Sementara hari ini di kediaman Adhitama, wajah Miranda nampak semringah sebab ia telah dibelikan kaki palsu dari luar negri oleh sang mertua—Adhitama. Miranda sudah mencobanya, dia sudah berjalan dengan bantuan kaki palsu. Layaknya kaki normal, Miranda bahkan mulai beraktivitas seperti biasanya."Terima kasih ya, Pa. Akhirnya aku bisa berjalan lagi," ucap Miranda pada mertua di sela-sela sarapan pagi."Sama-sama," balas Adhitama mengukir senyum.Melihat mamanya terlihat bahagia, Aksa pun turut bahagia. Ia mengucapkan selamat pada Miranda sambil memeluknya."Selamat ya, Ma. Akhirnya Mama bisa jalan lagi," kata Aksa dalam pelukan mamanya.Sementara Hasbi dibuat terbungkam. Ia tahu betul kalau kaki palsu itu harganya lumayan mahal sebab dipesan papanya dari kuar negri. Adhitama memang memesan kaki palsu itu dari temannya yang kebetulan baru pulang dari luar negri. Laki-laki paruh baya itu rela merogoh isi tabungannya hanya demi melihat Miranda tersenyum bahagia.Hasbi mengalihkan pandang
Miranda kembali terlihat tegang. "Kamu gak pernah lihat ya, Mas. Setiap harinya jendela itu selalu terbuka. Aku kan memang senang dengan udara sejuk alami dari pada AC," jawabnya segera."Apalagi yang kamu curigai dari aku, Mas? Aku ini hanya wanita lumpuh yang tak sempurna di matamu. Bahkan untuk menyentuhku saja kamu terlihat sudah tak sudi. Lalu kamu ingin menuduhku yang aneh-aneh? Tuduh saja, Mas. Tuduhlah aku sesuka hatimu. Sampai kamu merasa puas," imbuh Miranda dengan menyindir. Kali ini dia berani mengangkat wajahnya, membalas tatapan suaminya."Maaf. Aku tidak bermaksud—""Sudahlah, Mas. Apa pun alasan dan maksudmu, aku akan terima. Aku memang harus menerima segala sesuatu yang menjadi ketentuanmu," potong Miranda yang memperlihatkan wajah kecewa pada suaminya. Ia kemudian keluar dari kamar, meninggalkan Hasbi ke ruangan yang lain.Sementara Hasbi terlihat kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling kamarnya. Indera penciumannya bahkan mencium bau keringat tak enak. Tapi akhi
Sesil membeliak terkejut. Sebelah tangannya langsung diraih oleh Jaka dengan cepat."Om Ganteng, karena sudah bertemu Sesil saya pamit ya." Gadis itu mengedipkan sebelah mata tampak genit kemudian pergi membiarkan Sesil dan Jaka berdua.Setelah temannya pergi, Sesil kembali memberontak. Ia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Jaka."Lepas, Mas!"Sesil terlihat bringas kali ini. Namun Jaka tetap berusaha menenangkan gadis itu."Ikut denganku sebentar saja. Kita selesaikan masalah kita." Jaka dengan tegas memaksa Sesil masuk ke dalam kendaraan roda empatnya.Sesil tak dapat menolak. Jaka terlalu kuat untuk dilawan. Mereka kini sudah berada di dalam mobil karena Jaka segera mengunci pintunya."Mau ngapain sih kamu, Mas?" ketus Sesil saat bertanya."Masalah yang dibiarkan berlarut-larut hanya akan membuat masalah jadi melebar kemana-mana. Kita selesaikan hari ini. Bersikap dewasalah, Sil. Ikut denganku sekarang, maka akan aku ungkapkan semua alasan dan penyebab masalah ini terjad
Sabrina masih diam. Ia tampak berpikir kemudian menundukan kepala."Sabi, aku hanya ingin berhubungan baik. Tidak lebih," ucap Hasbi lagi. Kali ini terdengar tulus.Sabrina memikirkan akan hal itu. Lagi pula ia memang tak mau bermusuhan dengan siapa pun."Aku juga tidak mau punya musuh. Satu hal yang harus kamu ketahui, Mas. Miranda akan murka padaku dan salah paham, walau pun kita hanya berhubungan baik," balas Sabrina.Hasbi mengangguk paham. "Iya aku tahu. Tapi—""Sudahlah, Mas," potong Sabrina tak membiarkan Hasbi meneruskan kalimatnya."Aku tidak pernah menyimpan dendam. Aku juga tidak menganggap kamu musuh. Berhubungan baik bukan berarti harus kembali dekat. Aku pamit karena urusanku telah selesai," pamit Sabrina. Ia segera beranjak dari tempat duduknya setelah urusan kamera pengintai selesai. Sementara Hasbi hanya melihat Sabrina tanpa bisa mengalihkan pandangan ke arah yang lain. Ia melihat mantan istrinya masuk mengendarai mobil yang nampaknya masih baru.Mobil itu dikemudik
Seketika bola mata Hasbi membulat sempurna tatkala melihat istrinya tengah bercinta di ruangan kamar pribadinya dengan seorang pria yang tak diketahui Hasbi karena tubuh pria itu membelakangi kamera."Brengsek! Siapa pria itu?" Hasbi mengepalkan tangannya. Isi dadanya seketika terasa panas dan mendidih langsung ke atas ubun-ubun.Jelas dalam rekaman CCTV, Miranda tengah beradu peluh dengan seroang pria berkulit putih yang membelakangi kamera. Hasbi hanya melihat punggung pria itu tanpa bisa melihat wajahnya. Ia segera mengakhiri rekaman menjijikan itu. Benda pipih dimasukannya kembali ke dalam saku celana. Pandangannya tertuju pada jendela kamar. Ia berusaha tenang sambil mengatur napasnya yang semakin panas dan sesak.Hasbi masuk lewat pintu belakang. Emosi di dalam dadanya tak bisa dikendalikan. Ia segera mengambil salah satu balok yang ada di taman belakang rumah, kemudian masuk ke dalam rumah dengan langkah yang sangat hati-hati.Saat ini Hasbi sudah berada di depan pintu kamar p
Air mata Sabrina seketika menganak sungai di pipi. Wanita berlesung pipi itu terlihat melangkah dengan perlahan mendekat keatas ranjang yang diatasnya tengah tertidur seseorang yang dianggapnya Jaka. Seseorang itu seluruh tubuhnya tertutup kain selimut yang tebal.Pandangan Sabrina sedikir memudar oleh genangan air mata. Tangannya bergetar. Ia mencoba menyentuhnya tapi terasa berat.Di ruangan kamar itu terlihat hanya Sabrina seorang yang menangisi kepergian Jaka. Sementara Sesil dan Jeni hanya diam sambil menundukan kepala. Tak ada tangisan dari dua wanita itu sebagai mana tangisan Sabrina saat ini."Mengapa Jaka harus pergi. Urusannya belum selesai," lirih Sabrina. Ia meremas selembar kertas yang sudah ia baca tadi. Kemudian ia duduk di samping jenazah. Tangisannya tak bisa dihentikan sampai dadanya terdengar sesegukan."Aku tidak bisa kehilangan kamu, Jak. Kamu belum mengetahui perasaanku yang sebenarnya. Aku mencintaimu, Jak. Jangan tinggalkan aku. Aku mencintai kamu," sambung Sab
Sabrina dan Jaka terkesiap. Pandangan mereka tak beralih ke arah mana pun. Keduanya fokus melihat layar televisi yang tengah menginformasikan berita saat ini.Layar televisi menampilkan seorang pria tersangka berinisial HA terlihat dibekuk polisi. Wajah pria itu tentu dikenal oleh Sabrina dan Jaka. Pria itu adalah Hasbi Adhitama yang wajahnya terlihat memar akibat pukulan warga terdekat yang menangkapnya. Sebelumnya Hasbi sempat melarikan diri, namun hanya dengan waktu dua jam saja polisi berhasil menemukan persembunyiannya.Pria itu tertunduk miris masuk ke dalam mobil tahanan dan dibawa oleh pihak yang berwajib ke kantor polisi.Bagai pertir yang menyambar di siang bolong, berita itu vital seindonesia detik itu juga. Seorang pria mantan ASN membunuh ayah dan istrinya karena ketahuan selingkuh.Sabrina nampak mematung tanpa bisa berkata-kata. Ia sangat terkejut dan tidak pernah menyangka."Sabi, bagaimana mungkin mantan suami kamu jadi kriminal." Jaka yang tak kalah terkejutnya pun t
Dihiraukannya omongan-omongan yang tidak berpaedah itu. Sabrina tetap masuk ke dalam mobil. Aksa sudah tidur pulas. Jaka telah membaringan anak itu di kursi belakang.Sabrina dan Jaka telah duduk berdampingan di kursi depan. Hingga kendaraan roda empat itu melaju dengan kecepatan sedang. Jaka akan mengantarkan Sabrina ke rumahnya.Sesekali Sabrina menengok Aksa di kursi belakang. Terlihat jelas kelopak mata anak itu tampak sebab walau sudah tertidur. Sabrina kembali meneteskan air mata tatkala mengingat kembali nasib Aksa, tak ada yang mau menerima anak itu."Sabi, kamu masih bersedih?" Jaka melirik Sabrina. Kedua tangannya di atas setir mobil dan pandangan tetap fokus ke jalan raya yang mulai sepi dari lalu lalang kendaraan.Sabrina kemudian meluruskan kembali pandangannya. Mengusap tetesan bulir bening yang lagi-lagi jatuh di pipinya."Aku hanya masih belum percaya dengan situasi saat ini. Mas Hasbi sekejam itu. Aksa adalah berliannya yang menjadi alasan meninggalkanku. Tapi kini be
Suatu hari Jaka memanggil Sabrina dan anak-anaknya di ruang keluarga. Di sana juga ada Jeni yang turut serta hadir. Jaka meminta pada Sabrina untuk bersiap-siap karena mereka akan pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian baru.Awalnya Sabrina terlihat ragu menerima tawaran suaminya, akan tetapi ia menyanggupi karena Jaka memaksa dan tak mau ditolak ajakannya.Hingga akhirnya dua kendaraan roda empat akan melaju menuju pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa pakaian baru. Dua mobil itu berisi Jaka, Sabrina, Jeni dan empat anak termasuk suster yang turut serta mendampingin. Mereka akan belanja bersama terutama untuk keperluan ulang tahun Aksa yang tinggal menghitung hari.Sabrina nampak berjalan seiringan dengan Jaka setelah sampai di pusat perbelanjaan. Jaka meminta Sabrina memilih apa pun yang diinginkan. Wanita mana yang tak bahagia dengan perlakuan suami seperti Jaka. Sabrina bagaikan satu-satunya wanita paling beruntung di dunia."Sayang, kamu pilih apa pun yang kamu but
"Kenapa, Ma?" Sabrina segera bertanya. Tentu ia masih terkajut dengan jawaban mertuanya."Tapi bohong. Mama setuju dong. Masa iya Mama gak setuju," ralat Jeni yang rupanya hanya bercanda saja.Seketika Sabrina dan Aksa menghela napas lega secara bersamaan."Ya ampun, Mama. Sungguh aku sampai kaget. Aku pikir Mama benar-benar gak setuju." Sabrina mengusap dadanya. Tak disangka kalau mertuanya senang bergurau."Omah, Aksa juga kaget," timpal Aksa masih memasang wajah terkejutnya.Gegas Jeni memeluk Aksa. "Maaf, Sayang. Omah bercanda. Omah 'kan sayang sama Aksa, masa iya gak setuju. Kita akan rayakan ulang tahun Aksa dengan meriah ya. Pokonya kita akan happy-happy," sambutnya. Jeni tampak menampilkan wajah bahagianya kali ini."Terima kasih, Omah. Aksa sayang sekali sama Omah," ucap Aksa yang kembali memeluk Jeni."Omah juga sayang sama, Aksa," balas Jeni.Melihat itu, Sabrina semakin melebarkan senyumannya. Ia semakin dibuat bahagia dengan keadaan di rumah mewah itu."Terima kasih ya, M
Mendengar cerita Sabrina, seketika Jeni tercengang. "Lalu, apa yang Raisa sampaikan sama kamu, Sabi?" tanyanya penasaran."Raisa mengucapkan terima kasih padaku, Ma. Dia berterima kasih karena aku tela merawat dan menjaga Abang Yusuf dengan baik." Sabrina kembali menjelaskan.Isi dada Jeni terasa bergetar mendengar itu. "Pasti Raisa merasa tenang di alam sana. Kamu telah menjaga Yusuf dengan baik. Mama yakin Raisa bangga padamu, Sabi."Sabrina menurunkan tatapan. Ia masih ingat dengan jelas wajah Raisa kala itu. "Semoga saja ya, Ma. Aku tidak menganggap Abang Yusuf anak tiri kok. Meski pun dia tak lahir dari rahimku, aku menyayanginya bagai anak kandung sendiri," tuturnya."Karena kamu memang wanita baik, Sabi. Mama sungguh bangga bisa mendapatkan menantu seperti kamu. Jaka memang tak pernah salah mencintai kamu," balas Jeni. Sabrina hanya bisa menyodorkan senyuman saat sang mertua memujinya.Sampai saat ini dunia Sabrina memang terasa lebih berwarna dari biasanya. Anak-anaknya berpa
Satu bulan kemudian keluarga Dirgantara nampak disibukan dengan persiapan pernikahan Sesil yang tinggal menghitung hari.Adik Sabrina itu nampak disibukan dengan segala macam persiapan menjelang pernikahannya. Hingga Sabrina pun harus turun tangan dalam membantu adik kandungnya itu.Hingga tiba pada saat ijab kabul pernikahan terucap dengan lantangnya oleh pria yang Sesil cintai. Pernikahan telah sah dilangsungkan dan Sesil telah diperistri kekasihnya. Satu hari usai pernikahan, Sesil dan suaminya langsung terbang ke bali untuk bulan madu selama satu minggu. Tentu suasana saat ini semakin membuat Sabrina lega dan bahagia karena tugasnya menjaga Sesil kini telah berpindah pada suami Sesil.Sabrina kian merasa bahagia dengan keluarga saat ini. Ia juga bahagia dengan kesibukannya saat ini sebagai ibu rumah tangga untuk empat anak-anaknya.Pagi ini bahkan Sabrina nampak sibuk menyiapkan perlengkapan sekolah Aksa. Sabrina juga selalu menemani Aksa sarapan di ruang makan bersama Jaka yang j
Sabrina dan Jaka mengukir senyuman yang lebar tatkala melihat Sesil dan Jeni berpelukan. Keluarga yang nyaris sempurna setelah beberapa kali terpa ujian."Permisi, Nyonya. Makan malam sudah siap." Ijah melapor pada majikannya yang tengah bercengkerama."Oh iya. Terima kasih, Jah," ucap Jeni.Ijah tersenyum. "Sama-sama, Nyonya," balasnya kemudian berlalu setelah tugasnya selesai.Sementara Jeni segera mengajak keluarganya untuk segera makan malam, "Ayo kita makan malam bersama dulu yu."Serentak Sabrina, Aksa, Jaka dan Sesil mengangguk secara bersamaan sebagai pertanda mengiyakan ajakan Jeni barusan. Gegas mereka beranjak dari tempat duduk beralih menuju ruang makan.Di atas meja makan sudah tersaji aneka makanan yang lezat hasil dari masakan Ijah. Pembantu rumah tangga itu memang spesial memasak untuk malam ini. Melihat keluarga majikannya yang akur dan bahagia, ia merasa sangat senang.Ijah, Siti dan Iyem yang berada di ruangan sebelah ruang makan nampak tersenyum melihat kebersamaan
Sabrina akhirnya membiarkan Aksa tetap ikut bersama Sesil. Ia juga paham sebab tak ada yang menemani Sesil di rumahnya. Sabrina kembali masuk ke mobil suaminya.Sementara Aksa satu mobil bersama Sesil akan kembali ke rumahnya. Suasana hati Aksa sedikit membaik setelah ditenangkan oleh Sabrina tadi. Air matanya sudah surut namun ia memilih tetap diam dalam perjalanan pulang tanpa banyak bicara.Sesekali sebelah tangan Sesil mengusap rambut tebal Aksa. Sulit dijelaskan, tapi dia sudah menyayangi Aksa. Aksa memang terlahir dari orang tua yang tak lain adalah mantan suami Sabrina tapi Sesil tak lagi mempermasalahkan itu. Ia sudah menyayangi Aksa dengan sebenar-benarnya.'Ya Tuhan, anak kecil di dekatku sungguh malang. Dia tak menginginkan kesedihan ini terjadi. Izinkan hamba untuk selalu menjaga dan merawatnya sampai dewasa nanti,' harap Sesil dalam hati.Harapan yang sama yang tengah diucapkan Sabrina saat ini. Dalam perjalanan pulang bersama suaminya, Sabrina masih memikirkan perasaan A
"Aku dan Aksa akan melayat, Mba. Aku akan mengantar Aksa. Kasihan kan," balas Sesil.Sabrina kembali dibuat dilema. Bagaimana mungkin ia akan tega membiarkan Aksa bersedih sendirian. Anak itu telah kehilangan segalanya. Orang tua satu-satunya Aksa kini turut berpulang ke sisi Tuhan karena penyakit komplikasi yang diidap. Sabrina tak pernah menyangka dengan kehidupan mantan suaminya yang memilukan."Sil, aku juga ingin ikut melayat. Aku kasihan pada Aksa. Tapi aku akan minta izin Mas Jaka terlebih dahulu ya," kata Sabrina. Ia masih menempelkan benda pipih itu pada telinganya."Kita ketemu di rumah tahanan saja ya, Mba. Kasihan Aksa tak bisa menunggu lagi." Sesil kembali bicara."Iya, aku ingin bicara dengan Aksa terlebih dahulu " pinta Sabrina."Boleh, Mba." Dalam detik yang sama, sepertinya Sesil langsung memberikan ponsel pintarnya pada Aksa."Iya, Ibu." Suara Aksa terdengar bergetar berat."Aksa, dengarkan Ibu ya. Tetap tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Aksa dan Kak Sesil pergi
Sabrina sudah berdiri di depan rumah. Ia segera bertanya pada security di depan rumahnya."Mas, itu ambulance kemana?" tanya Sabrina pada pria berseragam layaknya security di rumahnya itu. Degup jantungnya masih sama, sebab suara sirine ambulance semakian mendekati arah rumahnya."Itu ada tetangga rumah sebelah yang meninggal, Non," jawab Security Sabrina.Seketika Sabrina menghela napas lega. "Saya pikir siapa. Kaget banget," desisnya. Akhirnya napas yang sempat tersengal kini mulai terasa lancar."Hanya tetangga, Non. Kabarnya meninggal karena kecelakaan," jelas security itu lagi."Ya sudah saya masuk lagi ya. Kabari saya kalau Mas Jaka pulang," pinta Sabrina."Siap, Non." Pria itu dengan tegasnya.Sabrina kemudian segera masuk kembali ke rumahnya. Ia masih belum juga tenang sebab belum mendapatkan kabar dari suaminya. Ia tak bisa menelepon Jaka lagi, sebab anak kembarnya minta ASI. Seperti biasa, Sabrina menyusui anak kembarnya secara bergantian. Ia selalu melakukan kewajibannya se
"Klinik yang di dekat toko, Mba. Duh kasihan sekali Aksa. Aku sampai gak tega melihatnya. Sedari tadi Aksa mengigau nama papanya terus," kata Sesil lagi."Ya Tuhan, kasihan sekali Aksa. Memangnya kamu gak pernah bawa Aksa nengokin papanya di penjara?" Sabrina bertanya lagi."Sudah, Mba. Ceritanya dua hari yang lalu Aksa ingin bertemu papanya di penjara, aku mengabulkan keinginan Aksa. Ternyata Mas Hasbi sakit Mba. Semenjak saat itu Aksa terus saja memikirkan papanya." Sesil menjelaskan."Mas Hasbi sakit apa memangnya?" Lagi-lagi Sabrina bertanya. Ia masih menempelkan ponsel pintar pada telinganya."Katanya komplikasi, Mba. Sakit paru-paru dan lambung kronis. Aksa sampai sedih melihat papanya. Saat ini ada di klinik tahanan tengah dirawat oleh perawat di sana," kata Sesil."Ya Tuhan, sungguh aku kasihan pada Aksa. Anak sekecil Aksa sudah memiliki banyak sekali beban. Sebenarnya aku ingin menemui Aksa sekarang, tapi keadaannya tidak memungkinkan, Sil," terang Sabrina pada adiknya."Kena