“Angkat tangan atau kami tembak!” sergah suara Abbiyya dari ambang pintu masuk saat Rio nyaris mendekap Adhisti dalam pelukannya itu. Seketika Rio menghentikan aksinya, namun emosi dan hasratnya yang memuncak malag membuatnya semakin gila dan tak berkeinginan menuruti perintah Abbiyya itu. Dengan tatapan matanya yang tergoda, pria itu malah hendak kembali menjatuhkan dirinya di atas Adhisti. Namun dengan sigap Adhisti mendorongnya saat pria itu sedikit mengendurkan posisinya. Di saat yang sama dua orang polisi lainnya langsung menahan Rio dengan mencekal kedua lengannya. Rio memberontak bukan main bagai seorang manusia gila yang penuh hasrat tak tertahankan. Sementara kedua polisi itu mengamankan Rio di sudut ruangan dengan memborgolnya, Abbiyya segera bergegas ke arah Adhisti. Sambil bergetar hebat, Adhisti langsung meraih dan memeluk erat tubuh pria berseragam itu. Abbiyya yang jantungnya masih sama-sama berdegup kencang perlahan mengangkat tangannya dan menepuk pundak Adhisti
Rio kini tampak duduk di ruang interogasi dengan ciri khas lampu terbalik yang ada di tengah ruangan serta set meja dengan tiga buah kursi di bawahnya. Abbiyya tampak berjalan memasuki ruangan bersamaan dengan seorang petugas lain yang dalam hal ini akan bertindak sebagai notulen. “Selamat pagi Pak, Rio! Untuk formalitas saja, perkenalkan saya Abbiyya dan ini Miko. Dia yang akan menulis semua jawaban-jawaban anda atas pertanyaan yang akan kami sampaikan,” tutur Abbiyya sembari menatap Rio yang malah tampak cengengesan itu. “Kita kembali pada kejadian utama yang membuat kami menerima keluhan tentang anda, Pak Rio! Apa yang anda lalukan pada korban, Chaaya Adhisti Pramagya pada malam itu hingga sang kakak, Rafandra harus melaporkan anda ke pada kami.” Abbiyya masih menatap Rio dengan lekat. Rio mengangkat punggungnya dari sandaran kursi besi itu lalu menautkan kedua tangannya dibatas meja. “Apa kau sungguh ingin tahu? Apa kau yakin tak akan tergoda untuk melakukan hal yang sama kep
“Jangan membual, Pak Rio! Anda berani menuduh saya, apakah anda siap jika saya turut menuntut anda atas tuduhan pencemaran nama baik dan perbuatan tak menyenangkan? Amda bisa terkena kasus berlapis karena menghina aparat!” sergah Abbiyya. “Jangan lo sembunyiin hasrat lo itu dibalik seragam yang lo pakai, Abbiyya! Gue yakin semua pria punya hasrat yang sama dengan yang gue miliki! Jadi jangan naif!” sergah Rio. Abbiyya tak merespons dan menarik sebuah foto seorang gadis dari dalam map berkasnya. “Saya yakin anda mengenalnya. Katakan apa yang telah anda lakukan padanya dengan benar, jujur dan tepat!” titah Abbiyya kini sedikit emosi. Rio menghela napas berat. “Kenapa lo menarik gue pada seluruh kasus yang ada di bawah pimpinan lo, Abbiyya? Adhisti, Miley, dan ini? Dia telah tewas dibunuh! Kau mestinya mencari orang yang membunuhnya! Mengapa menunjukkannya padaku, hmm?” sergah Rio. “Ini adalah usaha kami untuk menyelidikinya, Pak Rio! Korban bernama Mawar tewas dalam keadaan mengan
Abbiyya tampak berjalan menyusur koridor rumah sakit dengan buah tangan yang ada di kedua tangannya. Pria itu lanjut segera mengetuk pintu saat telah tiba di depan kamar rawat inap Adhisti. Tak lama setelahnya Rafa tampak membukakan pintu. “Pak Abbiyya?” lirih Rafa. “Apa saya mengganggu?” tanya Abbiyya. “Oh, tentu tidak! Malah saya harap kedatangan anda bisa membantu saya untuk membujuk Chaaya!” bisik Rafa lalu malah keluar dari ruangan rawat inap Adhisti dan menutup pintunya lagi. “Maksudnya?” Abbiyya memicingkan matanya sambil menoleh ke arah pintu. “Sejak kejadian tadi, Chaaya terus mendiamkan saya. Saya tahu saya telah berjanji untuk tak meninggalkannya sendiri. Tapi saya pun meninggalkannya untuk sesuatu yang saya pikir penting. Jika bukan saya, lantas siapa lagi yang akan membawakan pakaian gantinya, Pak Abbiyya?” tutur Rafa. Abbiyya tampak sedikit mengangguk paham. “Saya akan bantu sebisa saya. Saya boleh masuk? Anda juga ikut masuk bukan?” tanya Abbiyya. “Ehm, saya ak
Keesokan paginya, Apartemen Bumi Tua 1996 kembali ramai dikarenakan kedatangan polisi yang melakukan pemeriksaan serta penggeledahan unit apartemen Rio. Para tetangga unit mulai berbisik di mana Rio dan Adhisti karena sejak kemarin keduanya tak tampak dan hanya Rafa yang sekali terlihat. Itu pun Rafa segera pergi dari sana. Mulai banyak pertanyaan yang muncul takut jika mereka akan dikejutkan dengan penemuan mayat lainnya seperti yang terjadi pada unit apartemen Adhisti beberapa waktu lalu. “Pak Abbiyya, kondisi di kuar sangat rusuh, namun tim telah berusaha untuk menjaga daerah sekitar tetap steril. Pemeriksaan bisa dilakukan sekarang!” pekik salah satu petugas dari arah luar unit 702. “Baiklah, terima kasih!” Abbiyya lalu mengumpulkan semua anak buahnya di ruang tamu unit tersebut dan secara serentak ia mulai memberikan titahnya membagi tugas para anak buahnya itu. Ganendra yang bertugas sebagai asisten pimpinan pun kini tampak sibuk memeriksa ruang kamar Adhisti. Sementara par
Abbiyya segera mengambil miniatur bola itu lalu membukanya perlahan. Sebuah tombol yang jelas-jelas tak terduga ada di sana sedikit membuat heran Abbiyya untuk apa mereka menciptakan semua ini. “Biar saya yang naik, Pak!” Salah satu petugas langsung menyarankan dirinya untuk naik ke atas dan mendorong plafon itu ke atas sementara Abbiyya yang menekan tombolnya “Bapak tekan dan beri instruksi pada saya saja!” imbuh petugas itu. “Tidak bisa! Benda itu punya sensor dengan plafon yang akan didorong. Orang yang akan mendorong plafon haruslah orang yang menekan tombolnya. Tombol itu tak akan bekerja jika ada jarak lebih dari lima senti meter!” Vicencio lagi-lagi membuat Abbiyya sedikit terkejut. “Space room itu benar-benar dirancang sangat rahasia. Jika seseorang hanya menemukan tombol itu, sudah pasti tak akan ada yang terjadi. Sementara itu, semua plafon di sini sama saja. Siapa yang tahu mana plafon yang terhubung dengan space room itu!” batin Abbiyya. “Baiklah, tapi Pak Vicencio, d
Abbiyya berjalan dengan tergesa di koridor kantornya bersama dengan Ganendra sambil membaca kembali laporan pemeriksaan mereka hari ini. “Gue mau semua penyelidikan ini nggak ada yang tahu! Sementara ini semua orang kecuali tim nggak boleh ada yang tahu!” sergah Abbiyya amat keras. Ganendra sedikit mengerutkan dahinya laku memindahkan pandangan matanya dari kertas di dalam map itu ke arah Abbiyya. “Gimana sama Adhisti dan Rafa? Bukannya sejak awal mereka tahu lo mencurigai Rio? Kenapa sekarang lo ingin ini dirahasiain??” tanya Ganendra amat bingung. “Rafa sedari awak memang nggak tahu kalau gue dan Adhisti melakukan penyelidikan ini apalagi sampai menjadikan Rio tersangka. Dan Adhisti, biarkan dia tak tahu dulu. Jangan berikan updste apapun padanya. Cukup tim kepolisian yang mengetahui ini semua sekarang!” pekik Abbiyya seolah tak ingin dibantah. Ganendra hanya bisa menahan napasnya laku menghembuskannya sedikit berat. “Baiklah, apapun perintah lo aja, Abbiyya!” sahut Ganendra.
Seorang pria berusia 25 tahunan masuk menyusul Abbiyya ke ruangannya usai beberapa saat lalu Abbiyya duduk di meja kerjanya. Pria itu hanya mengenakan kaos putih dan celana cekak selutut berwarna cokelat susu. “Selamat sore, Pak!” pekik pria itu lalu langsung duduk di hadapan Abbiyya saat polisi itu mempersilakannya duduk. “Selamat sore juga, sebelumnya bapak siapa?” tanya Abbiyya sebari memajukan tubuhnya dan menautkan kedua tangannya di atas meja. “Saya Jono, pegawai Pak Rio di kios, Pak!” terang pria itu sambil sedikit menunduk. “Baik, jadi ada yang bisa saya bantu untuk anda, Pak Jono?” tanya Abbiyya sambil sedikit mengerutkan dahinya. Jono tampak sedikit risau lalu memajukan posisi duduknya usai melirik ke sisi kanan dan kiri, juga ke arah pintu yang ada di belakangnya. “Anda akan baik-baik saja, Pak Jono! Jika anda akan melaporkan sesuatu, kami akan menjaga kerahasiaan info yang anda berikan kepada kami,” tutur Abbiyya menangkap gelagat cemas dari Jono. Pria itu pun tak
“Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit
“Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam
Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga
“Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam
Hari berganti pagi sementara Adhisti masih membuka matanya sambil melamun di atas ranjang. Usai kejadian semalam saat ia mendengar dan merasakan sendiri semua perkataan dan perbuatan Rafa, ia sama sekali tak bisa tertidur tenang. “Apa setiap malam Bang Rafa selalu kaya gini? Apa malam itu, Bang Rafa juga lakuin ini? Kenapa dia lakuin ini ke gue? Dia tahu gue adiknya ‘kan?!” sergah Adhisti dalam hstinya. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Adhisti terperanjat dari lamunannya. Gadis itu memandang ke arah pintu dengan kelu. Bayangan Rafa yang menciumnya kembali terulang. “Chaay, bangun! Sarapannya udah siap, nih!” pekik Rafa dari luar. Adhisti tak membalas. Gadis itu masih tak bisa jika harus bertemu dengan sang kakak yang ternyata memiliki hasrat tersembunyi padanya itu. “Chaay?!” ulang Rafa kini mengetuk pintu lebih kencang. Adhsiti tak menyahut. Dan entah apa yang Rafa pikirkan, pria itu kini langsung membuka pintu kamar Adhisti dan seketika membuat Adhisti bangun dari posi
“Hah?! Tidur di sini?!” Adhisti dengan cepat menahan lengan Rafa sebelum pria itu bisa masuk ke dalam unit tersebut. “Ini hari pertama pernikahan lo sama Kak Szi, Bang! Mana bisa lo tidur di sini?! Ya lo sama istri lo sana lah! Tega lo tinggalin dia sendirian padahal kalian baru nikah?!” sergah Adhisti. Rafa menghela napasnya kasar lalu tangannya dengan kuat mencengkeram tangan Adhisti yang menahan lengannya. “Lo pikir gue suka nikah sama dia, Chaay? Lo pikir ini pernikahan yang gue mau? Nggak! Gue terpaksa! Masih mending gue kasih dia status sebagai istri gue biar dia nggak malu! Lagian ini rumah gue juga ‘kan? Gimana ada ceritanya gue nggak bisa tidur di rumah gue sendiri?” omel Rafa. “Ya tapi kondisinya nggak bisa, Bang! Lo baru nikah! Atau minimal lo bawa Kak Szi ke sini, deh!” sergah Adhisti. “Lo pilih gue tidur di dalam atau di depan sini? Yang jelas keputusan gue udah jelas malam ini gue bakalan di sini!” sergah Rafa seolah tak ingin di bantah. “Batu banget sih lo jadi or
“Abbiyya, gue udah pernah bilang sama lo untuk lepasin Chaaya. Dia aman sama gue. Dia nggak perlu perlindungan lo lagi! Jadibm udahlah, lo juga nggak perlu cari tahu soal gue atau pun pernikahan gue. Gue nggak suka!” sergah Rafa lalu langsung meninggalkan Abbiyya begitu saja. “Sikap dia yang kaya gini yang makin bikin gue curiga. Gue perlu bukti valid tentang hubungan Adhisti sama Rafa. Mungkin cuma dengan bukti itu Adhisti bakal percaya sama gue kalau ada yang nggak beres sama Rafandra!” bisik Abbiyya sambil memandang lurus ke arah Rafandra yang berjalan pergi. Tiba-tiba sebuah ide muncul di pikiran Abbiyya. Ia menemukan satu cara yang sebenarnya sedikit ilegal untuk dilakukan. Namun sekarang tak ada cara lain yang bisa ia pikirkan. Ia pun sedikit ragu apakah ia bisa menemui Rafa maupun Adhisti lagi setelah ini. Abbiyya membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah injeksi kecil yang bahkan tak tampak dalam genggamannya. Ia berjalan mengikuti Rafa yang saat itu tengah mengantre di halte
“Abbiyya!” pekik Ganendra tampak berlari cepat ke arah Abbiyya yang saat itu hendak berjalan keluar kantor polisi. Abbiyya berbalik dan melihat Ganendra sedikit tergopoh mengejarnya. Pria itu mengerutkan dahi tanda sedikit kebingungan atas apa yang terjadi di hadapannya itu. “Ada apa, Gan? Kenapa lari buru-buru gitu? Ada yang urgent?” ujar Abbiyya. “Lo udah denger keputusan baru soal kasus Mayat di Balik Plafon unit 706 itu?” tutur Ganendra sambil masih sedikit ngos-ngosan. “Ya, sidangnya tadi pagi ‘kan? Gue denger Rio dapat hukuman setimpal kok. Emang kenapa?” Abbiyya lagi-lagi mengerutkan dahinya. “Gue denger rumornya kasus si Rio itu masih ngegantung! Dia diadili untuk perbuatan dia soal pelecehan itu. Tapi untuk penemuan mayat di balik plafon itu dia minta banding karena alasan pemalsuan data sama kaya yang terjadi sama Adhisti. Dan karena itu kasusnya masih gantung sekarang sampai pusat nemuin benang merah lainnya!” papar Ganendra. “Seriusan? Bukannya bukti kemarin sudah je
Hari ini adalah hari di mana Rafa akan menikahi Szi atas dasar ancaman Szi mengenai status Rada dan Adhisti yang sebenarnya bukan saudara kandung itu.Beberapa jam lalu janji suci yang ternodai kebohongan telah diucap oleh Rafa untuk Szi dan membuat keduanya telah resmi menjadi sepasang suami istri.“Thank you, ya Chaaya! Kalau bukan karena lo, mungkin hidup gue dan calon bayi kami ini bakalan hancur. Gue janji bakal jadi kakak ipar yang baik buat lo! Gue bakal masakan makanan enak tiap hari buat lo!” pekik Szi sambil sebentar mencubit pipi Adhisti sementara tangannya yang lain tampak melingkari tangan Rafa.“Kita tinggal terpisah dari Chaaya! Kita tinggal di kost an lo. Gue bakal bagi waktu buat kalian berdua. Gue tetep mesti jaga dan pantau Chaaya juga,” sela Rafa membuat Szi terkejut bukan main.“Maksudmu? Kalau kau ingin tetap menjaga Chaaya, kenapa kita tak tinggal di unitmu saja? Toh aku akan tinggal di kamarmu, unitmu cukup untuk menaungi keluarga kita ditambah Chaaya, Sayang!”