"Gue, enggak butuh bantuan lo."
Suara dingin itu terdengar menggema diantara keheningan, dan menusuk hati Dona yang sepi.
Dona tidak pernah berharap ucapan terimakasih dari Fairel, tetapi ucapan dia tadi sungguh menyakiti hatinya.
Dona tahu, sekarang ia bukanlah siapa-siapa lagi bagi Fairel. Hanya saja ... melihatnya kalut seperti itu sama saja dengan musuh.
Walaupun saling jauh, Dona tidak ingin bermusuhan. Jika bisa, Dona berharap Fairel akan menang perlombaan hari ini dan mendapatkan hadiah yang layak.
"Waktu gue nggak banyak. Kenapa lo buang-buang waktu gue gini dengan meluk? Lo pikir, gue bakal seneng gitu?" Fairel terkekeh kecil, kekehan yang terdengar sangat sinis dan tajam mengalahkan silet.
Dona harus tahu diri. Dari dua kalimat yang dilontarkan Fairel, ia menyimpulkan hal seperti itu, bahwa Dona tidak tahu diri.
"Atau lo mau gue memberi tahu semua orang, kalau kemenangan Fairel itu ada campur tangan Dona-nya!"
Cukup,
Dona memegangi dadanya sebelah kiri sedari tadi. Ia tengah merasakan jantungnya yang berdegup sangat kencang. Dona sudah mendapatkan hasil tes DNAnya. Sekarang, ia berada di dalam mobil. Hasil tes itu tergeletak di samping Dona, tepatnya di kursi kemudi. Dona ingin segera membukanya, tetapi ia takut hasilnya tidak sesuai ekspektasi. Dona tidak ingin membuka hasil tes ini sendirian. Sebenarnya, ia memiliki rencana untuk membuka hasil tesnya bersama dengan Meta. Hanya saja, dia pasti sedang sibuk merayakan kemenangan Fairel. Dona bisa pastikan, kalau Fairel bakalan menang hari ini. Dia akan mendapatkan hadiah sebagai juara satu. Dona tinggal menunggu kabar saja. Benar, selang sepuluh menit. Tubuh Dona terperanjat kaget ketika ponselnya berdering nyaring di dashboard. Dona segera mengambil ponsel tersebut, kemudian menekan tombol hijau dan menekan tombol pengeras suara. "Na? Lo di mana?" Itu Meta. Gadis itu panjang umurnya,
"Yaudah, gue pulang yah." Setelah menyadari, kalau langit telah berubah gelap. Dona bergegas untuk pulang. Perutnya sudah dijamu dan kenyang oleh pemilik rumah. Seperti biasa, selain ibunya, Meta membeli banyak makanan lewat online untuk mengisi perut yang keroncongan. Meta menghabiskan kurang lebih dua ratus ribu rupiah untuk sepuluh jenis makanan, dan semua itu sudah habis tak tersisa. Meta bahkan sampai tidak kuat berdiri. "Yaudah sana. Gue nggak bisa nganter. Perut gue megah banget." Ingin tertawa, tetapi Dona takut suara tawanya itu menjadi hal yang menyakitkan bagi Meta. Ia mengangguk sembari menggendong kembali ranselnya,"Yaudah, gue pulang dulu. Jangan lupa, kasihin surat itu hari ini juga." Meta hanya membentuk kedua jarinya seraya 'oke'. Ia bahkan tidak kuat untuk berbicara lagi. Diperkirakan, Meta akan memberitahu ayahnya Fairel malam ini. Dona bergegas pulang sendirian. Ia seperti tamu yang tak d
"Apaan sih?" Bukan marah, Meta malah tertawa terbahak-bahak melihat penampilan Fairel yang tidak seperti biasanya. Pria itu mengenakan samping kakeknya yang sudah puluhan tahun menganggur di bawah lemari. "Anjir, tumben-tumbenan lo pake sarung kakek lo? Habis ngapain?" tanya Meta heran. Ia bahkan mengecek dahi sahabatnya itu untuk mengetahui apakah dia sakit atau tidak. "Selimut gue robek." Fairel menjawab dengan suara sedih. "Kok bisa?" Fairel mengangkat bahunya,"Gue juga nggak tahu. Pas gue bangun, udah robek aja." Meta ngakak, ia menggeplak kepala Fairel guyon."Mangkanya, tidur tuh yang bener." Meta beralih menggenggam tangan Fairel,"Dah yok, ikut gue." Fairel gelagapan. Sarungnya melorot karena terus ditarik oleh Meta. Untung saja ia masih mengenakan pakaian yang lengkap."Mau ke mana?" "Mau bertemu kebahagiaan." Fairel terdiam. Ia tidak paham soal bertemu kebahagiaan yang diun
"Ayah, ngirim surat undangan itu ke rumah kita?" Tidak seperti biasanya, setelah bercerai dengan Dion. Dona tampak membenci ayahnya sendiri. Setiap kita sebagai keluarga menyebutkan nama Dion, Dona selalu berusaha bersikap masa bodo dan tidak mau dengar. "Bukan, ini dari temennya Kak Wima." "Iya, ayah nitipin kan lewat dia?" "Kenapa kamu sewot sih Dek?" Dona langsung terdiam mendengar bentakan kakaknya,"Kenapa ribet banget. Kita nggak usah datang. Udah gitu aja." Aliya-pun ikut mengambil jalan terbaik dengan merobek surat undangan itu menjadi serpihan kecil dan langsung ia buang ke tempat sampah. Semua kenangan tentang Dion harus Aliya buang jauh-jauh. Dion hanya menjadi bumerang saja dalam keluarga. Walau begitu, Aliya masih bisa melihat sikap baik Dion dengan melihat anak-anaknya yang sekarang tumbuh dewasa. Dona memilih pergi ke kamarnya. Ia perlu merapikan kamarnya dan membentang karpet karena kemungkinan Aliya belum se
Ketiga orang itu heboh. Di dalam stadion, Meta, Nea, dan Dona terus meneriaki nama Gero hingga mengalahkan lolongan suara suporter tim sebelah. Meta, Nea dan Dona datang ke stadion perlombaan basket dengan penampilan yang urakan. Mereka mampir ke toko Nea untuk membeli ikat rambut yang penuh dengan rumbai-rumbai dari tali rafia serta bola-bola kecil yang terbuat dari bahan yang sama. Mereka juga memiliki terompet yang cukup besar suaranya, sesekali Meta meniup terompet tersebut, membuat Nea dan Dona menjauh, begitu juga penonton yang duduk di depannya. Bahkan ada yang sampai mengomeli Meta. Ketiganya itu malah tertawa menanggapi kalimat sinis dari kursi penonton di depannya. "Udah, udah. Jangan ditiup lagi Met. Bisa-bisa, bukannya pertandingan basket malah jadi arena tawuran gara-gara lo." Meta angkat tangan. Benar juga kata Dona, bisa jadi Meta jadi sasaran empuk para wanita yang tengah menyoraki idolanya. Meta yang ringkih itu bisa sekali tendang da
"Kenapa lo lari?" Meta berhasil menyusul Dona. Gadis itu menangis di setiap larinya. "Terus gue harus gimana? Gue nggak mau ketemu sama orang yang benci sama gue." Guratan amarah terlihat dari setiap ekspresi Dona. Meta tahu, sahabatnya itu tengah frustasi dengan semuanya. Ketika ingin menghindar, Dona malah bertemu dengannya. "Gue yakin, Fairel nggak benci sama lo." Dona ingin percaya, namun ia menyadari kalau kalimat itu adalah kebohongan. Kalimat yang hanya digunakan untuk menenangkan hati dan pikiran. Dona menatap ke jalan raya yang lumayan lengang,"Gue cuman pengen denger hal itu dari mulut Fairel sendiri. Tapi gue yakin, itu nggak mungkin." Dona menghela nafas dengan gusar. Kalau boleh jujur, Dona sebenarnya masih mencintai Fairel. Dona rela melakukan apapun demi Fairel. Tetapi, jika pria itu menolak semua hal tentang Dona, ia tidak punya pilihan. "Gue mau sembunyi di sana, kalau lo masih peduli sama gue. Bila
Dona membuka kedua matanya. Cahaya dari sinar matahari membuat pandangannya menjadi silau. Dona meringis, ia memalingkan wajahnya agar tidak terkena silau matahari. Hanya saja, ketika hendak berpindah, seseorang berdiri di hadapan Dona, menghalangi matahari yang menyinari ruangan. Pelan-pelan, Dona menatap tubuh itu dari bawah sampai ke atas. Ia sampai memekik ketidak menyadari bahwa ada Fairel di kamarnya. Dona beringsut mundur, hingga punggungnya terantuk papan ranjang dengan menarik selimut sampai menutupi dadanya. "Lo ... lo ngapain di sini?" tanya Dona gugup. Masalahnya, ia tengah berpikir yang tidak-tidak. "Anggap aja pelukan kemarin itu nggak pernah terjadi." Dona memutar bola matanya jengah. Hatinya bertanya-tanya, tentang kemarin. Memangnya apa yang terjadi? Dona melepaskan selimut yang menutupi dadanya. Ia memandangi bajunya yang berganti, dan kembali memekik sembari memelotot ke arah Fairel. "Apa yang lo laku
"Ngapain Dona di sini?" Setelah duduk, Fairel diam-diam berbisik ke telinga Meta ketika dirinya berhasil mencuri waktu. Fairel tidak bisa bergerak, posisi duduknya dihimpit oleh dua wanita yang sedang memiliki masalah dengannya. Untuk bernafas saja, dirinya jadi kikuk tidak karuan. Apalagi, ketika Meta menjawab dengan gelengan acuh, membuat semuanya hancur. Fairel tidak mungkin mengusir Dona. Ia tidak sejahat itu dalam memperlakukan manusia. Walaupun dulu kata-katanya menyakitkan, tidak sampai mengusir juga. Fairel memilih menelungkupkan kepalanya diantara tumpukan tangan yang dilipat di atas meja. Memandangi dua wanita di sampingnya secara bergantian, membuat kepalanya berdenyut. Fairel tidak akan merubah posisinya sampai jam kuliah selesai. Meta dan Dona saling tukar pandang. Mereka berdua tengah menahan tawa melihat Fairel yang gelisah dan tidak mau diam. Dalam posisinya tadi, tangan Fairel terus bergerak. Entah meny