-Dalam Mobil-Langit senja mulai meremang, mewarnai jalanan dengan semburat jingga. Di dalam mobil yang melaju perlahan, Paula memandang keluar jendela, memerhatikan lampu-lampu kota yang mulai menyala satu per satu. Tapi pikirannya jauh dari apa yang ada di depan matanya. Ia mengingat sebuah momen di mana ia menerima buket bunga dari seseorang. Awalnya ia mengira itu dari Jexon, namun kenyataan berbicara lain. Buket itu bukan dari dia.Keheningan di dalam mobil terasa berat hingga Jexon memecahnya. âKamu kenapa diam aja, Paula?â tanyanya sambil melirik Paula sekilas. âCapek, ya?âPaula menoleh. Ia tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. âEnggak kok, Pak Jexon. Saya nggak apa-apa.âJexon mengangguk, mempercayai jawabannya. âOke.â Namun, alisnya sempat sedikit berkerut, seolah masih memikirkan sesuatu.Beberapa detik berlalu dalam keheningan sebelum Jexon tiba-tiba berkata, âKita makan malam dulu, ya.â Tanpa menunggu jawaban, ia memutar setir,
đApartementPagi itu, aroma roti panggang dan sup hangat memenuhi ruangan kecil apartemen. Paula berdiri di dapur, mengenakan apron sederhana, tangannya sibuk mengatur piring di meja makan. Dia memutar kepala dan tersenyum kecil saat melihat Rean duduk dengan wajah segar, meski sedikit pucat.âRean, kamu sudah merasa lebih baik sekarang?â tanya Paula lembut, sembari menuangkan jus jeruk ke gelas.Rean, yang baru saja menyuap potongan kecil roti, mengangguk pelan. âIya, auntie. Sudah jauh lebih baik. Terima kasih sudah merawatku.ââBaguslah,â jawab Paula sambil menaruh semangkuk kecil sup di depan Rean. âHari ini aku juga buat sup hangat untuk makan siang kalian. Cuaca dingin seperti ini, tubuh kalian butuh kehangatan.âDk, yang duduk di ujung meja, tersenyum kecil sambil memandangi Paula. âAuntie benar-benar selalu perhatian banget.âPaula menggeleng sambil terkekeh kecil. âTentu saja aku perhatian. Kalian butuh perhatian lebih dariku.â Namun, seketika, perhatian Paula teralihkan ke
Andreas memegang erat kemudi mobilnya, namun pandangannya terasa kosong. Jalan raya di depannya yang biasanya ramai kini tampak seperti kabur, seolah tertutup oleh pikirannya yang berantakan. Sesak itu kembali datangârasa berat di dadanya, yang kali ini terasa semakin kuat setelah ia berpapasan dengan Paula tadi.Ia melirik ke ponselnya yang tergeletak di konsol tengah. Dengan satu tangan, ia mengangkat perangkat itu dan menekan nomor yang sudah dihafalnya di luar kepala. Napasnya terdengar berat saat panggilan tersambung.âYa, Pak Andreas,â suara di ujung sana menjawab dengan sopan.Andreas menelan ludah, suaranya serak ketika berbicara. âApa nggak ada informasi lain tentang Paula? Coba cek lagi.âAda jeda beberapa detik sebelum suara itu kembali. âMaaf, Pak, semuanya benar-benar kosong. Tidak ada jejak apa pun yang bisa kami temukan. Informasi tentangnya pun sangat terbatas.âAndreas menggeram pelan, merasakan frustasi yang mulai membakar dadanya. âKosong? Itu mustahil. Bagaimana bi
đJ&T EntertainmentDua hari berlalu, suasana antara Valentine dan Jexon berubah. Ada jarak yang mulai terasa, dan Valentine dengan mudah menyadari bahwa Jexon sengaja membatasi dirinya.Hari ini, Jexon berada di ruang evaluasi. Sorot matanya tajam, menilai satu per satu idol yang sudah debut tetapi tetap berada dalam pengawasan tim evaluasi. Sementara itu, Valentine duduk tak jauh darinya. Diam-diam ia mencuri pandang ke arah Jexon yang tampak serius, nyaris tak berkedip memperhatikan setiap gerakan dan suara yang ditampilkan para idol.Setelah evaluasi selesai, Jexon berdiri tanpa sepatah kata. Gerald, sekretarisnya, dengan sigap mengikuti langkahnya keluar ruangan. Di belakang mereka, Valentine bergegas bangkit, memanggil dengan suara yang tak terlalu keras namun penuh harap.âJexon!â Seru Valentine sambil berlari kecil, mengejar langkah pria itu.Jexon tak menoleh. Dia terus berjalan, seolah tidak mendengar. Valentine akhirnya berhasil menyamai langkahnya, berdiri di sampingnya sa
Teror yang terus menghantui akhirnya membuka jalan bagi Nicholas untuk memikirkan hal-hal yang sebelumnya tak pernah terlintas di benaknya. Ia mulai mempertanyakan alasan di balik rentetan bahaya yang selalu mengintai Paula, yang tampaknya dilakukan oleh sosok misterius.Insiden tersebut mendorong Nicholas untuk meminta Albert, sekretarisnya, menyelidiki kembali secara diam-diam kasus kecelakaan yang pernah menimpa Paula. Ia ingin memastikan apakah dugaannya benarâbahwa Jexon, putranya sendiri, mungkin terlibat dalam kejadian tersebut, seperti yang terjadi saat ini.****đRumah Sakit -Kamar Pasien-âDia mengalami keracunan dari minuman itu, Pak. Pihak kami sudah melakukan pencucian lambung untuk mencegah efek lebih lanjut. Namun, jika kondisi Nona Paula tidak segera membaik, kami akan melakukan pemeriksaan lebih mendalam,â jelas dokter dengan nada tenang, meskipun wajahnya menyiratkan kekhawatiran.Jexon berdiri di sisi tempat tidur, memandangi Paula yang terbaring lemah dengan wa
đJ&T Entertainment -Ruangan Presedir-Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya terdengar detak jam di dinding yang semakin memperkuat ketegangan. Nicholas berdiri di dekat meja kerjanya, kedua tangannya mengepal, wajahnya menyiratkan amarah yang ditahan. Di hadapannya, Jexon berdiri dengan kepala sedikit tertunduk, namun raut wajahnya datar, hampir tanpa ekspresi.âKamu yang melakukan semuanya?â tanya Nicholas, suaranya rendah namun penuh tekanan.Jexon tidak segera menjawab. Ia mengangkat wajahnya perlahan, menatap ayahnya dengan tatapan kosong.âKATAKAN, JEXON!â bentak Nicholas, suaranya menggema di ruangan besar itu. Emosinya meledak, membuat tangannya menghentak meja dengan keras.âHm.âJawaban singkat itu membuat Nicholas tertegun sejenak. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. âKamu mengakuinya?â tanyanya, suaranya nyaris bergetar.Jexon mengangguk pelan.Nicholas menarik napas dalam, mencoba menahan emosinya yang semakin memuncak. âKamu sadar, Jex
Beberapa hari telah berlalu sejak Paula keluar dari rumah sakit. Namun, selama itu, Jexon tak juga muncul untuk menemuinya. Ia mencoba menepis rasa kecewa yang perlahan menyusup ke dalam hatinya, meyakinkan diri bahwa mungkin Jexon hanya sedang sibuk. Tapi di lubuk hatinya, ia tahu ada sesuatu yang terasa berbeda.-Dalam Van-Paula duduk diam di kursi belakang van, wajahnya terlihat tidak bersemangat, meskipun ia berusaha menyembunyikan keresahan di balik senyum tipis yang nyaris tak terlihat. Matanya menatap kosong ke luar jendela, menyaksikan pemandangan kota yang berlalu begitu saja. Jemarinya tanpa sadar meraba cincin yang melingkar di jari manisnya, memainkan permukaannya seolah sedang mencari kenyamanan dalam keheningan itu.Yubin, yang duduk di sampingnya, melirik Paula dari sudut matanya. Ia menghela napas pelan, lalu membuka percakapan, mencoba mengusir suasana dingin di dalam mobil.âPaula,â Yubin memulai dengan nada hati-hati. Ia memutar tubuhnya sedikit agar lebih menghada
đJ&T EntertainmentDua hari berlalu sejak kejadian itu. Paula kembali menjalani aktivitasnya seperti biasa. Setelah menyelesaikan sesi pemotretan untuk iklan parfum, dia segera menuju kantor agensi. Tepat pukul 16.40 sore, dia melangkah masuk dengan langkah cepat.âPaula, Pak Presedir memanggilmu,â ucap Albert sambil menghentikan langkahnya di dekat meja resepsionis.Paula yang tengah menyesuaikan tali tas selempangnya mengangkat kepala. âAh! Baiklah. Terima kasih, pak Albert.âAlbert melangkah lebih dulu, meninggalkan Paula yang sempat menoleh pada Yubin, managernya. Yubin hanya mengangkat bahu sambil tersenyum simpul, seolah tahu apa yang menanti Paula. Tanpa berkata apa-apa, Paula pun mengikuti langkah Albert.****-Ruangan Presedir-Begitu Paula membuka pintu, aroma kayu cendana yang khas segera menyeruak. Ruangan Nicholas, sang presedir sekaligus mertuanya, selalu tertata rapi dengan nuansa minimalis modern. Paula melangkah masuk perlahan, menutup pintu di belakangnya.âPak Pr
Pikiran itu berputar liar, tak mau berhenti, seperti badai yang tak kunjung reda. Bayangan kecelakaan-kecelakaan akhir-akhir ini menghantui Jexon, mengisi setiap sudut ruang kosong dalam kepalanya. Ia mencoba merasionalisasi, tapi semakin keras ia berpikir, semakin banyak pertanyaan tanpa jawaban yang muncul.Jexon menatap kosong ke tumpukan dokumen di mejanya, di ruangan kerja yang luas dan sunyi itu. Udara di sekeliling terasa berat, terlalu penuh dengan pikiran yang menggantung. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Namun pikirannya segera kembali ke sosok Andreasâseseorang yang baru ini mulai masuk dalam kecurigaannya.âDalang dari semua ini,â gumam Jexon pelan, nada suaranya rendah dan penuh tekanan. Andreas Liu. Nama itu terus berulang di benaknya, menghantui seperti bayangan gelap yang tak mau pergi.Dengan gerakan cepat, Jexon meraih ponselnya di meja. Jari-jarinya menekan layar, mencari nama kontak yang ia butuhkan. Seketika, ia menghubungi Ar
đRumah Sakit Kamar rumah sakit itu terasa hangat, meski aroma antiseptik yang khas masih terasa di udara. Rean terbaring di ranjang dengan infus yang terpasang di tangannya. Wajahnya sudah tidak terlihat pucat, tapi senyumnya tak pernah pudar saat melihat Paula masuk membawa sekotak buah dan bunga mawar putih di tangannya. âRean, gimana kabarnya?â tanya Paula sambil mendekat ke sisi ranjang. Suaranya lembut, penuh perhatian. âLebih baik, auntie Paula. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang,â jawab Rean, meski suaranya terdengar sedikit lemah. Di sudut ruangan, Dk, terlihat duduk menemani Rean sahabatnya di kamar pasien itu. âAuntie!â panggil Dk beranjak mendekati Paula. Paula tersenyum. âHai, Dk. Maaf ya, kalau auntie baru sempat jenguk sahabat kamu.â Sambil mengusap kepala bocah itu. Dk mengangguk dengan semangat. âIya, gpp auntie. Kami berdua, cuma lihat berita ditelevisi.â Paula mengerutkan kening, merasa penasaran. âOh ya? Apa yang kamu lihat?â âTent
Berita Eksklusif: Kencan Paula dan Jexon!Hari ini, dunia hiburan digemparkan dengan kabar hangat seputar hubungan romantis antara Paula, model terkenal dari agensi J&T Entertainment, dan Jexon, CEO agensi tersebut. Foto-foto yang diambil secara diam-diam oleh paparazi menunjukkan keduanya berpelukan di rumah sakit, menciptakan spekulasi besar di media.đJ&T Entertainment -Ruang Presdir-âIni foto yang beredar semalam?â tanya Nicholas, presiden direktur J&T Entertainment, sambil menyelipkan senyum tipis. Matanya menatap tajam pada sebuah foto di tangannya.Albert, asistennya, mengangguk mantap. âIya, Pak Presdir. Ini diambil oleh seorang wartawan.âNicholas menghela napas lega, menyandarkan tubuhnya ke kursi kulit di balik meja kerjanya. âKalau begini, sepertinya mereka sudah menyelesaikan masalah mereka.â Ucapannya terdengar ringan, namun jelas menyiratkan kebahagiaan.****Sebaliknya, suasana di rumah keluarga Wang penuh dengan ketegangan. Elisabeth, ibu Jexon, menatap layar tel
Celine tersentak, tersadar dari lamunannya. Dia melihat punggung Andreas yang semakin jauh di ujung koridor hotel. Dengan tergesa-gesa, dia mengejarnya. Langkah kakinya terdengar berdebum pelan di atas karpet tebal.âAndreas!â serunya, suaranya gemetar.Andreas tetap berjalan tanpa menoleh, namun tubuhnya menegang saat Celine menggenggam pergelangan tangannya. Ia berhenti, tapi tidak langsung berbalik.âKamu mau ke mana?â tanya Celine, suaranya memohon, hampir putus asa. Matanya yang berkaca-kaca menatap punggung pria itu.Andreas menarik napas panjang sebelum akhirnya berbalik. Wajahnya dingin, matanya tajam seperti pisau. âMau balik. Saya harus temui Abex dan mencari Serena,â jawabnya dengan nada rendah tapi tegas, seolah tidak ingin ada diskusi lebih lanjut.âJ-jangan pergi,â pinta Celine sambil menggenggam tangannya lebih erat. âT-tidak ada yang menemaniku di sini.âAndreas mendengus, tawa pendek yang lebih terdengar seperti ejekan. Dia menatap Celine dengan tatapan sinis. âTidak
đJ&T Entertainment-Ruangan Presiden Direktur-Elisabeth membuka pintu ruangan dengan gerakan cepat, langkahnya penuh tekad saat memasuki ruang kerja suaminya. Suara hak sepatu yang menghantam lantai terdengar nyaring, mengisi keheningan di ruangan itu. Matanya tajam, seperti ingin menembus setiap rahasia yang tersembunyi di balik wajah tenang Nicholas.Nicholas mendongak dari berkas-berkas di mejanya, lalu bersandar santai di kursi, menatap istrinya dengan sikap tenang. âAda apa, Elisabeth?â tanyanya dengan suara datar, meski sorot matanya meneliti ekspresi di wajah wanita itu.Elisabeth berdiri tegak di depan meja, kedua tangannya mengepal, menggenggam emosi yang hampir meledak. âSudah dua hari aku menunggu kamu mengatakannya sendiri,â ucapnya, suaranya tajam. âTapi sepertinya kamu tidak berniat untuk mengakuinya, Nicholas.âNicholas menarik napas dalam-dalam. Tanpa berkata apa-apa, dia berdiri perlahan dari kursinya dan berjalan mendekati Elisabeth. Sorot matanya kini serius, ta
Satu minggu berlalu. Suasana rumah terasa sepi, hanya terdengar suara angin yang sesekali menggesek jendela kayu. Clara duduk di sofa kecil yang mulai memudar warnanya, tubuhnya tenggelam dalam keheningan. Matanya menatap kosong ke arah lantai, seolah mencoba mencari sesuatu yang hilang di dalam pikirannya. Langkah-langkah ringan terdengar dari belakang, dan suara Andreas memecah keheningan. âCe,â panggil Andreas dengan nada ceria. Clara mengangkat wajahnya perlahan, matanya lelah. âAda apa, Andreas?â tanyanya singkat, tanpa banyak ekspresi. Andreas tersenyum lebar, wajahnya polos dan penuh semangat seperti anak kecil yang baru mendapatkan mainan baru. âAku berhasil menemukan alamat rumah Jexon,â katanya antusias. âAku akan ke sana. Aku harus bicara dengannya!â Kata-kata Andreas seperti pisau yang menusuk hati Clara. Ia mencoba mempertahankan senyumnya, meski dalam hatinya ia merasa hancur. Andreas tampak begitu bersemangat, namun kabar tentang Jexon justru membuat Clara semakin
Flashback OnMalam itu, udara dingin menyelimuti kota kecil di China. Clara duduk di ruang tamu sebuah rumah sederhana yang mereka sewa sementara. Perutnya yang besar tampak jelas di balik sweater tebal yang ia kenakan. Andreas berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan sorot mata khawatir yang sulit disembunyikan.âCe, aku mohon⌠jangan terlalu memaksakan diri. Kamu harus istirahat.â Andreas berjalan mendekat, suaranya lirih namun penuh tekanan, tangannya terulur seolah ingin menenangkan wanita di hadapannya.Clara mendongak, tatapannya tajam meskipun terlihat lelah. âAku tidak bisa, Andreas. Kita sudah sampai sejauh ini. Aku akan menemui Jexon dan mengatakan kepadanya, kalau aku sudah menjaga kandungan ini.âAndreas menghela napas panjang, menatap wanita yang kini begitu bertekad. âTapi cece tidak bisa terus begini, ce. Apa cece pikir Jexon akan langsung berubah hanya karena cece memberitahunya soal anak ini?ââPasti,â Clara memotong, matanya berkaca-kaca namun penuh keyakinan. âDi
Deringan telepon memecah keheningan dalam kamar mewah yang diterangi cahaya senja dari balik tirai tipis. Andreas mengerjapkan matanya perlahan, mengangkat kepala dari bantal empuk, sementara tangannya yang lain tetap menjadi sandaran untuk kepala Celine. Rambut panjang wanita itu menyebar di atas dadanya, dan tubuh mereka hanya terbungkus selimut putih tebal.Dia meraba-raba meja nakas tanpa banyak gerakan, khawatir membangunkan wanita di sampingnya. Setelah menemukan ponselnya, ia menggeser layar dengan satu gerakan malas.âIn calling.ââHm?â sahut Andreas singkat, suaranya berat, masih diselimuti kantuk.Suara seorang pria terdengar di ujung telepon, tenang tetapi penuh tekanan. âLampu itu sudah saya kendorkan. Itu jatuh tepat di kepala Paula. Tapi⌠seseorang mendorongnya. Dia selamat, dan kecelakaan malah menimpa orang lain.âAndreas memijat keningnya, mendengar detail tersebut dengan mata yang kini terbuka lebar. âTidak masalah,â jawabnya dingin. âIni lebih dari cukup untuk memb
đJ&T EntertainmentLangkahnya terhenti tepat di depan Paula. Wanita muda itu juga berhenti, pandangan mereka bertemu untuk sesaat sebelum Paula mengalihkan wajahnya ke arah lain.âJexon, ayo!â Valentine memanggilnya dari kejauhan, suaranya tajam seperti pisau yang memotong udara.âDuluan aja.â Jexon menjawab tanpa menoleh. Nadanya datar, seolah tak ingin diganggu.Valentine menghela napas, wajahnya mulai memerah karena kesal. Tatapannya tajam menyorot Paula, yang tanpa sepatah kata memilih berjalan menjauh ke arah kanan. Namun, Jexon tak membiarkannya pergi begitu saja. Dengan langkah cepat, hampir seperti berlari kecil, dia mengejar Paula.âPaula,â panggilnya seraya meraih pergelangan tangan wanita muda itu. Genggamannya kuat, memastikan Paula tak bisa melangkah lebih jauh.Paula menghentikan langkahnya, tetapi tidak berbalik. Tatapannya tetap lurus ke depan, menghindari Jexon.âSaya mau bicara sama kamu. Ini penting,â ujar Jexon tegas, nada suaranya lebih serius dari biasanya.Per