Tania duduk di meja rias dengan posisi menghadap ke samping. Dia bertopang dagu dengan siku yang diletakkan di sandaran kursi. Memandang Xander yang tengah duduk didekat jendela, dengan laptop di hadapannya.Untuk beberapa saat, Tania tidak bisa mengalihkan pandangnya. Melihat bagaimana rambut hitam Xander bergerak karena tertiup angin, kacamata bening yang bertengger di hidung mancungnya, dan mata tajamnya yang fokus menatap layar laptop. Entah bagaimana Xander membuat hal itu terlihat sangat indah. Lalu kemudian Tania mendengus sebal. Ia beranjak dari kursi dan berjalan keluar kamar. Sekali lagi menyempatkan melihat Xander yang kali ini dengan tatapan kesalnya. Lelaki itu tidak berbicara padanya sama sekali sejak mereka kembali. Dia sepertinya benar-benar marah. Hanya karena masalah kecil? Xander mengangkat kepalanya. Melirik ke arah pintu setelah mendengar suara pintu ditutup. Ia menggeleng dengan senyuman geli.Xander menyadari Tania sejak tadi memperhatikannya. Wanita itu sebel
Tania berdiri di ambang pintu. Menatap Xander hingga menghilang bersama helikopternya yang mulai mengangkasa. Lalu ia berbalik, berniat kembali ke kamarnya ketika tiba-tiba dikejutkan dengan Alexa yang berdiri di belakangnya."Ada...apa?" Tania bertanya, karena Alexa menatapnya tanpa ia tahu maksudnya."Ayo ikut aku," ucap Alexa tanpa berniat menjelaskan lebih. Dia berjalan melewati Tania. Lalu berhenti ketika wanita itu tidak mengikuti. Alexa berbalik, dan Tania masih berada di tempatnya. Tidak bergerak sama sekali. "Kau tidak dengar ucapanku ya? Cepatlah, aku bisa terlambat!" serunya.Tania langsung menghampiri Alexa yang sudah berada di teras mansion. Berlari kecil. "Kita mau ke mana?" tanyanya."Ikut saja. Tidak usah banyak tanya," jawab Alexa tidak terlalu memperdulikan pertanyaan Tania."Tapi...." Tania tampak ragu. Ia memperhatikan daster rumahan yang dikenakannya. "Boleh aku ganti pakaian sebentar? Aku juga belum meminta izin pada Xander." Xander sedang ada urusan pekerjaan di
Alexa tidak menyukai semua perempuan yang pernah dekat dengan Xander. Ia bisa menilai dengan jelas karakter mereka, dan tidak ada yang benar-benar baik. Seperti Sera. Tapi berbeda dengan Tania.Alexa tidak menyukai Tania. Karena dia lebih banyak mengambil perhatian Xander, yang membuatnya merasa iri. Tapi dia lebih baik dari Sera. Sifat lugu dan polosnya tidak dibuat-buat. Selain itu, karena Tania adalah anak dari Angeline. Ketika masih tinggal di Amerika saat kecil dulu, ia sangat dekat dengannya. Dia baik, penyayang, penyabar. Intinya yang baik-baik untuk Angeline. Jadi, sifat Tania menurutnya juga tidak akan jauh berbeda dengan ibunya."Alexa?"Panggilan Tania membuat Alexa yang sempat melamun tersadar. "Apa?" tanyanya, tetap tidak bisa menghilangkan nada ketus di suaranya."Ada banyak yang masih mau dibeli? Aku sudah lelah," ucap Tania, akhirnya mengatakannya karena ia sudah merasa lelah untuk terus berputar-putar di dalam pusat perbelanjaan ini.Pemotretan Alexa sudah selesai. Ta
Xander membuka pintu kamarnya, namun tidak melihat keberadaan Tania di dalam. "Di mana Lea?" tanyanya pada pelayan yang berdiri di samping pintu. "Nona ada di kamar Nona Alexa, Tuan."Xander mengernyit. Menatap arloji di pergelangan tangannya. Kemudian masuk ke dalam kamar untuk bersih-bersih terlebih dulu. Dia baru saja pulang. Lalu setelah itu dia pergi ke kamar Alexa. Mengetuk pintu kamar Alexa, Xander kemudian membukanya. Pandangannya langsung mengarah pada ranjang. Tania tertidur di sana dengan posisi menghadap ke arah pintu. Lalu Alexa, dia sedang duduk di depan meja rias. Sibuk melakukan sesuatu dengan wajahnya."Kau sudah pulang?" Alexa yang menyadari kehadiran Xander bertanya. Dia hanya menoleh sekilas dan kembali membersihkan wajahnya dengan cairan pembersih wajah sebelum tidur."Lea kenapa tidur di sini?" Xander bertanya. Tanpa menjawab pertanyaan Alexa, dia berjalan ke arah ranjang. "Tadi kami bermain, dan dia ketiduran," jawab Alexa. Setelah menunjukkan barang-barang y
"Ck. Sudah aku bilang jangan berlari." Xander berdecak, disusul dengan gerakan menarik tangan Tania ke arahnya. Wanita itu tidak bisa berjalan dengan tenang di sisinya. Seperti ingin berlari saja.Tania menyengir. Ia terlalu senang Xander mengajaknya jalan-jalan. Tania langsung bersiap-siap saat lelaki itu berkata ingin mengajaknya ke suatu tempat. Dan disinilah mereka.Brooklyn Bridge, salah satu jembatan gantung tertua di Amerika Serikat dan jembatan pertama yang membentang di atas East River, New York City. Xander sengaja membawanya di pagi hari, karena tidak banyak orang di waktu seperti ini. Tangan Tania yang digenggam oleh Xander diayun-ayunkan ke depan belakang. Sembari memandang sekitar penuh antusias.Tania berhenti di pinggir jembatan. Memandangi keindahan yang disuguhkan dari atas sana. Pesona Manhattan dengan deretan gedung pencakar langit yang menawan bisa Tania lihat dari tempat ini. Kabel-kabel bajanya yang menjuntai indah, dan jangan lupakan menara jembatan yang berdi
Alexa menggamit lengan Xander memasuki ballroom hotel. Dengan gaun pesta yang cantik dan anggun, serasi dengan kemeja yang dikenakan Xander. Jika orang-orang tidak tahu bahwa Alexa adalah sepupu Xander, mereka pasti berpikir jika wanita itu adalah pasangannya."Berhenti menempeli ku, Al." Xander menarik lengannya dari Alexa. Mereka sudah sampai di tempat acara. Menemui si pemilik acara. Tapi Alexa masih terus mengikutinya. "Aku tidak mengenal siapapun di sini," balas Alexa cuek. Ia akan dipikir orang hilang jika berdiri sendirian di tempat ramai ini. Jadi lebih baik mengikuti Xander. Jika tahu seperti ini, Alexa tidak mau ikut saja tadi."Mr. Artadewa."Xander menoleh. Thomas Kendrick–menteri pertahanan Italia datang menghampirinya. Xander memberikan senyum samar dan menjabat tangannya. "Bagaimana kabarmu, Sir?" tanya Xander mencoba berbasa-basi, meski sebenarnya itu bukan keahliannya sama sekali."Seperti yang kau lihat. Sangat baik," jawab Thomas dengan kekehan renyahnya. Dia lalu
"Aku pulang dulu ya?"Bibir Aaron menekuk ke bawah. Tanda jika dia masih belum ingin Tania pergi. Tania menepuk kepalanya pelan. "Aku harus pulang sekarang. Tapi aku akan datang lagi besok. Ok?" Xander tidak tahu jika ia pergi. Karena itu ia harus pulang sebelum lelaki itu kembali.Tadi Jonathan menelepon Tania. Tapi yang didengarnya adalah suara Aaron. Dia meminta dirinya datang ke rumah sakit. Menjenguknya yang sedang sakit. Karena itu Tania di sini. Di rumah sakit Jonathan."Tidak apa-apa. Pulanglah," ucap Jonathan. Aaron masih terlihat tidak terima. "Tidak apa-apa?"Jonathan mengangguk. Ia yang tidak enak, karena Tania harus ke sini. Aaron sebelumnya meminjam ponselnya yang ia pikir untuk bermain. Tapi ternyata dia menelepon Tania.Tania melambaikan tangan. Tersenyum pada Aaron yang tampak cemberut. Sebenarnya ia juga masih ingin di sini. Tapi sayangnya ia belum izin pada Xander.Tania keluar dari ruangan rawat Aaron. Menoleh ke samping, pada Christian yang menunggunya di kursi
Tania merasakan tubuhnya melayang. Tapi ia tidak ingin membuka mata. Xander menggendongnya, gaya bridal. Membawanya masuk ke dalam mansion. Sebelum Xander membaringkan tubuhnya di ranjang, Tania membuka mata dan menemukan wajah Xander didekatnya. Xander meletakkan Tania perlahan di ranjang. Membenarkan letak bantalnya, lalu mengusap kepala Tania singkat, sebelum melangkah pergi. Ingin berganti pakaian. Tapi Tania menahan tangannya."Mau ke mana?" tanya Tania dengan suara seraknya. Matanya masih tampak sayu. "Berganti pakaian sebentar," jawab Xander, tapi Tania tidak mau melepas tangannya. Membuat lelaki itu kembali mendekat. Dia mengangkat kepala Tania, menarik bantalnya, lalu duduk di sana. Meletakkan kepala Tania ke pangkuannya.Tania langsung mencari posisi nyaman. Berbaring menghadap ke samping dan memeluk kaki Xander. Lalu kembali menutup mata. Xander mengusap kepalanya lembut."Xander," panggil Tania pelan. Matanya masih dipejamkan.Xander bergumam sebagai jawaban. Sebenarnya
Butuh waktu kurang lebih satu bulan untuk Tania benar-benar pulih dari luka tembak yang dialaminya. Dan selama itu, hanya saat inilah yang paling ditunggu Tania. Bertemu dengan ayah kandungnya.Xander selalu beralasan akan membawanya menemuinya jika kondisinya sudah pulih. Dan baru sekarang dia melakukannya. Tania sempat marah karena Xander dan orang tuanya yang menyembunyikan ini darinya. Meski Tania sendiri yang berkata tidak ingin mengetahui siapa ayah kandungnya. Tapi jika dia memang sudah sangat dekatnya, tapi tetap ingin bertemu."Kau yakin ingin bertemu dengannya?" tanya Xander sembari menggenggam jemari Tania. Berjalan bersama ke tempat di mana Abraham ditahan.Tania mengangguk yakin. "Kau tahu apa yang dia lakukan padamu bukan? Kenapa masih saja ingin bertemu dengannya?" Tania hanya tersenyum menanggapinya."Maaf, tapi Tuan Abraham tidak ingin dikunjungi oleh siapapun." Penjaga tahanan menyampaikan ucapan dari Abraham ketika dia memberitahu ada yang ingin menemuinya.Raut w
"Mommy, di mana Xander?" Tania bertanya pada Angeline yang tengah menyuapinya. Xander tidak berkata akan pergi atau apa padanya. Tapi dia tidak terlihat sejak dua jam lalu. "Xander sedang bersama Lio," jawab Angeline, yang tentu saja berbohong. Lio sedang tidur di ruangan lain. Dijaga oleh babysitter. Sementara Xander pergi keluar. Menemui Abraham di kantor polisi.Angeline mengetuk Abraham yang berani-beraninya mencelakai anaknya sendiri. Lelaki itu memang tidak memiliki perasaan sama sekali. Tapi tidakkah dia sedikit saja merasa kasihan pada darah dagingnya? Dia memang lelaki jahat.Angeline berharap Tanai tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya. Karena dia pasti akan menyesal nantinya. Menyesal memiliki darah yang sama dengan orang yang berniat membunuhnya. Angeline tidak ingin putrinya tahu."Mommy, sudah." Tania menolak ketika Angeline kembali ingin menyuapkan bubur ke mulutnya."Ya sudah. Ini minumnya." Angeline meletakkan mangkuk berisi bubur yang tinggal beberapa suapan. Lalu
"Kondisimu sudah semakin membaik. Sebentar lagi kau mungkin bisa pulang."Tania menyengir. Menampilkan deretan giginya yang putih bersih. "Aku kasihan melihatnya. Dia menangis saat aku sakit. Jadi aku harus cepat sembuh supaya dia tidak menangis lagi," ucapnya sembari melirik Xander yang berdiri didekat ranjang dengan tangan bersidekap.Xander mendengus. Sementara Tania dan dokter yang tengah memeriksanya tertawa. Tania langsung menghentikan tawanya, karena jahitan di punggungnya. Sementara sang dokter, karena Xander memberikan tatapan tajam padanya."Aku keluar dulu ya. Kau bisa memanggilku jika membutuhkan sesuatu."Tania mengangguk. Lalu mengucapkan terima kasih sebelum dokter itu keluar dari ruangannya."Kau menghancurkan reputasiku, kau tahu?" Xander berkata kesal. Ia memberikan pelototan kecil sebelum mengambil perban di atas nakas.Tania mengernyit, sebelum kemudian terkekeh kecil. "Kau malu ya, Daddy?" godanya. Xander yang terkenal tegas dan garang, menangis. Xander menggeram
Xander melangkah masuk ke dalam ruangan yang ditempati Tania. Istrinya akhirnya dipindahkan ke ruangan lain. Tubuhnya sudah tidak lagi ditempeli dengan berbagai alat penunjang hidup. Dia bahkan sudah membuka matanya sekarang. Tania tengah menatap Xander dengan mata sayunya. Bibir pink alaminya tampak pucat. Sementara bahunya dililit dengan kain kasa. Dengan lemah, wanita itu mencoba tersenyum pada Xander."Xander...."Xander menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak. "Sakit sekali ya?" ucapnya menyerupai bisikan. Meski sudah sadar, Xander tahu Tania tidak baik-baik saja. Dia masih kesakitan. Tania tampak seperti ingin berbicara. Tapi terlalu lemah untuk melakukannya. Satu kata saja sudah cukup sulit.Xander membelai rambut Tania. Menggeleng. "Tidak perlu bicara apa-apa dulu. Tidurlah. Kau butuh banyak istirahat.""Dimana baby Lio? Apa dia tidak mencariku?" tanya Tania dengan nada sangat pelan. Napasnya terengah. Xander harus benar-benar mendengarkan dengan baik. "Hm
Xander membopong tubuh lemah Tania keluar. Berjalan cepat memasuki pelataran rumah sakit. Para dokter dan perawat sudah bersiap. Membawa Tania ke ruang operasi untuk segera ditangani."Maaf, Tuan. Tapi Anda diizinkan untuk ikut masuk."Xander mengepalkan tangan. Menghembuskan napas berat, dia tidak membantah. "Selamatkan istriku apapun yang terjadi," ucapnya sebelum pintu ruangan tertutup.Xander duduk di kursi depan ruangan itu. Tangannya terkepal kuat. Raut emosi menumpuk di wajahnya. Penampilan Xander sudah berantakan. Kemeja putihnya sudah bercampur dengan warna merah. Xander sudah sangat siap membunuh orang.Lelaki itu. Jangan harap Xander akan melepaskannya. Jika sampai Tania kenapa-kenapa, ia pastikan Abraham Denovan akan mendapatkan perlakuan yang setimpal.Xander menoleh ketika mendengar suara derap langkah kaki mendekat. Alex dan Angeline berjalan cepat menghampirinya. Lio berada di gendongan Angeline. Tangisnya terdengar kencang.Xander berdiri dan ingin mengambil putranya
Xander mengeratkan mantel hijau tebal di tubuh Tania, sebelum merangkul pinggangnya dan berjalan bersama keluar mansion."Mommy dan Daddy?" Tania menoleh sekilas ke belakang untuk melihat apakah mereka sudah siap atau belum. Lio juga bersama mereka."Mommy dan Daddy akan menyusul. Kita ke bendara lebih dulu."Tania mengangguk. Xander membukakan pintu mobil, dan Tania masuk ke dalam. Ketika lelaki itu juga akan masuk, Christian datang. Xander menatap Tania. Memberitahukan dengan gerakan bibir sebelum berjalan sedikit menjauh dari mobil. Ada sesuatu yang tidak beres. Terlihat dari ekspresi Christian."Tuan, Abraham menghilang.""Maksudmu?" Xander mengernyit."Posisinya masih bisa dilacak sekitar tiga puluh menit yang lalu. Tapi setelah itu dia menghilang. Dia meninggalkan mansionnya dan pergi entah ke mana," jelas Christian. Xander memang meminta Christian untuk mengawasi Abraham. Setelah dia membuat kejutan besar yang sudah pasti menghancurkan karirnya, Abraham tidak akan tinggal dia
Xander sudah sampai di mansion. Ia menghentikan langkah saat berpapasan dengan Alex di lorong lantai empat. Xander melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya."Daddy belum tidur?" tanyanya."Kau berbicara apa dengannya?" Xander mengernyit. Tapi kemudian ia paham maksud pertanyaan Alex. Daddynya pasti sudah tahu semuanya. Xander tidak perlu menjelaskan lagi."Hanya memberi peringatan pada Abraham Denovan," jawab Xander santai.Alex menghela napas berat. "Daddy tahu kau pasti sangat marah dengan apa yang dilakukan laki-laki itu pada Tania. Daddy juga sangat marah saat mengetahuinya," ucapnya. "Tapi kau jangan menjadi gegabah seperti ini."Alex sangat ingin menemui Abraham dan menghajarnya secara langsung ketika ia mengetahui ketika lelaki itu hampir mencelakai putrinya. Tapi Alex tahu ia tidak bisa gegabah."Pamanmu Robert, mengenal Abraham dengan baik. Dia pernah mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Lawannya adalah Abraham." Alex memulai ceritanya. "Abraham orang yang tida
"Apa saja yang kau lakukan di sana?"Tania merengut. "Aku tidak yakin kau tidak tahu. Para bodyguard mu pasti sudah memberitahumu kan?""Benar. Tapi aku ingin mendengarnya sendiri darimu." Dan mengetahui apa yang kau rasakan saat bertemu dengan ayah kandungmu. Lanjutnya dalam hati.Tania dan Angeline baru saja pulang dari acara amal. Meski bodyguard sudah memberitahukan semuanya. Tapi ia ingin Tania sendiri yang memberitahu."Di sana ramai sekali. Banyak orang yang memberikan amal," cerita Tania. Lalu wajahnya yang tampak biasa sebelumnya berubah cemberut. "Tapi karena ada wartawan juga, aku jadi tidak suka.""Kenapa?" Xander memberikan tanggapan. Ia mendongak menatap istrinya."Banyak orang yang jadi pamer tahu. Mereka berlomba memberikan uang paling banyak untuk amal. Lalu menceritakannya di depan kamera. Seharusnya kan tidak boleh seperti itu. Jika memang ikhlas ingin beramal ya beramal saja. Kenapa harus dipamer-pamerkan?"Xander tersenyum melihat bibir Tania yang maju ke depan ke
"Setelah sukses dengan menjadi anggota dewan di Spanyol, Bulgaria, dan Inggris, Abraham Denovan akhirnya kembali negaranya untuk mencalonkan dirinya sebagai presiden pada pemilihan presiden yang akan datang. Nama lelaki kelahiran 1965 itu begitu cemerlang dalam dunia perpolitikan. Sikap tanggung jawab dalam menjalankan setiap tugasnya tidak bisa diragukan.""Namun, baru-baru ini berhembus kabar miring tentangnya. Belum dipastikan kebenarannya, tapi Abraham Denovan diduga suka bermain dengan perempuan malam, meski telah memiliki seorang istri. Dia juga memiliki seorang anak dari salah satu teman tidurnya itu. Anak itu–""Mommy."Angeline langsung mematikan layar televisi yang menampilkan berita itu ketika Tania memanggil. Wajahnya yang semula datar berganti menjadi senyuman saat Tania berjalan mendekat."Mommy." Tania duduk di sebelah Angeline. "Mommy sedang apa?"Angeline menggeleng. "Mommy melihat berita. Tapi karena tidak menarik, Mommy jadi malas melihatnya," jawabnya. "Di mana Lio