Benda pipih keduanya tiba-tiba hening tatkala Jaka belum memberikan jawaban."Jak, kok diam? Kenapa?" Hingga suara Sabrina membangunkan Jaka dari lamunan."Tidak apa-apa. A-aku—""Kamu sedang sibuk ya?" potong Sabrina."Gak terlalu sibuk sih, hanya saja sedang ada pekerjaan. Bagaimana kalau cake-nya bawa ke rumah saja. Nanti pukul tujuh malam aku akan ke rumah kamu." Jaka membuat alasan. Beruntung ia tak sedang bertatap muka dengan kekasihnya hingga wajah gugupnya saat ini tak bisa dilihat oleh Sabrina di seberang sana."Oke aku bawa ke rumah saja ya. Selamat bekerja." Sabrina memahami."Terima kasih ya, atas pengertiannya. I love you, Sabi," ucap Jaka. Dalam dada ia jadi merasa bersalah karena tak bisa jujur dengan situasinya saat ini."Iya," jawab Sabrina."Kok jawabnya iya sih. Gak nyambung," protes Jaka. Terdengar suara tawa kecil dari benda pipih yang menempel di telinganya. Suara tawa yang menggemaskan itu milik kekasihnya."Memangnya harus jawab apa?" Sabrina masih tersipu malu
"Aku tak akan pernah menikah denganmu!" tegas Jaka. Ia berusaha menahan emosi."Saya akan bayar kamu dengan uang satu miliar. Namun terlebih dahulu kamu harus membubuhkan tanda tangan." Akhirnya ia menyetujui permintaan Raisa. Ia tak punya pilihan selain membayar dengan nominal uang yang lumayan besar.Mendengar penuturan Jaka, seketika Raisa menyeringai senang. 'Akhirnya Jaka luluh juga. Jelas dia akan akan takut kalau nama baiknya sampai rusak,' gumamnya dalam hati."Oke tak masalah. Tanda tangan apa memangnya?" Raisa menantang."Kamu harus menyetujui sebuah perjanjian."Jaka segera meminta orang suruhannya untuk mengambil benda persegi di dalam mobil. Jaka akan segera membuat sebuah surat perjanjian. Ia segera memainkan jari tangannya pada keyboard leptop. Jaka dengan cepat membuat surat perjanjian yang harus disepakati.Setelah membuat perjanjian, Jaka segera meminta anak buahnya untuk mencetak selembar surat di warnet terdekat."Surat apa sih? Aku jadi penasaran," tanya Raisa se
Jaka dan Sabrina serentak membeliak. Sudah berdiri di depan keduanya yakni Sesil, sambil berkacak pinggang."Sesil, mengagetkan saja," protes Jaka sambil menggaruk kepala yang tak gatal.Pun dengan Sabrina yang terlihat malu saat kepergok adiknya."Lagian dua-duaan, dekat-dekatan, malam-malam pula." Sesil menyindir."Cuma makan cake doang, Sil," elak Sabrina. Pipinya memerah terlihat malu pada adiknya."Iya sih memang makan cake tapi, ah ya sudahlah. Aku aku cuma mau bilang ponsel Mba Sabi berdering terus. Sepertinya ada panggilan masuk. Siapa tahu penting." Sesil masih berdiri sambil memainkan kuku tangannya yang cantik."Ya sudah aku jawab dulu teleponnya." Sabrina beranjak dari tempat duduk, ia melangkah menuju ponsel yang berada di dalam kamarnya.Sementara Sesil masih berdiri, kali ini tampak menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Tatapannya cukup nanar penuh selidik pada Jaka yang masih duduk di sofa."Kenapa melihatku seperti itu?" Jaka bertanya setelah menyadari tatapan S
Setelah hari itu, Sabrina dan Jaka tampak bahagia. Apalagi saat hendak pergi bersama untuk launching toko baru di Bogor.Sabrina dan Jaka hanya berdua di kendaraan roda empat berwarna hitam milik Jaka.Sementara Sesil memilih mengendarai mobil Sabrina. Gadis itu bersama Aksa dan Jeni yang duduk di kursi belakang."Sesil, kamu gadis yang sangat baik ya. Tante kagum sama kamu," celetuk Jeni yang duduk di belakang. Sementara Sesil tampak mengendalikan setir mobilnya."Kok Tante bisa berpikir aku baik sih. 'Kan Tante belum benar-benar mengenal aku," balas Sesil. Sementara kedua bola matanya tetap fokus ke jalan raya."Tante sudah bisa menerka. Sikap kamu dengan kepribadian yang sangat dewasa. Tante yakin, suatu saat nanti akan ada pria baik hati yang akan datang padamu." Jeni berbicara lagi."Amin, Tante. Terima kasih do'anya." Sesil hanya mengukir senyum. Tentu karena dia menghormati wanita paruh baya di belakangnya."Oh iya, Sil. Boleh gak kalau Tante kenalin ponakan Tante sama kamu," l
Jeni enggan untuk menemui Raisa. Yang ia tahu, Raisa adalah wanita yang terobsesi dengan Jaka—putranya. Ia mengesampingkan diri dan memilih menghindar ke ruangan Pastry Chef. "Tante, kok malah sendirian di sini?" Tiba-tiba Sesil menyapa saat menemui Jeni yang berada di ruangan itu sendirian."Ah Tante hanya ingin melihat-lihat ruangan ini saja. Rapih dan bersih. Semuanya serba higienis. Tante suka sekali dengan tempat ini," jawab Jeni. Ia sengaja mengukir senyum agar Sesil tak curiga."Iya benar, Tante. Aku pun suka dengan setiap sudut di ruangan ini." Sesil membalas dengan ramah.Tapi sepertinya Jeni langsung memanfaatkan kesempatan. Ia segera mengalihkan perhatian Sesil dari ruangan pengunjung. Jeni membuat Sesil sibuk dengan mengajak berbincang cukup lama di ruangan itu.Entah memang ada kontak batin, Jeni dan Jaka seolah kompak menyembunyikan keberadaan Raisa dari pandangan Sesil dan Sabrina.Hingga menjelang sore di saat pengunjung sudah mulai terlihat sepi. Semua pengunjung men
"Hei, jangan bicara seperti itu." Jaka menutup mulut Sabrina dengan jari telunjuknya. Ia bahkan tak sungkan memeluk Sabrina guna menenangkan."Sudah aku katakan sebelumnya, aku mencintaimu tanpa syarat. Aku tak perduli dengan status. Jangan bicara tentang itu lagi karena perasaan ini tulus," tekan Jaka. Ia berbicara tepat di daun telinga Sabrina."Makasi ya. Makasi atas ketulusanmu," balas Sabrina. Keduanya tampak menguatkan satu sama lain.Hingga sepasang perhiasan cincin berlian telah resmi dibayar, Sabrina dan Jaka segera pergi dari toko perhiasan tersebut. Mereka akan mampir terlebih dahulu ke tempat wedding organizer untuk menyerahkan acara pertunangan nantinya. Awalnya Sabrina menginginkan acara yang sederhana saja, namun keinginannya berbeda dengan Jaka yang meminta acaranya dilaksanakan dengan mewah.Tak bisa dipungkiri, Jaka adalah seorang CEO muda di salah satu perusahaan otomotif di Jakarta.Setelah berhadapan dengan pemilik WO, Jaka segera mengutarakan keinginannya. Sabri
"Aksa, kenapa melamun?"Pagi-pagi Sabrina sudah melihat Aksa melamun sendirian di ruang makan. Padahal sudah memakai seragam merah putih."Aksa tidak melamun kok, Bu Sabi." Anak laki-laki itu nampak senyum dengan terpaksa."Tapi wajah Aksa terlihat sedih. Apa ada masalah?" Sabrina duduk di kursi dekat Aksa. Ia merasa ada yang tak beres dengan anak laki-laki di dekatnya."Bu Guru, papa Aksa akan dihukum selama dua puluh tahun." Seketika bulir bening itu merembes keluar dari sudut mata Aksa.Sabrina baru saja sadar kalau ia telah melewatkan informasi mengenai persidangan Hasbi hari ini. Semalam, Sabrina kelelahan dan memilih langsung tidur. Ia terhenyak tatkala mengingat Aksa yang pasti bersedih akan hal itu.Dipeluknya segera tubuh mungil Aksa. Sabrina mengusap kepala Aksa."Bu Sabi, apa dua puluh tahun itu lama?" tanya Aksa. Suaranya bahkan terdengar bergetar di telinga Sabrina."Aksa anak yang kuat kok. Bu Sabi yakin Aksa bisa melwati ujian ini," ucap Sabrina. Ia masih mengusap-usap
"Sesil, ini keponakan Tante. Sepupunya Jaka." Jeni menambahkan.Hingga akhirnya Sesil menerima jabatan tangan pria bernama Yuda."Saya, Sesil," balasnya."Kalian ngobrol berdua dulu ya, Tante ke belakang dulu," pamit Jeni. Wanita paruh baya itu sengaja meninggalkan Yuda dan Sesil agar berkenalan.Yuda terlihat ramah. Kedua tangan masuk ke dalam saku celana. Ia berdiri di dekat Sesil yang nampak gugup. Kulit putih, perawakan tinggi berisi, serta paras yang nampak mirip dengan Jaka membuat Sesil jadi salah tingkah."Kamu adiknya Mba Sabi ya?" Basa-basi Yuda bertanya.Sesil mengangguk. "Iya," jawabnya singkat."Kamu masih kuliah?" tanya Yuda lagi.Sesil pun kembali mengangguk. "Iya," jawabnya lagi sambil menganggukan kepala."Kok hanya iya iya saja sih. Kaya gak ada jawaban yang lain," sindir Yuda terdengar menggoda."Ya habisnya jawab apa dong? Kamu kan nanya, ya aku jawab iya," balas Sesil."Ya ya, tapi kata Tante Jeni, bulan depan kamu akan wisuda 'kan?" Kali ini Sesil mengangguk saj
Suatu hari Jaka memanggil Sabrina dan anak-anaknya di ruang keluarga. Di sana juga ada Jeni yang turut serta hadir. Jaka meminta pada Sabrina untuk bersiap-siap karena mereka akan pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian baru.Awalnya Sabrina terlihat ragu menerima tawaran suaminya, akan tetapi ia menyanggupi karena Jaka memaksa dan tak mau ditolak ajakannya.Hingga akhirnya dua kendaraan roda empat akan melaju menuju pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa pakaian baru. Dua mobil itu berisi Jaka, Sabrina, Jeni dan empat anak termasuk suster yang turut serta mendampingin. Mereka akan belanja bersama terutama untuk keperluan ulang tahun Aksa yang tinggal menghitung hari.Sabrina nampak berjalan seiringan dengan Jaka setelah sampai di pusat perbelanjaan. Jaka meminta Sabrina memilih apa pun yang diinginkan. Wanita mana yang tak bahagia dengan perlakuan suami seperti Jaka. Sabrina bagaikan satu-satunya wanita paling beruntung di dunia."Sayang, kamu pilih apa pun yang kamu but
"Kenapa, Ma?" Sabrina segera bertanya. Tentu ia masih terkajut dengan jawaban mertuanya."Tapi bohong. Mama setuju dong. Masa iya Mama gak setuju," ralat Jeni yang rupanya hanya bercanda saja.Seketika Sabrina dan Aksa menghela napas lega secara bersamaan."Ya ampun, Mama. Sungguh aku sampai kaget. Aku pikir Mama benar-benar gak setuju." Sabrina mengusap dadanya. Tak disangka kalau mertuanya senang bergurau."Omah, Aksa juga kaget," timpal Aksa masih memasang wajah terkejutnya.Gegas Jeni memeluk Aksa. "Maaf, Sayang. Omah bercanda. Omah 'kan sayang sama Aksa, masa iya gak setuju. Kita akan rayakan ulang tahun Aksa dengan meriah ya. Pokonya kita akan happy-happy," sambutnya. Jeni tampak menampilkan wajah bahagianya kali ini."Terima kasih, Omah. Aksa sayang sekali sama Omah," ucap Aksa yang kembali memeluk Jeni."Omah juga sayang sama, Aksa," balas Jeni.Melihat itu, Sabrina semakin melebarkan senyumannya. Ia semakin dibuat bahagia dengan keadaan di rumah mewah itu."Terima kasih ya, M
Mendengar cerita Sabrina, seketika Jeni tercengang. "Lalu, apa yang Raisa sampaikan sama kamu, Sabi?" tanyanya penasaran."Raisa mengucapkan terima kasih padaku, Ma. Dia berterima kasih karena aku tela merawat dan menjaga Abang Yusuf dengan baik." Sabrina kembali menjelaskan.Isi dada Jeni terasa bergetar mendengar itu. "Pasti Raisa merasa tenang di alam sana. Kamu telah menjaga Yusuf dengan baik. Mama yakin Raisa bangga padamu, Sabi."Sabrina menurunkan tatapan. Ia masih ingat dengan jelas wajah Raisa kala itu. "Semoga saja ya, Ma. Aku tidak menganggap Abang Yusuf anak tiri kok. Meski pun dia tak lahir dari rahimku, aku menyayanginya bagai anak kandung sendiri," tuturnya."Karena kamu memang wanita baik, Sabi. Mama sungguh bangga bisa mendapatkan menantu seperti kamu. Jaka memang tak pernah salah mencintai kamu," balas Jeni. Sabrina hanya bisa menyodorkan senyuman saat sang mertua memujinya.Sampai saat ini dunia Sabrina memang terasa lebih berwarna dari biasanya. Anak-anaknya berpa
Satu bulan kemudian keluarga Dirgantara nampak disibukan dengan persiapan pernikahan Sesil yang tinggal menghitung hari.Adik Sabrina itu nampak disibukan dengan segala macam persiapan menjelang pernikahannya. Hingga Sabrina pun harus turun tangan dalam membantu adik kandungnya itu.Hingga tiba pada saat ijab kabul pernikahan terucap dengan lantangnya oleh pria yang Sesil cintai. Pernikahan telah sah dilangsungkan dan Sesil telah diperistri kekasihnya. Satu hari usai pernikahan, Sesil dan suaminya langsung terbang ke bali untuk bulan madu selama satu minggu. Tentu suasana saat ini semakin membuat Sabrina lega dan bahagia karena tugasnya menjaga Sesil kini telah berpindah pada suami Sesil.Sabrina kian merasa bahagia dengan keluarga saat ini. Ia juga bahagia dengan kesibukannya saat ini sebagai ibu rumah tangga untuk empat anak-anaknya.Pagi ini bahkan Sabrina nampak sibuk menyiapkan perlengkapan sekolah Aksa. Sabrina juga selalu menemani Aksa sarapan di ruang makan bersama Jaka yang j
Sabrina dan Jaka mengukir senyuman yang lebar tatkala melihat Sesil dan Jeni berpelukan. Keluarga yang nyaris sempurna setelah beberapa kali terpa ujian."Permisi, Nyonya. Makan malam sudah siap." Ijah melapor pada majikannya yang tengah bercengkerama."Oh iya. Terima kasih, Jah," ucap Jeni.Ijah tersenyum. "Sama-sama, Nyonya," balasnya kemudian berlalu setelah tugasnya selesai.Sementara Jeni segera mengajak keluarganya untuk segera makan malam, "Ayo kita makan malam bersama dulu yu."Serentak Sabrina, Aksa, Jaka dan Sesil mengangguk secara bersamaan sebagai pertanda mengiyakan ajakan Jeni barusan. Gegas mereka beranjak dari tempat duduk beralih menuju ruang makan.Di atas meja makan sudah tersaji aneka makanan yang lezat hasil dari masakan Ijah. Pembantu rumah tangga itu memang spesial memasak untuk malam ini. Melihat keluarga majikannya yang akur dan bahagia, ia merasa sangat senang.Ijah, Siti dan Iyem yang berada di ruangan sebelah ruang makan nampak tersenyum melihat kebersamaan
Sabrina akhirnya membiarkan Aksa tetap ikut bersama Sesil. Ia juga paham sebab tak ada yang menemani Sesil di rumahnya. Sabrina kembali masuk ke mobil suaminya.Sementara Aksa satu mobil bersama Sesil akan kembali ke rumahnya. Suasana hati Aksa sedikit membaik setelah ditenangkan oleh Sabrina tadi. Air matanya sudah surut namun ia memilih tetap diam dalam perjalanan pulang tanpa banyak bicara.Sesekali sebelah tangan Sesil mengusap rambut tebal Aksa. Sulit dijelaskan, tapi dia sudah menyayangi Aksa. Aksa memang terlahir dari orang tua yang tak lain adalah mantan suami Sabrina tapi Sesil tak lagi mempermasalahkan itu. Ia sudah menyayangi Aksa dengan sebenar-benarnya.'Ya Tuhan, anak kecil di dekatku sungguh malang. Dia tak menginginkan kesedihan ini terjadi. Izinkan hamba untuk selalu menjaga dan merawatnya sampai dewasa nanti,' harap Sesil dalam hati.Harapan yang sama yang tengah diucapkan Sabrina saat ini. Dalam perjalanan pulang bersama suaminya, Sabrina masih memikirkan perasaan A
"Aku dan Aksa akan melayat, Mba. Aku akan mengantar Aksa. Kasihan kan," balas Sesil.Sabrina kembali dibuat dilema. Bagaimana mungkin ia akan tega membiarkan Aksa bersedih sendirian. Anak itu telah kehilangan segalanya. Orang tua satu-satunya Aksa kini turut berpulang ke sisi Tuhan karena penyakit komplikasi yang diidap. Sabrina tak pernah menyangka dengan kehidupan mantan suaminya yang memilukan."Sil, aku juga ingin ikut melayat. Aku kasihan pada Aksa. Tapi aku akan minta izin Mas Jaka terlebih dahulu ya," kata Sabrina. Ia masih menempelkan benda pipih itu pada telinganya."Kita ketemu di rumah tahanan saja ya, Mba. Kasihan Aksa tak bisa menunggu lagi." Sesil kembali bicara."Iya, aku ingin bicara dengan Aksa terlebih dahulu " pinta Sabrina."Boleh, Mba." Dalam detik yang sama, sepertinya Sesil langsung memberikan ponsel pintarnya pada Aksa."Iya, Ibu." Suara Aksa terdengar bergetar berat."Aksa, dengarkan Ibu ya. Tetap tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Aksa dan Kak Sesil pergi
Sabrina sudah berdiri di depan rumah. Ia segera bertanya pada security di depan rumahnya."Mas, itu ambulance kemana?" tanya Sabrina pada pria berseragam layaknya security di rumahnya itu. Degup jantungnya masih sama, sebab suara sirine ambulance semakian mendekati arah rumahnya."Itu ada tetangga rumah sebelah yang meninggal, Non," jawab Security Sabrina.Seketika Sabrina menghela napas lega. "Saya pikir siapa. Kaget banget," desisnya. Akhirnya napas yang sempat tersengal kini mulai terasa lancar."Hanya tetangga, Non. Kabarnya meninggal karena kecelakaan," jelas security itu lagi."Ya sudah saya masuk lagi ya. Kabari saya kalau Mas Jaka pulang," pinta Sabrina."Siap, Non." Pria itu dengan tegasnya.Sabrina kemudian segera masuk kembali ke rumahnya. Ia masih belum juga tenang sebab belum mendapatkan kabar dari suaminya. Ia tak bisa menelepon Jaka lagi, sebab anak kembarnya minta ASI. Seperti biasa, Sabrina menyusui anak kembarnya secara bergantian. Ia selalu melakukan kewajibannya se
"Klinik yang di dekat toko, Mba. Duh kasihan sekali Aksa. Aku sampai gak tega melihatnya. Sedari tadi Aksa mengigau nama papanya terus," kata Sesil lagi."Ya Tuhan, kasihan sekali Aksa. Memangnya kamu gak pernah bawa Aksa nengokin papanya di penjara?" Sabrina bertanya lagi."Sudah, Mba. Ceritanya dua hari yang lalu Aksa ingin bertemu papanya di penjara, aku mengabulkan keinginan Aksa. Ternyata Mas Hasbi sakit Mba. Semenjak saat itu Aksa terus saja memikirkan papanya." Sesil menjelaskan."Mas Hasbi sakit apa memangnya?" Lagi-lagi Sabrina bertanya. Ia masih menempelkan ponsel pintar pada telinganya."Katanya komplikasi, Mba. Sakit paru-paru dan lambung kronis. Aksa sampai sedih melihat papanya. Saat ini ada di klinik tahanan tengah dirawat oleh perawat di sana," kata Sesil."Ya Tuhan, sungguh aku kasihan pada Aksa. Anak sekecil Aksa sudah memiliki banyak sekali beban. Sebenarnya aku ingin menemui Aksa sekarang, tapi keadaannya tidak memungkinkan, Sil," terang Sabrina pada adiknya."Kena