Rafa terdiam. Pria itu sebentar memikirkan jawaban yang tepat yang tak akan membuat adiknya semakin curiga padanya. “Chaaya nggak boleh tahu alasan gue sebenarnya! Gue nggak pernah serius sama Szi. Dan sebenarnya Szi cuma cewek yang jadi pelampiasan kalau gue nggak bisa dapetin Chaaya!” batin Rafa. Rafandra tentu merahasiakan hubungannya dari Adhisti karena jika sampai adiknya itu tahu dirinya telah memiliki kekasih, pastilah Adhisti mulai menjaga jarak darinya. Dan itu yang tak Rafa inginkan. Ia selalu ingin dekat dan mengambil kesempatan dari Adhisti. Dan itu pasti akan berkurang jika Adhisti mengetahui hubungannya dengan Szi. “Bang?! Kok diem?!” sergah Adhisti. “Gue masih butuh waktu buat pastiin Szi cewek yang pantas buat semuanya, Chaay! Gue nggak mau lo habisin waktu buat kenal banyak orang. Gue mau pasti dulu dia cewek yang baik yang bisa sayang sama lo juga,” dusta Rafa. Adhisti sedikit memicingkan matanya lalu mengangguk sebentar. “Tapi dia tahu kalau kita sering tidur
“Maksud lo apa kaya gitu?! Mana mungkin Adhisti dan Rafa bukan saudara?!” sergah Abbiyya seolah dirinya baru ditimpa kenyataan pahit bagai petir yang menyambar di siang bolong. “Haha! Kebohongan kalau lo nggak tahu ke mana maksud pembicaraan gue ini, Abbiyya! Silakan cari tahu sendiri kebenarannya kaya gimana. Dan selamat menemukan banyak kenyataan lain yang lo nggak akan pernah bayangkan!” kekeh Rio laku bangkit dari kursinya bersamaan dengan seorang polisi yang membawanya pergi dari sana karena waktu berkunjung telah usai. “Mana mungkin?! Mana mungkin Adhisti dan Rafandra buka saudara kandung?! Tapi, kalau yang Rio bilang soal Adhisti anak adopsi, itu mungkin aja ‘kan? Pak Bardji aja mengadopsi gue. Gimana kalau Adhisti memang anak adopsi? Dan Rafa, ah sialan!!” pekik Abbiyya sedikit menggebrak mejanya. Pria itu langsung meninggalkan ruangan itu dengan tergesa. Ia tak percaya jika Adhisti dan Rafa bukanlah saudara kandung, tapi kenyataan bahwa Bardji suka mengadopsi anak jalanan
“Dhis!! Adhisti!! Buka, Dhis! Dengerin gue dulu!” Abbiyya langsung menggedor-gedor pintu unit apartemen Adhisti yang telah tertutup itu. Pria itu bahkan tampak seolah tak ingin pergi dari sana sebelum berhasil berbicara dengan Adhisti. “Dhis, lo bingung kenapa gue punya foto sama abah lo? Atau foto lo?! Gue bakal jelasin semua! Gue janji!” pekik Abbiyya lagi sembari menundukkan kepalanya sementara tangannya masih sesekali menggedor pintu itu. “Orang yang gue ceritain ke lo nyelametin gue dari rumah pelacur itu abah lo, Dhis! Beliau yang tolong gue dan jadiin gue anak angkatnya. Tapi beliau nggak bolehin gue kasih tahu ini ke keluarganya, beliau cuma minta gue jaga lo, makanya semua ini gue lakuin buat lo! Buat Pak Bardji dan buat semua usaha balas budi gue ke beliau!” papar Abbiyya. Sementara itu, dari dalam ruangan, Adhisti yang mendengarkannya sontak sedikit terkejut atas apa yang Abbiyya katakan. “Mana mungkin abah adopsi anak?! Perekonomian keluarga kita aja udah sulit, ngapai
Adhisti segera mematikan teleponnya dan pikiran kotornya mulai menggelayut di kepalanya. Suara yang ia dengar tadi tentu dengan anda mendayu yang terkesan menjijikkan hingga membuat siapa saja yang mendengarnya bergidik ngeri. “Nggak mungkin mereka ngapa-ngapain ‘kan?” gumam Adhisti sembari mendekap ponsel di dadanya. “Tapi ngapain coba kaya gitu tadi?! Mana ini udah malem! Kenapa dia malah mesra-mesraan dan bukannya balik?!” sergah Adhisti. Sementara itu, di salah satu bangunan kost Rafa tengah duduk bersandingan dengan Szi yang saat itu tengah memainkan puzzel rumit di sebuah meja ruang tamu. “Rasain! Pasti dia mikir macem-macem!” gumam Szi begitu menyadari Adhisti telah mematikan telepon yang tadi sengaja ia angkat dan bergaya seolah tak sengaja terangkat dan merintih kesakitan. “Sayang! Udah malam, nih! Aku balik dulu, ya! Besok harus masuk pagi!” pekik Rafa sembari hendak menarik jaketnya. Szi memasang raut kesal lalu menahan tangan Rafa yang hendak meraih jaket itu lalu men
Rafa terbangun di ranjang Szi dengan pakaian yang telah kembali ia kenakan dan sendirian. Ia sedikit terperanjat saat mengetahui dirinya terbangun di kamar kekasihnya dan buka di kamarnya sendiri. “Szi!!” teriak Rafa langsung membenarkan pakaiannya sembari berlari keluar kamar mencari keberadaan sang kekasih. “Hai, Sayang! Baru saja aku hendak membangunkanmu karena saran telah siap! Kau malah bangun sendiri! Ayo makan!” pekik Szi sambil tersenyum ke arah Rafa. Rafa mengerutkan dahinya laku berjalan cepat ke arah Szi. Tangannya dengan kuat mencengkeram lengan Szi yang tak berlengan kain itu. “Apa yang terjadi semalam?! Kenapa aku ada di kamarmu?! Aku mau pukang semalam ‘kan?!” sergah Rafa. “Sayang, lepas! Sakit!” pekik Szi sambil berusaha melepaskan cengkeraman tangan Rafa padanya. “Kenapa aku tidur di kamarmu, Szi?! Kau membuatku tidur semalam, hah?!” sergah Rafa. “Hey, kau sendiri yang mengajakku tidur! Kau lupa?! Setelah minum jus aku memintamu membawaku ke kamar tapi kau mal
Rafa dengan cepat menarik lengan tangan Adhisti dengan kedua tangannya lalu mencengkeramnya kuat hingga sang adik hanya bisa meringis kesakitan. Mata Rafa melotot dengan tajam, napasnya memburu saat melihat Adhisti memandangnya kelu. “Denger ya, Chaay! Gue lagi badmood! Lo nggak denger gue udah minta lo buat nggak bahas ini, hmm?! Gue nggak lakuin apa pun sama Szi!” pekik Rafa masih terus mencengkeram lengan Adhisti kuat. “Bang, lo udah tidur berdua sama Szi bahkan lo nggak pakai pakaian, lo pikir itu bukan sesuatu yang mesti lo pertanggung jawabin?! Lo mabuk juga ‘kan?! Siapa yang bisa jamin waktu lo mabuk lo nggak ngelakuin hal itu? Nggak ada!!” sergah Adhisti. Mata Adhisti kini sama melototnya dengan Rafa. Ia tahu bahwa cengkeraman tangan Rafa itu juga menyakitkan, namun semua ia tahan agar topik ini tak berganti dan Szi bisa mendapatkan keadilan. “Gue nggak ngelakuin itu, Chaay!” sergah Rafa lalu dengan kencang ia malah mendorong Adhisti bahkan hingga Adhisti terhuyung dan jat
Rafa menghela napasnya lagi lalu dengan cepat ia merampas benda itu dari tangan Adhisti. “Lo pikir hal kaya gini nggak bisa dipalsuin, Chaay?!” sergah Rafa lalu membanting benda itu ke lantai. “Lo sendiri juga cek ‘kan!” Rafa menunjukkan benda milik Adhisti yang ia pungut dari tempat sampah itu. “Lo hamil nggak?! Nggak ‘kan?! Lo pikir malam kemarin gue nggak bisa lakuin hal itu ke lo? Tapi kenapa nggak gue lakuin?! Karena emang gue nggak kaya gitu, Chaay! Sekarang lo percaya sama Szi? Dia bahkan selalu pakai pakaian yang mengundang para pria! Kalau pun dia hamil, siapa jamin itu anak gue?!” sergah Rafa. “Tapi fotonya, Bang!” “Foto?! Gimana kalau malam itu Szi kasih gue obat tidur?! Dia buka baju gue, dia buka baju dia sendiri terus bikin foto seolah kita lakuin hal itu?! Szi itu licik, Chaay!” “Gue capek ya terus disalahin kaya gini, Chaay! Gue bahkan nggak inget sentuh dia tapi tiba-tiba dia ngandung anak gue?! Gimana bisa?!” sergah Rafa. “Kita periksa ke dokter!” pekik Adhisti
Hari ini adalah hari di mana Rafa akan menikahi Szi atas dasar ancaman Szi mengenai status Rada dan Adhisti yang sebenarnya bukan saudara kandung itu.Beberapa jam lalu janji suci yang ternodai kebohongan telah diucap oleh Rafa untuk Szi dan membuat keduanya telah resmi menjadi sepasang suami istri.“Thank you, ya Chaaya! Kalau bukan karena lo, mungkin hidup gue dan calon bayi kami ini bakalan hancur. Gue janji bakal jadi kakak ipar yang baik buat lo! Gue bakal masakan makanan enak tiap hari buat lo!” pekik Szi sambil sebentar mencubit pipi Adhisti sementara tangannya yang lain tampak melingkari tangan Rafa.“Kita tinggal terpisah dari Chaaya! Kita tinggal di kost an lo. Gue bakal bagi waktu buat kalian berdua. Gue tetep mesti jaga dan pantau Chaaya juga,” sela Rafa membuat Szi terkejut bukan main.“Maksudmu? Kalau kau ingin tetap menjaga Chaaya, kenapa kita tak tinggal di unitmu saja? Toh aku akan tinggal di kamarmu, unitmu cukup untuk menaungi keluarga kita ditambah Chaaya, Sayang!”
“Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit
“Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam
Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga
“Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam
Hari berganti pagi sementara Adhisti masih membuka matanya sambil melamun di atas ranjang. Usai kejadian semalam saat ia mendengar dan merasakan sendiri semua perkataan dan perbuatan Rafa, ia sama sekali tak bisa tertidur tenang. “Apa setiap malam Bang Rafa selalu kaya gini? Apa malam itu, Bang Rafa juga lakuin ini? Kenapa dia lakuin ini ke gue? Dia tahu gue adiknya ‘kan?!” sergah Adhisti dalam hstinya. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Adhisti terperanjat dari lamunannya. Gadis itu memandang ke arah pintu dengan kelu. Bayangan Rafa yang menciumnya kembali terulang. “Chaay, bangun! Sarapannya udah siap, nih!” pekik Rafa dari luar. Adhisti tak membalas. Gadis itu masih tak bisa jika harus bertemu dengan sang kakak yang ternyata memiliki hasrat tersembunyi padanya itu. “Chaay?!” ulang Rafa kini mengetuk pintu lebih kencang. Adhsiti tak menyahut. Dan entah apa yang Rafa pikirkan, pria itu kini langsung membuka pintu kamar Adhisti dan seketika membuat Adhisti bangun dari posi
“Hah?! Tidur di sini?!” Adhisti dengan cepat menahan lengan Rafa sebelum pria itu bisa masuk ke dalam unit tersebut. “Ini hari pertama pernikahan lo sama Kak Szi, Bang! Mana bisa lo tidur di sini?! Ya lo sama istri lo sana lah! Tega lo tinggalin dia sendirian padahal kalian baru nikah?!” sergah Adhisti. Rafa menghela napasnya kasar lalu tangannya dengan kuat mencengkeram tangan Adhisti yang menahan lengannya. “Lo pikir gue suka nikah sama dia, Chaay? Lo pikir ini pernikahan yang gue mau? Nggak! Gue terpaksa! Masih mending gue kasih dia status sebagai istri gue biar dia nggak malu! Lagian ini rumah gue juga ‘kan? Gimana ada ceritanya gue nggak bisa tidur di rumah gue sendiri?” omel Rafa. “Ya tapi kondisinya nggak bisa, Bang! Lo baru nikah! Atau minimal lo bawa Kak Szi ke sini, deh!” sergah Adhisti. “Lo pilih gue tidur di dalam atau di depan sini? Yang jelas keputusan gue udah jelas malam ini gue bakalan di sini!” sergah Rafa seolah tak ingin di bantah. “Batu banget sih lo jadi or
“Abbiyya, gue udah pernah bilang sama lo untuk lepasin Chaaya. Dia aman sama gue. Dia nggak perlu perlindungan lo lagi! Jadibm udahlah, lo juga nggak perlu cari tahu soal gue atau pun pernikahan gue. Gue nggak suka!” sergah Rafa lalu langsung meninggalkan Abbiyya begitu saja. “Sikap dia yang kaya gini yang makin bikin gue curiga. Gue perlu bukti valid tentang hubungan Adhisti sama Rafa. Mungkin cuma dengan bukti itu Adhisti bakal percaya sama gue kalau ada yang nggak beres sama Rafandra!” bisik Abbiyya sambil memandang lurus ke arah Rafandra yang berjalan pergi. Tiba-tiba sebuah ide muncul di pikiran Abbiyya. Ia menemukan satu cara yang sebenarnya sedikit ilegal untuk dilakukan. Namun sekarang tak ada cara lain yang bisa ia pikirkan. Ia pun sedikit ragu apakah ia bisa menemui Rafa maupun Adhisti lagi setelah ini. Abbiyya membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah injeksi kecil yang bahkan tak tampak dalam genggamannya. Ia berjalan mengikuti Rafa yang saat itu tengah mengantre di halte
“Abbiyya!” pekik Ganendra tampak berlari cepat ke arah Abbiyya yang saat itu hendak berjalan keluar kantor polisi. Abbiyya berbalik dan melihat Ganendra sedikit tergopoh mengejarnya. Pria itu mengerutkan dahi tanda sedikit kebingungan atas apa yang terjadi di hadapannya itu. “Ada apa, Gan? Kenapa lari buru-buru gitu? Ada yang urgent?” ujar Abbiyya. “Lo udah denger keputusan baru soal kasus Mayat di Balik Plafon unit 706 itu?” tutur Ganendra sambil masih sedikit ngos-ngosan. “Ya, sidangnya tadi pagi ‘kan? Gue denger Rio dapat hukuman setimpal kok. Emang kenapa?” Abbiyya lagi-lagi mengerutkan dahinya. “Gue denger rumornya kasus si Rio itu masih ngegantung! Dia diadili untuk perbuatan dia soal pelecehan itu. Tapi untuk penemuan mayat di balik plafon itu dia minta banding karena alasan pemalsuan data sama kaya yang terjadi sama Adhisti. Dan karena itu kasusnya masih gantung sekarang sampai pusat nemuin benang merah lainnya!” papar Ganendra. “Seriusan? Bukannya bukti kemarin sudah je
Hari ini adalah hari di mana Rafa akan menikahi Szi atas dasar ancaman Szi mengenai status Rada dan Adhisti yang sebenarnya bukan saudara kandung itu.Beberapa jam lalu janji suci yang ternodai kebohongan telah diucap oleh Rafa untuk Szi dan membuat keduanya telah resmi menjadi sepasang suami istri.“Thank you, ya Chaaya! Kalau bukan karena lo, mungkin hidup gue dan calon bayi kami ini bakalan hancur. Gue janji bakal jadi kakak ipar yang baik buat lo! Gue bakal masakan makanan enak tiap hari buat lo!” pekik Szi sambil sebentar mencubit pipi Adhisti sementara tangannya yang lain tampak melingkari tangan Rafa.“Kita tinggal terpisah dari Chaaya! Kita tinggal di kost an lo. Gue bakal bagi waktu buat kalian berdua. Gue tetep mesti jaga dan pantau Chaaya juga,” sela Rafa membuat Szi terkejut bukan main.“Maksudmu? Kalau kau ingin tetap menjaga Chaaya, kenapa kita tak tinggal di unitmu saja? Toh aku akan tinggal di kamarmu, unitmu cukup untuk menaungi keluarga kita ditambah Chaaya, Sayang!”