“Bang! Panggil siapa kek! Kenapa bisa ada ular, sih?” sergah Adhisti. “Lah mana gue tahu! Lo kira gue bapaknya tuh ular, ngaco lo!” sergah Rafa kini kembali memandang kamar Adhisti. “Ya terus gimana? Masa gue mesti tidur di sofa? Capek tahu! Lo nggak berani nagkap tuh ular, Bang? Ayolah! Palingan ular sawah! Nggak berbisa kok!” ujar Adhisti berusaha membujuk Rafa. “Dih, kalau gitu lo coba tangkap aja sendiri!” sergah Rafa mengarahkan pandangannya dari Adhisti ke pintu kamarnya. “Ishh, kan lo yang cowok! Kali gue yang benerin! Ayolah, Bang! Tangkepin! Gue capek!” rengek Adhisti. “Chaay! Lo pikir gue nggak capek? Kalau gue mau nih ya, gue bisa langsung tidur di kamar gue! Salah sendiri kenapa kamar lo itu berantakan! ‘Kan jadi kandang ular!” sergah Rafa. “Hisshh, iya iya habis ini rajin dibersihin! Tapi bantu dulu, dong!” sergah Adhisti. Rafa mendengus kesal. Namun pada akhirnya ia juga yang mesti kembali masuk ke kamar dan menangkap ular itu. “Tiati ya, Bang! Ntar kalau ada apa
Hari berganti malam saat Adhisti dan Rafa telah menyelesaikan makan malamnya, keduanya masuk ke dalam kamar mereka masing-masing. Begitu pula dengan Adhisti yang langsung memeluk erat ranjang yang telah lama ia rindukan itu. “Yeahh, meskipun nih kasur udah peot, letoy, reot, nggak karuan, tapi setidaknya ini lebih nyaman dari semua tempat. Lebih enak karena ini rumah gue, hmm! Meskipun nyewa sih!” kekeh Adhisti lalu gadis itu tampak membalik tubuhnya dan memandang satu kotak plafon yang kini tampak berlubang tepat di atasnya. “Huuft! Mimpi apa gue kemarin bisa dapet kejutan yang bener-bener bikin hidup gue ke obrak-abrik! Mesti pindah ke rumah Rio sampai ngalamin kejadian menyebalkan, pindah ke rumah Abbiyya pun gue mesti ngadepin sesuatu yang nggak pernah gue bayangin!” gumamnya. Rangam Adhisti tampak meraih guling lalu meraihnya cepat ke dekapan. Dipaskannya kondisi kepalanya di sana lalu sebentar hendak menutup matanya. “Chaay! Chaaya!” pekik Rafa dari arah pintu kamar Adhisti
Adhisti dengan cepat menutup pintu kamar Rafa takut jika ular itu mengejarnya masuk. Jantungnya berdegup amat kencang sesaat setelah ia berhasil menutup pintu kamar sang kakak. Melihat Rafandra tampak terlekap dalam tidurnya, Adhisti berjalan dan langsung naik ke ranjang sang kakak untuk membangunkannya. Sebagai informasi, ranjang Rafandra melekat pada dinding, sementara Rafandra tidur dengan bersanding dinding, sehingga untuk mencapai tubuh sang kakak, Adhisti harus naik ke atas ranjang pria tersebut. “Bang, Bang! Ada ular lagi, Bang! Bangun, dong please!” pinta Adhisti sambil terus menepuk-nepuk pundak Rafandra. Pria itu sedikit menggeliat lalu mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang namun masih dengan matanya yang tertutup. “Bang!! Ada ular! Gila! Lo terus tidur kaya gini?! Bang bangun! Anjing! Kebo banget sih lo! Ntar kalau ularnya keluar dari kamar dan jalan-jalan keluar gimana! Bang!!!” teriak Adhisti. Namun Rafa tak bergerak. Pria itu masih saja asik menutup matanya d
“Enak!” pekik Adhisti sambil mengangguk ke arah Rafa. “Iyalah! Gue yang masak! Beda cerita kaku lo yang masak! Kalau nggak keasinan ya hambar! Kalau nggak overcook ya mentah!” pekik Rafandra. “Dihh, sombong lo! Baru aja dibilang enak, udah ngejatuhin orang lain aja lo!” sergah Adhsiti tamoak manyun. “Haha! Iya iya sorry! Ya udah, gue tinggal ke kamar mandi dulu! Lo habisi terus mangkoknya langsung dicuci! Awas ya kalau lo sampe nimbun cucian lagi! Kemarin ular, besok kodok tahu-tahu ada di sini!” sergah Rafa. “Iya-iya, Bawel! Jangan bawel-bawel kenapa sih, Bang?! Ntar para cewek kabur dan nggak mau deket sama abang, baru deh abang tahu rasa!” pekik Adhisti. “Bodo amat! Nggak peduli gue!” sergah Rafa lalu tampak meninggalkan Adhisti yang masih lahap memakan sup buatannya itu. “Ehm, pinter juga nih si Rafa bikin sup! Apa dia suruh jualan ini aja kali ya! Kayanya bakal lebih enak punya usaha sendiri daripada terus jadi penjaga warnet, deh!” pekik Adhisti. Sekian menit kemudian, sa
“Wahh, bajingan lo Raf! Hati-hati kalau sampai Adhisti tahu ini semua, bisa-bisa dia nggak bakal lagi mau ngomong sama lo barang ketemu lo doang!” pekik kawan Rafa. “Halahh, udah deh lo diem aja! Buruan bakik sana! Katanya ngantuk, sekarang malah ngoceh di sini!” ujar Rafa sembari sedikit menjitak kawannya itu. “Ya udah, yang bener lo jaga warnetnya! Jangan main cewek terus!” sergah kawannya sambil membenahi posisi tas selempang dada kecil. “Bodo amat!” pekik Rafa menyahut. Baru saja sang kawan mengingatkan perkara kelakuan Rafa yang selama ini tersembunyi, Rafa malah meraih ponselnya lalu menelepon sebuah nomor dengan nama kontak ‘Szi’ dalam ponselnya. “Hai, Sayang! Nanti malam mau makan apa? Gue turutin semua yang lo mau!” pekik Rafa. [“Ahh, yang serius kamu? Memang kamu ada uang? Nanti kalau aku sebut restoran terkenal kamu nggak mampu lagi ajak aku ke sana!”] sahut suara seorang wanita sedikit mendayu. “Udah sebut aja dulu nama tempatnya, mumpung dompet masih tebel, nih!” u
“Kenapa diam, Biy?! Biy, lo incer gue selama ini hah?! Buat apa lo nyimpen foto gue bahkan di saat kita nggak kenal?!” sergah Adhisti. “Jangan bilang semua cerita lo soal Melody itu bohong! Jangan bilang ternyata Melody itu korban lo? Dan gue bakal jadi korban lo selanjutnya?!” “Ngomong apaan sih lo, Dhis! Gue belum jelasin! Jangan main nuduh!” sergah Abbiyya. “Apa?! Apa yang mau lo jelasin? Mau bohong lagi?!” sergah Adhisti. “Ahhh, gue tahu sekarang! Apa karena ini lo berusaha mati-matian keluarin gue dari penjara bahkan sampai bela-belain lencana lo itu? Karena lo udah incar gue dari lama ‘kan! Dan abah! Kenaoa lo nggak pernah cerita kalau lo kenal sama abah?!” sergah Adhisti kini napasnya tampak amat memburu. Abbiyya yang saat itu sedikit syok dengan semua rahasia yang selama ini berusaha ia tutup rapat tiba-tiba harus terbongkar dengan sebegini rancunya. “Ahh, ternyata Rio bener! Kalian itu! Lo, Rio, Bang Rafa! Senuanya sama!! Kalian semua sama bejatnya! Biasanya ada kelihat
Adhisti yang saat itu berada di atas motor ojek yang ia cegat di depan kantor polisi tampak membuka ponselnya dengan tergesa sambil sesekali sesenggukan. “Neng, jangan nangis, Neng! Nanti dikira saya culik, Neng lagi!” lirih sang ojek sambil melihat Adhisti dari kaca jendelanya. “Siapa yang bilang?! Sini biar gue tampil. Udah bapak fokus nyetir aja!” sergah Adhisti lalu kembali fokus pada ponselnya. Gadis itu tampak segera mencabut kartu perdananya dan mematahkannya seketika. Napasnya yang memburu tampak menggambarkan emosi dan kekecewaannya. “Kenapa nggak ada cowok yang bener di hidup gue?! Jadi selama ini kebaikan Abbiyya cuma karena gue jadi incaran dia? Kenapa dia harus kaya gini? Kalau orang yang gue percaya aja bisa lakuin hal kaya gini, gimana sama orang kain?!” gumam Adhisti lalu mengusap air matanya. Sesampainya gadis itu di depan pelataran Apartemen Bumi Tua 1996 ia segera membayar sang ojek lalu berlari masuk ke dalam apartemen. “Gue harus menjauh dari Abbiyya! Dia bi
“Lo salah paham, Dhis!! Gue nggak kaya apa yang ada di pikiran lo! Gue bisa jelasin semuanya! Semua apa yang mau lo tahu gue janji gue bakal jelasin ke lo!” pekik Abbiyya. Rafandra tampak melebarkan tangannya guna menutup Adhisti dari Abbiyya yang sedikit maju dan mendekatkan dirinya ke arah Rafa dan Adhisti. “Lo tenangin diri lo dulu, Chaay! Biar gue yang ngomong sama Abbiyya, okey?” lirih Rafa sembari sedikit berbalik menatap Adhisti lalu sebentar mengecup keningnya. “Lo ikut gue, kita ngobrol di dalam. Dan jangan paksa Chaaya buat ngomong dulu sama lo. Dia butuh waktu buar semua kekacauan yang menyangkut lo!” pekik Rafa. Abbiyya tak bisa menolak, daripada dirinya tak bisa menyampaikan kebenaran dan membuat Adhisti tak lagi salah sangka padanya, lebih baik ia yang mengalah bukan? Rafa membawa Abbiyya masuk ke dalam ruangan warnet. Baru saja pria itu duduk di sebelah Rafa, Adhisti tampak berlari melewati depan warnet. Mungkin saja gadis itu berniat untuk pulang dan mengunci diri
“Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit
“Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam
Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga
“Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam
Hari berganti pagi sementara Adhisti masih membuka matanya sambil melamun di atas ranjang. Usai kejadian semalam saat ia mendengar dan merasakan sendiri semua perkataan dan perbuatan Rafa, ia sama sekali tak bisa tertidur tenang. “Apa setiap malam Bang Rafa selalu kaya gini? Apa malam itu, Bang Rafa juga lakuin ini? Kenapa dia lakuin ini ke gue? Dia tahu gue adiknya ‘kan?!” sergah Adhisti dalam hstinya. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Adhisti terperanjat dari lamunannya. Gadis itu memandang ke arah pintu dengan kelu. Bayangan Rafa yang menciumnya kembali terulang. “Chaay, bangun! Sarapannya udah siap, nih!” pekik Rafa dari luar. Adhisti tak membalas. Gadis itu masih tak bisa jika harus bertemu dengan sang kakak yang ternyata memiliki hasrat tersembunyi padanya itu. “Chaay?!” ulang Rafa kini mengetuk pintu lebih kencang. Adhsiti tak menyahut. Dan entah apa yang Rafa pikirkan, pria itu kini langsung membuka pintu kamar Adhisti dan seketika membuat Adhisti bangun dari posi
“Hah?! Tidur di sini?!” Adhisti dengan cepat menahan lengan Rafa sebelum pria itu bisa masuk ke dalam unit tersebut. “Ini hari pertama pernikahan lo sama Kak Szi, Bang! Mana bisa lo tidur di sini?! Ya lo sama istri lo sana lah! Tega lo tinggalin dia sendirian padahal kalian baru nikah?!” sergah Adhisti. Rafa menghela napasnya kasar lalu tangannya dengan kuat mencengkeram tangan Adhisti yang menahan lengannya. “Lo pikir gue suka nikah sama dia, Chaay? Lo pikir ini pernikahan yang gue mau? Nggak! Gue terpaksa! Masih mending gue kasih dia status sebagai istri gue biar dia nggak malu! Lagian ini rumah gue juga ‘kan? Gimana ada ceritanya gue nggak bisa tidur di rumah gue sendiri?” omel Rafa. “Ya tapi kondisinya nggak bisa, Bang! Lo baru nikah! Atau minimal lo bawa Kak Szi ke sini, deh!” sergah Adhisti. “Lo pilih gue tidur di dalam atau di depan sini? Yang jelas keputusan gue udah jelas malam ini gue bakalan di sini!” sergah Rafa seolah tak ingin di bantah. “Batu banget sih lo jadi or
“Abbiyya, gue udah pernah bilang sama lo untuk lepasin Chaaya. Dia aman sama gue. Dia nggak perlu perlindungan lo lagi! Jadibm udahlah, lo juga nggak perlu cari tahu soal gue atau pun pernikahan gue. Gue nggak suka!” sergah Rafa lalu langsung meninggalkan Abbiyya begitu saja. “Sikap dia yang kaya gini yang makin bikin gue curiga. Gue perlu bukti valid tentang hubungan Adhisti sama Rafa. Mungkin cuma dengan bukti itu Adhisti bakal percaya sama gue kalau ada yang nggak beres sama Rafandra!” bisik Abbiyya sambil memandang lurus ke arah Rafandra yang berjalan pergi. Tiba-tiba sebuah ide muncul di pikiran Abbiyya. Ia menemukan satu cara yang sebenarnya sedikit ilegal untuk dilakukan. Namun sekarang tak ada cara lain yang bisa ia pikirkan. Ia pun sedikit ragu apakah ia bisa menemui Rafa maupun Adhisti lagi setelah ini. Abbiyya membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah injeksi kecil yang bahkan tak tampak dalam genggamannya. Ia berjalan mengikuti Rafa yang saat itu tengah mengantre di halte
“Abbiyya!” pekik Ganendra tampak berlari cepat ke arah Abbiyya yang saat itu hendak berjalan keluar kantor polisi. Abbiyya berbalik dan melihat Ganendra sedikit tergopoh mengejarnya. Pria itu mengerutkan dahi tanda sedikit kebingungan atas apa yang terjadi di hadapannya itu. “Ada apa, Gan? Kenapa lari buru-buru gitu? Ada yang urgent?” ujar Abbiyya. “Lo udah denger keputusan baru soal kasus Mayat di Balik Plafon unit 706 itu?” tutur Ganendra sambil masih sedikit ngos-ngosan. “Ya, sidangnya tadi pagi ‘kan? Gue denger Rio dapat hukuman setimpal kok. Emang kenapa?” Abbiyya lagi-lagi mengerutkan dahinya. “Gue denger rumornya kasus si Rio itu masih ngegantung! Dia diadili untuk perbuatan dia soal pelecehan itu. Tapi untuk penemuan mayat di balik plafon itu dia minta banding karena alasan pemalsuan data sama kaya yang terjadi sama Adhisti. Dan karena itu kasusnya masih gantung sekarang sampai pusat nemuin benang merah lainnya!” papar Ganendra. “Seriusan? Bukannya bukti kemarin sudah je
Hari ini adalah hari di mana Rafa akan menikahi Szi atas dasar ancaman Szi mengenai status Rada dan Adhisti yang sebenarnya bukan saudara kandung itu.Beberapa jam lalu janji suci yang ternodai kebohongan telah diucap oleh Rafa untuk Szi dan membuat keduanya telah resmi menjadi sepasang suami istri.“Thank you, ya Chaaya! Kalau bukan karena lo, mungkin hidup gue dan calon bayi kami ini bakalan hancur. Gue janji bakal jadi kakak ipar yang baik buat lo! Gue bakal masakan makanan enak tiap hari buat lo!” pekik Szi sambil sebentar mencubit pipi Adhisti sementara tangannya yang lain tampak melingkari tangan Rafa.“Kita tinggal terpisah dari Chaaya! Kita tinggal di kost an lo. Gue bakal bagi waktu buat kalian berdua. Gue tetep mesti jaga dan pantau Chaaya juga,” sela Rafa membuat Szi terkejut bukan main.“Maksudmu? Kalau kau ingin tetap menjaga Chaaya, kenapa kita tak tinggal di unitmu saja? Toh aku akan tinggal di kamarmu, unitmu cukup untuk menaungi keluarga kita ditambah Chaaya, Sayang!”