Kini mereka tiba kembali di halaman rumah Abbiyya. Adhisti yang masih merasa kesal atas jawaban Abbiyya sontak langsung meninggalkan Abbiyya dan masuk terlebih dahulu ke dalam rumahnya dan meninggalkan Abbiyya di kuar. “Lo nggak boleh tahu apa pun soak Melody, Dhis! Sedikit pun nggak boleh!” pekik Abbiyya lalu menyusul Adhisti ke dalam. Namun di ruang tamu, ia melihat Adhisti tengah bersalaman dengan Rafa. Gadis itu pun langsung berlari menaiki tangga saat melihat kehadiran Abbiyya di sana. “Kalian ada masalah? Kenapa kayanya Chaaya buru-buru pergi gitu?” tanya Rafa. Abbiyya tak membalas dan malah memandang Adhisti yang terus berlari ke arah kamarnya dengan menaiki tangga cepat itu. “Abbiyya? Lo ada masalah sama Chaaya? Apa yang terjadi tadi? Kenapa kalian balik malem banget?” cecar Rafa. Abbiyya kini kembali menoleh ke arah Rafa dan menarik napasnya panjang lalau menghembuskannya perlahan. “Mungkin dia marah saka istrinya Guntur? Ya, agak disindir-sindir gitu, sih! Entahlah,”
Adhisti yang telah memasuki ruangan itu kini mengarahkan cahaya senter ponselnya ke seisi ruangan sementara tangannya yang lain kembali menutup pintu itu. Ruangan yang gelap itu kini sedikit tersinari cahaya remang dari ponsel Adhisti. Ruangan yang berukuran sekitar 6 kali 4 meter itu tak seperti yang Adhisti bayangkan. Tempat itu amat kotor dan berantakan. Selimut yang tampak tak beraturan di atas ranjang, juga meja kerja yang tampak usai terkena angin puting beliung “Astaga, gue pikir ruangan ini bakalan bersih, rapi, dan wangi! Ternyata malah kebalikannya gini! Kenapa kamar ini dikunci tapi nggak dibersihin coba? Abbiyya ‘kan punya banyak pembantu? Kenapa nggak ada dari mereka yang berinisiatif buat bersihin nih kamar?” gumam Adhisti lalu berjalan ke arah meja kerja yang ada di sudut lain ruangan itu. Semua pigura foto yang berbalik di atas meja kini tampak menarik perhatian Adhisti. Tak tunggu lama lagi, gadis itu segera saja meraih pigura tersebut dan membaliknya. Seorang ga
Adhisti yang terkejut bahkan hingga berdiri dari kursinya lidahnya tercekat saat melihat Abbiyya kini telah berdiri di hadapannya dengan pandangan gelap dan tajam. Rasa takut gadis itu membuatnya sulit bernapas barang hanya meneguk salivanya sendiri. Cengkeramannya pada tepi meja kerja bahkan semakin menguat. Susah payah ia berusaha menatap lurus mata Abbiyya yang tajam itu. “Sudah selesai? Mau lanjutin dulu? Gue bakal tunggu lo sampai selesai baca kok, Dhis!” bisik Abbiyya kini mendekatkan tubuhnya ke arah Adhisti. Menangkap hawa tak enak pada Abbiyya yang semakin mendekatkan wajahnya padanya membuat Adhisti hanya bisa memejamkan mata. Keringatnya mengucur deras dari dahi hingga leher jenjangnya. “Kenapa lo tutup mata, Dhis? Lo berharap gue cium lo? Atau apa?” bisik Abbiyya langsung membuat Adhisti membuka matanya. Gadis itu segera menggeleng dan mengubah pandangannya ke arah bawah. “Nggak! Jangan lakuin itu dan rusak kepercayaan gue, Biy! Mundur! Lo terlalu dekat sama gue!” se
“Menyesal? Kenapa?” sela Adhisti lagi. “Dia suka sama gue, Dhis! Dia mau ambil semua kesempatan yang bisa dia tarik buat terus dekat sama gue. Saat gue tahu hal itu, gue sedikit menjauh dari dia. Gue jarang samperi dia ke kamar dan tanyain dia udah makan atau belum. Gue jarang pamit kalau gue mau keluar. Dan karena hal itu dia marah,” “Dia lupa, gue abangnya bukan orang lain yang bisa dia jadiin seorang kekasih. Malam itu gue lupa kunci pintu kamar karena gue terlalu capek tugas malam.” Abbiyya menghentikan ceritanya dan menarik napas dalam. “Melody masuk ke kamar gue, dia naik ke atas ranjang dan langsung pekuk gue. Saat dia masih hendak membuka sesuatu, gue bangun. Gue marah. Gue maki dia dan dia cuma bisa nangis. Dia terus bilang kalau dia cinta dan suak sama gue. Tapi lo tahu ‘kan, Dhis! Kita saudara. Lagi pula semua perhatian gue ke dia cuma sebagai seorang abang aja! Tapi dia mungkin gue salah bawa seorang psk ke sini. Hasratnya masih sama seperti hasrat ibu. Dia buka Melody
“Keluar dari sini, Dhis. Balik ke kamar lo, terus tidur dan nggak usah balik ke sini lagi. Cukup lo tahu ini aja, nggak usah mengulik hal lainnya.” Abbiyya menatap Adhisti sedikit tajam sebelum akhirnya ia menunjuk pintu itu dan mengusir Adhisti dari ruangan remang itu. “Lo nggak balik?” tanya Adhisti agak sedikit takut jika kembali menyindir Abbiyya. “Bukan urusan lo. Lo balik aja sekarang sebelum gue berubah pikiran,” tukas Abbiyya tanpa memandang Adhisti. Adhisti yang merasa sedikit tak enak hati akhirnya berjalan ke arah pintu keluar ruangan itu. Sebelum ia benar-benar pergi dari sama, ia sedikit berbalik dan menyaksikan Abbiyya yang mengusap air matanya. “Sorry, Biy! Gue kira nggak akan serumit ini, sorry karena udah buka luka lama lo.” Kini Adhisti berjalan kembali ke arah kamarnya meninggalkan Abbiyya di dalam kamar Melody dengan lamunannya sendiri. Baru saja Adhisti hendak memejamkan matanya usai menarik selimut itu menutup nyaris satu tubuhnya, ponsel Adhisti tiba-tiba
Usai menunggu seorang petugas kepolisian lain memanggilkan Abbiyya, petugas itu kembali dan mengantar Adhisti untuk menemui Abbiyya di ruangannya. Dengan perasaan sedikit canggung, Adhisti melangkahkan kakinya ke dalam ruangan. Meskipun ia tahu bahwa pria itu telah mengetahui kedatangannya, tetap saja ia merasa canggung dan sedikit kikuk saat Abbiyya mempersilakannya duduk di sofa. “Gue udah minta pelayan aja yang bawa makanannya, kenapa jadi lo yang repot-repot ke sini?” ujar Abbiyya kini menerima kotak bekal itu setelah duduk di sebelah Adhisti. “Gue yang nawarin. Lebih tepatnya agak maksa. Gue emang mau keluar dan gue rasa pertemuan kita yang terakhir itu agak nggak enak. Jadi gue cukup khawatir kalau lo marah sama gue. Gue nggak mau musuhan sama lo!” lirih Adhisti. Abbiyya sedikit terkekeh saat mendengar penuturan akhir Adhisti itu. Abbiyya kini malah tampak menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, melipat kedua tangannya di depan dada sambil memandangi Adhisti. “Lo pikir
Adhisti yang masih kebingungan dengan semua perkataan preman itu berusaha menahan dirinya untuk kembali masuk ke dalam warnet dan bertanya tentang semua hal. Ia berusaha menahan dirinya karena jika memang mereka mencari Rafa, posisinya saat ini tentulah amat berbahaya. Ia pasti akan menjadi sasaran empuk para preman itu jika mereka tahu bahwa adik orang yang ia cari ada di sana. “Gue nggak tahu Rafa ada di mana, Bang! Jari ini dia emang jadwalnya libur di sini! Kalau soal rumah dia, awalnya di apartemen 706, tapi karena kasus di sana, dia pindah tuh! Kalau nggak percaya lihat aja apartemen 706 kosong adanya garis polis!” tutur sang penjaga warnet. “Jangan sampai si penjaga warnet itu bocorin ke dua preman itu kalau gue barusan dari sana! Bisa mampus gue main kejar-kejaran sama mereka!” bisik Adhisti. “Kapan jadwal Rafa jaga! Dia stay di sini hari apa aja! Jangan coba-coba bohongi kami!” sergah preman itu tampak menuding wajah si penjaga warnet. Sang penjaga warnet itu kini diamba
Adhisti menyilangkan kedua kakinya di atas sofa ruang tengah sambil mengetuk-ketukkan tangannya pada tangan sofa. Gadis itu menghela napas kasar saat melihat jam dinding tekah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam tadi tak ada tanda-tanda kedatangan Rafa di sana. Adhisti mengubah posisinya menjadi berbaring sambil mengangkat sekaligus menyandarkan kakinya pada sandaran kursi. Posisinya yang sekarang menjadi sedikit terbalik membuatnya tampak seperti seorang anak kecil yang bermalas-malasan di atas sebuah sofa. Dari sisi lain ruangan, tampak Abbiyya membawa dua gelas orange jus sedikit tersenyum dan tertawa kecil melihat tingkah Adhisti yang sedemikian rupa. “Tiati ntar bangun pusing lagi!” celetuk Abbiyya sembari meletakkan gelas berisi jus jeruk itu ke meja lalau duduk sisi sofa lainnya. Mendengar suara Abbiyya, Adhisti sontak memutar tubuhnya dan membuatnya kembali duduk manis sambil memandangi Abbiyya dan jus jeruk itu bergantian. “Nggak usah diliatin gitu itu emang buat lo
“Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit
“Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam
Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga
“Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam
Hari berganti pagi sementara Adhisti masih membuka matanya sambil melamun di atas ranjang. Usai kejadian semalam saat ia mendengar dan merasakan sendiri semua perkataan dan perbuatan Rafa, ia sama sekali tak bisa tertidur tenang. “Apa setiap malam Bang Rafa selalu kaya gini? Apa malam itu, Bang Rafa juga lakuin ini? Kenapa dia lakuin ini ke gue? Dia tahu gue adiknya ‘kan?!” sergah Adhisti dalam hstinya. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Adhisti terperanjat dari lamunannya. Gadis itu memandang ke arah pintu dengan kelu. Bayangan Rafa yang menciumnya kembali terulang. “Chaay, bangun! Sarapannya udah siap, nih!” pekik Rafa dari luar. Adhisti tak membalas. Gadis itu masih tak bisa jika harus bertemu dengan sang kakak yang ternyata memiliki hasrat tersembunyi padanya itu. “Chaay?!” ulang Rafa kini mengetuk pintu lebih kencang. Adhsiti tak menyahut. Dan entah apa yang Rafa pikirkan, pria itu kini langsung membuka pintu kamar Adhisti dan seketika membuat Adhisti bangun dari posi
“Hah?! Tidur di sini?!” Adhisti dengan cepat menahan lengan Rafa sebelum pria itu bisa masuk ke dalam unit tersebut. “Ini hari pertama pernikahan lo sama Kak Szi, Bang! Mana bisa lo tidur di sini?! Ya lo sama istri lo sana lah! Tega lo tinggalin dia sendirian padahal kalian baru nikah?!” sergah Adhisti. Rafa menghela napasnya kasar lalu tangannya dengan kuat mencengkeram tangan Adhisti yang menahan lengannya. “Lo pikir gue suka nikah sama dia, Chaay? Lo pikir ini pernikahan yang gue mau? Nggak! Gue terpaksa! Masih mending gue kasih dia status sebagai istri gue biar dia nggak malu! Lagian ini rumah gue juga ‘kan? Gimana ada ceritanya gue nggak bisa tidur di rumah gue sendiri?” omel Rafa. “Ya tapi kondisinya nggak bisa, Bang! Lo baru nikah! Atau minimal lo bawa Kak Szi ke sini, deh!” sergah Adhisti. “Lo pilih gue tidur di dalam atau di depan sini? Yang jelas keputusan gue udah jelas malam ini gue bakalan di sini!” sergah Rafa seolah tak ingin di bantah. “Batu banget sih lo jadi or
“Abbiyya, gue udah pernah bilang sama lo untuk lepasin Chaaya. Dia aman sama gue. Dia nggak perlu perlindungan lo lagi! Jadibm udahlah, lo juga nggak perlu cari tahu soal gue atau pun pernikahan gue. Gue nggak suka!” sergah Rafa lalu langsung meninggalkan Abbiyya begitu saja. “Sikap dia yang kaya gini yang makin bikin gue curiga. Gue perlu bukti valid tentang hubungan Adhisti sama Rafa. Mungkin cuma dengan bukti itu Adhisti bakal percaya sama gue kalau ada yang nggak beres sama Rafandra!” bisik Abbiyya sambil memandang lurus ke arah Rafandra yang berjalan pergi. Tiba-tiba sebuah ide muncul di pikiran Abbiyya. Ia menemukan satu cara yang sebenarnya sedikit ilegal untuk dilakukan. Namun sekarang tak ada cara lain yang bisa ia pikirkan. Ia pun sedikit ragu apakah ia bisa menemui Rafa maupun Adhisti lagi setelah ini. Abbiyya membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah injeksi kecil yang bahkan tak tampak dalam genggamannya. Ia berjalan mengikuti Rafa yang saat itu tengah mengantre di halte
“Abbiyya!” pekik Ganendra tampak berlari cepat ke arah Abbiyya yang saat itu hendak berjalan keluar kantor polisi. Abbiyya berbalik dan melihat Ganendra sedikit tergopoh mengejarnya. Pria itu mengerutkan dahi tanda sedikit kebingungan atas apa yang terjadi di hadapannya itu. “Ada apa, Gan? Kenapa lari buru-buru gitu? Ada yang urgent?” ujar Abbiyya. “Lo udah denger keputusan baru soal kasus Mayat di Balik Plafon unit 706 itu?” tutur Ganendra sambil masih sedikit ngos-ngosan. “Ya, sidangnya tadi pagi ‘kan? Gue denger Rio dapat hukuman setimpal kok. Emang kenapa?” Abbiyya lagi-lagi mengerutkan dahinya. “Gue denger rumornya kasus si Rio itu masih ngegantung! Dia diadili untuk perbuatan dia soal pelecehan itu. Tapi untuk penemuan mayat di balik plafon itu dia minta banding karena alasan pemalsuan data sama kaya yang terjadi sama Adhisti. Dan karena itu kasusnya masih gantung sekarang sampai pusat nemuin benang merah lainnya!” papar Ganendra. “Seriusan? Bukannya bukti kemarin sudah je
Hari ini adalah hari di mana Rafa akan menikahi Szi atas dasar ancaman Szi mengenai status Rada dan Adhisti yang sebenarnya bukan saudara kandung itu.Beberapa jam lalu janji suci yang ternodai kebohongan telah diucap oleh Rafa untuk Szi dan membuat keduanya telah resmi menjadi sepasang suami istri.“Thank you, ya Chaaya! Kalau bukan karena lo, mungkin hidup gue dan calon bayi kami ini bakalan hancur. Gue janji bakal jadi kakak ipar yang baik buat lo! Gue bakal masakan makanan enak tiap hari buat lo!” pekik Szi sambil sebentar mencubit pipi Adhisti sementara tangannya yang lain tampak melingkari tangan Rafa.“Kita tinggal terpisah dari Chaaya! Kita tinggal di kost an lo. Gue bakal bagi waktu buat kalian berdua. Gue tetep mesti jaga dan pantau Chaaya juga,” sela Rafa membuat Szi terkejut bukan main.“Maksudmu? Kalau kau ingin tetap menjaga Chaaya, kenapa kita tak tinggal di unitmu saja? Toh aku akan tinggal di kamarmu, unitmu cukup untuk menaungi keluarga kita ditambah Chaaya, Sayang!”