Setelah mengantarkan Aksa, kendaraan roda dua milik Sabrina sudah terparkir di depan toko Sabrina's Cake. Wanita itu kembali berjibaku dengan urusannya. Menghandle tugas yang tak bisa dilakukan Sesil.Tak kenal lelah, Sabrina nampak semangat. Apalagi saat melihat pembeli yang tak henti-hentinya mengantri membuat lelah Sabrina terbayarkan.Menjelang petang stok cake telah habis terjual. Semua kariyawan bertepuk tangan bahagia. Mereka dikumpulkan Sabrina berjajar dengan rapih karena toko harus tutup lebih awal."Semakin hari kerja kalian semakin bagus. Saya bangga pada kinerja kalian," ungkap Sabrina di hadapan beberapa kariyawannya."Saya juga mengucapkan terima kasih pada, Pastry Chef. Atas kinerja yang sangat bagus dan teliti dalam membuat cake di toko ini," lanjut Sabrina mengucapkan rasa terima kasihnya pada seorang pria yang bertugas sebagai Pastry Chef yang berdiri di dekatnya. Bagi Sabrina, Pastry Chef merupakan pemeran yang paling utama dalam cita rasa setiap cake and bakery ya
Jaka menoleh pada Sabrina. Dilihatnya kembali wajah wanita di sampingnya. Tampak gugup dan membuang tatapannya ke arah yang lain. Semakin terlihat jelas dalam pandangan Jaka, kalau wanita di sampingnya itu memang tengah gundah."Pernikahanku dengan Sesil akan berlangsung setelah Sesil wisuda nanti. Pikirkan baik-baik, Sabi."Setelah itu Jaka kembali lagi pada Sesil di area yang lain. Ia meninggalkan Sabrina sendirian.Akhirnya Sabrina kembali meneteskan air mata di pipinya. Bibirnya bergetar. Apakah Sabrina benar-benar akan kehilangan Jaka untuk selamanya? Wanita itu melangkah pelan menuju tempat duduk dari besi berwarna merah di ujung jembatan. Sabrina duduk di sana. Berkali-kali ia menghapus air mata namun tetap saja cairan bening itu tak mau berhenti keluar.'Ya Tuhan, mengapa aku jadi seperti ini,' lirih Sabrina dalam hati. Melihat sikap Jaka tadi, rasanya ia tidak kuat. Bagai tertusuk duri sembilu dan terasa menyakitkan.Sabrina merogoh tas selempang. Ia mengambil ponsel pintar
Sabrina tercengang. Apa yang ingin dikatakan anak itu? Sabrina dibuat ragu. Jika bukan Aksa yang datang, jangankan dipersilahkan masuk dan duduk, untuk sekedar membuka pintu saja mungkin tak akan Sabrina lakukan.Aksa dan Hasbi masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Sabrina tetap berusaha netral dan ramah pada tamunya hari ini. Dua gelas air teh manis hangat sudah Sabrina sajikan di atas meja beserta cemilan cake dari lemari pendingin."Apa yang ingin Aksa bicarakan pada Ibu? Katakanlah, sebab itu tak punya waktu banyak. Ibu harus pergi ke tempat lain," kata Sabrina. Tak mau terlalu lama berhadapan dengan Hasbi, tanpa basa-basi ia langsung merangkai alasan."Bu Guru, Aksa senang sekali. Akhirnya Papa gak marah lagi walau pun Aksa bertemu dengan Bu Guru," lapor Aksa. Raut wajahnya terlihat senang dengan menampilkan senyuman riang.Rupanya anak laki-laki itu ingin mengutarakan rasa bahagianya karena Hasbi tak lagi marah walau pun mengetahui kedekatan Sabrina dengan anaknya.Namun laporan A
Sabrina sempat terkejut melihat Sesil dan Jaka datang. Tapi ia berusaha tetap tenang."Tidak ada apa-apa." Sabrina segera berlalu dari hadapan Sesil dan Jaka."Tunggu, Mba." Sesil segera menahan langkah kakaknya."Apa, Sil?" Sabrina pun menghentikan langkahnya.Sesil segera berdiri menghadang langkah kakaknya. "Mba, untuk apa Mba Sabi bertemu Mas Hasbi? Ada apa ini? Apa Mba Sabi lupa dengan kelakuan Mas Hasbi yang jahat?" Deretan pertanyaan yang keluar dari mulut Sesil adalah pertanyaan yang juga ingin dikeluarkan oleh Jaka yang masih berdiri di samping Sesil. Namun, Jaka memilih diam karena ada Sesil di dekatnya."Tidak ada apa-apa. Mas Hasbi hanya datang untuk mampir sebentar bersama anaknya. Aku gak bisa mengusirnya. Gak enak sama anaknya. Kalau saja Mas Hasbi datang sendiri, sudah pasti akan aku usir," jelas Sabrina.Namun nampaknya Sesil dan Jaka tak percaya. "Mba Sabi yakin?""Yakinlah, Sil. Jangan berpikir yang aneh-aneh." Sabrina berlalu dari hadapan Jaka dan Sesil. Ia memili
Jaka tak bergeming. Dia melangkah lebih mendekati Hasbi. Dia tak terlihat takit. Yang ada padanya saat ini adalah kemarahan yang sudah tak terbendung."Anda yang lancang mendatangi Sabrina. Sudah saya katakan, jangan sekali-sekali anda mengganggu Sabrina. Tapi Anda melanggarnya. Apa mau Anda hah?!" Jaka berbicara dengan hardiknya. Suaranya menggelegar memecah gendah telinga para tetangga yang tak sengaja lewat di depan rumah Hasbi."Sabrina bukan siapa-siapa Anda! Anda tak berhak melarang siapa pun bertemu dengannya!" Dengan rahang yang nampak mengeras, Hasbi menunjuk-nunjuk Jaka dengan emosi sudah naik ke ubun-ubun."Manusia tidak tahu malu dengar baik-baik, sekali lagi Anda masih berani menemui Sabrina, maka jangan salahkan saya jika saya berbuat lebih tegas lagi pada Anda!" sergah Jaka. Ia menahan emosi yang membludak tatkala tetangga Jaka berkerumun di depan gerbang rumah Adhitama. Bukan takut, Jaka hanya tidak mau berbuat kotor. Ia memilih pergi dengan kendaraan roda empatnya di
Setelah mengeluarkan bentakannya, Hasbi segera membawa Aksa kembali ke dalam rumahnya. "Mas, kembalikan anakku!" Teriakan Miranda pun tak mampu menahan langkah Hasbi yang tetap membawa Aksa kembali."Papa, jangan marahin Mama lagi." Aksa merengek dalam pangkuan papanya."Papa tidak marah. Papa hanya tidak mau Mama pergi membawa kamu, Nak," balas Hasbi. Ia membawa Aksa ke kamar papanya."Apa-apaan kamu, Hasbi! Sikapmu sungguh memalukan," tegur Adhitama akhirnya tak tinggal diam."Miranda selalu saja begitu, Pa. Dia selalu menyalahkanku. Dia selalu curiga dan marah-marah. Dia tidak sadar kalau semua kehancuran yang terjadi padaku karena disebabkan olehnya." Hasbi tak bisa lagi menutupi kemarahannya."Iya tapi bukan seperti ini caranya," tegur Adhitama lagi."Maaf, Pa. Aku akan berbicara dengan tegas pada Miranda. Titip Aksa di sini. Aku tak akan membiarkan Miranda membawa Aksa kemana pun." Setelah menitipkan Aksa di kamar papanya, Hasbi segera melangkah dengan cepat ke depan rumah.
Keesokan harinya, Miranda sudah bersiap-siap akan mengantar Aksa ke sekolah. Namun melihat pemandangan yang tak biasa membuat Hasbi menatap istrinya penuh selidik."Kamu mau kemana?" tanya Hasbi."Aku mau antar Aksa ke sekolah," jawab Miranda beralasan. Ia tak akan mungkin mengatakan alasan yang sebenarnya tentang rencananya bersama Aksa semalam."Tidak perlu. Kamu tak akan bisa, Mira. Biarkan aku saja yang akan mengantar Aksa ke sekolah." Hasbi segera menarik tangan anaknya dari dekat Miranda."Papa, Aksa mau diantar Mama," rengek Aksa. Anak laki-laki itu terlihat mendukung mamanya."Tidak, Sayang. Mama gak bisa jalan. Biar Papa saja yang antar. Jangan membantah ini sudah siang jangan sampai terlambat. Papa akan antar kamu dengan motor agar tiba lebih cepat." Tanpa membiarkan Miranda keluar rumah, Hasbi segera menarik tangan anaknya dengan lembut menuju kendaraan roda dua di depan rumah.Hasbi tak membiarkan Miranda keluar rumah. Dia sudah menitipkan istrinya pada Adhitama agar tetap
Sabrina mematung dalam beberapa saat untuk berpikir. Bagaimana bisa ia menghadiri makan malam antara Jaka dan Sesil. Apalagi undangan makan malam itu datangnya dari Jeni—mamanya Jaka, sudah bisa ditebak akan ada pembicaraan serius setelah itu."Mba, mau kan? Please!" Nyatanya Sesil masih merengek memohon agar kakaknya mengabulkan permintaannya."Ya sudah, aku akan ikut. Aku akan pulang dulu untuk bersih-bersih dan ganti baju," jawab Sabrina akhirnya. Ia mengalah lagi demi Sesil.Gadis itu langsung menyeringai senang mendengar jawaban kakaknya. Sesil langsung bangkit dari tempat duduk secepat mungkin memeluk kakaknya sampai Sabrina terkejut."Terima kasih banyak ya, Mba. Mba Sabi selalu menuruti keinginanku," ucap Sesil masih memeluk Sabrina erat."Iya iya." Sabrina juga merasa senang tatkala melihat kebahagiaan yang dirasakan Sesil.Dua saudara kakak beradik itu langsung pulang untuk segera bersiap-siap. Apalagi mentari sebentar lagi akan segera tenggelam di ufuk barat. Sementara tok
Suatu hari Jaka memanggil Sabrina dan anak-anaknya di ruang keluarga. Di sana juga ada Jeni yang turut serta hadir. Jaka meminta pada Sabrina untuk bersiap-siap karena mereka akan pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian baru.Awalnya Sabrina terlihat ragu menerima tawaran suaminya, akan tetapi ia menyanggupi karena Jaka memaksa dan tak mau ditolak ajakannya.Hingga akhirnya dua kendaraan roda empat akan melaju menuju pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa pakaian baru. Dua mobil itu berisi Jaka, Sabrina, Jeni dan empat anak termasuk suster yang turut serta mendampingin. Mereka akan belanja bersama terutama untuk keperluan ulang tahun Aksa yang tinggal menghitung hari.Sabrina nampak berjalan seiringan dengan Jaka setelah sampai di pusat perbelanjaan. Jaka meminta Sabrina memilih apa pun yang diinginkan. Wanita mana yang tak bahagia dengan perlakuan suami seperti Jaka. Sabrina bagaikan satu-satunya wanita paling beruntung di dunia."Sayang, kamu pilih apa pun yang kamu but
"Kenapa, Ma?" Sabrina segera bertanya. Tentu ia masih terkajut dengan jawaban mertuanya."Tapi bohong. Mama setuju dong. Masa iya Mama gak setuju," ralat Jeni yang rupanya hanya bercanda saja.Seketika Sabrina dan Aksa menghela napas lega secara bersamaan."Ya ampun, Mama. Sungguh aku sampai kaget. Aku pikir Mama benar-benar gak setuju." Sabrina mengusap dadanya. Tak disangka kalau mertuanya senang bergurau."Omah, Aksa juga kaget," timpal Aksa masih memasang wajah terkejutnya.Gegas Jeni memeluk Aksa. "Maaf, Sayang. Omah bercanda. Omah 'kan sayang sama Aksa, masa iya gak setuju. Kita akan rayakan ulang tahun Aksa dengan meriah ya. Pokonya kita akan happy-happy," sambutnya. Jeni tampak menampilkan wajah bahagianya kali ini."Terima kasih, Omah. Aksa sayang sekali sama Omah," ucap Aksa yang kembali memeluk Jeni."Omah juga sayang sama, Aksa," balas Jeni.Melihat itu, Sabrina semakin melebarkan senyumannya. Ia semakin dibuat bahagia dengan keadaan di rumah mewah itu."Terima kasih ya, M
Mendengar cerita Sabrina, seketika Jeni tercengang. "Lalu, apa yang Raisa sampaikan sama kamu, Sabi?" tanyanya penasaran."Raisa mengucapkan terima kasih padaku, Ma. Dia berterima kasih karena aku tela merawat dan menjaga Abang Yusuf dengan baik." Sabrina kembali menjelaskan.Isi dada Jeni terasa bergetar mendengar itu. "Pasti Raisa merasa tenang di alam sana. Kamu telah menjaga Yusuf dengan baik. Mama yakin Raisa bangga padamu, Sabi."Sabrina menurunkan tatapan. Ia masih ingat dengan jelas wajah Raisa kala itu. "Semoga saja ya, Ma. Aku tidak menganggap Abang Yusuf anak tiri kok. Meski pun dia tak lahir dari rahimku, aku menyayanginya bagai anak kandung sendiri," tuturnya."Karena kamu memang wanita baik, Sabi. Mama sungguh bangga bisa mendapatkan menantu seperti kamu. Jaka memang tak pernah salah mencintai kamu," balas Jeni. Sabrina hanya bisa menyodorkan senyuman saat sang mertua memujinya.Sampai saat ini dunia Sabrina memang terasa lebih berwarna dari biasanya. Anak-anaknya berpa
Satu bulan kemudian keluarga Dirgantara nampak disibukan dengan persiapan pernikahan Sesil yang tinggal menghitung hari.Adik Sabrina itu nampak disibukan dengan segala macam persiapan menjelang pernikahannya. Hingga Sabrina pun harus turun tangan dalam membantu adik kandungnya itu.Hingga tiba pada saat ijab kabul pernikahan terucap dengan lantangnya oleh pria yang Sesil cintai. Pernikahan telah sah dilangsungkan dan Sesil telah diperistri kekasihnya. Satu hari usai pernikahan, Sesil dan suaminya langsung terbang ke bali untuk bulan madu selama satu minggu. Tentu suasana saat ini semakin membuat Sabrina lega dan bahagia karena tugasnya menjaga Sesil kini telah berpindah pada suami Sesil.Sabrina kian merasa bahagia dengan keluarga saat ini. Ia juga bahagia dengan kesibukannya saat ini sebagai ibu rumah tangga untuk empat anak-anaknya.Pagi ini bahkan Sabrina nampak sibuk menyiapkan perlengkapan sekolah Aksa. Sabrina juga selalu menemani Aksa sarapan di ruang makan bersama Jaka yang j
Sabrina dan Jaka mengukir senyuman yang lebar tatkala melihat Sesil dan Jeni berpelukan. Keluarga yang nyaris sempurna setelah beberapa kali terpa ujian."Permisi, Nyonya. Makan malam sudah siap." Ijah melapor pada majikannya yang tengah bercengkerama."Oh iya. Terima kasih, Jah," ucap Jeni.Ijah tersenyum. "Sama-sama, Nyonya," balasnya kemudian berlalu setelah tugasnya selesai.Sementara Jeni segera mengajak keluarganya untuk segera makan malam, "Ayo kita makan malam bersama dulu yu."Serentak Sabrina, Aksa, Jaka dan Sesil mengangguk secara bersamaan sebagai pertanda mengiyakan ajakan Jeni barusan. Gegas mereka beranjak dari tempat duduk beralih menuju ruang makan.Di atas meja makan sudah tersaji aneka makanan yang lezat hasil dari masakan Ijah. Pembantu rumah tangga itu memang spesial memasak untuk malam ini. Melihat keluarga majikannya yang akur dan bahagia, ia merasa sangat senang.Ijah, Siti dan Iyem yang berada di ruangan sebelah ruang makan nampak tersenyum melihat kebersamaan
Sabrina akhirnya membiarkan Aksa tetap ikut bersama Sesil. Ia juga paham sebab tak ada yang menemani Sesil di rumahnya. Sabrina kembali masuk ke mobil suaminya.Sementara Aksa satu mobil bersama Sesil akan kembali ke rumahnya. Suasana hati Aksa sedikit membaik setelah ditenangkan oleh Sabrina tadi. Air matanya sudah surut namun ia memilih tetap diam dalam perjalanan pulang tanpa banyak bicara.Sesekali sebelah tangan Sesil mengusap rambut tebal Aksa. Sulit dijelaskan, tapi dia sudah menyayangi Aksa. Aksa memang terlahir dari orang tua yang tak lain adalah mantan suami Sabrina tapi Sesil tak lagi mempermasalahkan itu. Ia sudah menyayangi Aksa dengan sebenar-benarnya.'Ya Tuhan, anak kecil di dekatku sungguh malang. Dia tak menginginkan kesedihan ini terjadi. Izinkan hamba untuk selalu menjaga dan merawatnya sampai dewasa nanti,' harap Sesil dalam hati.Harapan yang sama yang tengah diucapkan Sabrina saat ini. Dalam perjalanan pulang bersama suaminya, Sabrina masih memikirkan perasaan A
"Aku dan Aksa akan melayat, Mba. Aku akan mengantar Aksa. Kasihan kan," balas Sesil.Sabrina kembali dibuat dilema. Bagaimana mungkin ia akan tega membiarkan Aksa bersedih sendirian. Anak itu telah kehilangan segalanya. Orang tua satu-satunya Aksa kini turut berpulang ke sisi Tuhan karena penyakit komplikasi yang diidap. Sabrina tak pernah menyangka dengan kehidupan mantan suaminya yang memilukan."Sil, aku juga ingin ikut melayat. Aku kasihan pada Aksa. Tapi aku akan minta izin Mas Jaka terlebih dahulu ya," kata Sabrina. Ia masih menempelkan benda pipih itu pada telinganya."Kita ketemu di rumah tahanan saja ya, Mba. Kasihan Aksa tak bisa menunggu lagi." Sesil kembali bicara."Iya, aku ingin bicara dengan Aksa terlebih dahulu " pinta Sabrina."Boleh, Mba." Dalam detik yang sama, sepertinya Sesil langsung memberikan ponsel pintarnya pada Aksa."Iya, Ibu." Suara Aksa terdengar bergetar berat."Aksa, dengarkan Ibu ya. Tetap tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Aksa dan Kak Sesil pergi
Sabrina sudah berdiri di depan rumah. Ia segera bertanya pada security di depan rumahnya."Mas, itu ambulance kemana?" tanya Sabrina pada pria berseragam layaknya security di rumahnya itu. Degup jantungnya masih sama, sebab suara sirine ambulance semakian mendekati arah rumahnya."Itu ada tetangga rumah sebelah yang meninggal, Non," jawab Security Sabrina.Seketika Sabrina menghela napas lega. "Saya pikir siapa. Kaget banget," desisnya. Akhirnya napas yang sempat tersengal kini mulai terasa lancar."Hanya tetangga, Non. Kabarnya meninggal karena kecelakaan," jelas security itu lagi."Ya sudah saya masuk lagi ya. Kabari saya kalau Mas Jaka pulang," pinta Sabrina."Siap, Non." Pria itu dengan tegasnya.Sabrina kemudian segera masuk kembali ke rumahnya. Ia masih belum juga tenang sebab belum mendapatkan kabar dari suaminya. Ia tak bisa menelepon Jaka lagi, sebab anak kembarnya minta ASI. Seperti biasa, Sabrina menyusui anak kembarnya secara bergantian. Ia selalu melakukan kewajibannya se
"Klinik yang di dekat toko, Mba. Duh kasihan sekali Aksa. Aku sampai gak tega melihatnya. Sedari tadi Aksa mengigau nama papanya terus," kata Sesil lagi."Ya Tuhan, kasihan sekali Aksa. Memangnya kamu gak pernah bawa Aksa nengokin papanya di penjara?" Sabrina bertanya lagi."Sudah, Mba. Ceritanya dua hari yang lalu Aksa ingin bertemu papanya di penjara, aku mengabulkan keinginan Aksa. Ternyata Mas Hasbi sakit Mba. Semenjak saat itu Aksa terus saja memikirkan papanya." Sesil menjelaskan."Mas Hasbi sakit apa memangnya?" Lagi-lagi Sabrina bertanya. Ia masih menempelkan ponsel pintar pada telinganya."Katanya komplikasi, Mba. Sakit paru-paru dan lambung kronis. Aksa sampai sedih melihat papanya. Saat ini ada di klinik tahanan tengah dirawat oleh perawat di sana," kata Sesil."Ya Tuhan, sungguh aku kasihan pada Aksa. Anak sekecil Aksa sudah memiliki banyak sekali beban. Sebenarnya aku ingin menemui Aksa sekarang, tapi keadaannya tidak memungkinkan, Sil," terang Sabrina pada adiknya."Kena