Alena berlarian di lorong rumah sakit begitu turun dari dalam mobil. Dia mengabaikan panggilan Harry yang sudah membuang waktu ikut mengantarnya. Pria itu merasa kesal melihat betapa Alena tak peduli padanya.
"Ini yang kau sarankan itu? Kau menyuruhku ikut ke sini hanya untuk mengantarnya seperti orang bodoh? Mengucap terima kasih saja dia tidak!" sentak Harry marah. Dia merasa kesal sudah mendengarkan saran Lukas.
"Saya pikir Tuan Muda akan mengikutinya ke dalam."
"Putar balik! Aku tak punya waktu menemani orang yang tak tahu terima kasih!" cetusnya.
Biarkan saja Alena bebas malam ini. Setelah membayarkan uang itu ke pihak rumah sakit, Harry akan kembali mengurung Alena agar dia tak bisa meremehkan Harry lagi.
"Kau tak mendengarku? Atau kau ingin menemaninya ke dalam sana?"
"Maafkan saya, Tuan Muda. Ya, kita akan kembali."
Lukas pikir Harry akan menghibur Alena. Ternyata tuannya itu sangat keras kepala. Atau mungkin penila
Alena tersenyum tapi hatinya menangis. Sekarang, dua orang yang dia cintai di hidupnya sama-sama berbaring tak berdaya. Entah sampai kapan, entah masih ada kesempatan untuk melihat mereka bangun lagi. Alena meremas hatinya yang sudah semakin hancur."Sudah setahun lebih, akan sampai kapan kamu berbaring seperti ini? Kamu nggak merindukanku, Ezra?" bisik Alena, tangannya menyentuh ujung jari Ezra.Namun, dia kembali menarik tangan itu. Alena merasa tak pantas menyentuh tangan pria yang bersih ini. Dia merasa dirinya sangat kotor."Bangun lah, Ezra. Aku butuh seseorang untuk mendengarkan cerita sedihku," lanjutnya.Ezra berasal dari keluarga yang cukup mampu. Papanya pemilik perusahaan yang bergerak di dunia entertainer. Dulu, Ezra pernah menyarankan agar Alena menjadi artis. Tapi kemudian Ezra melarang lagi, berkata tak rela wajah kekasihnya dinikmati orang banyak.Jika tiba-tiba ada keajaiban yang membangunkan Ezra dari tidur panjangnya, bag
"Ci-cium?"Ciuman sepuluh kali mungkin akan bikin bibir jontor. Tapi kalau Alena ikut pulang dengan Harry, bukan hanya bibirnya saja yang akan dihajar Harry. Alena frustasi, antara ngeri dan gengsi."Kau tak mau? Kalau begitu, mari pulang sekarang."Saat Harry akan memutar tubuhnya, Alena menahan pria itu cepat. Dia melingkarkan tangannya di leher Harry dan berjinjit untuk mengejar bibir pria itu. Alena menempelkan bibirnya sambil menghitung di dalam hati.'Satu.''Dua.'Harry mematung di tempatnya dengan mata terbuka lebar menyaksikan Alena masih menempelkan bibir mereka berkali-kali. Dia tak menyangka Alena sungguh akan melakukan itu, padahal niat Harry hanya ingin membuat gadis itu salah tingkah.'Sembilan.''Sepuluh'Tap!Tangan Harry menangkap pinggang Alena tepat di hitungan ke sepuluh, mengangkat tubuh gadis itu lebih tinggi. Tubuh mereka menjadi sejajar, Harry melumat habis bibir Al
Alena menjerit di meja informasi rumah sakit. Orang itu berkata, semua alat medis di tubuh papa Alena sudah dicabut sejak pagi tadi."Tidak ... tidak mungkin!" teriaknya. Matanya mulai memanas mendengar berita yang mengatakan papanya sudah meninggal pagi tadi."Tapi itu benar. Papa Anda sudah dibawa ke rumah duka.""Tidak! Satu malam ini aku menemani papaku di sana, pihak rumah sakit tidak pernah memberi tahuku apa pun!"Alena teringat dengan suster yang datang tadi pagi. Mereka berkata akan melepas peralatan medis papanya. Apa mungkin saat itu lah kematian papanya? Alena pikir, suster-suster itu hanya ingin mengganti peralatan di tubuh papanya."Maaf, Nona, jika Anda berpikir kami melakukannya tanpa ijin, Anda salah. Keluarga pasien sendiri lah yang memintanya dengan alasan tak mampu membayar biaya pengobatan. Lagian, papa Anda juga sudah tak punya kemungkinan untuk bertahan hidup tanpa bantuan alat-alat itu. Tolong jangan membu
Alena menyeret kakinya berjalan tak tentu tujuan. Sejak siang tadi dia sudah seperti itu, hingga ini hari sudah malam. Perkataan Felisha terus berulang di dalam kepalanya, menyakiti hati Alena sangat dalam.Saat melihat jembatan di depan mata, Alena berpikir ingin mengakhiri hidupnya saja. Ingin menyusul papa dan mama yang sudah lebih dulu meninggalkannya.Tidak ada salahnya Alena bunuh diri, kan? Dunia ini terlalu kejam terhadapnya. Sejak kecil sudah kehilangan mama, menjalani hidup yang berat saat Rona dan Felisha masuk ke dalam keluarganya dan sekarang Alena pun kehilangan papa juga rumah tempatnya dilahirkan. Urusan dosa, biar lah Tuhan yang menghitungnya."Aku sudah tak punya tempat di dunia ini. Tak ada satu pun yang peduli padaku," gumam Alena lemah.Kedua kaki Alena menaiki pembatas jembatan. Matanya menatap lurus pada kendaraan yang berlalu lalang di bawah sana. Jika dia melompat dari atas sini, tubuhnya akan langsung remuk dilindas mobil
"Kenapa kau sangat ingin mati?" Tangan Harry kini mencengkram lengan Alena, membersihkan luka di sekitar sana."Karena aku muak dengan manusia sepertimu. Kalian ... hanya iblis yang menghancurkan hidupku." Dia sudah tak punya rasa takut.Dugaan Harry tak pernah salah. Alena sedang terpuruk oleh keluarganya. Harry menemukan ide untuk membuat gadis itu berhati teguh dan tidak melakukan hal konyol lagi."Ya, anggap lah kami iblis yang menghancurkan hidupmu. Lalu, kau mau mati karena kami? Sangat bodoh," ucap Harry mendengus di akhir kalimatnya.Alena merasa dirinya ditertawakan lelaki iblis itu. Darahnya semakin naik ke ubun-ubun."Kau sebut aku bodoh? Pada dasarnya, manusia seperti kalian lah yang terlalu licik di atas kekuasaan yang kau miliki!" Kata-kata yang sangat berani dan tajam."Ya. Kuasa memang membuat seseorang bisa melakukan segalanya. Tapi kalau kau sedikit pintar, kau tak mungkin bunuh diri."Laki-laki tak berpe
Tiga hari setelah kematian papanya, Alena masih mengurung diri di dalam kamar. Semua makanan yang diantarkan Lukas sama sekali tidak disentuh oleh gadis itu. Bahkan tidur pun dia tidak ingin sama sekali, hanya seperti mayat hidup yang tak punya harapan.Perkataan Harry memang sempat membuat Alena ingin hidup. Tapi, dia tahu itu sangat tidak mungkin. Apa yang bisa dilakukan seorang tahanan? Dia hanya gadis lemah yang hidupnya dikendalikan oleh Harry. Apa pantas Alena berpikir ingin membalas dendam?Lukas masuk dengan dua pelayan dapur, dan pria itu menggeleng lemah melihat Alena. Bagaimana tidak? Alena masih duduk di sebelah jendela menatap ke luar sana, sedang makanan di atas meja masih tetap utuh. Alena tidak menyentuhnya sama sekali."Nona Alena, ini sudah hari ke tiga Nona tidak makan. Tolong bekerja sama, Anda harus makan untuk tetap hidup," ucap pria tua yang belakangan ini dipanggil paman oleh Alena.Alena tidak mengindahkan ucapan Lukas
Melihat Alena mematung tak berkutik, Harry yakin dirinya sudah menang. Dengan mantap dia berjalan ke dekat gadis itu, menarik tangan Alena kembali ke kursinya lagi. Harry mengaduk makanan di dalam mangkuk tanpa peduli dengan respons Alena."Buka mulutmu."Dua pasang mata mereka saling beradu beberapa saat, sebelum Alena menuruti perkataan Harry. Ragu dia membuka mulut, menerima suapan pertama dari tangan Harry. Gadis itu mulai mengunyah bubur di dalam mulutnya.Keadaan di dalam kamar itu sudah bisa dibilang aman. Lukas menarik napas lega dan membawa semua pelayannya keluar dari sana. Pria tua itu tersenyum penuh arti ketika melihat tuannya berhasil membujuk Alena. Ya meski sempat membuat jantung Lukas hampir lepas."Lagi."Alena tidak suka makan bubur. Pipinya terasa gembung, geli dengan teksturnya yang lembek. Dia menutup mulut dan mengabaikan suapan ke tiga dari Harry."Perutmu akan sakit jika diisi makanan ke
Taman itu sangat luas ditumbuhi sangat banyak jenis tanaman bunga. Alena berkeliling ditemani dua pelayan yang mengikutinya di belakang. Seperti guide perjalanan, pelayan itu menjelaskan apa pun yang ditanyakan Alena pada mereka."Di situ, berapa banyak gadis simpanan Tuan Harry di tempat itu?"Tangan Alena menunjuk ke arah yang dulu pernah dimasukinya. Tempat di mana dia melihat Harry dikelilingi gadis simpanannya dengan pakaian yang sudah setengah telanjang."Maksud Nona Istana Selatan?" tanya salah satu pelayan itu.Jadi nama tempat itu disebut Istana Selatan? Alena pikir namanya Asrama Putri, atau mungkin Harem yang lebih tepat?"Ya, apa pun itu namanya. Berapa gadis yang tinggal di sana?"Dua pelayan itu saling melirik satu sama lain dan menyikut temannya seraya berkata, "Kau aja yang menjelaskan. Aku takut."Alena tertawa kecil melihat tingkah mereka berdua. "Tidak perlu takut. Katakan saja.""Tapi, Nona