Resahku sekarang berganti. Bukan karena sakitnya Pak Mahendra, tetapi karena tiga hari lagi harus bertemu Mama Lia.Calon mertua.***Aku seperti jungkir balik mengatur jadwal. Jadwal yang ketat untuk proyek ini memaksaku harus menyelesaikan meninjauan hasil kerja team gambar yang menumpuk di mejaku. Pekerjaan yang seharusnya dibagi dengan Mas Sakti, harus aku selesaikan sendiri. Dia menggantikan pekerjaan Pak Mahendra yang masih harus dirawat di rumah sakit. Dan di sinilah aku, tenggelam dalam banjir pekerjaan.Tidak ada kata bersantai lagi. Bahkan untuk makan siangpun, Mbak Endah mengirimnya ke ruanganku. Itu, karena perintah Mas Sakti yang melihat aku tidak sempat ke cafetaria.Belum lagi Pak Mahendra yang menggangguku. Terkurungnya dia di rumah sakit tidak menghambat terornya. Aku diharuskan menerima panggilan video hanya sekedar alasan kangen. "Kak Mahe, saya tidak bisa lama-lama bicara. Bisa jadi saya harus lembur. Kak Mahe, mau?" tanyaku tanpa menoleh ke arah layar ponsel. A
"Sayang .... Kamu sudah tidur?" Suara Pak Mahendra terdengar dekat. Aku langsung memejamkan mata pura-pura tidur. Terasa ada yang duduk di tepi ranjang. Tidak selang beberapa lama seperti dia berbaring di belakangku."Kamu belum tidur, kan?" bisiknya ditelingaku dan sesekali mengecup rambut ini. "Kak .... tangannya," ucapku serak saat dia melingkarkannya diperutku. "Kamu belum tidur, kan?"Kali ini dia menyibak rambutku dan memberikan kecupan kecil. Jantungku yang tadi hampir terlepas, sekarang benar-benar lepas. Aku tercekat tidak kuasa menghindar, bahkan saat dia membalikkan tubuh ini. "Kak ...." Dia tersenyum dan bergerak cepat membungkamku. ..."Aduh!" teriakkannya.Ulah tanganku yang penasaran dengan pemandangan tadi membuat dia berteriak. "Maaf, Kak!"Aku langsung duduk dan membuka piyamanya memastikan lukanya aman. Tentunya serambi memuaskan penasaranku. Sepertinya aku sudah teracuni olehnya. "Tidak berdarah, sih. Aman. Kak Mahe, sih. Kenapa juga harus pindah tempat tid
"Kenapa, kamu Litu?" Suara Mas Sakti mengagetkanku. Tiba-tiba wajahnya muncul di depanku. Aku yang menundukkan kepala dengan meremas rambut ini, langsung membuka mata lebar. Wajah dengan alis bertaut. Sebentar lagi, pasti mengoceh hipotesa tentangku yang sekarang berputar di otaknya.Kusandarkan tubuhku di kursi. Pasrah dengan tuduhan-tuduhan yang akan terlontar. Kepalaku sudah pening. Otakku seperti mengalami konsleting karena kata deadline memburuku. Pekerjaan deadline karena minggu depan sudah jadwal lounching. Termasuk dikejar deadline masa lajangku, yang sudah didesak kata menikah cepat dari Pak Mahendra. Huuft!"Kamu lagi mikir apa? Cerita dengan Kakak Ipar!" ucapnya tersenyum dengan menepuk dadanya."Cerita yang mana dulu? Semua membuat otak akan meledak!" teriakku sambil menghembuskan napas panjang."Pekerjaan? Sudah bereskan? Tinggal nunggu hasilnya saja. Maaf, ya. Kemarin-kemarin aku tinggal.""Ya itu yang membuat saya cemas, Mas! Apakah para undangan nanti tertarik, suk
"Litu, malam ini kamu cantik sekali!" pekik Pak Mahendra saat aku turun dari tangga. Dia ditemani Alysia di ruang tamu. Matanya tidak teralihkan dariku."Ini hasil karya Alysia," ucapku menatapnya sekilas dan meraih tangan Alysia yang tersenyum bangga. Aku seperti gadis kampung yang baru saja dimake over. Malu aku, apalagi dia menatapku seakan ingin menguliti.Aku menggunakan baju terusan selutut yang membentuk siluet tubuhku. Tidak ketat, masih terasa nyaman. Berwarna toska, dengan manik-manik kecil menghiasi kerah leherku. Rumbai lipitan diujung bawahan, membuat kesan elegan namun terlihat santai. Ini cantik, namun menggangguku. Saat jalan, rumbaian ini melambai seakan menunjukkan, "Ini lo, kakiku jenjang, putih dan cantik."Riasan juga natural. Rambutku diikat rapi, ini supaya terkesan tidak berantakan di depan calon mertua, kata Alysia sok tahu."Bajunya bagus. Semuanya bagus. Kita berangkat sekarang," ucapnya dengan mengulurkan tangannya. Kami berangkat diantar Alysia ke depan.
Sekarang di dada ini sedang terjadi pergulatan rasa. Kawatir, takut, dan cemas, rasa yang lebih menguasaiku. Bagaimana tidak, mempunyai calon suami yang super kaya seperti ini. Itu sangat menakutkan.*Sekarang, aku baru merasakan aura rumah. Bangunannya masih terkesan megah, namun masih bersahabat. Permainan batu alam dikombinasi dengan kayu besar dan detail sedikit ukiran, membuat hati ini merasa nyaman. Apalagi cahaya temaran dan lampu sorot di beberapa titik taman terbuka.Genggamanku tidak seerat lagi, senyumku pun mulai terukir kembali menyambut tatapan hangat Pak Mahendra. Tetap, tanganku tergantung dilengannya. Menopang tubuhku yang tersiksa karena alas kaki cantik yang tinggi ini. "Kita langsung ke belakang, ya. Mama sudah menunggu di dapur," ucapnya mempercepat langkahnya. Kami melewati beberapa ruangan yang terlihat sekilas mempunyai tatanan yang indah. Dari sini, kelihatan sekali Mama Lia mempunyai selera yang tak biasa. "Litu! Akhirnya kamu sampai!" teriak Mama Lia men
"Capek?" Pertanyaan Pak Mahendra terlontar memecah keheningan di dalam mobil. Setelah meninggalkan istana itu. Kami disibukkan dengan pikiran masing-masing. Banyak sekali pertanyaan di kepalaku, kenapa, siapa, bagaimana, seandainya, semua berjubal minta dibebaskan. "Capek kenapa? Kita hanya makan," jawabku singkat. Bingung akan menjawab apa, sedangkan pertanyaan sudah membuatku pusing."Capek mendengarkan cerita Mama."Aku hanya tersenyum dan menggeleng. Seandainya dia bertemu Ibu yang tidak berhenti bicara dari bangun sampai tidurnya. Atau, menemani Bapak nongkrong di depan dari kopi gelas pertama sampai kelima. Pasti dia akan memakluminya."Kita mampir ke rumahku dulu, ya? Selama ini, kamu belum pernah aku ajak," ucapnya sambil membelokkan ke hunian yang dijaga dua Satpam. Mereka langsung berdiri tegap dan membungkukkan badan. Pintu gerbang tinggi terbuka dengan sendirinya.Kesan maskulin begitu kental. Warna abu-abu dan hitam mendominasi. Lampu taman menghiasi dibeberapa sudut,
Tubuh ini terhempas di sofa dudukan kami tadi. Seperti terlepas dari busur panah, kami melesat tak berhenti. Berpacu dalam pagutan yang sudah diselimuti hasrat. Saling terpaut dalam helaan napas yang mulai memanas.Dan, "Awh ...!"Teriakan Pak Mahendra menyadarkan kami. Dia mengaduh, membebaskanku dari kungkungannya. Sambil meringis, dia bersandar di sofa dengan mendekap perutnya. Pasti barusan aku tidak segaja meremas lukanya.Aku beringsut menjauhkan dari tubuhnya. Merapikan bajuku yang sudah berantakan, beruntung Alysia memberiku gaun dengan pengait di punggung, itu pengaman untukku. Rumbaian di ujung gaun saja yang sedari tadi mengganggu pandangannya.Ikatan rambutku pun sudah hilang entah kemana, tertinggal rambut yang terurai. Aku menyisir seadanya dengan jari."Kak, lukamu?" teriakku mendekatinya lagi, dia masih mengaduh.Terpaksa aku memeriksa luka di perut. Tanganku gemetar membuka satu persatu kancing bajunya. Rasa yang tadi masih tersisa, masih haus akan apa yang kulihat se
Hari ini, persiapan untuk acara peluncuran proyek ini. Dua hari lagi acara berlangsung. Alasan inilah yang mempercepat aku pergi dari hadapan Alysia, dan menyembunyikan noda sisa semalam.Pekerjaan kami sudah tidak sesibuk sebelumnya. Aku dan Mas Sakti sudah menyerahkan semuanya kepada team pemasaran. Siang ini, aku ingin mengejutkan Pak Mahendra. Biasanya dia yang menghampiriku, memberikan kejutan-kejutan manis walau sekedar rayuan. Itu cukup membuatku tersanjung dan berharga untuknya.Sekarang giliranku, akan kutunjukkan bahwa akupun mempunyai perasaan yang sama. Berduaan di kantor, tidak akan membuat kami terjerumus, kan?Ruang depan kosong, biasanya sekretaris siap siaga di sana. Hanya tulisan ISTIRAHAT terpampang di atas mejanya.Sip, berarti Pak Mahendra sendiri dan bersiap untuk makan siang. Aku ingin mendahuluinya mengajak makan berdua. Dengan hati berbunga kulangkahkan kaki, dengan jantung mulai berdebar cepat membuka pintu dengan pelan."Aku mencintaimu. Dari dulu, sekara
Apa yang dicari dalam hidup ini, kalau tidak ketenangan? Untuk apa berlimpah harta dan kekuasaan, tetapi bergelimang kecemasan akan kehilangan? “Karenanya, aku berusaha menyelesaikan urusan-urusanku sebelum menjalani hidup tenang bersamamu, Litu.” Aku menjawab dengan senyuman sambil mengeratkan tangannya yang mengusap perut ini. Hangat tubuh yang selama ini aku nikmati dari bajunya yang tidak dicuci, sekarang bisa aku hidu setiap waktu. Senyuman begitu lekat di wajah ini. Sesekali meneleng ke belakang untuk menyambut ciumannya. “Kak Mahe tidak pergi meninggalkan aku lagi?” “Untuk apa? Semua sudah aku bereskan.” “Janji?” “Janji. Demi anak kita, Litu,” ucapnya sambil membalikkan tubuh ini kepadanya. Wajahnya menunjukkan keseriusan, dengan mata tidak terlepas dariku. “Apa yang terjadi kepadamu, membuat aku berpikir. Kalau aku tetap mempertahankan posisi dan apa yang aku lakukan sekerang, bukan tidak mungkin anak kita nanti akan mendapatkan kemalangan. Aku tidak mau itu.” “Iya. A
Apa salah kalau seorang istri ingin merasa dipentingkan oleh suami sendiri? Apakah tidak benar, kalau aku ingin malam-malamku ditemani suami sambil mengusap perutku yang sudah mulai buncit ini?“Nduk, kamu ingin rujak manis mangga muda? Ibuk bikinkan, ya?”“Tidak usah ditawari. Langsung dibuatkan saja. Pasti Litu kemecer,” sahut Bapak menjawab pertanyaan Bapak.Bukannya aku tidak ingin, tapi aku menginginkan mangga muda yang diambilkan Kak Mahe sendiri. Keinginanku itu sudah tertahan satu minggu, dua minggu, dan sekarang sudah menginjak di bulan kedua. Namun tidak ada kabar sama sekali tentang Kak Mahe.“Suamimu baik-baik saja. Hanya dia belum bisa menghubungimu demi keselamatanmu, Litu,” ucap Mas Sakti kalau aku mengajukan pertanyaan yang sama melalui sambungan telpon.Sampai sekarang aku tidak tahu ada urusan apa yang lebih dia pentingkan. Kalau bisnis, kenapa justru dia meninggalkan perusahaan dan menyerahkan kepada Mas Sakti?Aku seperti istri yang tidak mengerti suaminya seperti
“Kamu benar ingin meninggalkan suamimu?” Alysia menangkup tanganku, menghentikan gerakanku yang sedang memasukkan baju ke dalam koper.Aku menatapnya sebentar. Rasanya ingin menyerah dan pasrah, tetapi hati ini sudah terlanjur terpantik rasa kesal. Menjadi seorang istri yang tidak dianggap. Ucapanku hanya dianggapnya angin lalu.“Iya. Aku ingin pulang ke Jogja. Di sini aku tidak dianggap apa-apa. Bahkan tidak dianggap penting,” ucapku kemudian melanjutkan yang aku lakukan tadi.“Litu. Pak Mahendra pergi karena ada urusan penting.”“Siapa yang bilang? Dia hanya mengurus orang-orang yang menurutnya harus dilibas,” ucapku sambil tertawa. “Alasan saja demi aku. Tapi menurutku itu hanya demi egonya sendiri.”“Sakti pasti benar. Pak Mahendra sedang ada__”“Sedang apa dia, Alys?” ucapku memotong ucapan sahabatku. Sejenak aku mengambil jeda untuk mengatur napas. Mencoba meredam amarah.“Kalau dia memang benar-benar mencintaiku dan sayang kepada anaknya, pasti sekarang ini dia menunggui aku ya
Tangannya memegang erat lenganku. Sorot matanya menunjukkan ketidakrelaan, menyurutkan gerakanku untuk berdiri.“Kak Mahe, aku tidak ingin keributan.”“Tapi Litu. Mereka tidak bisa dibiarkan begitu saja. Aku harus membalas perlakuannya kepadamu. Enak saja. Belum tahu siapa Mahendra ini?!” ucapku dengan mengeratkan kepalan tangan ini. Aku berusaha meredam amarahku, terlebih dihadapan Lituhayu.“Sst…. Kalau marah jangan keras-keras, Kak. Nanti dia dengar.” Istriku berdesis sambil menuntukkan telunjuk di depan bibirnya. Aku mengernyit.“Dia? Dia siapa?” tanyaku dengan menoleh ke sekeliling. Hanya ada kami berdua.Lituhayu tersenyum, kemudian menarik tangan ini ke arah perutnya. “Dia, Kak. Anak kita. Walaupun masih kecil di perut, dia sudah mendengar. Bahkan bisa juga merasakan apa yang ada di hati orang tuanya.”Aku terperanga seketika, tersadar dengan perasaan yang aneh ini. Yang menyelusup dan bersarang di hati ini.Anak? Anakku?Rasa yang tidak bisa aku gambarkan. Yang aku tahu, dia m
Aroma wangi bunga menyelusup di penciuman. Kicauan suara burung terdengar bersautan yang mengantarkan kedamaian, mengusikku untuk membuka mata.Mata ini mengerjap, menajamkan pandangan yang terhalang tirai putih berkibar tergantung di tiang ranjang. Sesekali terlihat pemandangan yang menakjubkan, seiring dengan angin yang berembus halus.‘Dimana aku ini?’Penasaran. Aku beringsut dan perlahan kaki ini turun dari ranjang berwarna serba putih. Telapak kaki tergelitik seketika, saat beradu dengan ujung rumput.‘Apakah aku sudah di surga?’ bisikku dalam hati setelah menyibak tirai. Pemandangan indah terhampar luas. Aku di tengah-tengah taman indah dan beratapkan langit biru yang menyejukkan.Masih teringat lekat, tubuh ini melayang di udara. Telingaku yang mendengar teriakan pak sopir di sela suara Mas Sakti dan berakhir dengan silau yang menyerang mata ini.Siapa mereka?Sosok berbaju berbaju putih menunduk mengerumuni keranjang rotan.Penasaran. Langkah ini seakan melangkah dengan sendi
Kalau mempunyai keinginan, memang harus diupayakan. Aku setuju tentang itu. Akan tetapi bukan begini juga prakteknya.Kebersamaan kami tidak hanya di rumah saja. Keinginan segera memiliki buah hati juga digaungkan di kantor. Hampir setiap ada kesempatan, Kak Mahe memanggilku ke ruangannya. Tentu saja berakhir di ruang rahasia belakang kabinet.Ranjang yang menghadap jendela lebar, seakan merindukan kehangatan kebersamaan ini. Menjadi saksi bisu kegigihan upaya kami berdua.“Kamu selalu cantik, Sayang.”Kak Mahe mengaitkan rambutku ke belakang telinga. Seakan selesai kerja keras, pendingin ruangan tidak menyurutkan keringat yang melembabkan kulit ini. Aku menggeliat, meregangkan tubuh yang lelah karena ulahnya. Seakan mengerti, selimut ditangkupkan di tubuhku yang masih meringkuk. Aku seperti atlit maraton yang mengibarkan bendera putih tanda menyerah.Senyum ini mengembang, saat dia mencium lembut kening ini. Mata ini pun enggan terpejam, saat dia dengan tubuh polosnya beranjak santa
Harusnya aku tadi menghindari minum. Memang, aku bukan pecandu alkohol, minum pun sekadar just for fun. Bukan untuk mabok-mabokan yang menghilangkan akal sehat. Untuk apa melakukan hal yang merusak badan. Aku masih ingin hidup lama untuk bekerja dan bahagia. Katanya, minum alkohol secara berlebihan akan merusak kesehatan. Bahkan merusak gairah seks dan memicu impotensi pada laki-laki. No! Aku mempunyai istri dan ingin memiliki anak. Karenanya, aku tahu takaran maksimal yang bisa aku minum. Satu gelas. Kalau ingin nambahpun, tidak boleh lebih dari satu gelas. Itupun sekadar long drink, coktail, atau wine. Takaran yang masih berdampak baik. Namun, pikiranku terlupakan dengan efek setelahnya. Dalam jumlah kecil, etanol yang terkandung dalam minuman itu akan merangsang bagian primitif otak yang disebut hipotalamus. Yang mendorong fungsi dasar manusia termasuk memicu gairah untuk membersamainya. Terlebih saat ada yang memantik seperti sek
Telingaku berdengung sedari tadi. Makan mie instan kuah dengan cabe lima biji, jadi terganggu. Itu artinya ada yang membicarakan, itu kata Bapak dulu. Saat itu aku dan bapak mancing. Pamit kepada ibuk keluar sebenar, tetapi berakhir di taman pancing sambil ngopi. Menghilangkan penat yang sungguh menyenangkan. Nyaman, ditemani semilir angin, dan hening, jauh dari omelan ibuk. Tentu saja ini sampai sinar matahari mulai turun. “Nduk. Kita pulang sekarang,” ucap bapak kala itu. Padahal, timba tempat ikan milikku baru terisi dua ekor, sedangkan bapak sudah dapat lima ekor. Padahal ini kan taruhan dengan bapak, siapa yang banyak dia harus mijit pundak. Curang! “Yo, wes. Bapak mengalah, wes. Telinga bapak ini lo berdengung terus. Ini pasti ibumu sudah menunggu di rumah,” ucap Bapak tidak bisa dicegah. Benar, sampai rumah ibu sudah menunggu di teras rumah. Entah apa yang dikatakan bapak, wajah ibu yang awalnya terlihat kesal, berubah menampilkan senyuman. Mereka itu pasangan Tom and Je
Katanya, mertua perempuan sering kali menguji menantu perempuannya. Entah itu secara diam-diam, atau dengan terang-terangan. Katanya juga, ini untuk memastikan anaknya berada pada tangan yang tepat. Dia akan rela dan tenang melepaskan si anak, kalau menantunya lulus ujian. Entah, apakah sekarang Mama Lia melakukan ini kepadaku? “Kamu memang wanita yang tepat untuk Mahendra. Tenang tetapi membahayakan,” celetuk Mama Lia dengan menunjukkan senyuman dan lirikan mata penuh arti. Tadi saat Mama Lia dan si Nyonya rumah mendapati keadaan yang berantakan tadi, Sandra pemakai costum nenek sihir itu berusaha keras memojokkan aku. Tentu saja aku memanfaatkan untuk menantang Monika. “Tanya saja kepada Monika kalau tidak percaya? Saya tidak menyentuh sedikitpun perempuan itu. Bahkan, dia yang berniat mencelakaiku” ucapku dengan wajah sedikit menyunggingkan senyuman. Menoleh ke arah Monika dengan sedikit tatapan tajam, memberikan ancaman apa yang aku ucapkan tadi tidak main-main. Di tangan in