Kendaraan roda empat berwarna hitam nampak melaju dengan kencang menuju rumah sakit. Jaka yang mengemudikan mobilnya nampak semakin cemas tatkala melihat Sabrina terus saja meringgis kesakitan."Sabar ya, Sayang. Sebentar lagi kita akan segera sampai." Tatapan Jaka tetap fokus ke jalan raya. Ia tak boleh lengah.Sabrina tak menjawab apa-apa. Ia tengah menahan rasa sakit pada perut bagian bawah. Rasanya panas dan mules. Entah apa yang terjadi dengan perutnya. Ia berharap, janin yang tengah hidup di dalam perutnya tetap dalam keadaan sehat.Sesampainya di rumah sakit, Jaka segera membopong tubuh Sabrina ke ruang IGD. Ia segera meminta pertolongan pada petugas medis yang berjaga pada waktu yang sebentar lagi akan segera subuh."Sus, tolong istri saya. Perutnya kesakitan. Ada pendarahan pula," lapor Jaka."Baik, Pak. Mohon tunggu sebentar kami akan segera memeriksanya," kata petugas medis berseragam serba putih di depannya.Namun, sepertinya rasa sakit pada perut Sabrina ini berbeda dari
Sabrina masih saja berpacu dalam kesedihan. Air matanya tak bisa dibendung walau Jaka terus menghapusnya."Sayang, aku tahu terpukulnya kamu saat ini. Tapi aku yakin, kesedihan ini tak akan berlangsung lama. Kamu harus kuat. Kita sudah berjanji akan menghadapi ujian ini bersama-sama," tutur Jaka. Tangannya masih menggenggam tangan Sabrina."Aku akan membuat Mama kecewa. Lagi-lagi aku akan membuat Mama bersedih," lirih Sabrina."Sayang, jangan katakan apa pun pada Mama ya. Kita akan menunggu waktu yang tepat, namun tidak hari ini," pinta Jaka.Seketika dahi Sabrina mengkerut. "Kenapa?" Suara seraknya bertanya."Aku rasa kamu belum siap membahas ini sekarang. Sebentar lagi Mama akan segera tiba. Tolong jangan katakan apa pun pada Mama. Kita akan menunggu waktu yang pas nanti," terang Jaka.Sabrina mematung dalam beberapa saat. Ia merasa kalau apa yang Jaka sarankan ada benarnya. Isi hati Sabrina tengah terguncang, ia belum siap membahas kekecewaan ini pada mertuanya."Yang, aku hanya me
"Mas!" Sabrina mengeraskan nada suaranya saat memanggil Jaka."Ya," sahut Jaka. Sabrina meminta Jaka mendekat dengan isyarat telapak tangan."Ada apa?" tanya Jaka setelah mendekat kaca mobil yang di dalamnya ada Sabrina."Ajak Raisa, Mas. Aku mohon. Katakan padanya kalau aku ingin bicara penting dengannya," pinta Sabrina memohon."Untuk apa, Sayang? Tolong jangan aneh-aneh." Dahi Jaka mengkerut."Please, Mas! Aku mohon. Aku ingin bicara serius dengan Raisa." Sabrina menautkan kedua telapak tangannya.Lagi-lagi Jaka tak bisa membantah. Dengan berat hati ia menyampaikan permintaan Sabrina pada Raisa.Awalnya Raisa menolak, namun berhubung permintaan Sabrina yang tengah sakit, akhirnya Raisa mengiyakan.Mantan wanita penghibur itu terlebih dahulu menitipkan sepeda gowesnya pada teman sesama pedagang kopi keliling. Ia kemudian masuk ke mobil Jaka dan duduk di kursi belakang."Maaf, Mba Sabi. Ada apa ya?" Raisa segera bertanya pada Sabrina yang duduk di depannya."Saya ingin bicara serius
Jaka terlihat menekan kepalanya dengan kedua tangan. Ia tak pernah membayangkan kalau permintaan Sabrina pada Raisa akan separah ini."Aku tidak akan menikah lagi dengan siapa pun, Sabi. Aku hanya mencintai kamu," tekan Jaka."Aku sangat tahu itu, Mas. Aku sangat percaya dengan cintamu. Aku juga tidak menginginkan ini." Sabrina menurunkan tatapan. Ia merasa sudah kehabisan akal sehat. Ia tak bisa lagi berpikir secara jernih.Tatapan Sabrina kembali beralih pada Raisa yang masih mematung."Raisa, maukah kamu menolongku? Menikah siri dengan Mas Jaka untuk mendapatkan anak," pinta Sabrina lagi. Wajah memelasnya sudah bergelimang air mata. Permintaan itu cukup berat bagi mereka bertiga."Saya tidak mau, Mba," tolak Raisa cepat."Saya ingin hidup damai. Saya sudah lama berhenti menjajakan tubuh pada pria kesepian. Saya ingin bertaubat. Sudah cukup dosa besar yang saya lakukan di masa lalu," lanjutnya."Ini bukan berzina, Raisa. Saya hanya ingin kehadiran anak. Benih itu akan dititipkan sec
Tanpa Jeni sadari senyuman balasan dari Jaka dan Sabrina kali ini palsu. Mereka terpaksa mengukir senyum dalam keadaan isi hati yang tak baik-baik saja."Kamu sudah pulih kan?" Jeni memastikan sekali lagi."Aku sudah sehat, Ma." Sabrina menganggukan kepala."Lalu, apa kata Dokter?" Jeni bertanya lagi. Sepertinya wanita paruh baya itu memang harus memastikan keadaan Sabrina yang sebenarnya."Hanya kelelahan saja, Ma. Mungkin akibat tekanan darah kurang," terang Sabrina sambil menelan saliva cukup berat. Bagaimana tidak, lagi-lagi ia harus berbohong pada mertuanya. Entah sampai kapan kebohongannya akan terus lakukan."Oh begitu. Kamu tenang saja ya. Mulai hari ini, biarkan Mama yang urus segala keperluan. Mama juga yang akan mengurus makanan untuk kamu agar tekanan darah kamu dapat kembali normal." Jeni nampak antusias."Aku gak mau Mama kelelahan." Sabrina terlihat mengkhawatirkan mertuanya."Tidak usah khawatir. Di sini ada tiga pembantu rumah tangga. Mereka yang akan membantu Mama. A
Baik Sabrina mau pun Jaka sama-sama belum mengatakan apa-apa pada Jeni. Keduanya masih menutupi perihal keguguran yang dialami Sabrina kemarin lalu."Ma, aku berangkat ke kantor dulu ya. Titip Sabi." Setelah sarapannya selesai, Jaka beranjak dari tempat duduk kemudian ia memakai jas yang menggantung di bahu kursi."Iya, Jaka. Tenang saja. Sabrina akan aman. Gak akan kecapean lagi. Mama janji akan menjaga menantu kesayangan Mama," sahut Jeni tersenyum antusias.Setelah memakai jas. Jaka segera mengecup kening istrinya sambil berbisik, "Aku ke kantor dulu ya."Sabrina mengangguk. "Iya. Pulang jam berapa?" tanyanya."Gak lama. Setelah urusan kantor selesai, aku akan segera pulang lebih cepat," balas Jaka. Setelah mengecup kening Sabrina, Jaka selalu mengusap pucuk rambut wanita berlesung pipi itu. Terlihat sangat menyayangi Sabrina.Setelah Jaka berangkat ke kantor. Hanya Jeni dan Sabrina saja di ruang makan itu. Sabrina tak banyak bicara. Bukan apa-apa, ia hanya merasa khawatir jika aka
Telepon yang baru saja masuk pada ponsel Sabrina itu ternyata datangnya dari Raisa.Seketika Sabrina menyeringai. Ia berharap ada kabar baik dari wanita di seberang sana."Raisa, jadi bagaimana?" Tak mau basa-basi Sabrina langsung bertanya perihal permintaannya."Apa kita bisa ketemu, Mba?" tanya Raisa di seberang sana.Tak mau berpikir panjang, Sabrina dengan cepat menjawab, "Bisa. Kita akan ketemu dimana?" "Nanti aku akan share lokasinya ya, Mba. Kita akan ketemu sore ini," kata Raisa."Oke. Aku akan datang bersama Mas Jaka." Sabrina mengiyakan.Sambungan telepon itu berakhir. Sabrina menurunkan benda pipi itu dari telinganya. Digenggam kuat dengan isi dada yang tiba-tiba bergetar hebat."Entah apa yang aku rasakan saat ini. Aku tak tahu harus bahagia atau berduka. Telepon dari Raisa seperti warna pelangi yang datang setelah hujan. Tapi bukankah itu artinya aku harus membagi suamiku." Sabrina berbicara sendirian. Bulir bening itu kembali menetes di wajah cantiknya.Bagai makan buah
"Apa yang ingin kamu sampaikan?"Sabrina sudah tak sabar saat Raisa masih mematung kaku."Saya sudah membuat keputusan, Mba," jawab Raisa sambil menarik napas cukup dalam.Melihat itu, Sabrina tampak menyeringai. Meski dalam hati ia merasa ada yang tertusuk."Bagaimana dengan keputusan kamu, Raisa? Apa kamu mau membantu kami agar memiliki momongan?" Sabrina nampak menatap Raisa penuh harap. Sebelah tangan kanannya saling menggenggam erat dengan Jaka. Sepasang suami istri itu saling menguatkan satu sama lain.Sebelum menjawab, Raisa tampak mengatur napas. Isi dadanya berdebar lebih kencang dari biasanya. Ia hanya sedikit merasa khawatir kalau keputusannya bukan yang terbaik."Saya putuskan, saya akan membantu Mba Sabi dan Pak Jaka. Saya bersedia menikah siri dengan Pak Jaka. Namun setelah mendapatkan momongan, saya akan pergi." Raisa menjelaskan.Mendengar keputusan Raisa baru saja, seketika Sabrina tersenyum haru. Bersamaan dengan itu, terlihat ada bulir bening yang menetes dari sudut
Suatu hari Jaka memanggil Sabrina dan anak-anaknya di ruang keluarga. Di sana juga ada Jeni yang turut serta hadir. Jaka meminta pada Sabrina untuk bersiap-siap karena mereka akan pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian baru.Awalnya Sabrina terlihat ragu menerima tawaran suaminya, akan tetapi ia menyanggupi karena Jaka memaksa dan tak mau ditolak ajakannya.Hingga akhirnya dua kendaraan roda empat akan melaju menuju pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa pakaian baru. Dua mobil itu berisi Jaka, Sabrina, Jeni dan empat anak termasuk suster yang turut serta mendampingin. Mereka akan belanja bersama terutama untuk keperluan ulang tahun Aksa yang tinggal menghitung hari.Sabrina nampak berjalan seiringan dengan Jaka setelah sampai di pusat perbelanjaan. Jaka meminta Sabrina memilih apa pun yang diinginkan. Wanita mana yang tak bahagia dengan perlakuan suami seperti Jaka. Sabrina bagaikan satu-satunya wanita paling beruntung di dunia."Sayang, kamu pilih apa pun yang kamu but
"Kenapa, Ma?" Sabrina segera bertanya. Tentu ia masih terkajut dengan jawaban mertuanya."Tapi bohong. Mama setuju dong. Masa iya Mama gak setuju," ralat Jeni yang rupanya hanya bercanda saja.Seketika Sabrina dan Aksa menghela napas lega secara bersamaan."Ya ampun, Mama. Sungguh aku sampai kaget. Aku pikir Mama benar-benar gak setuju." Sabrina mengusap dadanya. Tak disangka kalau mertuanya senang bergurau."Omah, Aksa juga kaget," timpal Aksa masih memasang wajah terkejutnya.Gegas Jeni memeluk Aksa. "Maaf, Sayang. Omah bercanda. Omah 'kan sayang sama Aksa, masa iya gak setuju. Kita akan rayakan ulang tahun Aksa dengan meriah ya. Pokonya kita akan happy-happy," sambutnya. Jeni tampak menampilkan wajah bahagianya kali ini."Terima kasih, Omah. Aksa sayang sekali sama Omah," ucap Aksa yang kembali memeluk Jeni."Omah juga sayang sama, Aksa," balas Jeni.Melihat itu, Sabrina semakin melebarkan senyumannya. Ia semakin dibuat bahagia dengan keadaan di rumah mewah itu."Terima kasih ya, M
Mendengar cerita Sabrina, seketika Jeni tercengang. "Lalu, apa yang Raisa sampaikan sama kamu, Sabi?" tanyanya penasaran."Raisa mengucapkan terima kasih padaku, Ma. Dia berterima kasih karena aku tela merawat dan menjaga Abang Yusuf dengan baik." Sabrina kembali menjelaskan.Isi dada Jeni terasa bergetar mendengar itu. "Pasti Raisa merasa tenang di alam sana. Kamu telah menjaga Yusuf dengan baik. Mama yakin Raisa bangga padamu, Sabi."Sabrina menurunkan tatapan. Ia masih ingat dengan jelas wajah Raisa kala itu. "Semoga saja ya, Ma. Aku tidak menganggap Abang Yusuf anak tiri kok. Meski pun dia tak lahir dari rahimku, aku menyayanginya bagai anak kandung sendiri," tuturnya."Karena kamu memang wanita baik, Sabi. Mama sungguh bangga bisa mendapatkan menantu seperti kamu. Jaka memang tak pernah salah mencintai kamu," balas Jeni. Sabrina hanya bisa menyodorkan senyuman saat sang mertua memujinya.Sampai saat ini dunia Sabrina memang terasa lebih berwarna dari biasanya. Anak-anaknya berpa
Satu bulan kemudian keluarga Dirgantara nampak disibukan dengan persiapan pernikahan Sesil yang tinggal menghitung hari.Adik Sabrina itu nampak disibukan dengan segala macam persiapan menjelang pernikahannya. Hingga Sabrina pun harus turun tangan dalam membantu adik kandungnya itu.Hingga tiba pada saat ijab kabul pernikahan terucap dengan lantangnya oleh pria yang Sesil cintai. Pernikahan telah sah dilangsungkan dan Sesil telah diperistri kekasihnya. Satu hari usai pernikahan, Sesil dan suaminya langsung terbang ke bali untuk bulan madu selama satu minggu. Tentu suasana saat ini semakin membuat Sabrina lega dan bahagia karena tugasnya menjaga Sesil kini telah berpindah pada suami Sesil.Sabrina kian merasa bahagia dengan keluarga saat ini. Ia juga bahagia dengan kesibukannya saat ini sebagai ibu rumah tangga untuk empat anak-anaknya.Pagi ini bahkan Sabrina nampak sibuk menyiapkan perlengkapan sekolah Aksa. Sabrina juga selalu menemani Aksa sarapan di ruang makan bersama Jaka yang j
Sabrina dan Jaka mengukir senyuman yang lebar tatkala melihat Sesil dan Jeni berpelukan. Keluarga yang nyaris sempurna setelah beberapa kali terpa ujian."Permisi, Nyonya. Makan malam sudah siap." Ijah melapor pada majikannya yang tengah bercengkerama."Oh iya. Terima kasih, Jah," ucap Jeni.Ijah tersenyum. "Sama-sama, Nyonya," balasnya kemudian berlalu setelah tugasnya selesai.Sementara Jeni segera mengajak keluarganya untuk segera makan malam, "Ayo kita makan malam bersama dulu yu."Serentak Sabrina, Aksa, Jaka dan Sesil mengangguk secara bersamaan sebagai pertanda mengiyakan ajakan Jeni barusan. Gegas mereka beranjak dari tempat duduk beralih menuju ruang makan.Di atas meja makan sudah tersaji aneka makanan yang lezat hasil dari masakan Ijah. Pembantu rumah tangga itu memang spesial memasak untuk malam ini. Melihat keluarga majikannya yang akur dan bahagia, ia merasa sangat senang.Ijah, Siti dan Iyem yang berada di ruangan sebelah ruang makan nampak tersenyum melihat kebersamaan
Sabrina akhirnya membiarkan Aksa tetap ikut bersama Sesil. Ia juga paham sebab tak ada yang menemani Sesil di rumahnya. Sabrina kembali masuk ke mobil suaminya.Sementara Aksa satu mobil bersama Sesil akan kembali ke rumahnya. Suasana hati Aksa sedikit membaik setelah ditenangkan oleh Sabrina tadi. Air matanya sudah surut namun ia memilih tetap diam dalam perjalanan pulang tanpa banyak bicara.Sesekali sebelah tangan Sesil mengusap rambut tebal Aksa. Sulit dijelaskan, tapi dia sudah menyayangi Aksa. Aksa memang terlahir dari orang tua yang tak lain adalah mantan suami Sabrina tapi Sesil tak lagi mempermasalahkan itu. Ia sudah menyayangi Aksa dengan sebenar-benarnya.'Ya Tuhan, anak kecil di dekatku sungguh malang. Dia tak menginginkan kesedihan ini terjadi. Izinkan hamba untuk selalu menjaga dan merawatnya sampai dewasa nanti,' harap Sesil dalam hati.Harapan yang sama yang tengah diucapkan Sabrina saat ini. Dalam perjalanan pulang bersama suaminya, Sabrina masih memikirkan perasaan A
"Aku dan Aksa akan melayat, Mba. Aku akan mengantar Aksa. Kasihan kan," balas Sesil.Sabrina kembali dibuat dilema. Bagaimana mungkin ia akan tega membiarkan Aksa bersedih sendirian. Anak itu telah kehilangan segalanya. Orang tua satu-satunya Aksa kini turut berpulang ke sisi Tuhan karena penyakit komplikasi yang diidap. Sabrina tak pernah menyangka dengan kehidupan mantan suaminya yang memilukan."Sil, aku juga ingin ikut melayat. Aku kasihan pada Aksa. Tapi aku akan minta izin Mas Jaka terlebih dahulu ya," kata Sabrina. Ia masih menempelkan benda pipih itu pada telinganya."Kita ketemu di rumah tahanan saja ya, Mba. Kasihan Aksa tak bisa menunggu lagi." Sesil kembali bicara."Iya, aku ingin bicara dengan Aksa terlebih dahulu " pinta Sabrina."Boleh, Mba." Dalam detik yang sama, sepertinya Sesil langsung memberikan ponsel pintarnya pada Aksa."Iya, Ibu." Suara Aksa terdengar bergetar berat."Aksa, dengarkan Ibu ya. Tetap tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Aksa dan Kak Sesil pergi
Sabrina sudah berdiri di depan rumah. Ia segera bertanya pada security di depan rumahnya."Mas, itu ambulance kemana?" tanya Sabrina pada pria berseragam layaknya security di rumahnya itu. Degup jantungnya masih sama, sebab suara sirine ambulance semakian mendekati arah rumahnya."Itu ada tetangga rumah sebelah yang meninggal, Non," jawab Security Sabrina.Seketika Sabrina menghela napas lega. "Saya pikir siapa. Kaget banget," desisnya. Akhirnya napas yang sempat tersengal kini mulai terasa lancar."Hanya tetangga, Non. Kabarnya meninggal karena kecelakaan," jelas security itu lagi."Ya sudah saya masuk lagi ya. Kabari saya kalau Mas Jaka pulang," pinta Sabrina."Siap, Non." Pria itu dengan tegasnya.Sabrina kemudian segera masuk kembali ke rumahnya. Ia masih belum juga tenang sebab belum mendapatkan kabar dari suaminya. Ia tak bisa menelepon Jaka lagi, sebab anak kembarnya minta ASI. Seperti biasa, Sabrina menyusui anak kembarnya secara bergantian. Ia selalu melakukan kewajibannya se
"Klinik yang di dekat toko, Mba. Duh kasihan sekali Aksa. Aku sampai gak tega melihatnya. Sedari tadi Aksa mengigau nama papanya terus," kata Sesil lagi."Ya Tuhan, kasihan sekali Aksa. Memangnya kamu gak pernah bawa Aksa nengokin papanya di penjara?" Sabrina bertanya lagi."Sudah, Mba. Ceritanya dua hari yang lalu Aksa ingin bertemu papanya di penjara, aku mengabulkan keinginan Aksa. Ternyata Mas Hasbi sakit Mba. Semenjak saat itu Aksa terus saja memikirkan papanya." Sesil menjelaskan."Mas Hasbi sakit apa memangnya?" Lagi-lagi Sabrina bertanya. Ia masih menempelkan ponsel pintar pada telinganya."Katanya komplikasi, Mba. Sakit paru-paru dan lambung kronis. Aksa sampai sedih melihat papanya. Saat ini ada di klinik tahanan tengah dirawat oleh perawat di sana," kata Sesil."Ya Tuhan, sungguh aku kasihan pada Aksa. Anak sekecil Aksa sudah memiliki banyak sekali beban. Sebenarnya aku ingin menemui Aksa sekarang, tapi keadaannya tidak memungkinkan, Sil," terang Sabrina pada adiknya."Kena