambungan telepon, namun nomor adiknya itu tidak aktip."Sesil kemana ya? Apa sedang bersama Jaka?" S
Sesil masih berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut yang tebal. Bukan sekedar menutupi tubuh, ia menutupi air mata yang kembali menetes di pipinya."Sil, kok kamu keras kepala sih," gerutu Jaka. Rayuannya tak mempan. Akhirnya ia keluar dari kamar Sesil tatkala usahanya merayu nyatanya gagal.Di atas meja ruang tengah Sabrina sudah menyediakan semangkuk bubur yang selesai dibuatnya untuk Sesil. Ia melihat Jaka keluar dari kamar Sesil dengan langkah yang nampak lesu."Sesil harus sarapan dulu sebelum ke Dokter, Jak." Sabrina segera duduk di sofa karena kakinya belum bisa terlalu lama berdiri."Sesil gak mau diajak ke Dokter. Dia tetap menolak, padahal aku sudah merayunya," balas Jaka sambil turut serta duduk di sofa yang sama."Loh kenapa? Suhu tubuhnya cukup panas, harus segera dibawa ke Dokter." Sabrina menaikan kedua alisnya."Dia tetap gak mau, Sabi. Aku sudah merayunya. Gak mempan kok," balas Jaka lagi."Apa kalian sedang marahan?" Sabrina menatap manar wajah Jaka.Pria di dekat
Suatu hari Jaka memanggil Sabrina dan anak-anaknya di ruang keluarga. Di sana juga ada Jeni yang turut serta hadir. Jaka meminta pada Sabrina untuk bersiap-siap karena mereka akan pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian baru.Awalnya Sabrina terlihat ragu menerima tawaran suaminya, akan tetapi ia menyanggupi karena Jaka memaksa dan tak mau ditolak ajakannya.Hingga akhirnya dua kendaraan roda empat akan melaju menuju pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa pakaian baru. Dua mobil itu berisi Jaka, Sabrina, Jeni dan empat anak termasuk suster yang turut serta mendampingin. Mereka akan belanja bersama terutama untuk keperluan ulang tahun Aksa yang tinggal menghitung hari.Sabrina nampak berjalan seiringan dengan Jaka setelah sampai di pusat perbelanjaan. Jaka meminta Sabrina memilih apa pun yang diinginkan. Wanita mana yang tak bahagia dengan perlakuan suami seperti Jaka. Sabrina bagaikan satu-satunya wanita paling beruntung di dunia."Sayang, kamu pilih apa pun yang kamu but
"Kenapa, Ma?" Sabrina segera bertanya. Tentu ia masih terkajut dengan jawaban mertuanya."Tapi bohong. Mama setuju dong. Masa iya Mama gak setuju," ralat Jeni yang rupanya hanya bercanda saja.Seketika Sabrina dan Aksa menghela napas lega secara bersamaan."Ya ampun, Mama. Sungguh aku sampai kaget. Aku pikir Mama benar-benar gak setuju." Sabrina mengusap dadanya. Tak disangka kalau mertuanya senang bergurau."Omah, Aksa juga kaget," timpal Aksa masih memasang wajah terkejutnya.Gegas Jeni memeluk Aksa. "Maaf, Sayang. Omah bercanda. Omah 'kan sayang sama Aksa, masa iya gak setuju. Kita akan rayakan ulang tahun Aksa dengan meriah ya. Pokonya kita akan happy-happy," sambutnya. Jeni tampak menampilkan wajah bahagianya kali ini."Terima kasih, Omah. Aksa sayang sekali sama Omah," ucap Aksa yang kembali memeluk Jeni."Omah juga sayang sama, Aksa," balas Jeni.Melihat itu, Sabrina semakin melebarkan senyumannya. Ia semakin dibuat bahagia dengan keadaan di rumah mewah itu."Terima kasih ya, M
Mendengar cerita Sabrina, seketika Jeni tercengang. "Lalu, apa yang Raisa sampaikan sama kamu, Sabi?" tanyanya penasaran."Raisa mengucapkan terima kasih padaku, Ma. Dia berterima kasih karena aku tela merawat dan menjaga Abang Yusuf dengan baik." Sabrina kembali menjelaskan.Isi dada Jeni terasa bergetar mendengar itu. "Pasti Raisa merasa tenang di alam sana. Kamu telah menjaga Yusuf dengan baik. Mama yakin Raisa bangga padamu, Sabi."Sabrina menurunkan tatapan. Ia masih ingat dengan jelas wajah Raisa kala itu. "Semoga saja ya, Ma. Aku tidak menganggap Abang Yusuf anak tiri kok. Meski pun dia tak lahir dari rahimku, aku menyayanginya bagai anak kandung sendiri," tuturnya."Karena kamu memang wanita baik, Sabi. Mama sungguh bangga bisa mendapatkan menantu seperti kamu. Jaka memang tak pernah salah mencintai kamu," balas Jeni. Sabrina hanya bisa menyodorkan senyuman saat sang mertua memujinya.Sampai saat ini dunia Sabrina memang terasa lebih berwarna dari biasanya. Anak-anaknya berpa
Satu bulan kemudian keluarga Dirgantara nampak disibukan dengan persiapan pernikahan Sesil yang tinggal menghitung hari.Adik Sabrina itu nampak disibukan dengan segala macam persiapan menjelang pernikahannya. Hingga Sabrina pun harus turun tangan dalam membantu adik kandungnya itu.Hingga tiba pada saat ijab kabul pernikahan terucap dengan lantangnya oleh pria yang Sesil cintai. Pernikahan telah sah dilangsungkan dan Sesil telah diperistri kekasihnya. Satu hari usai pernikahan, Sesil dan suaminya langsung terbang ke bali untuk bulan madu selama satu minggu. Tentu suasana saat ini semakin membuat Sabrina lega dan bahagia karena tugasnya menjaga Sesil kini telah berpindah pada suami Sesil.Sabrina kian merasa bahagia dengan keluarga saat ini. Ia juga bahagia dengan kesibukannya saat ini sebagai ibu rumah tangga untuk empat anak-anaknya.Pagi ini bahkan Sabrina nampak sibuk menyiapkan perlengkapan sekolah Aksa. Sabrina juga selalu menemani Aksa sarapan di ruang makan bersama Jaka yang j
Sabrina dan Jaka mengukir senyuman yang lebar tatkala melihat Sesil dan Jeni berpelukan. Keluarga yang nyaris sempurna setelah beberapa kali terpa ujian."Permisi, Nyonya. Makan malam sudah siap." Ijah melapor pada majikannya yang tengah bercengkerama."Oh iya. Terima kasih, Jah," ucap Jeni.Ijah tersenyum. "Sama-sama, Nyonya," balasnya kemudian berlalu setelah tugasnya selesai.Sementara Jeni segera mengajak keluarganya untuk segera makan malam, "Ayo kita makan malam bersama dulu yu."Serentak Sabrina, Aksa, Jaka dan Sesil mengangguk secara bersamaan sebagai pertanda mengiyakan ajakan Jeni barusan. Gegas mereka beranjak dari tempat duduk beralih menuju ruang makan.Di atas meja makan sudah tersaji aneka makanan yang lezat hasil dari masakan Ijah. Pembantu rumah tangga itu memang spesial memasak untuk malam ini. Melihat keluarga majikannya yang akur dan bahagia, ia merasa sangat senang.Ijah, Siti dan Iyem yang berada di ruangan sebelah ruang makan nampak tersenyum melihat kebersamaan
Sabrina akhirnya membiarkan Aksa tetap ikut bersama Sesil. Ia juga paham sebab tak ada yang menemani Sesil di rumahnya. Sabrina kembali masuk ke mobil suaminya.Sementara Aksa satu mobil bersama Sesil akan kembali ke rumahnya. Suasana hati Aksa sedikit membaik setelah ditenangkan oleh Sabrina tadi. Air matanya sudah surut namun ia memilih tetap diam dalam perjalanan pulang tanpa banyak bicara.Sesekali sebelah tangan Sesil mengusap rambut tebal Aksa. Sulit dijelaskan, tapi dia sudah menyayangi Aksa. Aksa memang terlahir dari orang tua yang tak lain adalah mantan suami Sabrina tapi Sesil tak lagi mempermasalahkan itu. Ia sudah menyayangi Aksa dengan sebenar-benarnya.'Ya Tuhan, anak kecil di dekatku sungguh malang. Dia tak menginginkan kesedihan ini terjadi. Izinkan hamba untuk selalu menjaga dan merawatnya sampai dewasa nanti,' harap Sesil dalam hati.Harapan yang sama yang tengah diucapkan Sabrina saat ini. Dalam perjalanan pulang bersama suaminya, Sabrina masih memikirkan perasaan A
"Aku dan Aksa akan melayat, Mba. Aku akan mengantar Aksa. Kasihan kan," balas Sesil.Sabrina kembali dibuat dilema. Bagaimana mungkin ia akan tega membiarkan Aksa bersedih sendirian. Anak itu telah kehilangan segalanya. Orang tua satu-satunya Aksa kini turut berpulang ke sisi Tuhan karena penyakit komplikasi yang diidap. Sabrina tak pernah menyangka dengan kehidupan mantan suaminya yang memilukan."Sil, aku juga ingin ikut melayat. Aku kasihan pada Aksa. Tapi aku akan minta izin Mas Jaka terlebih dahulu ya," kata Sabrina. Ia masih menempelkan benda pipih itu pada telinganya."Kita ketemu di rumah tahanan saja ya, Mba. Kasihan Aksa tak bisa menunggu lagi." Sesil kembali bicara."Iya, aku ingin bicara dengan Aksa terlebih dahulu " pinta Sabrina."Boleh, Mba." Dalam detik yang sama, sepertinya Sesil langsung memberikan ponsel pintarnya pada Aksa."Iya, Ibu." Suara Aksa terdengar bergetar berat."Aksa, dengarkan Ibu ya. Tetap tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Aksa dan Kak Sesil pergi
Sabrina sudah berdiri di depan rumah. Ia segera bertanya pada security di depan rumahnya."Mas, itu ambulance kemana?" tanya Sabrina pada pria berseragam layaknya security di rumahnya itu. Degup jantungnya masih sama, sebab suara sirine ambulance semakian mendekati arah rumahnya."Itu ada tetangga rumah sebelah yang meninggal, Non," jawab Security Sabrina.Seketika Sabrina menghela napas lega. "Saya pikir siapa. Kaget banget," desisnya. Akhirnya napas yang sempat tersengal kini mulai terasa lancar."Hanya tetangga, Non. Kabarnya meninggal karena kecelakaan," jelas security itu lagi."Ya sudah saya masuk lagi ya. Kabari saya kalau Mas Jaka pulang," pinta Sabrina."Siap, Non." Pria itu dengan tegasnya.Sabrina kemudian segera masuk kembali ke rumahnya. Ia masih belum juga tenang sebab belum mendapatkan kabar dari suaminya. Ia tak bisa menelepon Jaka lagi, sebab anak kembarnya minta ASI. Seperti biasa, Sabrina menyusui anak kembarnya secara bergantian. Ia selalu melakukan kewajibannya se
"Klinik yang di dekat toko, Mba. Duh kasihan sekali Aksa. Aku sampai gak tega melihatnya. Sedari tadi Aksa mengigau nama papanya terus," kata Sesil lagi."Ya Tuhan, kasihan sekali Aksa. Memangnya kamu gak pernah bawa Aksa nengokin papanya di penjara?" Sabrina bertanya lagi."Sudah, Mba. Ceritanya dua hari yang lalu Aksa ingin bertemu papanya di penjara, aku mengabulkan keinginan Aksa. Ternyata Mas Hasbi sakit Mba. Semenjak saat itu Aksa terus saja memikirkan papanya." Sesil menjelaskan."Mas Hasbi sakit apa memangnya?" Lagi-lagi Sabrina bertanya. Ia masih menempelkan ponsel pintar pada telinganya."Katanya komplikasi, Mba. Sakit paru-paru dan lambung kronis. Aksa sampai sedih melihat papanya. Saat ini ada di klinik tahanan tengah dirawat oleh perawat di sana," kata Sesil."Ya Tuhan, sungguh aku kasihan pada Aksa. Anak sekecil Aksa sudah memiliki banyak sekali beban. Sebenarnya aku ingin menemui Aksa sekarang, tapi keadaannya tidak memungkinkan, Sil," terang Sabrina pada adiknya."Kena