"Ke kafe yang lagi viral itu loh, Mas!" Tukas Mega dengan girang.
"Dimana? Aku gak tau soalnya." Jawab Aryo. "Nih, Mas Daniel pasti tau. Sayang, kafe yang lagi viral itu loh tau kan? Yang lagi rame jadi perbincangan di medsos," ucap Mega antusias sambil menepuk pundak Daniel. "Oh, iya ya, tau. Nanti lah, besok aja biar Daniel tunjukin jalannya." Mereka melanjutkan makan malam nya kembali, hening. Tak ada suara kecuali peraduan antara sendok, garpu, dan piring. "Mah, Amel ikut ya? Sudah lama juga Amel gak keluar jalan-jalan. Cuma sibuk bekerja aja setiap hari." Sahut Amel. "Gak, siapa yang nyuruh kamu ikut? Udah dirumah saja, beberes rumah dan jaga rumah saat kami pergi nanti," ucap Arum dengan wajah sewot. "Loh, kenapa Amel gak boleh ikut, Ma? Terus gimana sama Aisha, siapa yang jagain dia kalau Amel gak ikut?" "Siapa bilang Aisha ikut? Gak ada yang bilang perasaan. Dengerin, kamu dan Aisha itu gak usah ikut. Kalian gak pantas duduk bareng sama Mama dan yang lainnya. Lagian, mobil gak akan cukup jika kamu dan Aisha ikut. Jadi lebih baik di rumah aja, jagain rumah selama kami pergi. Lagian cuma sebentar aja kok." "Tapi Ma. Amel gak pernah keluar bareng Mama dan yang lainnya. Biarlah Amel ikut bersama Aisha, kali ini saja Ma. Biar Aisha ngerasain suasana di luar sana." "Mbak? Kamu ini denger gak Mama ngomong apa? Apa perlu kupingnya dibersihin dulu? Kan sudah cukup jelas tadi, Mama bilang kalau Mbak dirumah aja sama Aisha. Lagian gak pantes tau kalau Mbak ikut, yang ada Mas Aryo malu punya istri kaya Mbak ini." Mega merendahkan Amel. "Mega, kamu menghina Mbak? Denger ya, bukannya gak mau merawat diri. Secara... Gimana mau merawat diri? Waktu aja minimalis, belum juga gaji setiap bulan pasti digunakan untuk keperluan makan semua orang di rumah ini. Berbeda dengan kamu, tak bekerja dan hanya duduk manis di rumah. Gaji Daniel pun kamu gunakan hampir sepenuhnya untuk merawat diri. Sedangkan Mbak? Kamu itu harusnya bersyukur, bukan malah merendahkan seperti itu. Mau bagaimana pun keadaan Mbak, Mbak ini istrinya Mas Aryo yang sudah melahirkan anaknya." Mega hanya tersenyum sinis. Tak ada yang mengetahui disini bahwa Amel berasal dari keluarga terpandang. Hanya saja ia memang sering berpenampilan sederhana di depan orang-orang. Amel bukan wanita yang sombong. Terlebih, ia juga ingin mengetahui, sejauh manakah ketulusan Aryo dan keluarganya. Padahal jika dibandingkan, Aryo dan keluarganya tak ada apa-apanya dibanding Amel. "Aku berpenampilan sederhana begini saja selalu di injak-injak. Begitu rendahkan hubungan keluarga di mata kalian? Hanya karena uang, kalian sampai lupa bagaimana cara menghargai orang. Lantas bagaimana jika mereka mengetahui siapa aku sebenarnya? Bisa-bisa mereka baik hanya karena ingin memanfaatkan aku saja." Batinnya sambil sesekali melirik Mega dan yang lainnya. Usai makan, Aryo masuk ke kamar untuk bersantai dengan gawainya. Arum dan Mega masih bersantai di ruang tengah sembari menjaga Tifa yang sedang bermain dengan Aisha. Sementara Amel, ia melanjutkan memotong sayuran untuk stok makan Aisha. Setelah itu lanjut mencuci piring-piring kotor. Tapi ketika hendak memotong sayuran, betapa kagetnya ia mendengar tangisan putrinya yang begitu kencang. Tangisan itu tak kunjung diam. Amel segera mematikan kompor, setelah itu melihat keadaan putrinya. "Astaghfirullah, Aisha kenapa sayang? Ada apa, cerita sama Ibun," ucapnya sambil memeluk dan berusaha menenangkan Aisha. Ia masih menangis, seperti sedang menahan sakit. Miris, tak ada seorang pun yang berusaha menenangkan Aisha, semua terlihat cuek. Bahkan Arum dan Mega pun acuh tak mau tahu, mereka hanya sesekali melirik dengan sinis. Karena Aisha diam dan tak menjawab, Amel menelisik bagian-bagian badan Aisha, ia membuka baju dan celananya. Betapa terkejutnya ia ketika mengetahui lutut dan kepala belakang Aisha mengeluarkan darah segar. "Ma, Mega. Kenapa Aisha? Kenapa sampe berdarah seperti ini lutut dan kepalanya? Tanya Amel sembari mengambil air hangat dan peralatan obat seadanya untuk mengobati luka Aisha. Ia takut jika nanti terjadi infeksi. "Aisha tuh yang salah, orang Tifa cuma minta cemilannya kok gak boleh. Pelit! Dikasih sedikit juga engga. Yasudah Tifa merebut cemilannya. Eh, malah dia ngedorong Tifa, ya aku dorong balik lah. Makanya jangan pelit-pelit jadi anak," ucapnya dengan tatapan mata sinis dan tanpa rasa bersalah. Mata Amel melirik ke cemilan yang berserakan di lantai karena Tifa dan Aisha saling berebutan. "Astaghfirullah..." lirih Amel beristighfar. "Kamu keterlaluan sekali Mega!" Hardik Amel tak terima melihat putrinya terluka. Karena suara kericuhan itu cukup kencang, Aryo lantas keluar dari kamar untuk melihat apa yang terjadi. "Tifa abis nangis ya? Kenapa sayang. Ngomong dong sama Om... Siapa yang nakal?" "Aish kal, Om." (Aish nakal, Om) jawab Tifa. Ia masih menangis sesenggukan. "Iya tuh, Mas. Liat Tifa sampe nangis kaya gitu. Masa gara-gara cemilan aja dia ngedorong Tifa. Pelit banget, nakal lagi," Mega membuat keadaan semakin panas. "Ya ampun, bener-bener ini anak. Mana ibunya? Mana si Amel." Aryo mulai marah karena mendengar ucapan Mega. "Tuh, duduk santai berduaan di sofa. Mereka malah enak-enakan makan cemilan tanpa membaginya pada Tifa. Tadi juga dia ngebentak kaya nyalahin aku gitu." Mega memutar kedua bola matanya." "Aryo langsung menghampiri Aisha dan Amel sambil menggendong Tifa yang bergelenjotan manja di lengannya. "Heh, Amel. Maksud kamu apaan santai-santai disini, sedangkan Tifa kamu buat nangis seperti ini? Dimana perasaan kamu sedangkan kamu juga mempunyai anak perempuan? Apa kamu gak punya perasaan dengan keponakan kamu sendiri? Hah?" Amel yang tak terima dengan perkataan Aryo, langsung tersungut emosi. "Maksud kamu apa sih, Mas? Apa kamu gak punya mata? Kenapa kamu malah marahin aku? Kamu liat dong, anak kamu sendiri, nih kepala bagian belakangnya berdarah, lututnya juga sama. Semua ini gara-gara Mega, hanya karena cemilan ia sampai rela melukai keponakannya sendiri. Dari sini kamu bisa lihat kan, siapa yang jadi korban? Aisha atau Tifa?" Amel mencoba membela diri dan anaknya. Ibu mana yang terima jika anaknya di sakiti? "Yah seenggaknya kamu jangan abai gini dong ke Tifa, tenangin dulu kek. Masa ponakan nangis, kamu malah santai-santai disini?" "Siapa sih Mas yang santai? Aku daritadi ngobatin Aisha. Ini bahaya loh Mas, karena kepalanya juga kena. Kamu harusnya bisa lihat dong luka Aisha jauh lebih parah ketimbang Tifa. Harusnya kamu menegor Mega bukan aku!" Emosi Amel mulai memuncak. "Kamu itu dikasih tau suami malah kaya gini? Bagus... Udah mulai berani ya bentak-bentak kaya gitu? Belajar darimana kamu berani sama suami?" "Udah sayang, diem ya... Besok kita jalan-jalan bareng Nenek. Aisha biarin di rumah aja gak Om ajak." Tambahnya. "Bener-bener keterlaluan kamu, Mas. Kalau kamu gak anggap aku, gak papa. Tapi kalau udah gak nganggep Aisha, rasanya sumpah sakit!" Amel langsung menggendong Aisha dan membawanya ke dalam kamar. "Amel, awas jangan masuk dulu kamu ke kamar. Enak aja mau leha-leha. Bereskan dulu pekerjaan mu di dapur!" Titah Arum seraya berteriak. Amel sudah merasa jenuh dan muak dengan semua keadaan yang ia rasa. Beberapa tahun ia mengabdi dan berusaha untuk menjadi istri sekaligus menantu yang baik untuk keluarga Aryo, tapi semua itu sia-sia. Wanita itu tak mengindahkan omelan dari Mama mertuanya. Kini ia sudah mulai bodoamat dengan semua keadaan. Amel sudah tak mau untuk di perintah ini dan itu. Sudah cukup selama ini perjuangan yang ia lakukan. "Bagaimana aku bisa tenang bekerja jika Aisha masih terus dirumah tanpa pengawasan dariku?" Sejenak wanita itu terdiam. Ia lagi berfikir bagaimana caranya agar Aisha tetap aman walau jauh darinya. "Nah! Aku bisa sewa orang untuk menjaga putriku, baby sitter. Besok aku akan mencari orang untuk menjaga Aisha, sekalian ke rumah sakit untuk visum. Lebih baik sekarang aku berisitirahat." *** Pagi harinya, kebetulan di hari itu Amel tidak masuk bekerja. Jadi, ia bisa leluasa membawa Aisha untuk visum ke rumah sakit. Tak lupa ia menyertakan bukti foto dimana tempat Aisha terluka. Wanita itu sudah tak mau bertindak bodoh lagi, terus menerus mengalah jika dirinya disakiti, apalagi Aisha kini turut menjadi korban. Mobil yang dipesan tak lama lagi juga akan tiba. "Ya ampun, mana masakan? Kenapa kosong gak ada sama sekali? Kamu ini kalau kerja yang bener, Mel!" ucap Arum ketika membuka tudung saji di atas meja makan dan ia tak mendapati ada makanan disana. "Maaf, Mah. Amel disini bukan pembantu, tapi menantu yang harus Mama perlakukan seperti anak sendiri. Kalau Mama mau pembantu, Mama bisa memesan menyewa asisten rumah tangga untuk memasak, mencuci piring, ngepel, mencuci baju. Pokoknya pekerjaan yang ada di rumah ini." Tegas Amel. "Oh, sudah berani membantah kamu sekarang. Kamu fikir, kamu ini siapa berani ngelawan Mama?" Arum tak terima dengan ucapan Amel "Amel gak bermaksud buat ngelawan Mama, hanya saja... Sekarang Amel gak mau bertindak bodoh. Diam ketika selalu di injak, apalagi Aisha turut menjadi korban. Amel gak bisa terima, sakit Mah! Maaf, Amel harus pergi, mobil sudah menunggu di depan." Tanpa berpamitan basa-basi atau cium tangan, Amel langsung berangkat tanpa melirik Arum kembali. Mata tajam Arum masih lekat memandang Amel hingga ia hilang dari penglihatannya. "Awas kamu Mel. Sudah berani bersikap seperti itu ke Mama. Liat aja, akan Mama adukan perbuatan kamu pada Aryo!"Sebentar lagi Amel dan Aisha akan tiba di rumah sakit. Sebelum sampai, ia ingin menyimpang dulu ke ATM, mengambil sejumlah uang untuk pengobatan Aisha. Kebetulan, jarak ATM dan rumah sakit tak begitu jauh. Bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki saja. Setelah selesai mengambil uang, ia segera membawa Aisha untuk visum.Amel mulai masuk ke rumah sakit dan menunggu beberapa jam untuk menunggu hasil visum.Alhamdulilah, akhirnya semua berjalan lancar. "Aku akan menyimpan bukti ini. Jika suatu saat Mama dan yang lainnya macam-macam lagi, aku takkan segan melaporkannya ke polisi agar mereka jera.""Aisha mau apa? Masih sakit gak kepalanya?" Tanya Amel sambil mengelus-elus kepala putrinya."Dikit, yang ini Ibun sakit," ucapnya sambil menunjuk kepala bagian belakang.Untung saja, dari hasil pemeriksaan visum. Luka di kepala Aisha tidak terlalu parah. Hanya luka di bagian luar dan sedikit sobek pada kulit kepalanya."Ya sudah, Aisha kuat ya sayang. Yuk Ibun belikan makanan dan mainan ya. At
Amel ikut tercengang, ia merasa tak percaya dengan ucapan Sintya. "Kamu yang bener, Sin? Itu benar Mas Aryo atau bukan? Coba kamu liatin yang bener dong.""Iya, Mel. Itu benar suami kamu, aku gak mungkin salah lihat."Dengan sigap Amel langsung menyuruh Sintya untuk merekam kejadian itu, agar bisa digunakan untuk bukti. "Sin, tolong rekam dan foto mereka. Jangan sampai lolos. Aku harus punya bukti, jika tidak mereka pasti akan menganggap aku memfitnah mereka." "Oke, rapih Mel. Semua sudah aku foto tadi.""Terimakasih ya Sin. Cuma kamu yang bisa membantuku saat ini. Aku istirahat dulu ya. Besok aja aku lihat fotonya."Amel mematikan telepon, ia lebih memilih untuk beristirahat, karena besok sudah mulai masuk kerja lagi.***Keesokan harinya Pagi ini, Amel bangun lebih awal untuk menunggu orang yang sudah di sewa menjadi baby sitternya."Kamu ngapain jam segini sudah bangun? Oh... Mama tau, seperti biasa kamu mau membuatkan sarapan dan membersihkan rumah kan?" ucapnya dengan senyum
"Amel itu menantu disini, dan namanya menantu, mertua itu harus menyayangi bak anak kandungnya sendiri. Apa Mama pernah begitu ke Amel? Menganggap Amel ini anak Mama? Kalau Mama emang merasa sedemikian, kenapa disini Amel terus-menerus di hina, di perlakukan seperti pembantu, di kucilkan, bahkan sewaktu makan saja mau ngambil lauk daging Amel tak di perbolehkan. Padahal jelas yang membeli semua kebutuhan di rumah itu Amel, buat menafkahi orang di rumah ini. Gimana, Mah?"Kesabaran Amel sudah tak bisa di toleransi kembali, ia mencerca Arum dengan berbagai macam pertanyaan. Wanita paruh baya itu berdiri di ambang pintu dengan raut wajah kesalnya, begitu juga Mega, ia tak menyangka Amel bisa mengatakan semua ini.Arum memicingkan matanya, "Kamu ini, sudah mulai berani berbicara seperti itu ke Mama? Gak tau diri kamu tinggal di rumah ini.""Mah, coba tanyakan pada diri Mama sendiri. Yang gak tau diri disini itu Amel, atau siapa? Amel gak mau nyebutin, cobalah Mama berfikir sendiri. Terus,
"Iya, Ayah juga laper loh, Ma. Apa Mama gak bisa buat masakin sarapan untuk kita?" Tanya Hakim."Kalian ini, lagi ribut kaya gini bisa-bisanya masih mikirin makan. Urusan isi perut itu gampang, kalian bisa beli di luar. Banyak orang jualan makanan pagi-pagi gini. Mama gak mau capek-capek ngurusin rumah. Apalagi harus keluar untuk membeli bahan-bahannya dulu, karena stok bahan sudah habis. Untuk kamu Mega, bisa beli bubur ayam di luar untuk sarapan Tifa, kasihan dia udah rewel minta makan." Arum menggerutu. Ia memang tak pernah mau membersihkan rumah, maunya terima beres karena ia orang pemalas, begitu pun dengan Mega."Oke deh, Ma..." Jawab Mega dengan lesu."Heran Mama, gak habis fikir dengan Amel. Bisa-bisanya kaya gitu sekarang, baru pertama Mama ngeliat dia berani melawan seperti ini. Seperti tak punya harga diri Mama dibuatnya," ucap Arum kesal seraya menyilangkan kedua tangannya.Jelas, semua manusia punya batas kesabaran. Sudah tiga tahun lebih Amel mengabdi, menyerahkan tenaga
"Mel? Tumben mukanya di tekuk gitu, apa ada masalah lagi sama Mama mertua kamu?" Tanya Sintya, ia berjalan menghampiri dan duduk di sebelah Amel."Aku sedih, Sin. Kenapa Mama gak sayang sama Aisha? Dia kan cucunya. Kalau aku yang disakiti masih mending. Ini Aisha, anak kecil gak tau apa-apa." Mata wanita itu mulai berkaca-kaca."Maksud kamu apa? Emangnya Aisha kenapa Mel? Apa mereka melukainya?" Timbul beberapa pertanyaan dalam benak sahabatnya itu."Lusa kemarin, pas aku lagi masak, aku tuh naruh Aisha di ruang tengah. Dia lagi main sama sepupunya, Tifa. Pas aku udah selesai motongin sayuran tiba-tiba denger dia nangis, teriak kaya kesakitan gitu Sin... Nangisnya itu tak kunjung berhenti. Karena khawatir aku coba liat kan. Pas aku tanya Aisha gak mau jawab, ternyata pas nyoba cek di sekujur tubuhnya, ada luka di bagian kepala belakang sama lututnya." Amel menangis sesenggukan, ia sedih karena mengingat kejadian saat itu. Kenapa keluarga suaminya tak peduli padanya juga anaknya."Ya A
Kurir itu segera mematikan mesin dan mengambil bingkisan makanan yang digantung di dasboard. "Pesanan makan atas nama Aisha dan Mirda?" Tanya kurir."Iya, saya Mirda, Pak. Ini yang digendong ialah Aisha,", ucapnya sambil menghampiri dan akan mengambil bingkisan makanan itu "Gimana sih, Pak? Bapak salah baca kali. Itu pasti makanan buat saya dan menantu. Gak mungkin kalau Amel membelikan hanya untuk pengasuh murahan kaya gini." Arum tak terima."Mohon maaf, Bu. Yang memesan makanan ini Bu Amel, ia berpesan pada saya bahwa makanan ini jangan diberikan pada selain atas nama Mirda dan Aisha," jelas Pak kurir.Setelah memberikan makanan itu, kurir delivery pun segera pulang. Sementara Mirda dan Aisha segera masuk ke dalam kamar kembali. Ia tak memperdulikan ocehan Arum dan Mega. "Heh, pembantu sialan. Kurangajar ya kamu asal nylonong tanpa pamit. Lagian itu si Amel udah gayanya udah kaya konglomerat aja mesen-mesen makanan online." Sungut Arum tak terima dengan perlakuan menantunya. Ia g
"Lancang kamu ya! Baru pertama kali saya liat pembantu belagu kaya kamu Mir! Kamu itu harusnya tau diri tinggal dirumah siapa, ini rumah saya bukan Amel! Cuma pembantu aja kok belagunya kelewatan. Gak punya sopan santun sama pemilik rumah!" Wanita paruh baya itu berkacak pinggang, emosinya sudah meledak.Sementara, hari sudah menjelang sore. Waktunya Amel untuk pulang kerja, ia segera membereskan buku-buku dari meja kerjanya. Sebelum pulang, wanita itu berencana ingin membelikan cemilan untuk Aisha dulu, karena stok kemaren sudah habis."Mel, mau pulang sekarang?""Iya Sin. Aku udah pengen sampe rumah, pengen liat putriku. Tapi kayanya aku mau nyimpang dulu beliin cemilan buat Aisha. Baru setelah itu pulang," balasnya."Oh oke deh. Aku duluan ya. Kamu hati-hati di jalan. By Mel." Sintya melambaikan tangan pada sahabatnya.Jarak antara supermarket dan rumah tidak terlalu jauh, kebetulan masih satu arah. Hanya butuh waktu sepuluh hingga lima belas menit untuk sampai.Di pinggir jalan se
"Mir, sekarang kita siap-siap untuk makan malam di luar dengan Aisha, tolong siapkan segala keperluannya. Pasti sekarang Aisha sudah lapar. Saya tunggu diluar ya." Perintah Amel.Amel bergegas keluar dari kamar untuk pergi dinner dengan putri dan juga pengasuhnya. Ia tak peduli jika Arum ataupun Mega belum makan malam ini, yang terpenting sekarang adalah ia dan juga putrinya.Selang lima belas menit, Mirda menggendong Aisha untuk keluar menghampiri Amel. "Bu, sudah siap. Kita bisa berangkat sekarang," ucapnya."Eh tunggu. Mau kemana kalian? Pergi gak pamit-pamit. Kaya jaelangkung aja." Arum menghadang tepat disebelah pintu depan."Kami mau makan diluar Ma. Pasti sekarang Aisha sudah lapar, kasihan dia belum makan malam ini. Keburu malam nanti bisa ngantuk di jalan," ucap Amel."Enak aja main keluar. Kalian boleh keluar, asalkan pulang membawa makanan untuk Mama dan juga Mega. Kami juga belum makan malam." Tegas Arum."Maaf Ma. Nanti Ayah atau Mas Aryo kan pulang, Mama bisa minta uang
"Lo denger gak apa kata bos gue? Apa mau gue sumpelin langsung ke mul ut lo?" Tanya salah satu napi yang lainnya."I-iya, Bang. Saya denger.""Gitu dong!" ujarnya sambil melemparkan bungkus yang berisi nasi bekas."Apes banget hidup disini, gak ada perasaan, udah mirip sama bina tang. Aku harus segera menghubungi Mama, agar mempercepat untuk bertemu dengan Amel dan segera membebaskan aku," batinnya sambil terus memandangi nasi bekas, Aryo merasa risih jika harus memakan nasi itu.Namun tak ada pilihan lagi selain menghabiskan nasi bekas itu, karena para napi yang lainnya juga memperhatikan gerak-gerik Aryo. Dengan terpaksa, lelaki itu memakannya, walau dalam hati sebenarnya ingin muntah.___Arum kini sudah tiba di klinik bersama Risma, ia langsung dilarikan ke UGD karena pendara-ha nya semakin hebat.Tubuhnya lemas terkulai hingga nyaris membuat Risma tak sadarkan diri. Dokter segera mengecek kondisinya, karena gumpalan da rah mulai keluar dari area sensi tifnya.Sementara dengan Aru
"Terus, langkah apa yang akan Mama ambil untuk sekarang? Apa Mama akan tetap mewakili Mas Aryo untuk mempersulit proses perceraian. Atau Mama memilih mengalah dan pasrah jika Mas Aryo dan Mbak Amel benar-benar sah bercerai?" Tanya Mega. Ia turut merasakan tegang bercampur resah, nyalinya untuk menghadapi Amel sudah tak se bar-bar dulu.Ia khawatir jika nantinya malah ikut terseret, karena dulu Mega pernah melakukan kekerasan terhadap Aisha hingga terluka. Bahkan, sampai sekarang Amel pun masih menyimpan bukti visum atas itu.Mega tak menyangka, Amel akan melakukan hal senekad ini. Ia benar-benar menjebloskan lelaki yang dulu pernah membuatnya mabuk kepayang tanpa rasa belas kasihan."Mbak Amel ke Mas Aryo aja bisa setega itu, padahal Mas Aryo adalah lelaki yang dulu pernah sangat ia cintai. Apalagi ke aku? Bisa habis aku dibuatnya," batinnya dengan dada yang berkembang kempis. Wajah wanita itu seketika nampak pias. Ia tak mau jika bernasib sama seperti Aryo."Yah, mau gak mau Mama har
"Semudah inikah Mama bisa mengucapkan kata maaf? Apa Mama gak ingat, bagaimana perlakuan Mama ke Amel waktu dulu? Dan bayangkan, berapa lama Amel menahan sabar atas sikap Mama yang zolim?""Mama menyesal Mel, gak ada yang bisa membantu Mama saat ini kecuali kamu. Karena kamu lah yang berkuasa untuk mencabut tuntutan itu," ujar Arum berusaha untuk terus memohon. Karena satu-satunya orang yang bisa membebaskan Aryo dari penjara adalah Amel.Sebenarnya, Aryo bisa keluar penjara dengan cepat, asal ia membayar denda sesuai dengan jumlah yang di tentukan. Namun, jangankan membayar denda, untuk kebutuhan sehari-hari saja sekarang keadaan keluarga mereka sangatlah sulit. Berbeda dengan yang dulu, uang mereka selalu utuh karena banyak bergantung dengan Amel."Iya, Mama menyesal karena baru tau kan kalau ternyata Amel gak seburuk dan semiskin yang Mama kira? Andai dari awal Mama mengetahui semua harta yang Amel punya, pasti Mama tak akan bersikap seperti itu, yang ada Mama bakal menjunjung ting
"Aku harus segera membawa suamiku ke klinik, agar ia cepat sembuh dan bisa bekerja lagi. Benar-benar kacau, jika sampai tak ada yang menafkahi keluarga ini. Secara, mau makan pakai apa? Sedangkan Aryo juga belum bebas, Daniel pun tak selalu bisa di andalkan. Aku memang mempunyai uang tabungan. Tapi sayang sekali jika harus merogoh tabungan hanya untuk makan sehari-hari. Apa gunanya aku mempunyai anak dan suami jika harus memakai uang tabungan?" ujar Arum sembari melirik ke arah jalan dari kaca mobil yang tertutup. Sekarang, ia dan Hakim sedang dalam perjalanan menuju klinik. "Ma, rasanya gak kuat. Kepala Ayah kaya di putar-putar, rasanya juga mual." Hakim terus memegangi kepala, sambil menahan mual yang kini terasa mengkocok isi perutnya."Ayah, ini juga kita lagi di jalan, bentar lagi juga sampe. Biar enak nanti sampe sana gak usah ngantri lama, karena hari sudah mulai siang."Mobil yang di tumpangi Arum dan Hakim kini sudah berhenti di parkiran sebelah kanan klinik, mereka segera m
Arum langsung memutuskan teleponnya dengan Mega, ia dibuat kaget dengan kehadiran Lia yang berbisik tepat di telinganya. "Bu Arum, apa anda mendengar ucapan saya?" "Iya, saya dengar.""Baik, semuanya sudah jelas. Anda bisa pergi dari sini secepatnya,""Bu, lantas bagaimana dengan Aryo? Kapan ia bisa bebas? Tolong, kasihanilah anak saya." Pinta Arum sedikit memelas."Maaf, yang lebih berhak untuk memutuskan anak Ibu bisa keluar dari tahanan bukan saya, tapi Amel. Dia lah yang mempunyai hak, kapan bisa mencabut tuntutan itu. Karena, yang bersangkutan disini sebagai korban ialah putri saya." "Tapi, apakah Ibu gak bisa untuk membujuk Amel? Di penjara sana tempat orang-orang krim!nal Bu, saya takut Aryo kenapa-napa.""Tadi sudah saya jelaskan ya Bu Arum, yang bisa mengeluarkan Aryo dari sana bukan saya, tapi Amel.""Sekarang Amel ada dimana, Bu? Tolong sebelum saya pergi. Saya ingin tau keberadaan Amel.""Anak saya lagi kerja Bu, gak bisa diganggu di jam-jam sekarang.""Baik, kalau begi
"Saya ingin Aryo di bebaskan, tolong. Ibu gak bisa jika selalu semena-mena terhadap kami.""Semena-mena anda bilang? Apakah menurut kalian, bahwa perilaku kami terhadap kalian ini tak pantas?" Lia berjalan mendekati Arum, tepat di sebelah kolam ikan yang menghiasi halaman rumahnya."Iya, memang anda tak pantas jika berperilaku seperti itu pada anak saya Bu. Apalagi Aryo itu ayahnya Aisha. Jika anak Bu Lia memang mau menggugat anak saya tolong kalian bersikap yang adil.""Adil apa yang anda maksud? Apakah selama ini anda berlaku adil kepada putri saya saat pertama kali ia sah menjadi menantu anda? Apakah anda memperlakukan Amel dengan baik dengan mengingat bagaimana cara Ibu mertuaharus bersikap kepada menantunya?" Lia mencerca Arum, ia mulai geram.Karena Lia paham dengan karakter besannya itu. Pasti Arum takkan terima jika putra sulungnya mendekam dalam tahanan. Arum sesaat hening tak bergeming di hadapan Lia."Bagaimana pun Aryo, ia tetap Ayah biologis dari Aisha Bu. Ibu gak boleh
Di samping itu, kini Aryo sedang dimintai keterangan oleh penyidik. Ia dilaporkan atas dasar kasus perzinahan. Bahkan Amel juga malaporkan kasus saat Mega mendorong Aisha hingga terluka.Namun petugas kepolisian sengaja tak membicarakannya terlebih dulu, karena dilarang oleh Zain dan Lia.Andai saja, ia dan keluarganya tak terus-terusan mengganggu Amel, pasti kejadiaannya tak akan fatal seperti ini."Apa benar kamu melakukan zina ketika masih berstatus kan suami dari saudari Amel?" Tanya polisi."Gak Pak. Semua ini salah paham, tolong bebaskan saya. Saya gak tau menahu soal ini. Mungkin Amel hanya bergurau saja Pak, gak mungkin dia tega melaporkan saya, karena saat ini saya masih sah berstatus kan sebagai suami Amel.""Saya hanya menjalankan tugas, dan saya gak bisa jika harus membebaskan anda, terkecuali Bu Amel datang kemari dan menyabut tuntutannya." Tegas polisi.Aryo terdiam, hanya bisa mendengkus kesal dan meratapi nasib. Ia tak menyangka semuanya akan menjadi seperti ini."Samp
Pagi harinya"Permisi, apa benar ini kediaman dari Pak Aryo bin Hakim Wahyudi?" Tanya dua orang lelaki yang menggunakan seragam serba hitam."Benar Pak, itu anak saya. Maaf, Bapak siapa dan ada perlu apa kemari?" Tanya Arum, dari hatinya ia menduga bahwa kedua lelaki yang sedang dihadapinya itu berprofesi sebagai polisi."Kami dari pihak kepolisian, ingin menangkap saudari Aryo Wahyudi. Mohon maaf Bu.""Loh, ada apa Pak? Apa salah anak saya hingga mau ditangkap seperti ini?"Belum juga menjawab, salah satu polisi memberi kode untuk memperintah kan temannya masuk ke dalam."Siap Ndan!"Salah satu polisi itu langsung masuk ke dalam rumah dan menggeledah untuk mencari Aryo."Maaf, apa Bapak bernama Aryo?" Tanya polisi ketika sedang melihat Aryo bersantai dengan Risma."Iya, maaf Bapak siapa? Kok berani masuk ke rumah saya seperti ini?"Tanpa berkata lagi, kedua polisi itu langsung memborgol tangan Aryo. Lelaki itu mencoba memberontak karena tak terima. "Heh, apa-apaan ini? Apa salah saya
Semua orang sudah berkumpul di ruang sidang, Amel tinggal menunggu panggilan sekarang.Setelah menunggu kurang dari lima belas menit akhirnya nama Amel dipanggil oleh Pak Hakim (Ketua Pengadilan)."Selamat pagi, saudari penggugat. Apakah anda hari ini sehat dan siap untuk melaksanakan sidang pertama?" Sapa Pak Hakim."Pagi Pak. Saya sehat, dan siap untuk menjalankan sidang hari ini." Jawab Amel dengan tegas."Apakah anda tetap yakin untuk bercerai? Walaupun sudah ada anak di antara kalian? Sudahkah anda mempertimbangkan nya kembali?" "Saya sudah mempertimbangkan berkali-kali, Pak Hakim. Dan keputusan saya mutlak untuk bercerai dengan suami saya.""Bagaiman dengan Aryo, saudari tergugat?" Tanya Pak Hakim pada Aryo."Maaf yang mulia, saya tidak mau bercerai dari Amel. Saya ingin ia mempertimbangkan kembali atas keputusan ini. Karena bagaimana pun anak kami masih membutuhkan kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tuanya. Istri saya memang keras kepala Pak. Padahal sudah berkali-kali