Aku mengurai pelukanku saat tidak ada jawaban dari Farhan. Aku pikir mungkinkah ia meralat semua yang ia ucapkan tempo hari? Apakah aku terlambat? Apakah sekarang aku sudah kehilangan orang sebaik Farhan? Aku jadi merasa malu, padahal aku sudah seantusias ini. Namun yang terjadi dia sudah tidak menginginkan aku lagi. "Maaf, aku... Aku...." Tubuhku mematung dengan bola mata yang membola. Saat secara mendadak Farhan menarikku ke dalam pelukannya. Apa arti semua ini? Apakah dia... "Kenapa kamu melepas pelukannya? Apakah kamu kembali berubah pikiran?" Tanya Farhan dan otakku sedang mencerna baik-baik ucapannya. "Aku... Kamu tidak merespon apa pun. Jadi aku pikir...." "Bagaimana mungkin aku tidak merespon? Bagaimana mungkin aku menolak? Aku terkejut dan aku berharap ini bukanlah mimpi." Tutur Farhan. Apakah ini artinya ia setuju untuk menikah denganku? Aku bertanya-tanya sendiri. Farhan mengurai pelukan, ia lalu memegangi kedua pundakku. "Coba ulangi apa yang tadi kamu ucapk
"Tunggu, jangan pergi!" Adam menahan langkah kami, ia berdiri menghalangi jalan. "Mau apa lagi?" Tanya Farhan sedangkan aku memilih diam."Aku ingin bicara dengan Khansa," ucap Adam."Tidak boleh! Apa lagi yang ingin kamu bicarakan dengan Khansa. Kamu sudah tidak punya hak apa-apa lagi bukan?" "Aku tidak punya urusan denganmu jadi berhentilah bicara!" Sentak Adam . Aku geram tidak terima kenapa Adam harus membentak Farhan. Tidak tidak pantas digituin. "Dam, kamu apa-apaan? Enggak malu di lihat orang?""Aku tidak malu. Untuk apa malu? Lagian aku gak akan seperti ini jika kamu mau bicara denganku, ada yang ingin aku sampaikan sama kamu," tutur mas Adam. Aku menghela nafas panjang, sepetinya mas Adam tidak akan berhenti mengganggu sebelum keinginannya terwujud. "Baiklah, kali ini aku beri kamu kesempatan. Setelah ini tolong jangan ganggu kehidupan aku lagi.""Khansa..." panggil Farhan, aku yakin dia tidak setuju' dengan ucapanku ini.Aku menoleh pada Farhan, aku tersenyum meyak
Akhirnya, hari bahagia antara aku dan Farhan tiba. Aku seperti bermimpi bisa kembali membangun hidup piduk rumah tangga. Aku harap pernikahan kedua ini adalah yang terakhir tidak ada lagi pernikahan ketiga apalagi keempat. Aku yakin pilihan kali ini tidak akan salah. Dia adalah orang yang tepat. Dia baik dan tulus, bukan hanya aku yang ia cintai. Tapi... Salma pun sangat ia cintai sa sayangi. Pendamping yang seperti itu yang aku cari, ia mau menerima kehadiran Salma dan mau menyayanginya meskipun bukan darah dagingnya. Tidak ada pernikahan mewah, ini hanya sebuah pernikahan sederhana yang dihadiri sanak saudara dari kedua keluarga. Tak lupa aku pun mengundang Sinta dan ibunya yang tak lain ibu mertuaku dulu. Jujur, meski anak lelakinya menyakitiku tidak membuat aku melupakan mereka. Terlebih Sinta adalah sahabatku dan ibunya adalah contoh ibu mertua yang paling baik. Makanya aku menyayanginya sama seperti pada ibu kandungku sendiri. Ceklek.... Pintu kamar terbuka. Aku menoleh da
"Farhan," aku memanggil namanya saat tiba-tiba ia memelukku. Bahkan kepalanya ia senderkan pada ceruk leherku. "Biarkan aku seperti ini. Aku janji tidak akan melakukan hal lebih, aku tidak akan memaksakan. Aku ingin secara sadar dan keinginan dari dirimu sendiri menyerahkan seutuhnya dirimu. Perkara menunggu aku jagonya," ucap Farhan ia terkekeh sendiri dengan ucapannya. Bagaimana ini? Apakah aku akan tega padanya? Apakah malam ini akan berlalu tanpa memberi hak Farhan? Apakah aku akan melakukan hal tega seperti itu? Tidak! Kegagalan berumahtangga membuat aku lebih hati-hati. Aku tahu menikah itu memang bukan perkara di atas ranjang saja. Tapi... Perkara kepercayaan, saling melengkapi dan saling menyayangi itu lebih dari cukup. Tapi.... "Tolong jangan berpikir yang aneh-aneh. Pemikiran ku tidak dangkal, kamu mau menerimaku saja lebih dari cukup," ucapan Farhan menangkis pemikiran di benakku. Kenapa dia jadi bisa membaca pikiran? Farhan menjauhkan kepalanya dari ceruk leherku
Selesai sarapan bersama, aku dan Mas Farhan duduk di ruang keluarga. Aku duduk seraya menyenderkan tubuhku pada tubuh mas Farhan. Sedangkan kedua mata kami tertuju pada acara televisi. Kadang kami tertawa saat melihat acara televisi yang lucu. Aku dan Mas Farhan sudah seperti pasangan yang memang sudah kenal lama. Mungkin untuk mas Farhan sudah lama mengenalku, tapi tidak denganku. Baru beberapa bulan ke belakang. Tapi percayalah aku merasa sudah lama kenal padanya. Apa mungkin Karena Mas Farhan gampang membuat aku nyaman? Padahal sebelumnya aku sama sekali tidak punya niat untuk menikah denganya. Qodarullah, Tuhan memang Maha membolak balikan hati manusia. Tidak ada yang tahu kedepannya kita seperti apa.. Boleh kemarin kita menolak tapi siapa tahu lusa justru hati kita berubah pikiran. "Mas," panggilku pada Mas Farhan. "Iya, apa." jawab Mas Farhan begitu terdengar lembut di telingaku. Aku mendongak, degan posisi masih bersandar di tubuh mas Farhan. "Terima kasih." ucapku
Sudah tiga hari aku meninggalkan Salma. Rasanya aku tidak bisa jika terlalu lama berjauhan dengan anak gadisku. Beruntung mas Farhan pengertian dan peka, tanpa aku meminta untuk bertemu Salma, dia lebih dulu mengajakku untuk bertemu Salma dan membawanya pindah ke rumah ini. "Kamu pasti merindukan Salma kan? Hari ini kita jemput dia," tutur mas Farhan ketika kami baru saja selesai makan. Aku tersenyum senang, kugengam erat telapak tangan mas Farhan. "Terima kasih, kamu mau menerima anakku, Mas," ujarku. Risiko menjadi ibu tunggal dan menikah lagi pasti memiliki permasalahan sama. Bagaimana suami barunya bisa menerima anaknya. Dan aku termasuk orang beruntung mas Farhan sangat menerima Salma anakku. "Kalau aku berani mencintai ibunya, itu berarti aku pun harus bisa menerima anaknya. Aku harus menyayanginya seperti pada anak kandungku sendiri. Lagi pula sejak awal kamu melahirkan, aku sudah menganggap Salma anakku. Aku sangat bahagia menyambut kelahiran Salma. Aku merasa aku la
Mendengar ayahku sembuh berkat punya kekuatan dari Salma membuat aku merasa tak tega jika harus membawa Salma ikut pergi dan tinggal bersamaku. Aku tidak ingin membuat semangat dan kesenangan ayah sirna lagi gara-gara aku. Niat hari ini langsung membawa pergi pun urung, aku malah meminta pada mas Farhan untuk menginap. "Kenapa melamun?" ucapan disertai Sentuhan lembut mas Farhan di pundakku menyadarkan dari anganku. Aku menoleh seraya tersenyum padanya. Aku menepuk sisi kasur sebelah kanan, meminta mas Farhan untuk duduk di sana. "Ada apa?" tanya mas Farhan setelah ia duduk di sampingku. "Menurut kamu aku harus gimana?" tanyaku, aku ingin mendengar pendapat suamiku. "Gimana apanya?" tanya balik mas Farhan. Sebelum menjawab, aku sengaja menyenderkan kepalaku ke pundaknya. lalu aku melingkarkan tanganku di lengannya. "Tadi siang kamu dengarkan ayahku bilang apa?" tanyaku memulai untuk bercerita. "Yang mana? Tadi kan ayah bicara banyak hehhe," mas Farhan malah nyengir
Setelah melakukan kesepakatan, akhirnya Salma tetap aku bawa ke rumah mas Farhan. Jika aku di butik, ibu dan ayahku yang akan menjaganya. Jadinya kami bisa saling menjaga Salma. Biar adil. Tepat hari ini, hari pertama aku kembali pergi ke butik setelah satu Minggu ambil cuti menikah. Aku senang meskipun butikku terbilang baru ternyata sudah cukup lumayan memiliki pelanggan. Tuhan memang tahu porsi rezeki umat-Nya. "Mas, nanti enggak usah jemput, ya. kita ketemu di rumah ibuku saja," ujarku kepada mas Farhan ketika ia mengantarku ke butik. "Pokoknya mas akan tetap jemput kamu, mas mau menghabiskan banyak waktu sama kamu. Hari ini pun sebenarnya masih mau lama-lama sama Kamu, tapi pekerjaanku menumpuk. Jika dipikir pun kalau aku enggak kerja nanti siapa yang akan kasih kamu dan Salma makan? Siapa pula yang akan memenuhi kebutuhan kalian?" tutur mas Farhan, dia bahkan rela pindah kerja, ia memindahkan pusat kantornya ke Surabaya. Demi siapa? Demi aku. "Iya, iya, deh. Nanti aku ka
Anjel terus saja mendesakku untuk secepatnya menikahi dia. Padahal aku sama sekali belum kepikiran untuk menikah lagi. Belum kepikiran untuk terikat dengan yang namanya pernikahan. Bagiku hidup menduda justru lebih nyaman.Apalagi semenjak menjalin hubungan dengan Anjel, tidak ada terbersit untuk menikahinya. Hubunganku dengan Anjel hanya sebatas partner di atas ranjang. Selain itu kami juga sama-sama memiliki keuntungan. Jika aku keuntungannya mendapatkan sesuatu yang tidak pernah aku dapat dari Khansa, apalagi urusan ranjang. Sedangkan Anjel, ia mendapatkan segala yang ia mau. Mulai dari fasilitas mewah, barang branded dan pekerja layak. Bukankah itu sudah lebih dari cukup? Jadi, untuk apa lagi ia mendesakku untuk menikahinya?Karena sekeras apa dia memintanya, aku akan menolak dengan terang-terangan. Karena tujuan awal dengannya pun bukan untuk menikahinya, tapi hanya untuk mencari kesenangan. Namum, dia tidak boleh tahu. Aku yakin jika dia tahu maka ia akan marah besar padaku. M
Gawai milikku terus saja bergetar, sengaja enggak aku angkat karena saat ini aku berada di ruang meeting. Karena mengganggu terpaksa aku menyerahkan gawai milikku pada asistenku.Setelah selesai meeting, asistenku langsung memberikan gawaiku. Dia terlihat pucat. Apa dia sakit?"Kamu kenapa? Sakit?" Tanyaku pada asisten saat aku meraih gawaiku."Enggak Tuan.""Lalu kenapa kamu begitu terlihat pucat?' tanyaku lagi.Dia tertunduk, ia seperti ragu untuk mengatakannya."Ada apa? Bicara saja," tuturku."Itu, tuan mmm. Nyonya telepon dan marah. Nyonya tahu perihal hubungan dengan wanita tuan," ujar asistenku.Sudah aku duga hal seperti ini akan terjadi. Dan kini aku tahu kenapa asistenku terlihat pucat. Dia habis kena marah ibuku."Ngomong apa aja ibuku?" Tanyaku seraya berjalan ke ruanganku."Nyonya marah karena Tuan bersekingkuh lalu nyonya titip pesan agar Tuan telepon balik saat acara meeting selesai.""Baiklah. Setelah ini apa aku punya jadwal lain?" Tanyaku. Karena aku berniat pulang l
Masa sekarang.....Selama kurang-lebih dua tahun dari dia mengandung dan kini anaknya sudah berusia satu tahun lebih, sudah berpuluhan cara aku lakukan untuk membuat anak itu lenyap. Hingga Khansa mau berubah kembali. Tapi, Semakin ke sini aku justru semakin ilfiil padanya. .Aku bahkan enggak pernah lagi menyentuhnya. Bagaimana aku mau menyentuhnya, melihat dirinya saja membuat bir4hiku hilang. Sudah tidak ada lagi selera untuk menyentuhnya.Tanpa sepengetahuan Khansa. Aku bermain api dengan sekretarisku. Dia cantik, tubuhnya mmmm tidak bisa diungkapkan saking indahnya. Dia dengan Khansa ibarat langit dan bumi. Hubunganku dengannya sudah berjalan hampir satu tahun.Selama satu tahun itu, Khansa sama sekali tidak curiga dengan hubungan kami. Dia seperti biasa melayaniku. Bukan melayani di atas ranjang melainkan melayaniku dalam urusan perut dan pakaianku. .Meskipun demikian aku tidak luluh, aku menganggap apa yang dilakukan Khansa sebatas pelayanan yang memang harus dilakukan oleh
Dua tahun lalu Jika ada yang bertanya siapa orang yang paling aku benci? Maka dengan senang hati aku akan mengatakannya. Jika orang yang paling aku benci adalah istriku sendiri--Khansa.Kenapa bisa aku membenci istriku sendiri? Alasan karena dia seorang penjahat wanita. Dia menggunakan koneksi keluarga untuk menikah denganku.Jujur, aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan dengan dirinya. Aku tidak menyukainya. Tapi karena desakan keluarga dan dia memang cantik membuat aku dengan sukarela menerima pernikahan ini. Beruntung dia cantik jika tidak maka aku akan menolak dia mentah-mentah.Hubungan pernikahan kami tidak ada yang aneh, berjalan seperti suami istri pada umumnya. Tapi, aku pernah bilang pada istriku--Khansa jika aku ingin childfree. Aku tahu dia kecewa terlihat jelas di wajah cantiknya itu raut sendu.Tapi aku tidak peduli. Ini sudah jadi keputusanku. Sialnya karena malam itu aku terpengaruh alkohol membuat aku tidur dengannya tanpa menggunakan alat pengaman. Aku kira t
Setelah pertemuanku dengan Adam selesai dan aku mengunjungi mantan mertuaku. Aku dan mas Farhan memutuskan untuk langsung pulang ke Surabaya. Aku sangat berharap ada kabar baik, jika dilihat dari sikap Adam yang sedikit banyaknya telah berubah. "Mas, menurutmu apa Adam akan bertanggungjawab?" tanyaku mas Farhan disela kegiatan mas Farhan menyetir, ya kami baru sampai di bandara Juanda dan supir mas Farhan mengirim kami mobil. "Mmm, harusnya sih , iya. Mas rasa dia sudah berubah dari terkahir kali kita bertemu," jawaban mas Farhan sama persis denganku. "Aku juga berpikir seperti itu." "Sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Yang penting kita sudah berusaha hasilnya kita pasrah saja," timpal mas Farhan dan itu ada benarnya. Aku tidak boleh terlalu memikirkannya kemungkinan terburuk Adam tidak menerimanya pun masih ada keluarganya yang dengan senang hati menerima Anjel dan bayinya. "Maafin aku ya, Mas. Kamu pasti risi karena aku terlalu ikut campur urusan orang lain?" . "E
Adam terdiam, saat aku mengatakan jika Anjel sedang hamil anaknya. Dia seperti menganggap kehamilan Anjel tidak berarti apa-apa. "Kamu dengar tidak? Anjel hamil dan kamu harus bertanggung jawab," tegasku lagi saat tidak ada respons apapun dari Adam. Adam menatapku yang mana aku masih bersembunyi di balik tubuh mas Farhan. "Kenapa aku yang harus bertanggung jawab?" tanya Adam dan sungguh ucapnya itu terdengar menyebalkan. karena geram, aku yang berlindung dibelakang tubuh mas Farhan langsung pasang badan. "kamu bilang kenapa? Jelas saja kamu yang harus bertanggung jawab karena kamu adalah ayah biologisnya!" ujarku dengan membentak. Dia enggak berubah sama sekali. "Apa kamu yakin bayi itu milikku? apa ada buktinya?" Aku menggeleng, sungguh tidak bisa dipercaya. Saat dia menghamili anak orang, dia malah bersikap seolah bukan dialah ayahnya, bukan di yang menyebabkan Anjel hamil. "Dia kekasihmu, sudah pasti' dia sedang hamil anakmu. Apa kamu mau bersikap sama seperti pada
Aku dan Mas Farhan ke jakarta. Sebenarnya aku tidak harus bertindak jauh seperti ini. Keluarga Adam sudah menerima Anjel, harusnya itu lebih daripada cukup. Tapi, entah kenapa rasanya kurang, aku ingin Adam pun ikut bertanggungjawab. Karena Anjel hamil dan aku selalu kepikiran Salma, jangan sampai bayi itu bernasib sama seperti Salma. Mas Farhan mengizinkan aku menemui Adam, dengan syarat dia pun harus ikut. Dia akan menemaniku menemui Adam. ini tidak masalah, karena tanpa mas Farhan minta syarat pun, aku sudah berniat akan mengajak mas Farhan. Kini aku dan mas Farhan sudah sampai di Jakarta, sengaja aku tidak menemui mantan ibu dan ayah mertua, aku memilih bertemu langsung dengan Adam. Setelah menemui Adam baru aku akan bertemu dengan mantan mertuaku. Di meja resepsionis aku langsung menanyakan keberadaan Adam. Mereka yang masih mengenaliku menyapaku dan sukses membuat aku senang. Karena mereka tidak melupakan aku. "Bu Khansa, apa kabar?" tanya resepsionis saat tahu orang
Beberapa hari setelah menghubungi Sinta dan menceritakan apa yang kakaknya lakukan, belum ada tanda-tanda Adam ada niat baik. Adam, seolah memutuskan kontak dengan keluarganya sendiri. Tapi, meskipun tidak ada kabar dari Adam, mantan ayah dan ibu mertuaku mereka terbuka, bahkan mereka menerima Anjel. Meskipun masih ada perasaan marah pada Anjel, tapi bukan berarti mereka harus tidak pedulikan kehamilan Anjel. Aku selalu merasa heran, keluarga Adam semuanya baik. Tapi kenapa hanya Adam yang berbeda? Kenapa hanya dia yang tidak memiliki hati nurani? entahlah! Sesuai kesepakatan, ibu meminta padaku untuk menghubungi Anjel dan memintanya untuk ketemuan. Mereka ingin meminta maaf dan ingin mengatakan niat baik mereka. Jika mereka menerima Anjel dan bayinya. Mereka berniat membawa Anjel untuk tinggal bersama mereka. (Bu Wulan ingin bertemu sama kamu,) aku kirim teks pesan ke nomor Anjel. Kutunggu beberapa menit akhirnya masuk balasan dari Anjel. (apa keluarga mas Adam ada di
("Apa kamu ngomong kaya gini untuk mengejekku? Menertawakan aku karena bernasib malang, ditinggal setelah ada yang lebih dariku? Apa iya, Khansa?") "Tidak! Aku sama sekali tidak punya pikiran sampai sana. Ini murni dari hatiku, karena Aku pun pernah ada di posisimu, aku tahu bagaimana sakitnya pria yang kita cintai memilih wanita lain. Terlebih sekarang kamu sedang hamil. Ingat! Anak dalam kandunganmu tidak berdosa, dia tidak tahu apa-apa. Jangan sampai anakmu bernasib sama seperti anakku. Jikapun Adam tidak mau tanggung jawab, tapi aku yakin keluarganya akan menerima kamu. Terlebih kamu sedang mengandung keturunan mereka," tuturku menjelaskan sekaligus menyanggah tuduhan jika aku tengah mengejeknya. Lagi-lagi tidak ada jawaban, yang terdengar sekarang hanya suara isakan yang sangat menyayat hati. "Kamu mau yah dengarkan saranku? Dia harus tanggung jawab, aku akan bicara pada keluarganya. Aku titip pesan sama kamu, tolong jangan stres, jangan banyak pikiran. Percayalah setiap ma