Alex duduk di tepi ranjang yang sejajar dengan kepala Tania. Mengusap kepala wanita itu pelan.Tania tertidur dengan sangat pulas. Tampak tenang dan damai. Meski tidak ketika bangun. Anak ini pasti menjalani masa yang berat.Angeline sudah menceritakan jika terjadi masalah antara Xander dan Tania. Ia memutuskan untuk terbang ke Amerika karena itu. Awalnya Angeline memang hanya pulang sendiri, karena ia yang memiliki banyak pekerjaan.Alex tidak tahu apa yang dipikirkan Xander. Anak itu benar-benar keterlaluan. Meski tidak ada yang memberitahunya perihal masalah di antara mereka, tapi ia bisa mencari tahu sendiri dengan sangat mudah.Alex tahu Xander hanya salah paham. Tapi dia malah mengedepankan egonya, tanpa mau mendengarkan penjelasan yang diberikan. Putranya memang seperti itu. Jika sudah marah, dia tidak akan mau mendengar penjelasan apapun. Tapi seharusnya dia tahu jika Tania tidak akan melakukan perbuatan seperti itu."Kau bangun?" Alex tidak menyadari ketika Tania membuka mata
Tania memandangi jalanan kota Manhattan yang tertutup oleh salju dari dalam jendela mobil. Mobil yang ditumpanginya tengah melaju menuju bandara. Akhirnya, tidak lama lagi ia akan meninggalkan Amerika. Meninggalkan kota ini. Tempat di mana ia tumbuh dengan kesakitan, dan juga kebahagiaan meski hanya sebentar.Tania akan memulai kehidupan baru di negara lain. Jauh dari Xander. Itu yang terbaik. Toh Xander juga sudah tidak menginginkannya. Lelaki itu bisa mendapatkan perempuan yang lebih segalanya darinya. Dia akan dengan mudah melupakan dirinya.Berbeda dengan Tania. Mungkin butuh waktu sangat lama untuk melupakan lelaki itu. Xander adalah lelaki pertama yang dicintainya, dan mungkin yang terakhir. Dia menciptakan banyak kebahagiaan untuknya. Tentu akan sulit melupakannya. Tapi Tania tahu ia bisa. Hanya butuh waktu saja."Ayo, sayang."Tania keluar dari lamunannya saat merasakan genggaman tangan Angeline yang duduk di sebelahnya. Mereka ternyata sudah sampai di bandara. Tania keluar d
Tania membuka pintu yang terhubung dengan pemandangan di luar. Keindahan lautan yang luas, suara deburan ombak, di sertai dengan angin sepoi yang berhembus di wajahnya langsung didapatkan oleh Tania.Melangkah lebih maju menuruni beberapa anak tangga, Tania merentangkan tangan dan memejamkan mata. Menikmati suasana damai yang tercipta. Rasanya tidak pernah bosan Tania dengan keindahan di tempat ini.Tangan Tania yang terentang kemudian diletakkan di atas perutnya. Mengusapnya lembut. Rasanya waktu berjalan begitu cepat. Sudah tiga bulan terlewati. Dan hanya tinggal tinggal menghitung hari di mana bayinya akan hadir ke dunia. Tania tidak sabar melihat wajah anaknya.Memang sudah terhitung tiga bulan Tania berada di Italia. Tinggal di mansion dengan suasana yang damai. Orang tuanya membeli mansion ini saat dirinya baru saja kemari. Awalnya Alex dan Angeline tinggal di mansion yang terletak di tengah kota. Tapi karena ingin Tania mendapat suasana yang nyaman, mereka membeli mansion baru
Tania melambaikan tangannya sebelum mobil Arthur melaju keluar dari gerbang mansion. Kemudian ia menaiki beberapa undakan tangga teras sambil mengernyit melihat sebuah mobil dengan model atap terbuka terparkir di halaman. Tania tidak pernah melihat mobil ini sebelumnya. Apakah sedang ada tamu?Tania masuk ke dalam mansion. Saat sampai di ruang tamu, ia hanya melihat ruang tamu yang kosong. Jika memang ada tamu, biasanya akan duduk di sana bukan?"Mommy!" Tania berseru. Mencari mommynya. Ia berjalan ke kamar Angeline. Namun belum sampai di kamar Angeline, langkahnya terhenti saat melihat sosok lelaki menuruni tangga.Mata Tania melebar. Wanita itu menelan ludahnya sudah payah. Mulai terpaku saat sosok familiar itu menuruni tangga satu per satu. Semakin dekat dengan tempatnya berdiri.Xander ada di sini. Benar-benar ada di sini. Kali ini Tania tidak salah lihat. Mungkin yang sebelumnya dilihatnya juga adalah Xander. Karena pakaian yang mereka kenakan sama. Tapi entahlah. Yang menjadi pe
Tania membalik buku di pangkuannya ke halaman selanjutnya. Tampak fokus pada apa yang sedang dibacanya.Tania sedang berada di kamarnya. Bersandar pada kepala ranjang dengan kaki diluruskan. Ia sedang membaca majalah tentang kehamilan. Sebentar lagi Tania akan melahirkan. Jadi wanita itu mencari semua informasi yang bisa diketahuinya tentang cara menjadi ibu yang baik.Tania tidak pernah mendapatkan kasih sayang orang tua ketika ia kecil. Dan baru-baru ini saja ia mendapatkannya. Jadi ia tidak tahu harus bagaimana. Tania takut tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk anaknya nanti. Apalagi ia hanya sendirian.Mungkin ada mommy dan daddynya. Tania tahu mereka pasti akan sangat menyayangi anaknya. Tapi itu akan berbeda. Selain kakek nenek, anaknya lebih membutuhkan sosok ayah. Sementara ayahnya tidak mengakui anaknya sendiri.Tapi tidak apa-apa. Tania bisa menjadi keduanya. Menjadi seorang ibu dan ayah. Tania tidak membutuhkan Xander. "Tania." Tania menoleh ke arah pintu dan melihat Ange
Tania mengedip-ngedipkan matanya, lalu kembali fokus pada layar besar di depannya. Mata wanita itu sayu. "Kau mengantuk?" tanya Arthur yang duduk di sebelah Tania. Ia memperhatikan wanita itu dari samping. Tania menggeleng. Meski sebenarnya memang sudah mengantuk, tapi berusaha ditahannya, karena tidak ingin terlewatkan cerita dari film yang sedang ditontonnya.Tania melebarkan matanya. Berusaha tidak memejamkan mata."Lihat, matamu merah. Kau sudah mengantuk. Cepat pergi tidur," suruh Arthur. Dia berdiri, lalu menarik tangan Tania agar berdiri."Aku tidak mengantuk," ucap Tania. Mempertahankan tubuhnya di sofa. Arthur memelototi Tania, karena wanita itu yang tidak mau menurutinya. Ia bersiap untuk mengomel ketika tubuhnya terdorong ke samping. Xander menggeser tubuh lelaki itu. Menggantikan tempatnya berdiri di depan Tania, sebelum kemudian mengangkatnya dalam satu kali hentak.Tania berseru. Terkejut. "Apa yang kau lakukan?! Turunkan aku!" Xander tidak mendengarkan. Dia membawa
"Kau bisa menungguku di sini," ucap Tania menunjuk kursi tunggu di depan ruang pemeriksaan. Mereka telah sampai di rumah sakit, dan wanita itu meminta Xander untuk menunggunya di sana."Apa aku berkata akan menunggu?"Tania sedikit terkejut, tapi tidak diperlihatkan. Sepertinya ia terlalu percaya diri. "Kau bisa langsung pulang jika sererti itu. Aku akan meminta supir Mommy untuk menjemputku nanti. Atau kalau tidak naik taksi–""Aku juga ingin melihatnya. Kenapa aku harus menunggu di sini?" Xander menyela perkataan Tania. Tania mengerutkan kening. "Kenapa kau mau melihat bayiku?""Yang kau maksud dengan bayimu itu juga bayiku. Aku berhak untuk melihatnya," tekan Xander, mengingatkan.Tania menggeleng. "Waktu itu kau meragukannya bukan? Kenapa tiba-tiba mengakuinya sekarang?" ucapnya sambil menyusul Xander yang sudah membuka pintu dan masuk ke dalam. "Xander!""Ada apa ini?" Seorang wanita dengan jas putih di tubuhnya, yang semula berdiri membelakangi pintu menoleh. "Dokter, bisakah
Tania terkejut. Xander berteriak dengan tangan meninju kaca di sampingnya. Jika itu mobil murah, mungkin kacanya akan langsung pecah begitu saja. Namun apa yang dilakukan lelaki itu cukup untuk membuat tangannya terluka."Sekarang aku tahu kenapa kalian begitu dekat. Kau akan menikah dengannya?" geram Xander. Menatap Tania dengan rahang mengeras."Apa yang kau bicarakan?" tanya Tania pelan. Dia bergerak menjauh. Duduk beringsut ke pojokan. Xander terlihat marah. Tania takut.Xander mendengus sinis. Wanita ini bermain rahasia dengannya atau apa? Jika ia tidak melihat pesan Tania, mungkin ia tidak akan pernah tahu. Lelaki itu. Arthur. Dia mengirim pesan pada Tania. Gambar sebuah undangan dengan kata-kata meminta pendapat mengenai desainnya. Tapi bukan karena itu Xander semarah ini. Nama yang tertera dalam undangan yang membuatnya marah.Arthur dan Tania. Nama yang tertulis dalam undangan pernikahan itu. Dengan tanggal pernikahan kurang dari dua minggu lagi. Maksudnya apa?"Undangan itu
Butuh waktu kurang lebih satu bulan untuk Tania benar-benar pulih dari luka tembak yang dialaminya. Dan selama itu, hanya saat inilah yang paling ditunggu Tania. Bertemu dengan ayah kandungnya.Xander selalu beralasan akan membawanya menemuinya jika kondisinya sudah pulih. Dan baru sekarang dia melakukannya. Tania sempat marah karena Xander dan orang tuanya yang menyembunyikan ini darinya. Meski Tania sendiri yang berkata tidak ingin mengetahui siapa ayah kandungnya. Tapi jika dia memang sudah sangat dekatnya, tapi tetap ingin bertemu."Kau yakin ingin bertemu dengannya?" tanya Xander sembari menggenggam jemari Tania. Berjalan bersama ke tempat di mana Abraham ditahan.Tania mengangguk yakin. "Kau tahu apa yang dia lakukan padamu bukan? Kenapa masih saja ingin bertemu dengannya?" Tania hanya tersenyum menanggapinya."Maaf, tapi Tuan Abraham tidak ingin dikunjungi oleh siapapun." Penjaga tahanan menyampaikan ucapan dari Abraham ketika dia memberitahu ada yang ingin menemuinya.Raut w
"Mommy, di mana Xander?" Tania bertanya pada Angeline yang tengah menyuapinya. Xander tidak berkata akan pergi atau apa padanya. Tapi dia tidak terlihat sejak dua jam lalu. "Xander sedang bersama Lio," jawab Angeline, yang tentu saja berbohong. Lio sedang tidur di ruangan lain. Dijaga oleh babysitter. Sementara Xander pergi keluar. Menemui Abraham di kantor polisi.Angeline mengetuk Abraham yang berani-beraninya mencelakai anaknya sendiri. Lelaki itu memang tidak memiliki perasaan sama sekali. Tapi tidakkah dia sedikit saja merasa kasihan pada darah dagingnya? Dia memang lelaki jahat.Angeline berharap Tanai tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya. Karena dia pasti akan menyesal nantinya. Menyesal memiliki darah yang sama dengan orang yang berniat membunuhnya. Angeline tidak ingin putrinya tahu."Mommy, sudah." Tania menolak ketika Angeline kembali ingin menyuapkan bubur ke mulutnya."Ya sudah. Ini minumnya." Angeline meletakkan mangkuk berisi bubur yang tinggal beberapa suapan. Lalu
"Kondisimu sudah semakin membaik. Sebentar lagi kau mungkin bisa pulang."Tania menyengir. Menampilkan deretan giginya yang putih bersih. "Aku kasihan melihatnya. Dia menangis saat aku sakit. Jadi aku harus cepat sembuh supaya dia tidak menangis lagi," ucapnya sembari melirik Xander yang berdiri didekat ranjang dengan tangan bersidekap.Xander mendengus. Sementara Tania dan dokter yang tengah memeriksanya tertawa. Tania langsung menghentikan tawanya, karena jahitan di punggungnya. Sementara sang dokter, karena Xander memberikan tatapan tajam padanya."Aku keluar dulu ya. Kau bisa memanggilku jika membutuhkan sesuatu."Tania mengangguk. Lalu mengucapkan terima kasih sebelum dokter itu keluar dari ruangannya."Kau menghancurkan reputasiku, kau tahu?" Xander berkata kesal. Ia memberikan pelototan kecil sebelum mengambil perban di atas nakas.Tania mengernyit, sebelum kemudian terkekeh kecil. "Kau malu ya, Daddy?" godanya. Xander yang terkenal tegas dan garang, menangis. Xander menggeram
Xander melangkah masuk ke dalam ruangan yang ditempati Tania. Istrinya akhirnya dipindahkan ke ruangan lain. Tubuhnya sudah tidak lagi ditempeli dengan berbagai alat penunjang hidup. Dia bahkan sudah membuka matanya sekarang. Tania tengah menatap Xander dengan mata sayunya. Bibir pink alaminya tampak pucat. Sementara bahunya dililit dengan kain kasa. Dengan lemah, wanita itu mencoba tersenyum pada Xander."Xander...."Xander menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak. "Sakit sekali ya?" ucapnya menyerupai bisikan. Meski sudah sadar, Xander tahu Tania tidak baik-baik saja. Dia masih kesakitan. Tania tampak seperti ingin berbicara. Tapi terlalu lemah untuk melakukannya. Satu kata saja sudah cukup sulit.Xander membelai rambut Tania. Menggeleng. "Tidak perlu bicara apa-apa dulu. Tidurlah. Kau butuh banyak istirahat.""Dimana baby Lio? Apa dia tidak mencariku?" tanya Tania dengan nada sangat pelan. Napasnya terengah. Xander harus benar-benar mendengarkan dengan baik. "Hm
Xander membopong tubuh lemah Tania keluar. Berjalan cepat memasuki pelataran rumah sakit. Para dokter dan perawat sudah bersiap. Membawa Tania ke ruang operasi untuk segera ditangani."Maaf, Tuan. Tapi Anda diizinkan untuk ikut masuk."Xander mengepalkan tangan. Menghembuskan napas berat, dia tidak membantah. "Selamatkan istriku apapun yang terjadi," ucapnya sebelum pintu ruangan tertutup.Xander duduk di kursi depan ruangan itu. Tangannya terkepal kuat. Raut emosi menumpuk di wajahnya. Penampilan Xander sudah berantakan. Kemeja putihnya sudah bercampur dengan warna merah. Xander sudah sangat siap membunuh orang.Lelaki itu. Jangan harap Xander akan melepaskannya. Jika sampai Tania kenapa-kenapa, ia pastikan Abraham Denovan akan mendapatkan perlakuan yang setimpal.Xander menoleh ketika mendengar suara derap langkah kaki mendekat. Alex dan Angeline berjalan cepat menghampirinya. Lio berada di gendongan Angeline. Tangisnya terdengar kencang.Xander berdiri dan ingin mengambil putranya
Xander mengeratkan mantel hijau tebal di tubuh Tania, sebelum merangkul pinggangnya dan berjalan bersama keluar mansion."Mommy dan Daddy?" Tania menoleh sekilas ke belakang untuk melihat apakah mereka sudah siap atau belum. Lio juga bersama mereka."Mommy dan Daddy akan menyusul. Kita ke bendara lebih dulu."Tania mengangguk. Xander membukakan pintu mobil, dan Tania masuk ke dalam. Ketika lelaki itu juga akan masuk, Christian datang. Xander menatap Tania. Memberitahukan dengan gerakan bibir sebelum berjalan sedikit menjauh dari mobil. Ada sesuatu yang tidak beres. Terlihat dari ekspresi Christian."Tuan, Abraham menghilang.""Maksudmu?" Xander mengernyit."Posisinya masih bisa dilacak sekitar tiga puluh menit yang lalu. Tapi setelah itu dia menghilang. Dia meninggalkan mansionnya dan pergi entah ke mana," jelas Christian. Xander memang meminta Christian untuk mengawasi Abraham. Setelah dia membuat kejutan besar yang sudah pasti menghancurkan karirnya, Abraham tidak akan tinggal dia
Xander sudah sampai di mansion. Ia menghentikan langkah saat berpapasan dengan Alex di lorong lantai empat. Xander melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya."Daddy belum tidur?" tanyanya."Kau berbicara apa dengannya?" Xander mengernyit. Tapi kemudian ia paham maksud pertanyaan Alex. Daddynya pasti sudah tahu semuanya. Xander tidak perlu menjelaskan lagi."Hanya memberi peringatan pada Abraham Denovan," jawab Xander santai.Alex menghela napas berat. "Daddy tahu kau pasti sangat marah dengan apa yang dilakukan laki-laki itu pada Tania. Daddy juga sangat marah saat mengetahuinya," ucapnya. "Tapi kau jangan menjadi gegabah seperti ini."Alex sangat ingin menemui Abraham dan menghajarnya secara langsung ketika ia mengetahui ketika lelaki itu hampir mencelakai putrinya. Tapi Alex tahu ia tidak bisa gegabah."Pamanmu Robert, mengenal Abraham dengan baik. Dia pernah mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Lawannya adalah Abraham." Alex memulai ceritanya. "Abraham orang yang tida
"Apa saja yang kau lakukan di sana?"Tania merengut. "Aku tidak yakin kau tidak tahu. Para bodyguard mu pasti sudah memberitahumu kan?""Benar. Tapi aku ingin mendengarnya sendiri darimu." Dan mengetahui apa yang kau rasakan saat bertemu dengan ayah kandungmu. Lanjutnya dalam hati.Tania dan Angeline baru saja pulang dari acara amal. Meski bodyguard sudah memberitahukan semuanya. Tapi ia ingin Tania sendiri yang memberitahu."Di sana ramai sekali. Banyak orang yang memberikan amal," cerita Tania. Lalu wajahnya yang tampak biasa sebelumnya berubah cemberut. "Tapi karena ada wartawan juga, aku jadi tidak suka.""Kenapa?" Xander memberikan tanggapan. Ia mendongak menatap istrinya."Banyak orang yang jadi pamer tahu. Mereka berlomba memberikan uang paling banyak untuk amal. Lalu menceritakannya di depan kamera. Seharusnya kan tidak boleh seperti itu. Jika memang ikhlas ingin beramal ya beramal saja. Kenapa harus dipamer-pamerkan?"Xander tersenyum melihat bibir Tania yang maju ke depan ke
"Setelah sukses dengan menjadi anggota dewan di Spanyol, Bulgaria, dan Inggris, Abraham Denovan akhirnya kembali negaranya untuk mencalonkan dirinya sebagai presiden pada pemilihan presiden yang akan datang. Nama lelaki kelahiran 1965 itu begitu cemerlang dalam dunia perpolitikan. Sikap tanggung jawab dalam menjalankan setiap tugasnya tidak bisa diragukan.""Namun, baru-baru ini berhembus kabar miring tentangnya. Belum dipastikan kebenarannya, tapi Abraham Denovan diduga suka bermain dengan perempuan malam, meski telah memiliki seorang istri. Dia juga memiliki seorang anak dari salah satu teman tidurnya itu. Anak itu–""Mommy."Angeline langsung mematikan layar televisi yang menampilkan berita itu ketika Tania memanggil. Wajahnya yang semula datar berganti menjadi senyuman saat Tania berjalan mendekat."Mommy." Tania duduk di sebelah Angeline. "Mommy sedang apa?"Angeline menggeleng. "Mommy melihat berita. Tapi karena tidak menarik, Mommy jadi malas melihatnya," jawabnya. "Di mana Lio