“Siap, Ndan.” ujar Alfa. Ia menutup telepon, lalu duduk di kursi taman.
Aku menghampiri Alfa. “Nelpon siapa?” tanyaku sambil duduk di kursi sebelah Alfa.
“Komandan.” jawab Alfa singkat. Tumben banget.
“Mas Alfa polisi juga kayak Kak Hafiz?”
Alfa memicingkan matanya. “Kok kamu tau si Hafiz itu polisi?” tanya Alfa curiga.
Aku terkesiap. ‘Aduh, mampus! Masa aku jawab kalau aku emang udah ngestalk Kak Hafiz dari dulu’, gumamku dalam hati. “Em…. Nebak aja sih.” jawabku asal.
Alfa memandangku dengan ekspresi ingin menginterogasi. “Masa?”
Aku mengangguk. “Oh ya, Mas Alfa kenapa mau jadi polisi?” tanyaku mengalihkan topik.
“Soalnya mau jagain hati kamu.” godanya.
Aku menepuk lengannya. “Tuh kan hobi banget gombalin orang. Udah berapa banyak cewek yang digombalin?”
Alfa tertawa kecil. “Aku nggak gombal ke sembarang orang tau.” elak Alfa. “Emangnya aku cowok murahan?”
“Lagian, aku kan serius nanya yang tadi. Eh, malah digombalin.”
“Hmmm kenapa ya?” Alfa pura-pura berpikir keras. “Soalnya bosen, masa satu keluarga jadi dokter semua.” jawabnya ngasal.
“Ih, masa itu sih alasannya.” protesku sambil mencubit perut Alfa.
Alfa mengaduh kesakitan, tapi sambil ketawa-ketiwi. “Ampun-ampun. Hehe… iya deh aku serius kali ini.”
Aku melepas cubitanku. “Gitu kek daritadi.”
“Aku pengen jadi polisi berawal dari stereotype yang menjamur di masyarakat. Pengen banget nunjukkin kalau polisi itu nggak seperti yang masyarakat pikirkan. Yang nggak bener itu oknumnya, bukan semua polisi.”
“Semoga Mas Alfa bisa jadi Kapolri deh.” ujarku sambil tersenyum.
Alfa menoleh ke arahku. “Kamu jadi bhayangkarinya, ya.” Alfa mengusap kepalaku. Aku terkesiap, mataku auto membulat mendengarnya.
“Jangan mimpi deh! Fita itu bakal jadi persit-nya-mas.”
Aku menoleh ke sumber suara. ‘Mas Wira’, gumamku dalam hati. Aku mengerutkan keningku. ‘Eh, tadi Mas Wira bilang apa? Persit-nya-mas?’
“Datang lagi deh penganggu.” gumam Alfa.
Mas Wira tiba-tiba menarik tanganku. “Jalan yuk.”
Aku yang masih sibuk dengan pemikiranku, makin mengerutkan keningku. Ini kenapa lagi, kok tiba-tiba Mas Wira ngajakin jalan. Alfa mendengus sebal karena melihatku yang dipaksa Mas Wira mengikutinya. Aku hanya bisa pasrah mengikuti maunya Mas Wira.
Mas Wira menyodorkan helm berwarna pink putih. “Nih.”
Aku menerima helm yang diberikan Mas Wira. “Mas, kita mau kemana?” tanyaku kepo.
“Kamu maunya kemana?” Mas Wira malah bertanya balik.
Aku berpikir sejenak. “Hmmmm kemana ya?”
Mas Wira naik ke motornya. “Naik.” perintahnya. “Mikirnya sambil jalan aja.”
Aku menuruti Mas Wira, naik ke boncengan belakang. Lalu, motor yang dikendarai Mas Wira melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan rumah. “Mas, kita ke Taman Sari aja, yuk!” usulku.
Mas Wira mengangguk. “Tumben nggak ngajak muter-muterin Jogja lagi.” gumam Mas Wira dengan suara kecil, nyaris tak terdengar olehku.
“Kenapa? Ketagihan ya jalan-jalan mengelilingi Jogja sama aku?” tanyaku dengan nada menggoda.
“Kalau iya, kenapa?”
Aku menepuk pundak Mas Wira. “Nggak lucu!”
Mas Wira malah tertawa, tak ada suara tapi badannya terguncang. Emang aneh sekali manusia satu ini. Matahari kali ini begitu terik tapi tak apa, karena langit birunya yang indah seakan menyejukkan rasa panas yang menyengat di kulit.
***
Mas Wira membayar uang tiket masuk ke Taman Sari. Ternyata cukup murah harga tiketnya, per-orang cukup membayar lima ribu rupiah. Benar-benar tidak akan membuat miskin wisatawan.
“Kamu pasti mau foto-foto kan di sini?” tebak Mas Wira.
Aku menyeringai. “Hehehe… iya dong. Tapi aku ada kok searching tentang Taman Sari dan sejarahnya.”
Mas Wira hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baguslah kalau gitu.” katanya sambil berjalan tanpa menungguku.
Aku mensejajari langkah Mas Wira. “Mas, katanya itu kolam untuk pemandian putri, ya?” tanyaku sambil menunjuk ke arah kolam yang ada di hadapan kami.
Mas Wira hanya mengangguk. “Aku mau mandi di situ ah, biar jadi seorang putri cantik untuk Mas Wira.”
Mas Wira mengangkat alisnya sebelah. “Anak kecil nggak usah sok-sok mau ngegombalin, ya.” ucapnya sambil menepuk-nepuk kepalaku pelan.
Aku mendongak, lalu mendengus. “Aku bukan anak kecil tau!” seruku sebal.
Mas Wira tersenyum tipis mendengarku protes dikatain anak kecil. Ia menoleh ke arahku yang sedang cemberut. “Jangan cemberut, nanti bibirnya jatoh.” godanya.
Aku menatap Mas Wira tajam, lalu meninggalkannya begitu saja. Mas Wira menghentikan langkahku, ia memegang tanganku. “Daripada masuk berita anak hilang, mending kamu jangan jauh-jauh dari aku.” ujarnya makin membuatku dongkol.
Aku menepis tangan Mas Wira. Ia justru menggenggam tanganku. “Jangan ngambek. Orang dewasa itu nggak ngambekan, lho.”
“Bodo!” sahutku ketus.
***
“Mas, mau es dawet.” rengekku saat melewati penjual es dawet.
Mas Wira otomatis berhenti dan menghampiriku yang sudah berhenti tepat di depan penjual es dawet. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Yaudah beli sana.”
“Mas, mau nggak?” tawarku.
Mas Wira menggeleng. “Nggak. Beli untuk kamu aja.” ujarnya sambil mengambil uang di dompetnya, lalu memberikan uang dua puluh ribu ke penjual es dawet. Ibu penjual es dawet menyodorkan segelas es dawet segar kepadaku.
“Terima kasih, Bu.” ujarku sambil mengambil segelas es dawet yang sudah membuatku ngiler. Aku duduk ngemper sembarangan di pinggir jalan.
“Eh, kamu beneran duduk tanpa alas?” tanya Mas Wira agak kaget melihatku.
Aku mengangguk. “Iya. Udahlah Mas, duduk-duduk aja nggakpapa. Nggak kotor kok ini, cuma pasir doang. Bukan eek ayam.” jawabku lempeng.
Mas Wira terpaksa mengikutiku duduk di pinggir jalan. “Kirain tadi bakal dibungkus.”
“Nggak. Harus diet plastik, kasian bumi kita udah kebanyakan nelan sampah plastik.” kataku sambil menyeruput es dawetku langsung di gelasnya tanpa sedotan.
Mas Wira menoleh ke arahku. “Mau dong dikit.”
Aku pura-pura tidak mendengar ucapan Mas Wira. “Kayak ada yang ngomong deh?” tanyaku masih sambil sibuk menyeruput dawetku.
Mas Wira tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dekat sekali. Hanya gelas kaca berisi es dawet saja yang menjadi pembatas kedekatan kami. Mataku auto membesar. Aku mendorong Mas Wira dan menyodorkan paksa gelas es dawet ke tangannya.
“Nih, ambil nih.” seruku sambil berdiri dan meninggalkan Mas Wira.
“Hei, tunggu!” Mas Wira langsung menyeruput cepat es dawet itu sampai habis. Setelah habis, ia mengembalikan gelas tersebut kepada Ibu Penjual. Tanganku ditahan Mas Wira. Aku mendelik. “Kamu kenapa?”
Ish! Bisa-bisanya dia tanya kenapa, gerutuku dalam hati. “Nggak papa.” jawabku dengan wajah masam.
“Nggak papa tapi wajahnya masam kayak ketek.” sindir Mas Wira. “Maaf deh soal tadi. Cie salah tingkah, ya?”
Aku menoleh dengan tatapan garang ke arah Mas Wira. “Nggak.” elakku.
Mas Wira menyambar tanganku, lalu menggenggamnya sambil tersenyum. Aku menatap Mas Wira pasrah. “Mau makan di rumah makan jejamuran nggak?”
Aku mengerutkan keningku. “Itu menunya jamur gitu, Mas?”
Mas Wira mengangguk. “Yap!”
“Mau. Let’s go!” seruku sambil menarik Mas Wira agar berjalan lebih cepat ke arah tempat parkir motor.
Sesampainya di depan motor milik Mas Wira, aku langsung mengambil helmku lalu memakainya. Begitu pula dengan Mas Wira, tapi dia justru sambil tersenyum-senyum melihatku.
“Kenapa senyam-senyum?” tanyaku judes.
Senyum Mas Wira makin lebar. “Kalau soal makanan, semangat banget ya kamu.”
“Iya dong! Soalnya aku kan hobinya makan.”
Mas Wira tersenyum mendengarku. Ia membayar parkir, lalu naik dan menyalakan motor. “Ayo, naik.”
Aku mengangguk dan naik ke boncengan. Aku mengecek maps, jarak dari Taman Sari ke Rumah Makan Jejamuran sekitar setengah jam. Lumayan jauh sih, tapi nggakpapa asalkan makanannya enak.
“Mas muter ke arah alun-alun dong.” pintaku sambil sedikit memiringkan kepala dan badanku biar bisa melihat wajah Mas Wira.
“Eh, eh ngapain kamu miring-miring gitu? Ntar jatoh, aku nggak mau bantuin, lho.”
Aku mencibir. “Iya, iya!” desisku.
Mas Wira tersenyum, entah mengapa dia hari ini jadi rajin senyum. “Ngapain mau lewat alun-alun?”
Aku langsung excited lagi. “Mau liat itu lho Mas, pohon beringin kembar yang hitz.”
“Ntar aja lah, enaknya malem-malem kalau ke alun-alun.” bujuk Mas Wira.
“Lewat doang Mas. Nggak usah berhenti. Ya, ya?” pintaku dengan suara memelas.
Mas Wira menghela napas. “Iya deh. Aku ngalah aja sama anak kecil.”
Kali ini aku kalem aja, nggak marah dikatain ‘anak kecil’ sama Mas Wira. Biarin aja yang penting dia mau nurutin mau aku. Pohon beringin kembar letaknya persis di tengah-tengah alun-alun.
“Itu beringinnya.” tunjuk Mas wira.
Mataku langsung berbinar. “Wah lucu banget, beringinnya dipagerin gitu.” jeritku histeris senang.
Mas Wira kontan bingung. “Hah? Lucu darimananya sih?”
“Lucu tau. Gemes.” seruku. “Mas, nanti kita harus ke sini, ya!” pesanku.
Mas Wira geleng-geleng melihat tingkahku yang membuatnya terheran-heran. Pertama kalinya bertemu wanita unik rada aneh sepertiku. “Iya. Next kita ke sini, ya.” jawab Mas Wira seakan berjanji pada anak kecil.
“Yeay, maacih Mas-cu.”
“Macama.” jawab Mas Wira rada geli.
Aku tertawa ngakak mendengar jawaban Mas Wira. Ia justru jadi ikutan ketawa. Bisa-bisanya dia mengikuti gaya bicaraku. “Mas, tau sesuatu nggak?”
“Apa tuh?”
“Selamat ya, Mas. Beberapa hari ini Mas jadi rajin senyum.” ujarku.
Mas Wira menoleh ke belakang. Aku mendelik, lalu mendorong kepala Mas Wira agar menghadap ke depan lagi. “Ih! Jangan noleh ke belakang! Nanti nabrak!” omelku.
Mas Wira tertawa pelan mendengar omelanku. Aneh! Diomelin malah ketawa.
“Emang aneh ya kalau aku jadi sering senyum?” tanya Mas Wira.
Aku menggelengkan kepalaku. “Nggak kok. Fita seneng liatnya. Mas Wira udah berani nunjukkin rasa bahagianya.” ujarku. “Menjadi diri sendiri boleh. Tapi, tetap aja jangan lupa untuk bahagia ya, Mas.”
“Senyum itu ada sebabnya. Kalau memang nggak ada alasan untuk senyum gimana dong?”
“Jadi, maksudnya aku yang jadi penyebab Mas senyum?” tembakku.
Mas Wira diam sejenak sambil tersenyum kecil. “Mungkin.”
Aku diam tak merespon jawaban Mas Wira barusan. Aku rasa Mas Wira serius akan ini. Aku pura-pura menoleh ke kiri-kanan, memandangi barisan rumah-rumah warga. Benar saja, seketika kami jadi hening untuk beberapa saat.
“Kita udah mau sampe.” ujar Mas Wira memecah keheningan.
“Mana, mana?” aku celingukan mencari rumah makannya.
“Bentar lagi.” jawab Mas Wira. “Nah, itu!” Mas Wira menunjuk ke rumah makan yang ada tulisan ‘Jejamuran’.
Mas Wira memarkirkan motornya. Aku turun dari boncengan dan membuka helmku. Lalu, menaruhnya di atas motor. “Wah, aku suka suasana rumah makannya. Berasa suasana rumahan.” komentarku.
Mas Wira menggenggam tanganku. Aku mendongak melihat ekspresi Mas Wira yang terlihat lempeng aja tanpa dosa dan salting. Aku hanya diam tanpa protes dibawa Mas Wira masuk. “Untuk dua orang, Mbak.” kata Mas Wira.
“Baik, Mas.”
Kami masuk dan menuju tempat untuk mengantri nomor tempat duduk. Setelah dapat, kami diantarkan langsung oleh pelayan rumah makan jejamuran sampai ke meja kami. Aku hanya diam saja sedari tadi.
Untuk menu yang akan kami makan, langsung dipesankan Mas Wira tanpa bertanya terlebih dahulu padaku. Mungkin Mas Wira sudah tahu kalau aku ini tipe pemakan segala dan nggak banyak cincong.
Baru saja kami duduk, Mas Wira tiba-tiba mengajakku untuk terapi ikan katanya. “Daripada bosen nungguin, kamu harus cobain fasilitas kolam ikan terapi di sini.” ujar Mas Wira.
Aku mengekori Mas Wira. Ia duduk di tepi kolam, lalu memasukkan kedua kakinya ke dalam kolam. Aku masih berdiri memperhatikan Mas Wira.
“Mas itu digigit ikan ya?” tanyaku agak ragu untuk ikut-ikutan dia.
Mas Wira mengangguk. “Iya. Tapi nggak sakit kok. Malah enak.” jawab Mas Wira.
Aku menatap Mas Wira agak ragu. Biasanya juga dokter gigi kalau mau nyuntik atau nanganin gigiku selalu bilang “Nggak sakit kok. Cuma kayak digigit semut.”, nyatanya berasa kayak digigit dinosaurus.
“Ayo, sini cobain.” Mas Wira menggamit tanganku.
Aku sedikit terkejut dengan aksi Mas Wira barusan. Mau tidak mau aku memberanikan diri. Duduk di tepian kolam dan membiarkan kakiku masuk ke kolam.
“Aduduh geli.” pekikku kaget. Aku memegang erat tangan Mas Wira.
“Kan… bener nggak sakit, kan?”
“Hahaha… iya. Tapi geli, Mas.” Aku masih memegang erat tangan Mas Wira sambil cekakakan kegelian. Bahaya kalau aku nggak megang tangan Mas Wira, takut ntar malah nyemplung. “Aduh Mas, aku nggak kuat. Geli banget!”
“Kamunya jangan tegang, harus tenang.” saran Mas Wira.
Benar saja, memang Mas Wira setenang itu, kayak nggak ngerasain apa-apa malah. Aku berusaha untuk menenangkan diri, tapi masih memegang erat tangan Mas Wira. Butuh beberapa menit untuk sedikit menahan rasa geli, lama kelamaan jadi terbiasa dengan gigitan ikan-ikan kecil di kolam terapi ini.
“Sadar nggak sih, barusan kamu dapat pelajaran baru?”
Aku mengernyitkan keningku. “Hah?”
Mas Wira tersenyum melihatku bingung dengan perkataannya.
“Iya, pelajarannya adalah seperti apa pun masalah yang kamu hadapi. Kamu cuma butuh untuk tenang. Kalau kamu tenang, maka semua bisa dihadapi dengan maksimal. Nah, misalnya kamu tegang dan panik. Pasti, akan sulit untuk menghadapinya.” jelas Mas Wira panjang kali lebar.
Aku menaikkan alisku dan menatap Mas Wira. Lalu, aku tertawa pelan. “Mas, bisa aja menyambung-nyambungkan suatu hal. But, yaaa it’s true.”
“Eh, itu makanan kita udah datang.”
Aku dengan sigap memutar badanku, berdiri dan meninggalkan Mas Wira. Benar-benar nggak sabar dan lapar menjadi satu. “Wahh!!!”
“Ini semua menunya dari jamur.” ujar Mas Wira yang sudah berada tepat di depanku. “Ini sate jamur. Ini rendang jamur. Ini sop jamur. Ini jamur goreng krispi. Ini__” belum selesai Mas Wira menjelaskan, aku langsung duduk mengambil sate jamur dan mencicipinya.
“Ya ampun benar-benar kayak sate ayam padahal ini dari jamur!” seruku histeris.
“Cuci tangan dulu!” omel Mas Wira.
Aku menyeringai lebar. “Hehe… soalnya semua makanannya menggoda sih, Mas.” ujarku membela diri.
Mas Wira berdiri dan menuju westafel untuk cuci tangan. “Ayo!”
Aku mengekori Mas Wira. “Mas udah sering ya ke sini?” tanyaku sambil mensejajari langkahnya. Mas Wira mengangguk. “Sama siapa, Mas? Cie sama pacarnya, ya?”
Mas Wira berhenti dan menatapku. “Sekali lagi kepo, kamu yang bayar semua makanannya.” ancam Mas Wira. Ia meninggalkanku yang masih terperangah dengan ancamannya.
Aku berlari mendahului Mas Wira. “Pelit!” dengusku.
Mas Wira tersenyum samar. Aku mencuci tanganku dengan cepat. “Kamu nggak pernah diajarin cara cuci tangan yang benar, ya?” komentar Mas Wira. “Kalah sama anak SD.”
Aku menoleh dan mendelik ke arah Mas Wira. “Emangnya cara cuci tangan aku salah?” tanyaku sambil berkacak pinggang.
“Salah.” jawab Mas Wira pendek. “Nih, perhatiin cara cuci tangan yang benar itu gimana.”
Mas Wira mempraktekkan dan memperlihatkan kepadaku. Aku memperhatikan Mas Wira dengan ekspresi muka datar. “Kalau cuci tangan asal-asalan, nanti banyak kuman atau virus yang masih menempel di tangan kamu.”
“Iya, siap Mas.” jawabku tak mau berdebat, takut entar malah didamprat.
“Sana cuci tangan ulang!” perintahnya dengan santai.
“Ih, nggak mau ah. Aku udah laper.” jawabku ogah-ogahan.
Mas Wira melotot mendengar jawabanku. Aku langsung dengan sigap cuci tangan ulang mengikuti ajaran dari Mas Wira barusan. Asli serem banget kalau Mas Wira udah melotot, berasa kayak mau nerkam.
“Anak pinter.” Mas Wira mengusap kepalaku, lalu pergi kembali ke meja makan.
Aku mengangkat tanganku seakan ingin memukulnya, Mas Wira berbalik, seakan tahu aku berniat buruk. Aku auto langsung menurunkan tanganku dan tersenyum manis ke arahnya.
***
Kali ini kami sedang jalan menuju pulang ke rumah Mas Wira. Aku benar-benar merasa kenyang. Yaiyalah, makanan sebanyak itu, gimana nggak begah rasanya perut.
“Gimana enak nggak?” tanya Mas Wira.
Aku mengangguk cepat. “Banget. Suka!!!” jawabku antusias. “Kapan-kapan ke situ lagi yuk, Mas.”
“Emang kamu bakal berapa lama di sini?” tanya Mas Wira membuatku tersentak.
Aku diam sejenak, bingung harus menjawab apa. Aku harus mengatakan apa pada Mas Wira, kalau kenyataannya saat ini aku sedang terjebak di masa depan. Mungkin saja dia nggak akan percaya dengan penjelasanku.
“Fita.” panggil Mas Wira membuyarkan lamunanku.
“Eh, iya Mas. Kenapa?” tanyaku.
“Kamu ngelamun, ya?”
“Eng… enggak Mas. Oh iya, Mas. Aku boleh tanya sesuatu nggak?”
“Boleh. Tanya aja.” jawab Mas Wira.
“Tadi pagi, Mas Wira ada nyinggung tentang ‘persit’. Mas tau kan apa itu persit?” tanyaku hati-hati.
“Iya, tau kok. Pendampingnya tentara. Kenapa memang?” Mas Wira mengernyitkan keningnya, terlihat dari kaca spion motor.
“Emangnya Mas seorang tentara?” tanyaku lagi berusaha memastikan. Mas Wira mengangguk. “What?” aku auto terkejut.
“Kenapa?"
“Tapi, kok Mas Wira kok kayak bukan tentara gitu, lho. Nggak songong yang memamerkan kalau Mas itu berseragam?”
Mas Wira tertawa renyah. “Lho, untuk apa dipamerkan? Lagian jabatan dan pekerjaan itu amanah dari Allah. Nggak ada profesi khusus yang spesial, sekalipun itu Presiden. Semua orang itu spesial, apa pun profesinya.”
Aku tercengang mendengar penuturan Mas Wira. Tanpa sadar bibirku berubah menjadi garis senyum yang tulus tergambar. Hatiku terasa berdesir, seakan-akan memberi kode bahwa aku mengagumi Mas Wira secara tak sadar.
“Kenapa? Kamu korban para abdi negara yang playboy ya?” ledek Mas Wira.
Aku memukul punggungnya. “Huh!” aku mendengus mendengar pertanyaan ledekan dari Mas Wira.
“Nggak semuanya brengsek, kok. Ingat, semua profesi punya peluang untuk menjadi brengsek. Brengsek atau tidak itu tergantung dari karakter pribadi seseorang, bukan karena profesinya.”
“Iya, Mas Wira. Awas lho ya kalau Mas Wira sok-sok jadi playboy.” ancamku.
“Pernah pacaran aja nggak. Gimana mau jadi playboy coba?”
“Jadi, Mas Wira beneran belum pernah pacaran?” teriakku seperti tak percaya.
Mas Wira mengangguk. “Nggak sempat. Soalnya sibuk.” jawab Mas Wira rada nyebelin.
“Dih, sok sibuk banget!” desisku sinis. Mas Wira tertawa mendengar sahutanku yang sinis.
***
Setelah sholat Maghrib, aku ke bawah. Kebetulan tadi Mama Mas Wira bilang kita bakal ada barbeque-an. Aku iseng langsung menuju dapur.
“Sayang Mama.” ujar Mas Wira sambil mencium pipi kanan mamanya.
Aku cengo sejenak melihat pemandangan yang ada di depanku. Mataku mengerjap-ngerjap, memastikan tidak salah lihat. Mas Wira mungkin sadar atas kehadiranku. Ia menoleh ke arahku. Dia agak sedikit terkejut, lalu memasang wajah stay cool lagi dan pergi meninggalkan Mamanya dan aku yang masih mematung.
“Eh, Fita. Sini, Nak.”
Aku langsung ngibrit ke arah Mama Mas Wira. Lalu, menoleh ke belakang, melihat Mas Wira yang sedang berjalan ke arah ruang tv.
“Jangan kaget ya, Nak. Wira emang kadang agak manja kalau sama mamanya.” bisik Mama Mas Wira.
Aku tertawa kecil. “Hehe… nggak kok, Ma.”
“Eh, ini bantu mama bawain daging ke taman depan rumah, ya.” pinta Mama Mas Wira.
Aku mengangguk dan segera membawa daging untuk barbeque-an keluarga malam ini. Alfa tiba-tiba muncul. “Mama… ada yang bisa Mas Alfa bantuin nggak?” tanya Alfa dengan suara nyablaknya. “Eh, ada Fita imut.”
Aku tersenyum merespon sapaan Alfa. Aku langsung menuju taman. Lalu, meletakkan daging di atas meja yang telah disediakan Mama Mas Wira. “Fita, tungguin dong!” teriak Alfa. Ia mempercepat langkahnya. “Barengan aja ke dapurnya.”
“Ayo! Nanti aku tinggalin nih.” godaku. Alfa meletakkan wadah jus jeruk yang terisi di atas meja. “Berat?” tanyaku basa-basi.
Alfa menggeleng cepat. “Nggak kok. Ringan banget! Aku kan kuat. Apalagi ngegendong kamu.”
Aku tertawa renyah mendengar kata-kata Alfa. “Apaan sih, Mas Alfa.”
“Eh, serius lho. Aku gendong sekarang mau?” tawar Alfa sedikit maksa.
“Ih, nggak mau.” Aku berlari menjauhi Alfa. Ia justru mengejarku. “Nggak mau!” kataku sambil tertawa. Aku menoleh ke arah belakang memastikan Alfa tidak bisa menangkapku paksa.
‘Bruk!’
***
Tanpa sengaja aku menabrak seseorang, lalu jatuh terpental ke bawah, orang yang tabrakan denganku malah nggak kenapa-napa. Masih berdiri dengan kokoh. Aku mendongak, ternyata aku menabrak Hafiz. Alfa langsung menghampiri dan membantu berdiri. “Ada yang luka nggak?” tanyanya panik. Aku menggeleng. Wajah Hafiz langsung berubah khawatir juga. “Maafin aku, Fita. Kamu nggakpapa kan?” tanya Hafiz sambil memegang wajahku. Alfa menepis tangan Hafiz. “Gimana sih? Kalau jalan pake mata dong, Fiz!” “Jalan pake kaki, kali.” debat Hafiz. Aduh, mulai deh pertemanan seperti Tom and Jerry muncul lagi. Entah apa yang membuat mereka bisa berteman, tapi selalu berantem. Pertemanan yang aneh
Malam ini kebetulan Mas Wira sedang berbaik hati mau mengajak Alfa dan Hafiz untuk ikut jalan bareng. Ia menepati janjinya waktu itu, mengajakku jalan ke Alun-alun Kidul Jogja. Aku tentunya duduk di kursi depan, mau tidak mau seperti itu biar Mas Wira nggak menunjukkan wajah masamnya. Alfa sudah santai-santai saja dengan Mas-nya, seakan tidak terjadi apa-apa. Memang anaknya terlalu santai. Ia duduk dengan tenang di kursi belakang. Hafiz memandangku sesekali, sepertinya dia memang masih menunggu jawabanku. Aku pun masih bingung hatiku ini untuk siapa. “Nanti kita makan gudeg, yuk.” Alfa akhirnya bersuara. Aku menggelengkan kepalaku. “Nggak mau ah. Fita maunya makanan yang pedas.”&n
Efni terburu-buru membuka pintu kos, saat tiba-tiba terdengar suara ketukan. Ia mengernyitkan keningnya setelah melihat siapa yang datang. Ia sama sekali tidak mengenali laki-laki tersebut. Kulitnya sedikit gelap, badannya proporsional, nggak terlalu kurus maupun gemuk dan tingginya semampai. “Maaf, cari siapa ya?” “Hmmm… Fitanya ada?” tanya-nya. Efni baru sadar bahwa dia sedang di kos-an Fita. “Fita? Oh… dia ke kos Ria.” “Oke. Makasih.” jawab laki-laki itu tanpa basa-basi. Dia pergi begitu saja menuju mobilnya. Lalu
Baya memutuskan hubungan kami dua hari sebelum hari raya idul fitri. Aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta di hari ketiga lebaran. Selain memang aku harus masuk kantor untuk keperluan magang, aku juga sudah tidak tahan berada di kampung halamanku. Setiap sudut tempat selalu ada kenangan yang menghantui.“Fit, lu mau makan apa? Biar gue beliin.” “Nggak tau.” jawabku sambil menggeleng lemah. Ria berpikir sejenak. “Mau mie ayam?” Aku menggeleng. “Bakso mau? Atau mau nasi padang?” Ria masih sibuk menawarkan. “Nggak selera, Ri.” jawabku dengan wajah muram.
Setelah sholat subuh aku berinisiatif untuk turun, siapa tau bisa bantu-bantu Mama Mas Wira untuk masak atau apa pun. Saat aku turun dari tangga, Mas Wira, Alfa dan Papanya pulang dari masjid sepertinya. Mas Wira mengenakan sarung dan baju koko warna putih. Entah mengapa ia kelihatan makin manis jadinya. Aku melempar senyum ke arah Mas Wira, tapi dia justru memasang muka datar saja meresponku. Nyebelin banget! “Pagi Fita!” sapa Alfa dengan senyumnya yang lebar. Aku kaget melihat tingkah Alfa yang tak terduga. “Pagi juga.” “Mau kemana nih?” tanyanya sambil mendekatiku. 
Aku langsung berdiri kembali setelah terhuyung dan ditangkap oleh Mas Wira. Sebisa mungkin aku melemparkan senyum ke arah Hafiz. Aku menyambut uluran tangan Hafiz. “Fita.” Setelahku, Mas Wira juga berjabat tangan dengan Hafiz. “Wira.” “Jangan kelamaan mandangin Fita, Fiz. Dia ini calon istrinya Mas Wira.” Alfa memperingati Hafiz. “Ntar naksir.” “Ayo siap-siap ke masjid.” seru Papa Mas Wira tiba-tiba. Otomatis kami semua menoleh. Aku berpamitan untuk naik ke atas, lalu memutuskan untuk mandi. Tiba-tiba kamarku diketok. “Mbak Fita.” panggil Icha.
Setelah sarapan pagi, Mas Wira langsung beranjak ke kamarnya. Aku menarik tangannya, menahan langkah Mas Wira. “Mas, kita ke museum cokelat yuk.” Baru saja Mas Wira membuka mulutnya untuk menjawab ajakanku. Papa Mas Wira tiba-tiba nyeletuk dari belakang kami. “Setujui aja maunya Fita, Mas. Sekalian kan jalan-jalan.” Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Tumben-tumbenan Papa Mas Wira bersuara, biasanya diem-diem bae kayak lagi sakit gigi. Ini lagi nggak berhalusinasi, kan? Mas Wira menatapku dengan tatapan pasrah. “Iya, Pa.” jawabnya singkat banget. Walaupun singkat, nggak bisa dipungkiri sih aku langsung tersenyum senang. Aku otomatis beryeay ria. “Hafiz i
Malam ini kebetulan Mas Wira sedang berbaik hati mau mengajak Alfa dan Hafiz untuk ikut jalan bareng. Ia menepati janjinya waktu itu, mengajakku jalan ke Alun-alun Kidul Jogja. Aku tentunya duduk di kursi depan, mau tidak mau seperti itu biar Mas Wira nggak menunjukkan wajah masamnya. Alfa sudah santai-santai saja dengan Mas-nya, seakan tidak terjadi apa-apa. Memang anaknya terlalu santai. Ia duduk dengan tenang di kursi belakang. Hafiz memandangku sesekali, sepertinya dia memang masih menunggu jawabanku. Aku pun masih bingung hatiku ini untuk siapa. “Nanti kita makan gudeg, yuk.” Alfa akhirnya bersuara. Aku menggelengkan kepalaku. “Nggak mau ah. Fita maunya makanan yang pedas.”&n
Tanpa sengaja aku menabrak seseorang, lalu jatuh terpental ke bawah, orang yang tabrakan denganku malah nggak kenapa-napa. Masih berdiri dengan kokoh. Aku mendongak, ternyata aku menabrak Hafiz. Alfa langsung menghampiri dan membantu berdiri. “Ada yang luka nggak?” tanyanya panik. Aku menggeleng. Wajah Hafiz langsung berubah khawatir juga. “Maafin aku, Fita. Kamu nggakpapa kan?” tanya Hafiz sambil memegang wajahku. Alfa menepis tangan Hafiz. “Gimana sih? Kalau jalan pake mata dong, Fiz!” “Jalan pake kaki, kali.” debat Hafiz. Aduh, mulai deh pertemanan seperti Tom and Jerry muncul lagi. Entah apa yang membuat mereka bisa berteman, tapi selalu berantem. Pertemanan yang aneh
“Siap, Ndan.” ujar Alfa. Ia menutup telepon, lalu duduk di kursi taman. Aku menghampiri Alfa. “Nelpon siapa?” tanyaku sambil duduk di kursi sebelah Alfa. “Komandan.” jawab Alfa singkat. Tumben banget. “Mas Alfa polisi juga kayak Kak Hafiz?” Alfa memicingkan matanya. “Kok kamu tau si Hafiz itu polisi?” tanya Alfa curiga. Aku terkesiap. ‘Aduh, mampus! Masa aku jawab kalau aku emang udah ngestalk Kak Hafiz dari dulu’, gumamku dalam hati. “Em…. Nebak aja sih.” jawabku asal.&nb
Setelah sarapan pagi, Mas Wira langsung beranjak ke kamarnya. Aku menarik tangannya, menahan langkah Mas Wira. “Mas, kita ke museum cokelat yuk.” Baru saja Mas Wira membuka mulutnya untuk menjawab ajakanku. Papa Mas Wira tiba-tiba nyeletuk dari belakang kami. “Setujui aja maunya Fita, Mas. Sekalian kan jalan-jalan.” Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Tumben-tumbenan Papa Mas Wira bersuara, biasanya diem-diem bae kayak lagi sakit gigi. Ini lagi nggak berhalusinasi, kan? Mas Wira menatapku dengan tatapan pasrah. “Iya, Pa.” jawabnya singkat banget. Walaupun singkat, nggak bisa dipungkiri sih aku langsung tersenyum senang. Aku otomatis beryeay ria. “Hafiz i
Aku langsung berdiri kembali setelah terhuyung dan ditangkap oleh Mas Wira. Sebisa mungkin aku melemparkan senyum ke arah Hafiz. Aku menyambut uluran tangan Hafiz. “Fita.” Setelahku, Mas Wira juga berjabat tangan dengan Hafiz. “Wira.” “Jangan kelamaan mandangin Fita, Fiz. Dia ini calon istrinya Mas Wira.” Alfa memperingati Hafiz. “Ntar naksir.” “Ayo siap-siap ke masjid.” seru Papa Mas Wira tiba-tiba. Otomatis kami semua menoleh. Aku berpamitan untuk naik ke atas, lalu memutuskan untuk mandi. Tiba-tiba kamarku diketok. “Mbak Fita.” panggil Icha.
Setelah sholat subuh aku berinisiatif untuk turun, siapa tau bisa bantu-bantu Mama Mas Wira untuk masak atau apa pun. Saat aku turun dari tangga, Mas Wira, Alfa dan Papanya pulang dari masjid sepertinya. Mas Wira mengenakan sarung dan baju koko warna putih. Entah mengapa ia kelihatan makin manis jadinya. Aku melempar senyum ke arah Mas Wira, tapi dia justru memasang muka datar saja meresponku. Nyebelin banget! “Pagi Fita!” sapa Alfa dengan senyumnya yang lebar. Aku kaget melihat tingkah Alfa yang tak terduga. “Pagi juga.” “Mau kemana nih?” tanyanya sambil mendekatiku. 
Baya memutuskan hubungan kami dua hari sebelum hari raya idul fitri. Aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta di hari ketiga lebaran. Selain memang aku harus masuk kantor untuk keperluan magang, aku juga sudah tidak tahan berada di kampung halamanku. Setiap sudut tempat selalu ada kenangan yang menghantui.“Fit, lu mau makan apa? Biar gue beliin.” “Nggak tau.” jawabku sambil menggeleng lemah. Ria berpikir sejenak. “Mau mie ayam?” Aku menggeleng. “Bakso mau? Atau mau nasi padang?” Ria masih sibuk menawarkan. “Nggak selera, Ri.” jawabku dengan wajah muram.
Efni terburu-buru membuka pintu kos, saat tiba-tiba terdengar suara ketukan. Ia mengernyitkan keningnya setelah melihat siapa yang datang. Ia sama sekali tidak mengenali laki-laki tersebut. Kulitnya sedikit gelap, badannya proporsional, nggak terlalu kurus maupun gemuk dan tingginya semampai. “Maaf, cari siapa ya?” “Hmmm… Fitanya ada?” tanya-nya. Efni baru sadar bahwa dia sedang di kos-an Fita. “Fita? Oh… dia ke kos Ria.” “Oke. Makasih.” jawab laki-laki itu tanpa basa-basi. Dia pergi begitu saja menuju mobilnya. Lalu