📍ApartemenSore itu, Celine menoleh ketika suara pintu apartemen berderit. Andreas melangkah masuk dengan santai, melepas jaketnya, lalu melemparkannya ke punggung kursi. Tatapannya sekilas bertemu dengan Celine yang sudah duduk di sofa sejak tadi.Tanpa berkata apa-apa, pria itu mendekat dan duduk di sebelahnya, menyandarkan punggung dengan santai. Suasana hening, hanya suara jam dinding yang terdengar jelas.“Kamu dari mana?” tanya Celine akhirnya, suaranya terdengar pelan tapi tegas.Andreas menghela napas pendek, seolah pertanyaan itu melelahkan. “Bertemu dengan Rach, tadi,” jawabnya datar.Celine memutar tubuh sedikit, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Bertemu? Aku pikir… sekarang kalian sering bertemu.”Andreas mengangkat alis, senyumnya tipis namun dingin. “Itu lebih bagus, kan?” balasnya sambil menatap tajam, sorot matanya seperti mencoba membaca pikiran Celine.Tatapan itu membuat Celine merasa seperti sedang dihakimi. Dia meremas ujung bantal sofa, berusaha me
Paula terisak, air mata mengalir deras di pipinya sementara tubuhnya gemetar hebat. Di depan sofa, kotak hadiah dengan isi mengerikan itu tergeletak, menjadi sumber ketakutannya. Tangan Paula mencengkeram lututnya, seolah mencoba menahan diri agar tidak jatuh sepenuhnya dalam kepanikan.Jexon berdiri beberapa langkah darinya. Ada ekspresi samar di wajahnya—campuran rasa bersalah palsu dan kelegaan aneh. Namun, ketika melihat betapa hancurnya Paula, dia mendekat. Tanpa sepatah kata, dia menarik tubuh Paula ke dalam pelukannya.“Tenang, Paula. Saya ada di sini,” bisiknya lembut sambil mengelus kepala Paula. Sentuhannya terasa menenangkan, meski di balik gerakannya, ada kegembiraan gelap yang ia sembunyikan.Paula menggigit bibir bawahnya, mencoba mengontrol isaknya. “Kenapa ini terjadi pada saya, pak Jexon?” suaranya terdengar pecah. “Siapa yang bisa melakukan hal seburuk ini?”Jexon tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia terus membelai rambut Paula, memberikan kesan protektif. “Saya
📍J&T Entertainment- Ruangan Presiden Direktur -Ruangan luas itu dipenuhi suasana tegang. Nicholas duduk di kursi besar di belakang mejanya, tangannya terlipat di depan dada. Wajahnya penuh konsentrasi, sementara layar laptop di hadapannya memutar rekaman CCTV.Albert, asisten kepercayaannya, berdiri di dekat meja dengan ekspresi waspada.“Jadi,” Nicholas akhirnya bersuara, suaranya berat dan dalam, “ada yang masuk?”Albert mengangguk. “Iya, Pak Presedir. Terlihat di CCTV.”Nicholas memutar ulang rekaman di layar, matanya menyipit mencoba menangkap detail. “Wajahnya?” tanyanya tanpa berpaling.Albert menghela napas, tampak kesal dengan kurangnya informasi. “Tidak terlihat jelas, Pak. Orang itu memakai hoodie dan terus menunduk.”Nicholas mendengus pelan, frustrasi mulai menyusup ke dalam dirinya. Dengan gerakan cepat, dia mematikan video dan menyandarkan punggungnya ke kursi. Pikirannya berputar-putar.Tanpa sepengetahuan putranya, Jexon, Nicholas telah menyelidiki serangkaian insi
📍J&T Entertainment - Ruangan Presiden Direktur - Ruangan luas itu dipenuhi suasana tegang. Nicholas duduk di kursi besar di belakang mejanya, tangannya terlipat di depan dada. Wajahnya penuh konsentrasi, sementara layar laptop di hadapannya memutar rekaman CCTV. Albert, asisten kepercayaannya, berdiri di dekat meja dengan ekspresi waspada. “Jadi,” Nicholas akhirnya bersuara, suaranya berat dan dalam, “ada yang masuk?” Albert mengangguk. “Iya, Pak Presedir. Terlihat di CCTV.” Nicholas memutar ulang rekaman di layar, matanya menyipit mencoba menangkap detail. “Wajahnya?” tanyanya tanpa berpaling. Albert menghela napas, tampak kesal dengan kurangnya informasi. “Tidak terlihat jelas, Pak. Orang itu memakai hoodie dan terus menunduk.” Nicholas mendengus pelan, frustrasi mulai menyusup ke dalam dirinya. Dengan gerakan cepat, dia mematikan video dan menyandarkan punggungnya ke kursi. Pikirannya berputar-putar. Tanpa sepengetahuan putranya, Jexon, Nicholas telah menyelidiki
Jexon duduk di kursi belakang mobil, wajahnya gelap. Suara napasnya terdengar berat, sementara Gerald di kursi pengemudi melirik lewat kaca spion dengan cemas.“Gerald, cepat! Saya harus tahu apa yang terjadi,” suara Jexon terdengar tajam, hampir seperti perintah.Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan gedung Le Crazy Horse. Dia bergegas turun dan berjalan dengan tergesa-gesa.Lampu neon di pintu masuk berpendar, tetapi perhatian Jexon sepenuhnya tertuju pada kerumunan orang di dalam. Ia melangkah cepat ke dalam gedung, tubuhnya tegang, matanya menyapu ruangan mencari sosok yang ia kenal.Di sana, Paula terlihat dikerumuni beberapa orang. Tubuhnya bergetar, dan wajahnya basah oleh air mata. Jexon langsung menghampiri, melewati kerumunan tanpa ragu.“Paula!” panggilnya, suaranya penuh kegelisahan.Paula mendongak perlahan, matanya merah dan sembap. Ketika melihat Jexon, ia mencoba bicara, tetapi suaranya tersendat oleh tangis.“Apa yang terjadi?!” tanya Jexon tegas, lututnya meren
📍 J&T Entertainment-Ruangan Jexon-Suara ketukan terdengar di pintu.“Masuk,” suara Jexon terdengar datar dari balik meja kerjanya.Pintu terbuka, dan Valentine melangkah masuk. Ia membawa sebuah wadah kecil berisi cookies yang masih hangat, aromanya samar tercium. Dengan senyum kecil, ia meletakkannya di atas meja Jexon.“Untukmu,” ujarnya lembut.Namun, Jexon hanya melirik sekilas, matanya kembali tertuju pada layar komputer di depannya. Jemarinya sibuk mengetik, seolah keberadaan Valentine hanya sekadar angin lalu.“Jexon,” Valentine memulai, suaranya lebih serius sekarang. “Aku bertemu dengan ibumu.”Perkataan itu langsung menarik perhatian Jexon. Ia berhenti mengetik dan menatap Valentine dengan alis terangkat. “Mama? Ada apa dengannya?”Valentine menarik napas panjang, mencoba memilih kata-kata yang tepat. “Dia bilang… dia ingin membicarakan soal hubungan kita.”Jexon menyandarkan punggungnya ke kursi, ekspresinya berubah datar. “Maksudnya?” tanyanya, nadanya terdengar malas,
📍 Rumah Sakit-Ruangan Pasien-Pintu kamar terbuka perlahan, dan Jexon melangkah masuk dengan senyuman hangat. Tangannya membawa setangkai bunga tulip pink yang segar, jenis bunga favorit Paula. Langkahnya tenang saat mendekati ranjang, lalu ia duduk di kursi di sampingnya.“Bunga ini untukmu,” katanya sambil menyerahkan bunga itu kepada Paula.Paula tersenyum lemah. “Terima kasih, pak Jexon. Anda selalu tahu cara membuat hari-hari saya lebih baik.”Jexon tersenyum kecil, lalu tanpa ragu ia mengulurkan tangan dan dengan lembut mengelus pipi Paula. Sentuhannya membuat Paula sedikit terkejut, tetapi ia tidak menghindar.“Pak Presdir sudah menandatangani kontrak kamu,” ujar Jexon, memecah keheningan. Suaranya tenang, penuh kelegaan. “Beliau bilang akan membayar semua kerugiannya dengan uang pribadi.”Mata Paula membesar. “Saya benar-benar nggak enak hati… Pak Presdir sebaik itu padaku.”“Kamu layak mendapatkannya,” balas Jexon, menatapnya serius. “Tapi kamu juga harus memberikan yang t
📍ApartementDering ponsel membangunkan Paula dari tidurnya. Dengan mata setengah terpejam, ia meraih ponsel di meja samping tempat tidur. Nama Javeline terpampang di layar.“Hallo, Ce,” ujar Paula dengan suara serak pagi.Dari ujung telepon, suara Javeline terdengar tegas seperti biasa.“Paula, akhir pekan ini akan menjadi penampilan terakhirmu di Le Crazy Horse. Kontrakmu resmi diberhentikan. Semua dokumen pemutusan akan diselesaikan siang ini.”Paula terduduk, mencoba mencerna ucapan itu. “Secepat ini?” tanyanya, suaranya tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.“Seperti yang sudah kita rencanakan,” jawab Javeline tanpa nada ragu. “Ini langkah awal untuk membangun kembali nama baikmu. Keluar perlahan dari kabaret dan fokus pada modeling serta akting.”Paula menarik napas panjang. “Baik, Ce. Aku mengerti.”“Bagus. Jangan lupa siang nanti,” ujar Javeline sebelum menutup panggilan.Paula berjalan ke dapur, menyiapkan sarapan sederhana sambil memikirkan perubahan besar yang akan seger
Pikiran itu berputar liar, tak mau berhenti, seperti badai yang tak kunjung reda. Bayangan kecelakaan-kecelakaan akhir-akhir ini menghantui Jexon, mengisi setiap sudut ruang kosong dalam kepalanya. Ia mencoba merasionalisasi, tapi semakin keras ia berpikir, semakin banyak pertanyaan tanpa jawaban yang muncul.Jexon menatap kosong ke tumpukan dokumen di mejanya, di ruangan kerja yang luas dan sunyi itu. Udara di sekeliling terasa berat, terlalu penuh dengan pikiran yang menggantung. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Namun pikirannya segera kembali ke sosok Andreas—seseorang yang baru ini mulai masuk dalam kecurigaannya.“Dalang dari semua ini,” gumam Jexon pelan, nada suaranya rendah dan penuh tekanan. Andreas Liu. Nama itu terus berulang di benaknya, menghantui seperti bayangan gelap yang tak mau pergi.Dengan gerakan cepat, Jexon meraih ponselnya di meja. Jari-jarinya menekan layar, mencari nama kontak yang ia butuhkan. Seketika, ia menghubungi Ar
📍Rumah Sakit Kamar rumah sakit itu terasa hangat, meski aroma antiseptik yang khas masih terasa di udara. Rean terbaring di ranjang dengan infus yang terpasang di tangannya. Wajahnya sudah tidak terlihat pucat, tapi senyumnya tak pernah pudar saat melihat Paula masuk membawa sekotak buah dan bunga mawar putih di tangannya. “Rean, gimana kabarnya?” tanya Paula sambil mendekat ke sisi ranjang. Suaranya lembut, penuh perhatian. “Lebih baik, auntie Paula. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang,” jawab Rean, meski suaranya terdengar sedikit lemah. Di sudut ruangan, Dk, terlihat duduk menemani Rean sahabatnya di kamar pasien itu. “Auntie!” panggil Dk beranjak mendekati Paula. Paula tersenyum. “Hai, Dk. Maaf ya, kalau auntie baru sempat jenguk sahabat kamu.” Sambil mengusap kepala bocah itu. Dk mengangguk dengan semangat. “Iya, gpp auntie. Kami berdua, cuma lihat berita ditelevisi.” Paula mengerutkan kening, merasa penasaran. “Oh ya? Apa yang kamu lihat?” “Tent
Berita Eksklusif: Kencan Paula dan Jexon!Hari ini, dunia hiburan digemparkan dengan kabar hangat seputar hubungan romantis antara Paula, model terkenal dari agensi J&T Entertainment, dan Jexon, CEO agensi tersebut. Foto-foto yang diambil secara diam-diam oleh paparazi menunjukkan keduanya berpelukan di rumah sakit, menciptakan spekulasi besar di media.📍J&T Entertainment -Ruang Presdir-“Ini foto yang beredar semalam?” tanya Nicholas, presiden direktur J&T Entertainment, sambil menyelipkan senyum tipis. Matanya menatap tajam pada sebuah foto di tangannya.Albert, asistennya, mengangguk mantap. “Iya, Pak Presdir. Ini diambil oleh seorang wartawan.”Nicholas menghela napas lega, menyandarkan tubuhnya ke kursi kulit di balik meja kerjanya. “Kalau begini, sepertinya mereka sudah menyelesaikan masalah mereka.” Ucapannya terdengar ringan, namun jelas menyiratkan kebahagiaan.****Sebaliknya, suasana di rumah keluarga Wang penuh dengan ketegangan. Elisabeth, ibu Jexon, menatap layar tel
Celine tersentak, tersadar dari lamunannya. Dia melihat punggung Andreas yang semakin jauh di ujung koridor hotel. Dengan tergesa-gesa, dia mengejarnya. Langkah kakinya terdengar berdebum pelan di atas karpet tebal.“Andreas!” serunya, suaranya gemetar.Andreas tetap berjalan tanpa menoleh, namun tubuhnya menegang saat Celine menggenggam pergelangan tangannya. Ia berhenti, tapi tidak langsung berbalik.“Kamu mau ke mana?” tanya Celine, suaranya memohon, hampir putus asa. Matanya yang berkaca-kaca menatap punggung pria itu.Andreas menarik napas panjang sebelum akhirnya berbalik. Wajahnya dingin, matanya tajam seperti pisau. “Mau balik. Saya harus temui Abex dan mencari Serena,” jawabnya dengan nada rendah tapi tegas, seolah tidak ingin ada diskusi lebih lanjut.“J-jangan pergi,” pinta Celine sambil menggenggam tangannya lebih erat. “T-tidak ada yang menemaniku di sini.”Andreas mendengus, tawa pendek yang lebih terdengar seperti ejekan. Dia menatap Celine dengan tatapan sinis. “Tidak
📍J&T Entertainment-Ruangan Presiden Direktur-Elisabeth membuka pintu ruangan dengan gerakan cepat, langkahnya penuh tekad saat memasuki ruang kerja suaminya. Suara hak sepatu yang menghantam lantai terdengar nyaring, mengisi keheningan di ruangan itu. Matanya tajam, seperti ingin menembus setiap rahasia yang tersembunyi di balik wajah tenang Nicholas.Nicholas mendongak dari berkas-berkas di mejanya, lalu bersandar santai di kursi, menatap istrinya dengan sikap tenang. “Ada apa, Elisabeth?” tanyanya dengan suara datar, meski sorot matanya meneliti ekspresi di wajah wanita itu.Elisabeth berdiri tegak di depan meja, kedua tangannya mengepal, menggenggam emosi yang hampir meledak. “Sudah dua hari aku menunggu kamu mengatakannya sendiri,” ucapnya, suaranya tajam. “Tapi sepertinya kamu tidak berniat untuk mengakuinya, Nicholas.”Nicholas menarik napas dalam-dalam. Tanpa berkata apa-apa, dia berdiri perlahan dari kursinya dan berjalan mendekati Elisabeth. Sorot matanya kini serius, ta
Satu minggu berlalu. Suasana rumah terasa sepi, hanya terdengar suara angin yang sesekali menggesek jendela kayu. Clara duduk di sofa kecil yang mulai memudar warnanya, tubuhnya tenggelam dalam keheningan. Matanya menatap kosong ke arah lantai, seolah mencoba mencari sesuatu yang hilang di dalam pikirannya. Langkah-langkah ringan terdengar dari belakang, dan suara Andreas memecah keheningan. “Ce,” panggil Andreas dengan nada ceria. Clara mengangkat wajahnya perlahan, matanya lelah. “Ada apa, Andreas?” tanyanya singkat, tanpa banyak ekspresi. Andreas tersenyum lebar, wajahnya polos dan penuh semangat seperti anak kecil yang baru mendapatkan mainan baru. “Aku berhasil menemukan alamat rumah Jexon,” katanya antusias. “Aku akan ke sana. Aku harus bicara dengannya!” Kata-kata Andreas seperti pisau yang menusuk hati Clara. Ia mencoba mempertahankan senyumnya, meski dalam hatinya ia merasa hancur. Andreas tampak begitu bersemangat, namun kabar tentang Jexon justru membuat Clara semakin
Flashback OnMalam itu, udara dingin menyelimuti kota kecil di China. Clara duduk di ruang tamu sebuah rumah sederhana yang mereka sewa sementara. Perutnya yang besar tampak jelas di balik sweater tebal yang ia kenakan. Andreas berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan sorot mata khawatir yang sulit disembunyikan.“Ce, aku mohon… jangan terlalu memaksakan diri. Kamu harus istirahat.” Andreas berjalan mendekat, suaranya lirih namun penuh tekanan, tangannya terulur seolah ingin menenangkan wanita di hadapannya.Clara mendongak, tatapannya tajam meskipun terlihat lelah. “Aku tidak bisa, Andreas. Kita sudah sampai sejauh ini. Aku akan menemui Jexon dan mengatakan kepadanya, kalau aku sudah menjaga kandungan ini.”Andreas menghela napas panjang, menatap wanita yang kini begitu bertekad. “Tapi cece tidak bisa terus begini, ce. Apa cece pikir Jexon akan langsung berubah hanya karena cece memberitahunya soal anak ini?”“Pasti,” Clara memotong, matanya berkaca-kaca namun penuh keyakinan. “Di
Deringan telepon memecah keheningan dalam kamar mewah yang diterangi cahaya senja dari balik tirai tipis. Andreas mengerjapkan matanya perlahan, mengangkat kepala dari bantal empuk, sementara tangannya yang lain tetap menjadi sandaran untuk kepala Celine. Rambut panjang wanita itu menyebar di atas dadanya, dan tubuh mereka hanya terbungkus selimut putih tebal.Dia meraba-raba meja nakas tanpa banyak gerakan, khawatir membangunkan wanita di sampingnya. Setelah menemukan ponselnya, ia menggeser layar dengan satu gerakan malas.“In calling.”“Hm?” sahut Andreas singkat, suaranya berat, masih diselimuti kantuk.Suara seorang pria terdengar di ujung telepon, tenang tetapi penuh tekanan. “Lampu itu sudah saya kendorkan. Itu jatuh tepat di kepala Paula. Tapi… seseorang mendorongnya. Dia selamat, dan kecelakaan malah menimpa orang lain.”Andreas memijat keningnya, mendengar detail tersebut dengan mata yang kini terbuka lebar. “Tidak masalah,” jawabnya dingin. “Ini lebih dari cukup untuk memb
📍J&T EntertainmentLangkahnya terhenti tepat di depan Paula. Wanita muda itu juga berhenti, pandangan mereka bertemu untuk sesaat sebelum Paula mengalihkan wajahnya ke arah lain.“Jexon, ayo!” Valentine memanggilnya dari kejauhan, suaranya tajam seperti pisau yang memotong udara.“Duluan aja.” Jexon menjawab tanpa menoleh. Nadanya datar, seolah tak ingin diganggu.Valentine menghela napas, wajahnya mulai memerah karena kesal. Tatapannya tajam menyorot Paula, yang tanpa sepatah kata memilih berjalan menjauh ke arah kanan. Namun, Jexon tak membiarkannya pergi begitu saja. Dengan langkah cepat, hampir seperti berlari kecil, dia mengejar Paula.“Paula,” panggilnya seraya meraih pergelangan tangan wanita muda itu. Genggamannya kuat, memastikan Paula tak bisa melangkah lebih jauh.Paula menghentikan langkahnya, tetapi tidak berbalik. Tatapannya tetap lurus ke depan, menghindari Jexon.“Saya mau bicara sama kamu. Ini penting,” ujar Jexon tegas, nada suaranya lebih serius dari biasanya.Per