"Apa yang kau lakukan di sini?" Jonathan bertanya pada Xander yang duduk dengan santai di kursinya padahal belum diizinkan untuk bisa bergabung atau tidak. Ia merasa rencananya tidak akan berjalan lancar dengan kehadiran Xander."Bertemu dengan klien," jawab Xander. Tania menoleh ke sekitar. Tidak melihat seseorang yang bisa disebut sebagai rekan bisnis Xander. Hanya ada beberapa pasangan anak muda di sini. Dia pasti bertemu dengan Sera. Dan Tania merasa kesal karena itu. Padahal itu hak Xander bertemu dengan siapa saja. Sekali lagi, ia bukan siapa-siapa."Kau bertemu dengan klien di restoran ini?" tanya Jonathan lagi. Tapi sebelum Xander menjawab, ia melanjutkan perkataannya. "Jadi pasti sudah makan juga kan di sini? Apa sebaiknya kau tidak langsung pulang saja, X?"Ibu Jonathan menyenggol kaki putranya yang ada di bawah meja. Mengisyaratkannya untuk tidak berkata sembarangan. "Kita sedang membahas masalah keluarga, Mom. Jadi Xander sepertinya tidak ada kepentingannya dengan ini,"
"Aku menyukaimu. Dan karena itu, aku sengaja menjelekkanmu di depan ibunya. Dengan begitu Jonathan tidak akan memiliki kesempatan untuk mendekatimu lagi, karena ibunya yang tidak akan setuju." Xander mengulang pernyataan sukanya, sekaligus memberikan alasan untuk hinaan yang diucapkannya.Tania tidak memberikan balasan. Matanya masih mengeluarkan bulir bening, meski tidak disertai dengan isakan lagi. Wanita itu menatap Xander rumit, sebelum kemudian melangkah mundur untuk menutup pintu kamarnya. Sayangnya Xander menahan pintu itu dengan tangannya."Aku berkata aku menyukaimu, Lea. Dan hanya seperti ini reaksimu?" Xander menaikkan alis heran."Lalu, harus bagaimana? Aku tidak mungkin senang hanya karena pernyataan yang tidak serius itu kan?""Tidak serius?" Xander terkekeh. Semakin heran. Ia sudah dengan gamblang menunjukkan perasaannya pada Tania, dan dia bisa berkata ia tidak serius mengatakannya? "Kau menyukai seseorang. Dan itu bukan aku," ucap Tania. "Aku bisa melihatnya. Kau mas
Tania meletakkan dua wadah berisi makanan anjing di depan kedua anjingnya. Karena tidak bisa jongkok, wanita itu meletakkan kedua lututnya di lantai. Memperhatikan kedua anjingnya makan."Molly, kau tidak boleh serakah. Makan punyamu sendiri." Tania mengangkat Molly dan meletakkannya di depan wadah makanannya sendiri, karena anjing itu memakan makanan dari wadah Milo."Ish! Kau ini tidak mau dengar." Tania berdecak karena Molly yang kembali berulah. Ia mengangkat anjing itu lagi dan mengembalikannya ke tempatnya. Padahal di wadahnya sendiri makanannya belum habis."Lea, kenapa kau masih mengurusi anjing-anjing jelek itu?!" Dari arah tangga, Xander berseru kesal. Sebelumnya ia sudah menyuruh wanita itu untuk bersiap-siap. Tapi dia ternyata tidak mendengarkan."Aku sudah bilang tidak mau ikut," ucap Tania setelah Xander berdiri di depannya. Raut wajahnya meminta pengertian."Tapi aku ingin kau ikut. Jadi kau harus tetap ikut," balas Xander tidak mau dibantah.Tania mengerucutkan bibirny
Kelopak mata Tania yang tertutup perlahan terbuka. Mengernyit, dia menetralkan cahaya yang masuk pada sepasang mata hazelnya. Setelah mendapat kesadaran sepenuhnya, wanita itu melirik ke sekitar. Lalu terdiam. Berpikir, menyusun kembali ingatan tentang kejadian sebelum ia pingsan.Tania refleks menyentuh perutnya saat ingatan itu telah didapatkannya. Wanita itu menghela napas lega. Menyadari jika bayinya baik-baik saja. Dia masih berada di dalam perutnya.Kedua tangan Tania bertopang pada sisi ranjang. Mencoba bangun. Namun rasa nyeri di perutnya langsung terasa saat ia bergerak. Tania meringis."Kau sudah sadar? Kenapa bangun?" Xander yang muncul dari balik pintu bergegas menghampiri Tania untuk membantu wanita itu berbaring kembali. Lalu menarik kursi ke sebelah ranjangnya. "Mau minum?" tanyanya.Anggukan pelan Tania yang lantas membuat Xander membantunya untuk minum. Tania meneguk sedikit air dalam gelas itu, hanya untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Xander meletak
"Ayo, buka mulutmu lagi."Tania menggeleng ketika Angeline berniat menyuapkan sesendok bubur lagi ke mulutnya. "Aku sudah kenyang.""Kau baru makan satu sendok. Bagaimana mungkin sudah kenyang? Ayo makan lagi." "Sudah kenyang, Mommy." Tania menggeleng lagi. Tetap menolak. Ia tidak bisa makan bubur yang disediakan rumah sakit. Hambar dan tawar. Rasanya ia ingin muntah."Tania–""Ada apa ini?" Xander yang baru muncul dari pintu bertanya."Kebetulan kau sudah datang. Ini, coba bujuk dia untuk makan. Mommy baru menyuapinya satu sendok, tapi sudah kenyang katanya," ucap Angeline sembari memberikan mangkuk berisi bibir yang dibawanya pada Xander. "Paksa saja jika tidak mau. Mommy mau menelepon Daddy sebentar." Lalu Angeline keluar.Xander mengambil ponselnya dari dalam saku celana. Meletakkannya di atas nakas. Kemudian duduk di kursi yang sebelumnya ditempati Angeline. Lalu menyendok bubur dan mengarahkannya ke mulut Tania. "Buka mulut.""Kau dari mana?" Tania bertanya. Sesendok bubur yang
"Pembangunan resort di Bali sudah mencapai sekitar sembilan puluh persen, Tuan. Sebentar lagi akan dirampungkan."Xander mengangguk. "Laporkan setiap perkembangannya padaku. Aku ingin semuanya berjalan dengan sesuai," ucapnya menanggapi penjelasan Christian. Tetapi pandangannya tidak mengarah pada asisten pribadinya itu.Xander berdiri didekat pintu. Bersama dengan Christian membicarakan masalah pekerjaan. Tapi perhatiannya teralihkan ke tempat lain. Pada Tania yang sedang menjalankan pemeriksaan terakhir sebelum pulang. Dia sudah bisa pulang hari ini.Dahi Xander mengerut melihat dokter yang memeriksa Tania itu sempat menepuk-nepuk kepalanya, dan wanita itu memberikan senyuman padanya."Baik, Tuan. Saya akan melaporkan semuanya pada Anda." Christian memberikan balasan untuk perkataan Xander. "Lalu untuk pembangunan–""Nanti saja." Xander memotong perkataan Christian. Ia tidak ingin lagi mendengar penjelasannya. Matanya menyipit tidak suka. Kakinya melangkah ke arah ranjang. Berdiri d
Tania keluar dari bathtub. Mengambil handuk untuk mengeringkan tubuhnya. Setelah berendam beberapa lama dengan air hangat yang dicampur dengan wewangian yang entah apa namanya, ia merasa lebih segar. Rasa lelah dan lemas yang dirasakannya seolah hilang terbawa air.Tania merasa rileks. Namun tidak benar-benar rileks, karena masih harus memikirkan bagaimana caranya ia keluar dari kamar mandi.Tania sudah sangat gugup ketika Xander menyuruhnya mandi tadi. Dengan lelaki itu yang ikut serta. Ingin membantu dirinya mandi. Khawatir jika wanita itu bertindak ceroboh lagi di kamar mandi. Tania jelas tidak mau. Meski sudah bukan pertama kalinya Xander melihat tubuh telanjangnya, itu tetap tidak akan menghilangkan rasa malunya.Syukurlah Xander mau membiarkan Tania mandi sendiri. Dan ia sudah selesai mandi sekarang. Sayangnya lupa tidak membawa pakaian. Biasanya, ia memakai pakaiannya di luar, karena khawatir akan basah jika membawanya ke kamar mandi. Selain itu, hanya ada dirinya sendiri di da
Xander memasuki pintu utama mansion. Sudah cukup larut ketika ia pulang. Padahal rencananya berada di kantor hanya sebentar, tapi urusannya baru terselesaikan sekarang. "Lea sudah tidur?" tanya Xander sembari melepas jas yang melekat ditubuhnya, dan langsung memberikannya pada pelayan yang memang sudah menunggu di depan pintu."Sudah, Tuan.""Apa saja yang dilakukannya seharian ini?" "Sesuai perintah Anda, Nona Tania hanya beristirahat di kamar, Tuan. Namun tadi sempat mengeluh perutnya sakit."Xander yang berjalan di depan pelayan yang mengikutinya di belakang, langsung berhenti. Berdecak, ia menatap pelayan itu kesal. "Kenapa tidak memberitahukannya padaku? Aku sudah mengatakan sebelumnya bukan? Beritahu aku jika terjadi sesuatu padanya."Pelayan itu menunduk. "Maaf, Tuan. Nona Tania yang melarang memberitahu Anda," ucapnya takut-takut. "Tadi Lyla mengompres perutnya dengan air panas, dan Nona Tania sudah merasa lebih baik."Tanpa memberikan balasan, Xander berlalu. Melangkah leba
Butuh waktu kurang lebih satu bulan untuk Tania benar-benar pulih dari luka tembak yang dialaminya. Dan selama itu, hanya saat inilah yang paling ditunggu Tania. Bertemu dengan ayah kandungnya.Xander selalu beralasan akan membawanya menemuinya jika kondisinya sudah pulih. Dan baru sekarang dia melakukannya. Tania sempat marah karena Xander dan orang tuanya yang menyembunyikan ini darinya. Meski Tania sendiri yang berkata tidak ingin mengetahui siapa ayah kandungnya. Tapi jika dia memang sudah sangat dekatnya, tapi tetap ingin bertemu."Kau yakin ingin bertemu dengannya?" tanya Xander sembari menggenggam jemari Tania. Berjalan bersama ke tempat di mana Abraham ditahan.Tania mengangguk yakin. "Kau tahu apa yang dia lakukan padamu bukan? Kenapa masih saja ingin bertemu dengannya?" Tania hanya tersenyum menanggapinya."Maaf, tapi Tuan Abraham tidak ingin dikunjungi oleh siapapun." Penjaga tahanan menyampaikan ucapan dari Abraham ketika dia memberitahu ada yang ingin menemuinya.Raut w
"Mommy, di mana Xander?" Tania bertanya pada Angeline yang tengah menyuapinya. Xander tidak berkata akan pergi atau apa padanya. Tapi dia tidak terlihat sejak dua jam lalu. "Xander sedang bersama Lio," jawab Angeline, yang tentu saja berbohong. Lio sedang tidur di ruangan lain. Dijaga oleh babysitter. Sementara Xander pergi keluar. Menemui Abraham di kantor polisi.Angeline mengetuk Abraham yang berani-beraninya mencelakai anaknya sendiri. Lelaki itu memang tidak memiliki perasaan sama sekali. Tapi tidakkah dia sedikit saja merasa kasihan pada darah dagingnya? Dia memang lelaki jahat.Angeline berharap Tanai tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya. Karena dia pasti akan menyesal nantinya. Menyesal memiliki darah yang sama dengan orang yang berniat membunuhnya. Angeline tidak ingin putrinya tahu."Mommy, sudah." Tania menolak ketika Angeline kembali ingin menyuapkan bubur ke mulutnya."Ya sudah. Ini minumnya." Angeline meletakkan mangkuk berisi bubur yang tinggal beberapa suapan. Lalu
"Kondisimu sudah semakin membaik. Sebentar lagi kau mungkin bisa pulang."Tania menyengir. Menampilkan deretan giginya yang putih bersih. "Aku kasihan melihatnya. Dia menangis saat aku sakit. Jadi aku harus cepat sembuh supaya dia tidak menangis lagi," ucapnya sembari melirik Xander yang berdiri didekat ranjang dengan tangan bersidekap.Xander mendengus. Sementara Tania dan dokter yang tengah memeriksanya tertawa. Tania langsung menghentikan tawanya, karena jahitan di punggungnya. Sementara sang dokter, karena Xander memberikan tatapan tajam padanya."Aku keluar dulu ya. Kau bisa memanggilku jika membutuhkan sesuatu."Tania mengangguk. Lalu mengucapkan terima kasih sebelum dokter itu keluar dari ruangannya."Kau menghancurkan reputasiku, kau tahu?" Xander berkata kesal. Ia memberikan pelototan kecil sebelum mengambil perban di atas nakas.Tania mengernyit, sebelum kemudian terkekeh kecil. "Kau malu ya, Daddy?" godanya. Xander yang terkenal tegas dan garang, menangis. Xander menggeram
Xander melangkah masuk ke dalam ruangan yang ditempati Tania. Istrinya akhirnya dipindahkan ke ruangan lain. Tubuhnya sudah tidak lagi ditempeli dengan berbagai alat penunjang hidup. Dia bahkan sudah membuka matanya sekarang. Tania tengah menatap Xander dengan mata sayunya. Bibir pink alaminya tampak pucat. Sementara bahunya dililit dengan kain kasa. Dengan lemah, wanita itu mencoba tersenyum pada Xander."Xander...."Xander menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak. "Sakit sekali ya?" ucapnya menyerupai bisikan. Meski sudah sadar, Xander tahu Tania tidak baik-baik saja. Dia masih kesakitan. Tania tampak seperti ingin berbicara. Tapi terlalu lemah untuk melakukannya. Satu kata saja sudah cukup sulit.Xander membelai rambut Tania. Menggeleng. "Tidak perlu bicara apa-apa dulu. Tidurlah. Kau butuh banyak istirahat.""Dimana baby Lio? Apa dia tidak mencariku?" tanya Tania dengan nada sangat pelan. Napasnya terengah. Xander harus benar-benar mendengarkan dengan baik. "Hm
Xander membopong tubuh lemah Tania keluar. Berjalan cepat memasuki pelataran rumah sakit. Para dokter dan perawat sudah bersiap. Membawa Tania ke ruang operasi untuk segera ditangani."Maaf, Tuan. Tapi Anda diizinkan untuk ikut masuk."Xander mengepalkan tangan. Menghembuskan napas berat, dia tidak membantah. "Selamatkan istriku apapun yang terjadi," ucapnya sebelum pintu ruangan tertutup.Xander duduk di kursi depan ruangan itu. Tangannya terkepal kuat. Raut emosi menumpuk di wajahnya. Penampilan Xander sudah berantakan. Kemeja putihnya sudah bercampur dengan warna merah. Xander sudah sangat siap membunuh orang.Lelaki itu. Jangan harap Xander akan melepaskannya. Jika sampai Tania kenapa-kenapa, ia pastikan Abraham Denovan akan mendapatkan perlakuan yang setimpal.Xander menoleh ketika mendengar suara derap langkah kaki mendekat. Alex dan Angeline berjalan cepat menghampirinya. Lio berada di gendongan Angeline. Tangisnya terdengar kencang.Xander berdiri dan ingin mengambil putranya
Xander mengeratkan mantel hijau tebal di tubuh Tania, sebelum merangkul pinggangnya dan berjalan bersama keluar mansion."Mommy dan Daddy?" Tania menoleh sekilas ke belakang untuk melihat apakah mereka sudah siap atau belum. Lio juga bersama mereka."Mommy dan Daddy akan menyusul. Kita ke bendara lebih dulu."Tania mengangguk. Xander membukakan pintu mobil, dan Tania masuk ke dalam. Ketika lelaki itu juga akan masuk, Christian datang. Xander menatap Tania. Memberitahukan dengan gerakan bibir sebelum berjalan sedikit menjauh dari mobil. Ada sesuatu yang tidak beres. Terlihat dari ekspresi Christian."Tuan, Abraham menghilang.""Maksudmu?" Xander mengernyit."Posisinya masih bisa dilacak sekitar tiga puluh menit yang lalu. Tapi setelah itu dia menghilang. Dia meninggalkan mansionnya dan pergi entah ke mana," jelas Christian. Xander memang meminta Christian untuk mengawasi Abraham. Setelah dia membuat kejutan besar yang sudah pasti menghancurkan karirnya, Abraham tidak akan tinggal dia
Xander sudah sampai di mansion. Ia menghentikan langkah saat berpapasan dengan Alex di lorong lantai empat. Xander melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya."Daddy belum tidur?" tanyanya."Kau berbicara apa dengannya?" Xander mengernyit. Tapi kemudian ia paham maksud pertanyaan Alex. Daddynya pasti sudah tahu semuanya. Xander tidak perlu menjelaskan lagi."Hanya memberi peringatan pada Abraham Denovan," jawab Xander santai.Alex menghela napas berat. "Daddy tahu kau pasti sangat marah dengan apa yang dilakukan laki-laki itu pada Tania. Daddy juga sangat marah saat mengetahuinya," ucapnya. "Tapi kau jangan menjadi gegabah seperti ini."Alex sangat ingin menemui Abraham dan menghajarnya secara langsung ketika ia mengetahui ketika lelaki itu hampir mencelakai putrinya. Tapi Alex tahu ia tidak bisa gegabah."Pamanmu Robert, mengenal Abraham dengan baik. Dia pernah mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Lawannya adalah Abraham." Alex memulai ceritanya. "Abraham orang yang tida
"Apa saja yang kau lakukan di sana?"Tania merengut. "Aku tidak yakin kau tidak tahu. Para bodyguard mu pasti sudah memberitahumu kan?""Benar. Tapi aku ingin mendengarnya sendiri darimu." Dan mengetahui apa yang kau rasakan saat bertemu dengan ayah kandungmu. Lanjutnya dalam hati.Tania dan Angeline baru saja pulang dari acara amal. Meski bodyguard sudah memberitahukan semuanya. Tapi ia ingin Tania sendiri yang memberitahu."Di sana ramai sekali. Banyak orang yang memberikan amal," cerita Tania. Lalu wajahnya yang tampak biasa sebelumnya berubah cemberut. "Tapi karena ada wartawan juga, aku jadi tidak suka.""Kenapa?" Xander memberikan tanggapan. Ia mendongak menatap istrinya."Banyak orang yang jadi pamer tahu. Mereka berlomba memberikan uang paling banyak untuk amal. Lalu menceritakannya di depan kamera. Seharusnya kan tidak boleh seperti itu. Jika memang ikhlas ingin beramal ya beramal saja. Kenapa harus dipamer-pamerkan?"Xander tersenyum melihat bibir Tania yang maju ke depan ke
"Setelah sukses dengan menjadi anggota dewan di Spanyol, Bulgaria, dan Inggris, Abraham Denovan akhirnya kembali negaranya untuk mencalonkan dirinya sebagai presiden pada pemilihan presiden yang akan datang. Nama lelaki kelahiran 1965 itu begitu cemerlang dalam dunia perpolitikan. Sikap tanggung jawab dalam menjalankan setiap tugasnya tidak bisa diragukan.""Namun, baru-baru ini berhembus kabar miring tentangnya. Belum dipastikan kebenarannya, tapi Abraham Denovan diduga suka bermain dengan perempuan malam, meski telah memiliki seorang istri. Dia juga memiliki seorang anak dari salah satu teman tidurnya itu. Anak itu–""Mommy."Angeline langsung mematikan layar televisi yang menampilkan berita itu ketika Tania memanggil. Wajahnya yang semula datar berganti menjadi senyuman saat Tania berjalan mendekat."Mommy." Tania duduk di sebelah Angeline. "Mommy sedang apa?"Angeline menggeleng. "Mommy melihat berita. Tapi karena tidak menarik, Mommy jadi malas melihatnya," jawabnya. "Di mana Lio