Tania mengedip-ngedipkan matanya, lalu kembali fokus pada layar besar di depannya. Mata wanita itu sayu. "Kau mengantuk?" tanya Arthur yang duduk di sebelah Tania. Ia memperhatikan wanita itu dari samping. Tania menggeleng. Meski sebenarnya memang sudah mengantuk, tapi berusaha ditahannya, karena tidak ingin terlewatkan cerita dari film yang sedang ditontonnya.Tania melebarkan matanya. Berusaha tidak memejamkan mata."Lihat, matamu merah. Kau sudah mengantuk. Cepat pergi tidur," suruh Arthur. Dia berdiri, lalu menarik tangan Tania agar berdiri."Aku tidak mengantuk," ucap Tania. Mempertahankan tubuhnya di sofa. Arthur memelototi Tania, karena wanita itu yang tidak mau menurutinya. Ia bersiap untuk mengomel ketika tubuhnya terdorong ke samping. Xander menggeser tubuh lelaki itu. Menggantikan tempatnya berdiri di depan Tania, sebelum kemudian mengangkatnya dalam satu kali hentak.Tania berseru. Terkejut. "Apa yang kau lakukan?! Turunkan aku!" Xander tidak mendengarkan. Dia membawa
"Kau bisa menungguku di sini," ucap Tania menunjuk kursi tunggu di depan ruang pemeriksaan. Mereka telah sampai di rumah sakit, dan wanita itu meminta Xander untuk menunggunya di sana."Apa aku berkata akan menunggu?"Tania sedikit terkejut, tapi tidak diperlihatkan. Sepertinya ia terlalu percaya diri. "Kau bisa langsung pulang jika sererti itu. Aku akan meminta supir Mommy untuk menjemputku nanti. Atau kalau tidak naik taksi–""Aku juga ingin melihatnya. Kenapa aku harus menunggu di sini?" Xander menyela perkataan Tania. Tania mengerutkan kening. "Kenapa kau mau melihat bayiku?""Yang kau maksud dengan bayimu itu juga bayiku. Aku berhak untuk melihatnya," tekan Xander, mengingatkan.Tania menggeleng. "Waktu itu kau meragukannya bukan? Kenapa tiba-tiba mengakuinya sekarang?" ucapnya sambil menyusul Xander yang sudah membuka pintu dan masuk ke dalam. "Xander!""Ada apa ini?" Seorang wanita dengan jas putih di tubuhnya, yang semula berdiri membelakangi pintu menoleh. "Dokter, bisakah
Tania terkejut. Xander berteriak dengan tangan meninju kaca di sampingnya. Jika itu mobil murah, mungkin kacanya akan langsung pecah begitu saja. Namun apa yang dilakukan lelaki itu cukup untuk membuat tangannya terluka."Sekarang aku tahu kenapa kalian begitu dekat. Kau akan menikah dengannya?" geram Xander. Menatap Tania dengan rahang mengeras."Apa yang kau bicarakan?" tanya Tania pelan. Dia bergerak menjauh. Duduk beringsut ke pojokan. Xander terlihat marah. Tania takut.Xander mendengus sinis. Wanita ini bermain rahasia dengannya atau apa? Jika ia tidak melihat pesan Tania, mungkin ia tidak akan pernah tahu. Lelaki itu. Arthur. Dia mengirim pesan pada Tania. Gambar sebuah undangan dengan kata-kata meminta pendapat mengenai desainnya. Tapi bukan karena itu Xander semarah ini. Nama yang tertera dalam undangan yang membuatnya marah.Arthur dan Tania. Nama yang tertulis dalam undangan pernikahan itu. Dengan tanggal pernikahan kurang dari dua minggu lagi. Maksudnya apa?"Undangan itu
Xander memasukkan nama Arthur–yang entah siapa nama lengkapnya, ia tidak tahu–ke kolom pencarian. Lalu orang-orang yang memiliki nama Arthur muncul satu per satu. Arthur Giordano. Profilnya muncul di bagian teratas. Ternyata dia yang Xander cari. Seorang pengusaha batu bara dengan uangnya yang tidak berseri. Satu dari banyak kalimat yang tertulis di sana.Xander mengernyit. Apa karena ini Tania ingin menikah dengannya? Tapi tidak mungkin. Tania bukan perempuan yang akan menikah, karena kekayaan seseorang. Lagipula Arthur juga tidak seterkenal itu–karena ia saja tidak mengenal namanya.Xander berdecak. Melempar ponselnya ke sofa di sampingnya. Lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Memejamkan matanya.Apapun yang terjadi, Xander tidak akan membiarkan Tania menikah dengan laki-laki selain dirinya. Wanita itu hanya miliknya. Tidak boleh untuk yang lain.Xander menegakkan tubuh saat mendengar suara langkah kaki di sertai suara dari mommynya. Lelaki itu menoleh ke belakang. Mommy
Tania berjalan di sekitar ranjang sambil memukul-mukuli bagian pinggangnya dengan kepalan tangannya. Hari sudah larut malam saat ia terbangun karena rasa tidak nyaman di tubuhnya. Punggungnya terasa nyeri.Karena pijatan tangan mungilnya tidak membantu banyak, Tania kemudian keluar dari kamar. Berniat mengompresnya dengan air dingin. Ini yang biasa dilakukan mommynya ketika punggungnya terasa sakit. Tapi mommynya pasti sudah tidur sekarang. Ia tidak ingin mengganggu. Tania bisa melakukannya sendiri.Tania mengambil ice bag compress. Lalu pergi ke dapur untuk mengambil air es. Dia menyalakan lampu dapur, dan terkejut melihat Xander ada di dalam sana. Kenapa dia duduk dalam kegelapan?"Kenapa belum tidur?" Xander bertanya. Ia meletakkan gelas berisi air yang tersisa setengah ke meja."Terbangun," jawab Tania menyerupai gumaman. Sepertinya rencananya untuk mengambil air dingin harus diurungkan, karena ada Xander. Lelaki itu berada didekat lemari pendingin."Kau lapar?" Xander bertanya la
Tania menyentuh bibir bawahnya, sambil mengingat kembali perkataan Xander."I really love you, Lea. Sorry for hurting you." Xander berbisik di telinganya. Lalu memberikan kecupan di bibirnya. Setelah itu dia berjongkok di depannya. Mencium perutnya lama dengan tatapan menyesal. "And hurting you too," lanjutnya.Tania sangat yakin itu bukan mimpi. Ia membuka matanya saat itu. Meski hanya sedikit dan tidak sepenuhnya sadar. Tania bahkan masih merasakan tubuhnya melayang, sebelum dibaringkan di tempat yang nyaman. Alih-alih terbangun di sofa kamar Xander, ia sudah berada di kamarnya sendiri.Berarti memang Xander yang menggendongnya ke kamarnya bukan? Dan dia memang berkata seperti itu. Bukan mimpi atau halusinasinya. Jika benar adanya, apakah benar Xander menyesal? Dia menyesal sudah menyakitinya. Menyesal tidak mengakui bayinya sendiri. Tapi kenapa Xander malah pergi? Haruskah Tania menghubunginya?Tania tersentak. Lamunannya seketika buyar karena suara dering ponselnya. Terdapat pang
Tania menatap ponselnya yang layar sudah berubah warna hitam. Kecewa. Xander memutus panggilannya begitu saja. Sementara masih banyak yang ingin ia tanyakan. Mungkin Xander memang sudah tidak peduli padanya. Tania juga yang salah. Kenapa ia berharap lagi pada Xander. Hubungan mereka sudah berakhir. Tidak akan bisa diperbaiki lagi. "Permisi, Nona." Seorang pelayan masuk setelah mengetuk pintu Tania. "Nyonya Angeline memanggil Nona untuk ke kamarnya," ucapnya menyampaikan pesan Angeline.Tania mengangguk. Bangkit dari posisi duduknya di sofa, ia kemudian berjalan keluar. Ke kamar orang tuanya yang berada tidak jauh dari kamarnya."Mommy?" Tania membuka lebih lebar pintu kamar Angeline yang terbuka setengah. Melongokkan kepalanya ke dalam, ia kemudian masuk setelah Angeline melambaikan tangan padanya. Mengisyaratkan untuk masuk."Duduk di sini. Mommy akan memijat kakimu." Angeline meraih tangan Tania dan menghelanya duduk di tepi ranjang di sampingnya. Tania langsung menurut. Ia menai
Tania menatap pantulan dirinya di cermin. Terlihat sangat cantik dengan dress floral yang dikenakannya. Rambutnya di sanggul di bagian bawah dengan diberi sedikit sisa rambut di pelipis kanan dan kiri untuk memberikan kesan messy hair. Sederhana, namun tampak elegan.Selesai dengan penampilannya, Tania kemudian keluar kamar. Berniat menghampiri orang tuanya di kamar mereka sebelum seorang pelayan menghentikan langkahnya."Maaf, Nona. Saya ingin memberitahukan jika mobil yang menjemput Anda sudah ada di depan."Tania tampak bingung. "Mobil siapa?" tanyanya. "Mobil orang suruhan Tuan Arthur, Nona," jawab si pelayan.Tania menjadi kesal. "Kenapa dia harus menjemput ku? Padahal aku bisa pergi sendiri," gerutunya. Hari ini Arthur akan menikah. Tapi dia masih sempat-sempatnya memikirkannya. Ia akan menghadiri pesta pernikahan bersama dengan orang tuanya."Mari, Nona. Saya antarkan Nona ke depan.""Sebentar. Mommy dan Daddy sepertinya belum siap. Aku akan memeriksanya.""Nona!" Pelayan itu
Butuh waktu kurang lebih satu bulan untuk Tania benar-benar pulih dari luka tembak yang dialaminya. Dan selama itu, hanya saat inilah yang paling ditunggu Tania. Bertemu dengan ayah kandungnya.Xander selalu beralasan akan membawanya menemuinya jika kondisinya sudah pulih. Dan baru sekarang dia melakukannya. Tania sempat marah karena Xander dan orang tuanya yang menyembunyikan ini darinya. Meski Tania sendiri yang berkata tidak ingin mengetahui siapa ayah kandungnya. Tapi jika dia memang sudah sangat dekatnya, tapi tetap ingin bertemu."Kau yakin ingin bertemu dengannya?" tanya Xander sembari menggenggam jemari Tania. Berjalan bersama ke tempat di mana Abraham ditahan.Tania mengangguk yakin. "Kau tahu apa yang dia lakukan padamu bukan? Kenapa masih saja ingin bertemu dengannya?" Tania hanya tersenyum menanggapinya."Maaf, tapi Tuan Abraham tidak ingin dikunjungi oleh siapapun." Penjaga tahanan menyampaikan ucapan dari Abraham ketika dia memberitahu ada yang ingin menemuinya.Raut w
"Mommy, di mana Xander?" Tania bertanya pada Angeline yang tengah menyuapinya. Xander tidak berkata akan pergi atau apa padanya. Tapi dia tidak terlihat sejak dua jam lalu. "Xander sedang bersama Lio," jawab Angeline, yang tentu saja berbohong. Lio sedang tidur di ruangan lain. Dijaga oleh babysitter. Sementara Xander pergi keluar. Menemui Abraham di kantor polisi.Angeline mengetuk Abraham yang berani-beraninya mencelakai anaknya sendiri. Lelaki itu memang tidak memiliki perasaan sama sekali. Tapi tidakkah dia sedikit saja merasa kasihan pada darah dagingnya? Dia memang lelaki jahat.Angeline berharap Tanai tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya. Karena dia pasti akan menyesal nantinya. Menyesal memiliki darah yang sama dengan orang yang berniat membunuhnya. Angeline tidak ingin putrinya tahu."Mommy, sudah." Tania menolak ketika Angeline kembali ingin menyuapkan bubur ke mulutnya."Ya sudah. Ini minumnya." Angeline meletakkan mangkuk berisi bubur yang tinggal beberapa suapan. Lalu
"Kondisimu sudah semakin membaik. Sebentar lagi kau mungkin bisa pulang."Tania menyengir. Menampilkan deretan giginya yang putih bersih. "Aku kasihan melihatnya. Dia menangis saat aku sakit. Jadi aku harus cepat sembuh supaya dia tidak menangis lagi," ucapnya sembari melirik Xander yang berdiri didekat ranjang dengan tangan bersidekap.Xander mendengus. Sementara Tania dan dokter yang tengah memeriksanya tertawa. Tania langsung menghentikan tawanya, karena jahitan di punggungnya. Sementara sang dokter, karena Xander memberikan tatapan tajam padanya."Aku keluar dulu ya. Kau bisa memanggilku jika membutuhkan sesuatu."Tania mengangguk. Lalu mengucapkan terima kasih sebelum dokter itu keluar dari ruangannya."Kau menghancurkan reputasiku, kau tahu?" Xander berkata kesal. Ia memberikan pelototan kecil sebelum mengambil perban di atas nakas.Tania mengernyit, sebelum kemudian terkekeh kecil. "Kau malu ya, Daddy?" godanya. Xander yang terkenal tegas dan garang, menangis. Xander menggeram
Xander melangkah masuk ke dalam ruangan yang ditempati Tania. Istrinya akhirnya dipindahkan ke ruangan lain. Tubuhnya sudah tidak lagi ditempeli dengan berbagai alat penunjang hidup. Dia bahkan sudah membuka matanya sekarang. Tania tengah menatap Xander dengan mata sayunya. Bibir pink alaminya tampak pucat. Sementara bahunya dililit dengan kain kasa. Dengan lemah, wanita itu mencoba tersenyum pada Xander."Xander...."Xander menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak. "Sakit sekali ya?" ucapnya menyerupai bisikan. Meski sudah sadar, Xander tahu Tania tidak baik-baik saja. Dia masih kesakitan. Tania tampak seperti ingin berbicara. Tapi terlalu lemah untuk melakukannya. Satu kata saja sudah cukup sulit.Xander membelai rambut Tania. Menggeleng. "Tidak perlu bicara apa-apa dulu. Tidurlah. Kau butuh banyak istirahat.""Dimana baby Lio? Apa dia tidak mencariku?" tanya Tania dengan nada sangat pelan. Napasnya terengah. Xander harus benar-benar mendengarkan dengan baik. "Hm
Xander membopong tubuh lemah Tania keluar. Berjalan cepat memasuki pelataran rumah sakit. Para dokter dan perawat sudah bersiap. Membawa Tania ke ruang operasi untuk segera ditangani."Maaf, Tuan. Tapi Anda diizinkan untuk ikut masuk."Xander mengepalkan tangan. Menghembuskan napas berat, dia tidak membantah. "Selamatkan istriku apapun yang terjadi," ucapnya sebelum pintu ruangan tertutup.Xander duduk di kursi depan ruangan itu. Tangannya terkepal kuat. Raut emosi menumpuk di wajahnya. Penampilan Xander sudah berantakan. Kemeja putihnya sudah bercampur dengan warna merah. Xander sudah sangat siap membunuh orang.Lelaki itu. Jangan harap Xander akan melepaskannya. Jika sampai Tania kenapa-kenapa, ia pastikan Abraham Denovan akan mendapatkan perlakuan yang setimpal.Xander menoleh ketika mendengar suara derap langkah kaki mendekat. Alex dan Angeline berjalan cepat menghampirinya. Lio berada di gendongan Angeline. Tangisnya terdengar kencang.Xander berdiri dan ingin mengambil putranya
Xander mengeratkan mantel hijau tebal di tubuh Tania, sebelum merangkul pinggangnya dan berjalan bersama keluar mansion."Mommy dan Daddy?" Tania menoleh sekilas ke belakang untuk melihat apakah mereka sudah siap atau belum. Lio juga bersama mereka."Mommy dan Daddy akan menyusul. Kita ke bendara lebih dulu."Tania mengangguk. Xander membukakan pintu mobil, dan Tania masuk ke dalam. Ketika lelaki itu juga akan masuk, Christian datang. Xander menatap Tania. Memberitahukan dengan gerakan bibir sebelum berjalan sedikit menjauh dari mobil. Ada sesuatu yang tidak beres. Terlihat dari ekspresi Christian."Tuan, Abraham menghilang.""Maksudmu?" Xander mengernyit."Posisinya masih bisa dilacak sekitar tiga puluh menit yang lalu. Tapi setelah itu dia menghilang. Dia meninggalkan mansionnya dan pergi entah ke mana," jelas Christian. Xander memang meminta Christian untuk mengawasi Abraham. Setelah dia membuat kejutan besar yang sudah pasti menghancurkan karirnya, Abraham tidak akan tinggal dia
Xander sudah sampai di mansion. Ia menghentikan langkah saat berpapasan dengan Alex di lorong lantai empat. Xander melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya."Daddy belum tidur?" tanyanya."Kau berbicara apa dengannya?" Xander mengernyit. Tapi kemudian ia paham maksud pertanyaan Alex. Daddynya pasti sudah tahu semuanya. Xander tidak perlu menjelaskan lagi."Hanya memberi peringatan pada Abraham Denovan," jawab Xander santai.Alex menghela napas berat. "Daddy tahu kau pasti sangat marah dengan apa yang dilakukan laki-laki itu pada Tania. Daddy juga sangat marah saat mengetahuinya," ucapnya. "Tapi kau jangan menjadi gegabah seperti ini."Alex sangat ingin menemui Abraham dan menghajarnya secara langsung ketika ia mengetahui ketika lelaki itu hampir mencelakai putrinya. Tapi Alex tahu ia tidak bisa gegabah."Pamanmu Robert, mengenal Abraham dengan baik. Dia pernah mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Lawannya adalah Abraham." Alex memulai ceritanya. "Abraham orang yang tida
"Apa saja yang kau lakukan di sana?"Tania merengut. "Aku tidak yakin kau tidak tahu. Para bodyguard mu pasti sudah memberitahumu kan?""Benar. Tapi aku ingin mendengarnya sendiri darimu." Dan mengetahui apa yang kau rasakan saat bertemu dengan ayah kandungmu. Lanjutnya dalam hati.Tania dan Angeline baru saja pulang dari acara amal. Meski bodyguard sudah memberitahukan semuanya. Tapi ia ingin Tania sendiri yang memberitahu."Di sana ramai sekali. Banyak orang yang memberikan amal," cerita Tania. Lalu wajahnya yang tampak biasa sebelumnya berubah cemberut. "Tapi karena ada wartawan juga, aku jadi tidak suka.""Kenapa?" Xander memberikan tanggapan. Ia mendongak menatap istrinya."Banyak orang yang jadi pamer tahu. Mereka berlomba memberikan uang paling banyak untuk amal. Lalu menceritakannya di depan kamera. Seharusnya kan tidak boleh seperti itu. Jika memang ikhlas ingin beramal ya beramal saja. Kenapa harus dipamer-pamerkan?"Xander tersenyum melihat bibir Tania yang maju ke depan ke
"Setelah sukses dengan menjadi anggota dewan di Spanyol, Bulgaria, dan Inggris, Abraham Denovan akhirnya kembali negaranya untuk mencalonkan dirinya sebagai presiden pada pemilihan presiden yang akan datang. Nama lelaki kelahiran 1965 itu begitu cemerlang dalam dunia perpolitikan. Sikap tanggung jawab dalam menjalankan setiap tugasnya tidak bisa diragukan.""Namun, baru-baru ini berhembus kabar miring tentangnya. Belum dipastikan kebenarannya, tapi Abraham Denovan diduga suka bermain dengan perempuan malam, meski telah memiliki seorang istri. Dia juga memiliki seorang anak dari salah satu teman tidurnya itu. Anak itu–""Mommy."Angeline langsung mematikan layar televisi yang menampilkan berita itu ketika Tania memanggil. Wajahnya yang semula datar berganti menjadi senyuman saat Tania berjalan mendekat."Mommy." Tania duduk di sebelah Angeline. "Mommy sedang apa?"Angeline menggeleng. "Mommy melihat berita. Tapi karena tidak menarik, Mommy jadi malas melihatnya," jawabnya. "Di mana Lio