Xander meletakkan Tania ke dalam mobil, lalu ia sendiri masuk. Kemudian mobil dijalankan oleh supir menuju ke kediaman Artadewa.Setelah dirawat selama tiga hari di rumah sakit, Tania akhirnya boleh pulang. Wanita itu sudah sehat sekarang. Tapi tetap harus banyak istirahat dan tidak boleh memikirkan hal yang terlalu berat. Dia bisa kembali stres dan itu akan berdampak pada kesehatannya dan bayinya."Kau tidak ingin meminta penjelasan dariku?"Tania yang menatap ke luar jendela, menoleh pada Xander yang duduk di sampingnya. Ia tahu maksud perkataan Xander. Tentang kalimat 'aku mencintainya' yang diucapkannya. Memang tidak ada pembicaraan apapun setelah itu. Xander tidak mencoba menjelaskan, dan Tania juga tidak mencoba bertanya."Aku merasa kesal pada Jonathan. Dia suka sekali mencampuri urusanku. Karena itu aku berbicara seperti itu padanya."Tania mengangguk-angguk. Padahal ia tidak bertanya. Tania sudah tahu ia akan kecewa jika mendengar penjelasan Xander. Karena itu ia tidak bertan
Tania memeluk Angeline erat. Angeline terpaku. Terkejut, tapi kemudian balas memeluk Tania sama eratnya. Menangis bahagia mendengar panggilan Tania."Kau sudah meninggalkanku selama ini. Jangan meninggalkanku lagi," ucap Tania dengan suara serak. Wanita itu menangis sesenggukan."Maaf, Mommy minta maaf." Angeline mengusap kepala Tania. Memeluknya semakin erat.Tania menjauhkan dirinya dari Angeline setelah cukup lama. Menatap Angeline dengan wajahnya yang dibasahi air mata. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya pelan.Angeline mengangguk cepat. "Mommy tidak apa-apa," jawabnya sembari menghapus air mata Tania. Ia mengusap pipinya lembut.Tania balas menatapnya. Melihat wajah ibu kandungnya itu. Banyak kalimat yang ingin disampaikannya. Tapi keram di perutnya membuatnya urung mengatakannya."Kenapa? Apa perutmu sakit?" Angeline bertanya dengan nada khawatirnya, karena melihat ringisan Tania yang sambil memegangi perutnya. Isakannya yang sudah mereda kembali lagi. Tania menggeleng. Namun isakan
Tania mengarahkan kepalanya ke kiri dan kanan. Melihat penampilannya di depan cermin. Wanita itu terlihat cantik dengan rambut bagian depannya yang dijepit ke belakang dan diberikan aksesoris rambut model korean rose bow. Lalu dress berwarna peach yang senada dengan jepit rambutnya melekat di tubuhnya. Menatap Angeline yang berdiri di belakangnya dari pantulan cermin, Tania tersenyum. "Kapan kau membeli semua ini?" tanyanya dengan tangan masuk ke dalam kotak besar yang ada di pangkuannya. Berisi berbagai macam aksesoris wanita yang sangat banyak."Ini sudah lama. Mommy selalu ingat padamu setiap melihat barang-barang seperti ini. Jadi Mommy selalu membelinya. Berpikir jika suatu saat nanti kau bisa memakai barang-barang yang Mommy belikan," ucap Angeline. Setiap ada pakaian atau aksesoris yang menurutnya lucu, ia selalu membelinya dengan mengingat putrinya. Meskipun akan berakhir hanya disimpan, Angeline tetap membelinya. Ia selalu teringat pada anaknya dan ingin mendandaninya dengan
Tania berjalan di atas batang pohon besar yang sudah terpotong sambil merentangkan tangannya. Xander berdecak. Langsung menarik wanita itu turun. "Banyak tingkah."Tania mengerucutkan bibir sebelum mengikuti langkah Xander yang berjalan di aspal.Makan malam mereka sudah selesai. Alex dan Angeline pulang terlebih dahulu. Sementara Tania masih ingin jalan-jalan katanya, karena belum terlalu malam. Xander tidak berniat ikut jalan-jalan juga, karena ia ingin langsung pulang dan mengerjakan pekerjaan kantornya yang menumpuk, sebenarnya. Tapi ketika Jonathan menawarkan diri untuk menemani Tania jalan-jalan, lelaki itu langsung bereaksi. Mengajukan dirinya sendiri untuk menemani Tania.Xander menghela napas. Merasa heran dengan dirinya sendiri. Ia tidak pernah suka membuang waktunya untuk hal-hal tidak penting. Hanya berjalan-jalan di malam hari yang dingin, melihat pepohonan di kiri-kanan dan kendaraan yang berlalu-lalang menurutnya tidak berguna sama sekali. Berkas-berkas di ruang kerjany
"Lea, jangan membuatku semakin kesal. Cepat bangun," kata Xander dengan nada memerintah.Tania merajuk. Seperti anak kecil. Setelah Xander merusak ponselnya, wanita ini langsung menangis. Duduk di trotoar dan menyembunyikan wajahnya di lekukan lutut. Xander sudah mengatakan akan membelikan ponsel yang baru. Tapi ternyata bukan karena ponselnya yang rusak. Tapi foto-fotonya dengan aktor yang entah siapa namanya tadi–Xander terlalu malas untuk mengingat namanya–otomatis hilang karena ponselnya yang rusak.Xander sudah cukup kesal karena melihat Tania meminta fotonya seperti gadis centil. Dan menjadi semakin kesal ketika dia menangis hanya karena sebuah foto."Aku akan meninggalkanmu di sini jika kau tidak mau bangun," ancam Xander.Tania mengangkat kepalanya. Mendongak menatap Xander dengan wajahnya yang basah. Di suasana gelap yang hanya diterangi lampu jalan itu hidung Tania tampak memerah. Benar-benar menangis.Tania menatap Xander sebentar, sebelum kembali menenggelamkan kepalanya.
Xander membawa Tania dalam gendongannya. Masuk ke dalam mansion. "Xander–" Angeline yang berada di ruang tengah menghentikan suaranya ketika Xander mengisyaratkannya untuk tidak berisik, karena takut akan membangunkan Tania.Xander menidurkan Tania di ranjangnya, melepaskan sepatu yang dikenakannya, menyelimuti, lalu keluar dari kamar wanita itu. Dia kembali ke ruang tengah untuk menemui mommynya."Kalian pergi ke mana saja sampai tidak pulang-pulang?" tanya Angeline begitu Xander duduk di sofa di seberangnya."Anak Mommy tidak mau diajak pulang," jawab Xander dengan nada dibuat malas. Mata Angeline menyipit. "Kata Tania di telepon tadi Sera mengalami kecelakaan. Kalian membawanya ke rumah sakit?"Xander mengangguk."Kau bertemu dia di mana? Kenapa bisa sampai kecelakaan?"Xander mengedikkan bahu. Malas menjelaskan. Xander yakin alasan Sera tentang bagaimana dia bisa sampai kecelakaan hanya bulan wanita itu semata."Lalu bgaimana keadaannya?""Tidak apa-apa. Hanya mendapat luka keci
Menjadikan kedua telapak tangannya menjadi bantalan kepala, Tania tidur miring dengan tatapan matanya pada Xander yang berbaring di sebelahnya. Saat Tania membuka mata, Xander masih ada di kamarnya. Tidur di ranjang yang sama dengannya. Lelaki itu menemaninya semalaman. Sedangkan lampu sekarang terlihat sudah menyala. Tania tersenyum memandang wajah Xander yang sangat tenang dalam tidurnya. Wanita itu menarik satu tangannya. Lalu jemarinya bergerak menyusuri wajah Xander. Bergerak dengan pelan karena takut membangunkan lelaki itu. Tapi gerakan kecilnya sudah cukup untuk membuat Xander membuka mata.Xander menatap Tania. Tania sedikit terkejut. Ingin menjauhkan tangannya ketika Xander menahannya. Membiarkannya tetap berada di pipinya. Bola matanya menatap Tania lamat.Tania langsung bangun. Membuang wajah gugup. Xander merentangkan kedua tangannya ke atas. Lalu ikut bangun dari posisi berbaringnya."Kau di sini sejak semalam?" Tania bertanya seolah tidak tahu. "Hm. Karena kau terus
"Apa yang kau lakukan di sini?" Jonathan bertanya pada Xander yang duduk dengan santai di kursinya padahal belum diizinkan untuk bisa bergabung atau tidak. Ia merasa rencananya tidak akan berjalan lancar dengan kehadiran Xander."Bertemu dengan klien," jawab Xander. Tania menoleh ke sekitar. Tidak melihat seseorang yang bisa disebut sebagai rekan bisnis Xander. Hanya ada beberapa pasangan anak muda di sini. Dia pasti bertemu dengan Sera. Dan Tania merasa kesal karena itu. Padahal itu hak Xander bertemu dengan siapa saja. Sekali lagi, ia bukan siapa-siapa."Kau bertemu dengan klien di restoran ini?" tanya Jonathan lagi. Tapi sebelum Xander menjawab, ia melanjutkan perkataannya. "Jadi pasti sudah makan juga kan di sini? Apa sebaiknya kau tidak langsung pulang saja, X?"Ibu Jonathan menyenggol kaki putranya yang ada di bawah meja. Mengisyaratkannya untuk tidak berkata sembarangan. "Kita sedang membahas masalah keluarga, Mom. Jadi Xander sepertinya tidak ada kepentingannya dengan ini,"
Butuh waktu kurang lebih satu bulan untuk Tania benar-benar pulih dari luka tembak yang dialaminya. Dan selama itu, hanya saat inilah yang paling ditunggu Tania. Bertemu dengan ayah kandungnya.Xander selalu beralasan akan membawanya menemuinya jika kondisinya sudah pulih. Dan baru sekarang dia melakukannya. Tania sempat marah karena Xander dan orang tuanya yang menyembunyikan ini darinya. Meski Tania sendiri yang berkata tidak ingin mengetahui siapa ayah kandungnya. Tapi jika dia memang sudah sangat dekatnya, tapi tetap ingin bertemu."Kau yakin ingin bertemu dengannya?" tanya Xander sembari menggenggam jemari Tania. Berjalan bersama ke tempat di mana Abraham ditahan.Tania mengangguk yakin. "Kau tahu apa yang dia lakukan padamu bukan? Kenapa masih saja ingin bertemu dengannya?" Tania hanya tersenyum menanggapinya."Maaf, tapi Tuan Abraham tidak ingin dikunjungi oleh siapapun." Penjaga tahanan menyampaikan ucapan dari Abraham ketika dia memberitahu ada yang ingin menemuinya.Raut w
"Mommy, di mana Xander?" Tania bertanya pada Angeline yang tengah menyuapinya. Xander tidak berkata akan pergi atau apa padanya. Tapi dia tidak terlihat sejak dua jam lalu. "Xander sedang bersama Lio," jawab Angeline, yang tentu saja berbohong. Lio sedang tidur di ruangan lain. Dijaga oleh babysitter. Sementara Xander pergi keluar. Menemui Abraham di kantor polisi.Angeline mengetuk Abraham yang berani-beraninya mencelakai anaknya sendiri. Lelaki itu memang tidak memiliki perasaan sama sekali. Tapi tidakkah dia sedikit saja merasa kasihan pada darah dagingnya? Dia memang lelaki jahat.Angeline berharap Tanai tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya. Karena dia pasti akan menyesal nantinya. Menyesal memiliki darah yang sama dengan orang yang berniat membunuhnya. Angeline tidak ingin putrinya tahu."Mommy, sudah." Tania menolak ketika Angeline kembali ingin menyuapkan bubur ke mulutnya."Ya sudah. Ini minumnya." Angeline meletakkan mangkuk berisi bubur yang tinggal beberapa suapan. Lalu
"Kondisimu sudah semakin membaik. Sebentar lagi kau mungkin bisa pulang."Tania menyengir. Menampilkan deretan giginya yang putih bersih. "Aku kasihan melihatnya. Dia menangis saat aku sakit. Jadi aku harus cepat sembuh supaya dia tidak menangis lagi," ucapnya sembari melirik Xander yang berdiri didekat ranjang dengan tangan bersidekap.Xander mendengus. Sementara Tania dan dokter yang tengah memeriksanya tertawa. Tania langsung menghentikan tawanya, karena jahitan di punggungnya. Sementara sang dokter, karena Xander memberikan tatapan tajam padanya."Aku keluar dulu ya. Kau bisa memanggilku jika membutuhkan sesuatu."Tania mengangguk. Lalu mengucapkan terima kasih sebelum dokter itu keluar dari ruangannya."Kau menghancurkan reputasiku, kau tahu?" Xander berkata kesal. Ia memberikan pelototan kecil sebelum mengambil perban di atas nakas.Tania mengernyit, sebelum kemudian terkekeh kecil. "Kau malu ya, Daddy?" godanya. Xander yang terkenal tegas dan garang, menangis. Xander menggeram
Xander melangkah masuk ke dalam ruangan yang ditempati Tania. Istrinya akhirnya dipindahkan ke ruangan lain. Tubuhnya sudah tidak lagi ditempeli dengan berbagai alat penunjang hidup. Dia bahkan sudah membuka matanya sekarang. Tania tengah menatap Xander dengan mata sayunya. Bibir pink alaminya tampak pucat. Sementara bahunya dililit dengan kain kasa. Dengan lemah, wanita itu mencoba tersenyum pada Xander."Xander...."Xander menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak. "Sakit sekali ya?" ucapnya menyerupai bisikan. Meski sudah sadar, Xander tahu Tania tidak baik-baik saja. Dia masih kesakitan. Tania tampak seperti ingin berbicara. Tapi terlalu lemah untuk melakukannya. Satu kata saja sudah cukup sulit.Xander membelai rambut Tania. Menggeleng. "Tidak perlu bicara apa-apa dulu. Tidurlah. Kau butuh banyak istirahat.""Dimana baby Lio? Apa dia tidak mencariku?" tanya Tania dengan nada sangat pelan. Napasnya terengah. Xander harus benar-benar mendengarkan dengan baik. "Hm
Xander membopong tubuh lemah Tania keluar. Berjalan cepat memasuki pelataran rumah sakit. Para dokter dan perawat sudah bersiap. Membawa Tania ke ruang operasi untuk segera ditangani."Maaf, Tuan. Tapi Anda diizinkan untuk ikut masuk."Xander mengepalkan tangan. Menghembuskan napas berat, dia tidak membantah. "Selamatkan istriku apapun yang terjadi," ucapnya sebelum pintu ruangan tertutup.Xander duduk di kursi depan ruangan itu. Tangannya terkepal kuat. Raut emosi menumpuk di wajahnya. Penampilan Xander sudah berantakan. Kemeja putihnya sudah bercampur dengan warna merah. Xander sudah sangat siap membunuh orang.Lelaki itu. Jangan harap Xander akan melepaskannya. Jika sampai Tania kenapa-kenapa, ia pastikan Abraham Denovan akan mendapatkan perlakuan yang setimpal.Xander menoleh ketika mendengar suara derap langkah kaki mendekat. Alex dan Angeline berjalan cepat menghampirinya. Lio berada di gendongan Angeline. Tangisnya terdengar kencang.Xander berdiri dan ingin mengambil putranya
Xander mengeratkan mantel hijau tebal di tubuh Tania, sebelum merangkul pinggangnya dan berjalan bersama keluar mansion."Mommy dan Daddy?" Tania menoleh sekilas ke belakang untuk melihat apakah mereka sudah siap atau belum. Lio juga bersama mereka."Mommy dan Daddy akan menyusul. Kita ke bendara lebih dulu."Tania mengangguk. Xander membukakan pintu mobil, dan Tania masuk ke dalam. Ketika lelaki itu juga akan masuk, Christian datang. Xander menatap Tania. Memberitahukan dengan gerakan bibir sebelum berjalan sedikit menjauh dari mobil. Ada sesuatu yang tidak beres. Terlihat dari ekspresi Christian."Tuan, Abraham menghilang.""Maksudmu?" Xander mengernyit."Posisinya masih bisa dilacak sekitar tiga puluh menit yang lalu. Tapi setelah itu dia menghilang. Dia meninggalkan mansionnya dan pergi entah ke mana," jelas Christian. Xander memang meminta Christian untuk mengawasi Abraham. Setelah dia membuat kejutan besar yang sudah pasti menghancurkan karirnya, Abraham tidak akan tinggal dia
Xander sudah sampai di mansion. Ia menghentikan langkah saat berpapasan dengan Alex di lorong lantai empat. Xander melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya."Daddy belum tidur?" tanyanya."Kau berbicara apa dengannya?" Xander mengernyit. Tapi kemudian ia paham maksud pertanyaan Alex. Daddynya pasti sudah tahu semuanya. Xander tidak perlu menjelaskan lagi."Hanya memberi peringatan pada Abraham Denovan," jawab Xander santai.Alex menghela napas berat. "Daddy tahu kau pasti sangat marah dengan apa yang dilakukan laki-laki itu pada Tania. Daddy juga sangat marah saat mengetahuinya," ucapnya. "Tapi kau jangan menjadi gegabah seperti ini."Alex sangat ingin menemui Abraham dan menghajarnya secara langsung ketika ia mengetahui ketika lelaki itu hampir mencelakai putrinya. Tapi Alex tahu ia tidak bisa gegabah."Pamanmu Robert, mengenal Abraham dengan baik. Dia pernah mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Lawannya adalah Abraham." Alex memulai ceritanya. "Abraham orang yang tida
"Apa saja yang kau lakukan di sana?"Tania merengut. "Aku tidak yakin kau tidak tahu. Para bodyguard mu pasti sudah memberitahumu kan?""Benar. Tapi aku ingin mendengarnya sendiri darimu." Dan mengetahui apa yang kau rasakan saat bertemu dengan ayah kandungmu. Lanjutnya dalam hati.Tania dan Angeline baru saja pulang dari acara amal. Meski bodyguard sudah memberitahukan semuanya. Tapi ia ingin Tania sendiri yang memberitahu."Di sana ramai sekali. Banyak orang yang memberikan amal," cerita Tania. Lalu wajahnya yang tampak biasa sebelumnya berubah cemberut. "Tapi karena ada wartawan juga, aku jadi tidak suka.""Kenapa?" Xander memberikan tanggapan. Ia mendongak menatap istrinya."Banyak orang yang jadi pamer tahu. Mereka berlomba memberikan uang paling banyak untuk amal. Lalu menceritakannya di depan kamera. Seharusnya kan tidak boleh seperti itu. Jika memang ikhlas ingin beramal ya beramal saja. Kenapa harus dipamer-pamerkan?"Xander tersenyum melihat bibir Tania yang maju ke depan ke
"Setelah sukses dengan menjadi anggota dewan di Spanyol, Bulgaria, dan Inggris, Abraham Denovan akhirnya kembali negaranya untuk mencalonkan dirinya sebagai presiden pada pemilihan presiden yang akan datang. Nama lelaki kelahiran 1965 itu begitu cemerlang dalam dunia perpolitikan. Sikap tanggung jawab dalam menjalankan setiap tugasnya tidak bisa diragukan.""Namun, baru-baru ini berhembus kabar miring tentangnya. Belum dipastikan kebenarannya, tapi Abraham Denovan diduga suka bermain dengan perempuan malam, meski telah memiliki seorang istri. Dia juga memiliki seorang anak dari salah satu teman tidurnya itu. Anak itu–""Mommy."Angeline langsung mematikan layar televisi yang menampilkan berita itu ketika Tania memanggil. Wajahnya yang semula datar berganti menjadi senyuman saat Tania berjalan mendekat."Mommy." Tania duduk di sebelah Angeline. "Mommy sedang apa?"Angeline menggeleng. "Mommy melihat berita. Tapi karena tidak menarik, Mommy jadi malas melihatnya," jawabnya. "Di mana Lio