Usai menunggu seorang petugas kepolisian lain memanggilkan Abbiyya, petugas itu kembali dan mengantar Adhisti untuk menemui Abbiyya di ruangannya. Dengan perasaan sedikit canggung, Adhisti melangkahkan kakinya ke dalam ruangan. Meskipun ia tahu bahwa pria itu telah mengetahui kedatangannya, tetap saja ia merasa canggung dan sedikit kikuk saat Abbiyya mempersilakannya duduk di sofa. “Gue udah minta pelayan aja yang bawa makanannya, kenapa jadi lo yang repot-repot ke sini?” ujar Abbiyya kini menerima kotak bekal itu setelah duduk di sebelah Adhisti. “Gue yang nawarin. Lebih tepatnya agak maksa. Gue emang mau keluar dan gue rasa pertemuan kita yang terakhir itu agak nggak enak. Jadi gue cukup khawatir kalau lo marah sama gue. Gue nggak mau musuhan sama lo!” lirih Adhisti. Abbiyya sedikit terkekeh saat mendengar penuturan akhir Adhisti itu. Abbiyya kini malah tampak menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, melipat kedua tangannya di depan dada sambil memandangi Adhisti. “Lo pikir
Adhisti yang masih kebingungan dengan semua perkataan preman itu berusaha menahan dirinya untuk kembali masuk ke dalam warnet dan bertanya tentang semua hal. Ia berusaha menahan dirinya karena jika memang mereka mencari Rafa, posisinya saat ini tentulah amat berbahaya. Ia pasti akan menjadi sasaran empuk para preman itu jika mereka tahu bahwa adik orang yang ia cari ada di sana. “Gue nggak tahu Rafa ada di mana, Bang! Jari ini dia emang jadwalnya libur di sini! Kalau soal rumah dia, awalnya di apartemen 706, tapi karena kasus di sana, dia pindah tuh! Kalau nggak percaya lihat aja apartemen 706 kosong adanya garis polis!” tutur sang penjaga warnet. “Jangan sampai si penjaga warnet itu bocorin ke dua preman itu kalau gue barusan dari sana! Bisa mampus gue main kejar-kejaran sama mereka!” bisik Adhisti. “Kapan jadwal Rafa jaga! Dia stay di sini hari apa aja! Jangan coba-coba bohongi kami!” sergah preman itu tampak menuding wajah si penjaga warnet. Sang penjaga warnet itu kini diamba
Adhisti menyilangkan kedua kakinya di atas sofa ruang tengah sambil mengetuk-ketukkan tangannya pada tangan sofa. Gadis itu menghela napas kasar saat melihat jam dinding tekah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam tadi tak ada tanda-tanda kedatangan Rafa di sana. Adhisti mengubah posisinya menjadi berbaring sambil mengangkat sekaligus menyandarkan kakinya pada sandaran kursi. Posisinya yang sekarang menjadi sedikit terbalik membuatnya tampak seperti seorang anak kecil yang bermalas-malasan di atas sebuah sofa. Dari sisi lain ruangan, tampak Abbiyya membawa dua gelas orange jus sedikit tersenyum dan tertawa kecil melihat tingkah Adhisti yang sedemikian rupa. “Tiati ntar bangun pusing lagi!” celetuk Abbiyya sembari meletakkan gelas berisi jus jeruk itu ke meja lalau duduk sisi sofa lainnya. Mendengar suara Abbiyya, Adhisti sontak memutar tubuhnya dan membuatnya kembali duduk manis sambil memandangi Abbiyya dan jus jeruk itu bergantian. “Nggak usah diliatin gitu itu emang buat lo
“Kok diem?! Jawab!” sergah Adhisti memberikan wajah menantang pada Rafa. “Siapa yang pinjam? Gue nggak minjem kok! Mana ada gue pinjam ke lintah darat! Utang abah aja udah setumpuk!” pekik Rafa kini mengalihkan tatapannya ke tempat lain. “Bohong! Udahlah, Bang! Lo ngaku aja apa sususahnya sih!? Emang kalau lo nggak ngaku, lo mau bayar itu lintah darat pakai uang apa kalau bukan gaji gue dari Guntur?!”sergah Adhisti. Adhisti tampak semakin memberikan tatapan tajam pada Rafa sementara pria itu tampak berusaha mencari alasan yang tepat untuk membungkam semua pertanyaan sang adik. “Gue nggak minjam duit apa pun ke lintah darat, Chaay! Gue nggak minjem!! Kenapa sih lo ngenyel minta gue ngakuin! Kalau emang enggak gimana?!” sergah Rafa sekarang malah ikut meninggikan suaranya. “Bohong, Bang! Lo bohong!! Lo ngak tahu tadi siang gue udah kaya mau mati kehabisan napas gegera lari-larian dikejar para preman yang nyariin lo ke warnet? Nggak usah ngelak lagi deh, bang! Ngaku aja! Gue udah ta
“Gue cuma bakal ambil beberapa aja buat pegangan gue. Sisanya lo yang bawa untuk semua keperluan kita, entah hutang atau makan. Kalau ada sisa lo bisa tabung. Tapi kalau kurang kita pikirin lagi nanti!” pekik Adhisti. “Jangan gitu, Chaay! Itu gaji lo, biar tetap ada sama lo! Lagian hutang ini bukan tanggung jawab lo. Ini murni tanggung jawab gue. Jadi biar gue aja yang selesaiin.” “Kalau abang terus nolak, lo nggak bakal ngomong sama gue lagi! Kita nggak lagi jadi saudara! Buat apa jadi saudara kalau nggak saling meringankan. Mending jadi orang asing aja!” sergah Adhisti. “Thanks ya, Chaay! Maafin gue sampell sekarang masih ganggu lo, repotin lo, dan usik gaji kerja keras lo. Gue janji kalau gue udah dapat kerjaan yang baik, gue bakalan selesaiin semuanya sendiri,” tutur Rafa. “Kita saudara, Bang! Sudah semestinya saling bantu, ‘kan?” tutur Adhisti. Rafa kini memandang wajah Adhisti lekat. Kini Rafa malah memeluk Adhisti erat sembari memberikan kecupan di dahi gadis itu selama se
Adhisti bersama Abbiyya kini sedang berada dalam satu mobil yang mana keduanya sedang dalam perjalanan menuju kantor polisi untuk menemui Rio. Entah apa lagi yang diinginkan oleh pria itu, tapi ia menginginkan untuk bertemu Adhisti. Sepanjang perjalanan itu, Adhisti tak banyak bicara dan cenderung lebih banyak melamun. Gadis itu masih sedikit terbayang mengenai kejadian semalam saat dirinya mendengar Rada sedang menelepon seseorang dan mengatakan perihal sebuah rencana yang berhasil. Selain itu, Adhisti juga merasa cukup sangsi saat Rafa ingin dirinya segera keluar dari kamar pria itu. Pengusiran itu cenderung sedikit memaksa dan seolah hendak menutupi sesuatu dari Adhisti. Abbiyya yang melihat Adhisti hanya terdiam sontak sedikit mengerutkan dahi lalu memutuskan untuk bertanya pada gadis itu. “Dhis, lo kenapa? Diem aja? Takut ketemu Rio?” tanya Abbiyya sembari sesekali menengok ke arah Adhisti. Gadis itu segera menoleh ke arah Abbiyya lalu terdiam dan mengembuskan napas sejenak.
Adhisti duduk di sebuah ruang tunggu penjengukan seorang diri sementara Abbiyya menunggunya dari arah lain sambil terus memandang ke arah Adhisti. Tak lama setelahnya, seorang petugas kepolisian membawa Rio ke dalam ruangan itu lalu duduk di hadapan Adhisti. Adhisti yang langsung mendapati hawa tak mengenakkan dari kedatangan Rio sontak langsung memundurkan duduknya dan menegakkan tubuhnya itu. “Hai, Adhisti Sayang! Gimana kabar lo tanpa gue? Semuanya baik-baik aja?” tanya Rio kini menatap Adhisti lekat. “Nggak usah basa-basi! Gue nggak punya banyak waktu buat lo! Pertemuan kita juga dibatasi. Jadi cepet buruan ngomong!” sergah Adhisti. “Yeah lo bener! Okey, kalau begitu Sayang, mari kita membahas topik pertama.” Rio tampak menegakkan badannya sebelum ia kembali menegakkan badannya dan menatap Adhisti dengan tatapan penggoda itu. “Sejauh ini, apa lo udah tahu sisi lain Rafa? Apa dia belum berhasil dapat kesempatan buat jamah tubuh lo? Atau malah udah? Spill dong, Dhis!” kekeh Rio
“Maksud lo? Kenapa tiba-tiba lo tiba-tiba ngomong gitu?” sergah Abbiyya. “Gini, Dhis! Kita keluar dulu, kita omongin ini di luar aja,” tutur Abbiyya lalu mengajak Adhisti untuk pergi ke luar. Akhirnya mereka memilih untuk berbincang di dalam mobil saja dengan kaca mobil yang terbuka agar angin masih bisa masuk dan menyegarkan keduanya. “So, kenapa tahu-tahu lo bilang gitu, Dhis? Lo tahu ‘kan semua penyelidikan kita itu konkret? Semuanya menjurus ke Rio. Motifnya kuat, bukti kaya sarung tangan dengan bekas darah Mawar juga ada loh, Dhis! Apartemen dia, space roomnya, itu jadi tempat di mana dia bawa potongan tubuh Mawar ke space room punya lo. Apa itu bukti yang kurang?” papar Abbiyya. “Ya gue tahu, Biy! Gue tahu kalau semuanya mengarah ke Rio. Tapi itu semua bukti barang ‘kan? Maksud gue, nggak ada saksi atau rekaman yang jelas nunjukin kalau Rio yang ngelakuin pembunuhan itu!” pekik Adhisti. Gadis itu kini sedikit mengubah posisi duduknya hingga menatap lurus ke arah Abbiyya. “S
“Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit
“Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam
Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga
“Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam
Hari berganti pagi sementara Adhisti masih membuka matanya sambil melamun di atas ranjang. Usai kejadian semalam saat ia mendengar dan merasakan sendiri semua perkataan dan perbuatan Rafa, ia sama sekali tak bisa tertidur tenang. “Apa setiap malam Bang Rafa selalu kaya gini? Apa malam itu, Bang Rafa juga lakuin ini? Kenapa dia lakuin ini ke gue? Dia tahu gue adiknya ‘kan?!” sergah Adhisti dalam hstinya. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Adhisti terperanjat dari lamunannya. Gadis itu memandang ke arah pintu dengan kelu. Bayangan Rafa yang menciumnya kembali terulang. “Chaay, bangun! Sarapannya udah siap, nih!” pekik Rafa dari luar. Adhisti tak membalas. Gadis itu masih tak bisa jika harus bertemu dengan sang kakak yang ternyata memiliki hasrat tersembunyi padanya itu. “Chaay?!” ulang Rafa kini mengetuk pintu lebih kencang. Adhsiti tak menyahut. Dan entah apa yang Rafa pikirkan, pria itu kini langsung membuka pintu kamar Adhisti dan seketika membuat Adhisti bangun dari posi
“Hah?! Tidur di sini?!” Adhisti dengan cepat menahan lengan Rafa sebelum pria itu bisa masuk ke dalam unit tersebut. “Ini hari pertama pernikahan lo sama Kak Szi, Bang! Mana bisa lo tidur di sini?! Ya lo sama istri lo sana lah! Tega lo tinggalin dia sendirian padahal kalian baru nikah?!” sergah Adhisti. Rafa menghela napasnya kasar lalu tangannya dengan kuat mencengkeram tangan Adhisti yang menahan lengannya. “Lo pikir gue suka nikah sama dia, Chaay? Lo pikir ini pernikahan yang gue mau? Nggak! Gue terpaksa! Masih mending gue kasih dia status sebagai istri gue biar dia nggak malu! Lagian ini rumah gue juga ‘kan? Gimana ada ceritanya gue nggak bisa tidur di rumah gue sendiri?” omel Rafa. “Ya tapi kondisinya nggak bisa, Bang! Lo baru nikah! Atau minimal lo bawa Kak Szi ke sini, deh!” sergah Adhisti. “Lo pilih gue tidur di dalam atau di depan sini? Yang jelas keputusan gue udah jelas malam ini gue bakalan di sini!” sergah Rafa seolah tak ingin di bantah. “Batu banget sih lo jadi or
“Abbiyya, gue udah pernah bilang sama lo untuk lepasin Chaaya. Dia aman sama gue. Dia nggak perlu perlindungan lo lagi! Jadibm udahlah, lo juga nggak perlu cari tahu soal gue atau pun pernikahan gue. Gue nggak suka!” sergah Rafa lalu langsung meninggalkan Abbiyya begitu saja. “Sikap dia yang kaya gini yang makin bikin gue curiga. Gue perlu bukti valid tentang hubungan Adhisti sama Rafa. Mungkin cuma dengan bukti itu Adhisti bakal percaya sama gue kalau ada yang nggak beres sama Rafandra!” bisik Abbiyya sambil memandang lurus ke arah Rafandra yang berjalan pergi. Tiba-tiba sebuah ide muncul di pikiran Abbiyya. Ia menemukan satu cara yang sebenarnya sedikit ilegal untuk dilakukan. Namun sekarang tak ada cara lain yang bisa ia pikirkan. Ia pun sedikit ragu apakah ia bisa menemui Rafa maupun Adhisti lagi setelah ini. Abbiyya membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah injeksi kecil yang bahkan tak tampak dalam genggamannya. Ia berjalan mengikuti Rafa yang saat itu tengah mengantre di halte
“Abbiyya!” pekik Ganendra tampak berlari cepat ke arah Abbiyya yang saat itu hendak berjalan keluar kantor polisi. Abbiyya berbalik dan melihat Ganendra sedikit tergopoh mengejarnya. Pria itu mengerutkan dahi tanda sedikit kebingungan atas apa yang terjadi di hadapannya itu. “Ada apa, Gan? Kenapa lari buru-buru gitu? Ada yang urgent?” ujar Abbiyya. “Lo udah denger keputusan baru soal kasus Mayat di Balik Plafon unit 706 itu?” tutur Ganendra sambil masih sedikit ngos-ngosan. “Ya, sidangnya tadi pagi ‘kan? Gue denger Rio dapat hukuman setimpal kok. Emang kenapa?” Abbiyya lagi-lagi mengerutkan dahinya. “Gue denger rumornya kasus si Rio itu masih ngegantung! Dia diadili untuk perbuatan dia soal pelecehan itu. Tapi untuk penemuan mayat di balik plafon itu dia minta banding karena alasan pemalsuan data sama kaya yang terjadi sama Adhisti. Dan karena itu kasusnya masih gantung sekarang sampai pusat nemuin benang merah lainnya!” papar Ganendra. “Seriusan? Bukannya bukti kemarin sudah je
Hari ini adalah hari di mana Rafa akan menikahi Szi atas dasar ancaman Szi mengenai status Rada dan Adhisti yang sebenarnya bukan saudara kandung itu.Beberapa jam lalu janji suci yang ternodai kebohongan telah diucap oleh Rafa untuk Szi dan membuat keduanya telah resmi menjadi sepasang suami istri.“Thank you, ya Chaaya! Kalau bukan karena lo, mungkin hidup gue dan calon bayi kami ini bakalan hancur. Gue janji bakal jadi kakak ipar yang baik buat lo! Gue bakal masakan makanan enak tiap hari buat lo!” pekik Szi sambil sebentar mencubit pipi Adhisti sementara tangannya yang lain tampak melingkari tangan Rafa.“Kita tinggal terpisah dari Chaaya! Kita tinggal di kost an lo. Gue bakal bagi waktu buat kalian berdua. Gue tetep mesti jaga dan pantau Chaaya juga,” sela Rafa membuat Szi terkejut bukan main.“Maksudmu? Kalau kau ingin tetap menjaga Chaaya, kenapa kita tak tinggal di unitmu saja? Toh aku akan tinggal di kamarmu, unitmu cukup untuk menaungi keluarga kita ditambah Chaaya, Sayang!”