Share

23. Aksi Adhisti

Author: Annisarz
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Adhisti berdiri di depan kamar Rio, tangannya melekat di daun pintu itu lala mengetuknya perlahan. “Bang Rio! Ini Adhisti! Boleh masuk?” panggil Adhisti di sela-sela ketukan tangannya.

Tak ada jawaban dari dalam, Adhisti segera menggeser tangannya ke atas knop pintu, lalu perlahan ia memutar benda seukuran genggamannya itu. Sebuah ruangan dengan aksen temaram kini hadir di hadapan Adhisti.

“Gue harus nemuin apapun itu yang bisa bikin Rio masuk penjara! Gue bakal pastiin kalau Rio yang udah bikin Mawar hamil dan bunuh cewek itu!” gumam Adhisti lalu masuk ke ruangan tersebut.

Dengan cukup pelan Adhisti kembali menutup pintu itu. Ia berbalik dan mulai mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan. Hanya ada meja kerja, ranjang, sebuah laci kecil di sebelah ranjang, lemari pakaian, tempat sampah, juga kaca yang menggantung di sebelah lemari pakaian.

Adhisti langsung berjalan menuju meja kerja Rio dan mengamati beberapa benda yang ada di atas meja kayu itu.

Sebuah laptop yang berdampingan
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Mayat di Balik Plafon   24. Kehilangan Sampel

    “Bang, ehm!” celetuk Adhisti tampak kelimpungan menyembunyikan rasa terkejutnya itu. “Ngapain lo di kamar Rio? Rio mana?” sergah Rafa. Ya, pria yang menepuk pundak Adhisti ialah Rafandra. Kakaknya itu tampak memberikan tatapan menyelidik yang seolah tak memberikan celah sedikit pun bagi Adhisti untuk memindah posisi apalagi tatapannya. “Kok diam? Lo sembunyiin apa? Itu di tangan lo ada apa? Sini tunjukin ke gue!” Tangan Rafandra langsung mencekal bahu Adhisti dan membalik sedikit tubuh gadis itu hingga bisa meraih pergelangan tangannya. Rafa mengangkat tangan kanan Adhisti ke depan muka gadis itu sambil menyipitkan mata. Ia sedikit menggeleng seolah tak paham dengan apa yang ia lihat. “Pegang apaan sih lo?! Sini tangan satunya!” sergah Rada langsung melepaskan tangan kanan Adhisti yang kosong guna meraih tangan kiri gadis itu. Saat Rafa berhasil meriah pergelangan tangan kiri Adhisti, Adhisti berbisik lemah. “Gue nggak pegang apa-apa, orang barangnya jatuh gegara lo ngagetin gue

  • Mayat di Balik Plafon   25. Satu Langkah Lagi

    Adhisti langsung mematikan teleponnya lalu melempar ponselnya ke sisi lain ranjang. Tangan kanannya langsung meraih lengan kanan hoodie yang ia kenakan. Sehelai derit hitam ada di sana sontak menarik mata Adhisti dan membuat gadis itu langsung tersenyum senang. “Gue kira lo beneran hilang! Ternyata masih ada! Huft! Syukurlah! Kalau kaya gini ‘kan gue nggak jadi ngamuk!” kekeh Adhisti lalu kembali mengamati helai rambut itu. “Satu langkah lagi!” Sepertinya benda tipis itu tak benar-benar jatuh ke lantai melainkan menyangsang di kain hoodie Adhisti. Sontak saja gadis itu bangkit dari ranjang dengan telunjuk dan jempol kanan yang menjepit helai rambut tersebut. Ia perlahan membuka nakas yang ada di sebekah tempat tidurnya lalu mengambil sebuah kantong plastik dari sana. Segera saja ia memasukkan sehelai rambut itu ke dalam kantong plastik lalu menurut klipnya. Dengan semangat Adhisti berjalan ke arah pintu keluar sambil memasukkan kantong itu ke saku hoodienya. Saat pintu terbuka,

  • Mayat di Balik Plafon   26. Karena Hujan

    “Angel ada tugas di luar kantor. Dia baru balik sekitar tiga jam lagi. Lagi pula, kalaupun Angel ada di sini sekarang, hasil akuratnya akan keluar besok bukan sekarang,” papar Abbiyya sambil memandang Adhisti yang masih membuka mulutnya. “Jadi lo mau bilang kalau percuma gue hujan-hujan ke sini? Gue udah bahas kaya gini lo, Biy!” pekik Adhisti mulai memprotes apa yang ia rasa tak benar. “Ya siapa suruh lo nggak info dulu? Tadi lo telepon tapi tau-tau lo matiin, giliran gue telepon bolak-balik lo nggak angkat. Terus sekarang salah gue gitu?” sergah Abbiyya sambil mengerutkan dahinya. “Astaga! Sialan!” pekik Adhisti. “Haciuww!” Satu pekikan lolos dari bibir tipis gadis itu. Sudah dipastikan hujan deras yang menimpanya itu langsung membuat tubuh Adhisti terserang penyakit flu. “Lemah banget, sih! Baru kena hujan aja udah flu!” pekik Adhisti sambil menggosok hidungnya kasar. Sementara Abbiyya tiba-tiba mencekal tangan kiri Adhisti dan membawanya masuk ke dalam kantor polisi. “Eh, mau

  • Mayat di Balik Plafon   27. Salah Target

    Mata Adhisti langsung berubah melotot tangannya tiba-tiba melepaskan genggaman pada alat makannya hingga suara piring dan sendok yang beradu menarik perhatian Rafa dan Rio. “Kenapa lo, Chaay? Tau-tau melotot gitu, kesurupan lo?” celetuk Rafa sambil mengunyah makanannya memandang ke arah Adhisti. “Ekhm, itu! Temen gue ada yang chat katanya kena musibah! Kayanya gue mesti buru-buru, deh!” sergah Adhisti lalu dengan cepat menjejalkan nasi ke dalam mulutnya juga meneguk air. Tak menunggu apa yang ada di dalam mulutnya tertelan dengan baik, Adhisti kini malah tampak segera bangkit dari kursinya. “Heh, makan lo belum habis! Main pergi aja! Sedarurat apa, heh?!” sergah Rafa langsung mencekal pergelangan tangan Adhisti hingga membuat kangkah gadis itu terhenti. “Makan dulu ajalah, Dhis! Lagian nggak bakalan lama kok. Ntar kalau lo sakit gimana?’ timpal Rio kini mulai turut hadir dalam aksi penghentian Adhisti. “Aduhh, kalau gue makan dulu, temen gue keburu mati! Udah ya, nanti makanan g

  • Mayat di Balik Plafon   28. Kembali ke Unit 804

    “Iya, di lokasi kami nggak menemukan reaksi luminol yang mestinya ditunjukkan cairan itu ketika ada bekas darah di lokasi. Lokasi bersih!” pekik Ganendra. “Hah?! Gimana bisa? Terus kejadian pembunuhan Mawar di mana kalau bukan di unit dia sendiri?!” sergah Adhisti. “Duduk dulu! Ganendra, anda duduk!” titah Abbiyya pada Adhisti dan Ganendra sambil mempersilakan dengan tangan kanannya. “Lo bener-bener udah cek semua sudut ‘kan, Gan? Mungkin nggak kalau ada yang terlewat atau pemeriksaan kalian kurang tepat?” tanya Abbiyya sambil menoleh ke arah Ganendra. “Semua sudah dilakukan sesuai prosedur, Pak Abbiyya! Dan kami tak menemukan tanda-tanda apapun yang menunjukkan lokasi itu sebagai tempat pembunuhan, Pak! Dan itu artinya, korban dihabisi di lokasi lain, Pak! Karena tak mungkin jika mengingat keadaan korban yang terpotong-potong lokasi tak meninggalkan jejak luminol sedikit pun!” terang Ganendra. “Baiklah, terima kasih atas laporan dan pemeriksaan yang telah kalian lakukan. Anda bi

  • Mayat di Balik Plafon   29. Pesan Terakhir

    “Ya siapa tahu mereka belum punya uang buat panggil penghulu jadi nyicil lainnya dulu? ‘Kan sekarang banyak orang ngawur, Biy!” celetuk Adhisti “Ngaco lo! Nyicil kok nyicil anak! Gini aja, deh! Kita cari sesuatu yang bisa bawa kita ke pacar dia. Habis itu biar gue bikin surat panggilan buat bawa dia ke kantor polisi!” pekik Abbiyya. “Ahh!” celetuk Adhisti tiba-tiba nyaris menubruk bahu Abbiyya. “Coba lo cek tengah atau belakang buku itu! Pasti si Mawar ada nulis password media sosial dia! Ntar tinggal gue login di ponsel gue!” pekik Adhisti. Lalu Abbiyya pun segera melaksanakan apa yang Adhisti tuturkan. Dan saat membuka halaman terakhir, benar saja ada sederet nama-nama akun beserta semua passwordnya. “Pinter juga lo, Dhis! Buruan login, deh!” pekik Abbiyya. Adhisti segera mengambil alih buku tersebut dan sedikit menyingkir dari sisi sofa agar Abbiyya bisa leluasa memeriksa sofa lagi tatkala ia masih sibuk masuk ke akun media sosial milik Mawar. Beberapa menit setelahnya, tampa

  • Mayat di Balik Plafon   30. Izin Memilikinya

    Adhisti melangkahkan lagi kakinya ke dalam unit apartemen Rio saat kedua pria itu sedang duduk bersama di ruang tamu mereka sambil meneguk kopi mereka. “Bang Rafa nggak jaga warnet?” tanya Adhisti sambil sedikit menunjuk ke arah Rafa yang bari saja menyeruput kopi dari cangkir beningnya. “Gue shift malam hari ini, Chaay! Gimana sama temen lo? Emang dia kenapa, sih?” sahut Rafa lalu menepuk bahu sofa sebagai kode agar sang adik duduk di sana. Adhisti berjalan menuju sofa tersebut sambil menarik napas panjang. Sebuah drama akan segera ia karang setelah ini. Itu sudah pasti. “Dia kecelakaan di jalan, Bang! Waktu bilang ke gue katanya keserempet motor, pas gue sampe lokasi ternyata udah di bawa ke rumah sakit! Ya udah gue susulin ke rumah sakit ‘kan, gue pikir ada yang bocor atau apa gitu, eh ternyata cuma lecet aja. Habis lukanya dibersihin ya gue anter balik, deh!” pekik Adhisti. “Ohh, siapa sih emangnya?” tanya Rio. “Gue jelasin juga Bang Rio nggak bakal paham. Udahlah gitu aja,

  • Mayat di Balik Plafon   31. Tengah Malam

    Malam hari datang, Adhisti yang kala itu sedang duduk di meja kerja kamarnya dan menghadap laptop juga segelas kopi manis, tiba-tiba mendapat ketukan dari pintu kamarnya. “Siapa?!” teriak Adhisti sambil mendongakkan kepalanya ke arah pintu kamar yang memang sengaja ia kunci itu. “Gue! Buka buruan! Gue mau ambil barang di dalam!” pekik suara Rafa langsung membuat Adhisti ber-ohh panjang. Gadis itu segera bangkit dari kursinya lalu berjalan ke arah pintu. Tak ada satu menit, pintu itu akhirnya terbuka juga. “Udah rapi aja, mau berangkat ke warnet sekarang?” Adhisti bersandar pada pintu tatkala Rafa melangkah masuk dan membuka lemari pakaian milik Adhisti. “Iyalah, ini aja udah telat lima menit gegara gue ketiduran! Tuh si Jono udah ngomel-ngomel di chat!” gerutu Rafa sambil terus mengacak-acak isi lemari Adhisti yang sesungguhnya tak sepenuh itu. “Cari apa sih lo! Jangan diberantakin gitu, dong!” protes Adhisti sembari berjalan ke arah Rafa yang masih tampak terburu itu. “Jaket!

Latest chapter

  • Mayat di Balik Plafon   142. Akhir Segala Penderitaan

    “Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit

  • Mayat di Balik Plafon   141. Miliknya Seutuhnya?

    “Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam

  • Mayat di Balik Plafon   140. Sang Pelaku

    Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga

  • Mayat di Balik Plafon   139. Membongkar Diri Sendiri

    “Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam

  • Mayat di Balik Plafon   138. Setelah Semalam

    Hari berganti pagi sementara Adhisti masih membuka matanya sambil melamun di atas ranjang. Usai kejadian semalam saat ia mendengar dan merasakan sendiri semua perkataan dan perbuatan Rafa, ia sama sekali tak bisa tertidur tenang. “Apa setiap malam Bang Rafa selalu kaya gini? Apa malam itu, Bang Rafa juga lakuin ini? Kenapa dia lakuin ini ke gue? Dia tahu gue adiknya ‘kan?!” sergah Adhisti dalam hstinya. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Adhisti terperanjat dari lamunannya. Gadis itu memandang ke arah pintu dengan kelu. Bayangan Rafa yang menciumnya kembali terulang. “Chaay, bangun! Sarapannya udah siap, nih!” pekik Rafa dari luar. Adhisti tak membalas. Gadis itu masih tak bisa jika harus bertemu dengan sang kakak yang ternyata memiliki hasrat tersembunyi padanya itu. “Chaay?!” ulang Rafa kini mengetuk pintu lebih kencang. Adhsiti tak menyahut. Dan entah apa yang Rafa pikirkan, pria itu kini langsung membuka pintu kamar Adhisti dan seketika membuat Adhisti bangun dari posi

  • Mayat di Balik Plafon   137. Bukan Malam Biasa

    “Hah?! Tidur di sini?!” Adhisti dengan cepat menahan lengan Rafa sebelum pria itu bisa masuk ke dalam unit tersebut. “Ini hari pertama pernikahan lo sama Kak Szi, Bang! Mana bisa lo tidur di sini?! Ya lo sama istri lo sana lah! Tega lo tinggalin dia sendirian padahal kalian baru nikah?!” sergah Adhisti. Rafa menghela napasnya kasar lalu tangannya dengan kuat mencengkeram tangan Adhisti yang menahan lengannya. “Lo pikir gue suka nikah sama dia, Chaay? Lo pikir ini pernikahan yang gue mau? Nggak! Gue terpaksa! Masih mending gue kasih dia status sebagai istri gue biar dia nggak malu! Lagian ini rumah gue juga ‘kan? Gimana ada ceritanya gue nggak bisa tidur di rumah gue sendiri?” omel Rafa. “Ya tapi kondisinya nggak bisa, Bang! Lo baru nikah! Atau minimal lo bawa Kak Szi ke sini, deh!” sergah Adhisti. “Lo pilih gue tidur di dalam atau di depan sini? Yang jelas keputusan gue udah jelas malam ini gue bakalan di sini!” sergah Rafa seolah tak ingin di bantah. “Batu banget sih lo jadi or

  • Mayat di Balik Plafon   136. Kecurigaan Baru

    “Abbiyya, gue udah pernah bilang sama lo untuk lepasin Chaaya. Dia aman sama gue. Dia nggak perlu perlindungan lo lagi! Jadibm udahlah, lo juga nggak perlu cari tahu soal gue atau pun pernikahan gue. Gue nggak suka!” sergah Rafa lalu langsung meninggalkan Abbiyya begitu saja. “Sikap dia yang kaya gini yang makin bikin gue curiga. Gue perlu bukti valid tentang hubungan Adhisti sama Rafa. Mungkin cuma dengan bukti itu Adhisti bakal percaya sama gue kalau ada yang nggak beres sama Rafandra!” bisik Abbiyya sambil memandang lurus ke arah Rafandra yang berjalan pergi. Tiba-tiba sebuah ide muncul di pikiran Abbiyya. Ia menemukan satu cara yang sebenarnya sedikit ilegal untuk dilakukan. Namun sekarang tak ada cara lain yang bisa ia pikirkan. Ia pun sedikit ragu apakah ia bisa menemui Rafa maupun Adhisti lagi setelah ini. Abbiyya membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah injeksi kecil yang bahkan tak tampak dalam genggamannya. Ia berjalan mengikuti Rafa yang saat itu tengah mengantre di halte

  • Mayat di Balik Plafon   135. Kasus Menggantung

    “Abbiyya!” pekik Ganendra tampak berlari cepat ke arah Abbiyya yang saat itu hendak berjalan keluar kantor polisi. Abbiyya berbalik dan melihat Ganendra sedikit tergopoh mengejarnya. Pria itu mengerutkan dahi tanda sedikit kebingungan atas apa yang terjadi di hadapannya itu. “Ada apa, Gan? Kenapa lari buru-buru gitu? Ada yang urgent?” ujar Abbiyya. “Lo udah denger keputusan baru soal kasus Mayat di Balik Plafon unit 706 itu?” tutur Ganendra sambil masih sedikit ngos-ngosan. “Ya, sidangnya tadi pagi ‘kan? Gue denger Rio dapat hukuman setimpal kok. Emang kenapa?” Abbiyya lagi-lagi mengerutkan dahinya. “Gue denger rumornya kasus si Rio itu masih ngegantung! Dia diadili untuk perbuatan dia soal pelecehan itu. Tapi untuk penemuan mayat di balik plafon itu dia minta banding karena alasan pemalsuan data sama kaya yang terjadi sama Adhisti. Dan karena itu kasusnya masih gantung sekarang sampai pusat nemuin benang merah lainnya!” papar Ganendra. “Seriusan? Bukannya bukti kemarin sudah je

  • Mayat di Balik Plafon   134. Pernikahan Impianmu

    Hari ini adalah hari di mana Rafa akan menikahi Szi atas dasar ancaman Szi mengenai status Rada dan Adhisti yang sebenarnya bukan saudara kandung itu.Beberapa jam lalu janji suci yang ternodai kebohongan telah diucap oleh Rafa untuk Szi dan membuat keduanya telah resmi menjadi sepasang suami istri.“Thank you, ya Chaaya! Kalau bukan karena lo, mungkin hidup gue dan calon bayi kami ini bakalan hancur. Gue janji bakal jadi kakak ipar yang baik buat lo! Gue bakal masakan makanan enak tiap hari buat lo!” pekik Szi sambil sebentar mencubit pipi Adhisti sementara tangannya yang lain tampak melingkari tangan Rafa.“Kita tinggal terpisah dari Chaaya! Kita tinggal di kost an lo. Gue bakal bagi waktu buat kalian berdua. Gue tetep mesti jaga dan pantau Chaaya juga,” sela Rafa membuat Szi terkejut bukan main.“Maksudmu? Kalau kau ingin tetap menjaga Chaaya, kenapa kita tak tinggal di unitmu saja? Toh aku akan tinggal di kamarmu, unitmu cukup untuk menaungi keluarga kita ditambah Chaaya, Sayang!”

DMCA.com Protection Status