Bara berhenti tepat di sebuah pintu berwarna merah. Suara seseorang yang ia kenal berada di ruangan tersebut. "Suara ini milik ...." Bara menajamkan telinganya agar tahu siapa pemilik suara tersebut. "Cari tumbal lagi yang masih perawan. Noda darahnya akan membuat kekuatan kita semakin kuat dan tak terkalahkan." Suara laki-laki berada di dalam ruangan itu. Ucapannya begitu kencang dan lantang. Bara diam sejenak. Suara laki-laki dibalik pintu sepertinya ia kenali. Tapi siapa. Bara memejamkan kedua mata dan telinga tak menemukan jawaban. Mengapa sulit sekali menembus rumah ini dengan kekutan yang dimiliki. Ada apa sebenarnya, kalung yang ia kenakan selalu menyala terang. Bara tak tahu apa yang ada di lehernya saat ini. Misteri tersembunyi di dalam kalung tersebut. Ketika permata itu menyala, rasa panas menjalar ke seluruh aliran darah. Apakah kekuatan Bara melemah atau kekuatan mereka terlalu kuat hingga dirinya tak bisa menembus misteri ini. Tangan kekar Bara hendak membuka pin
Di dalam ruangan pintu merah, seorang gadis berseragam putih abu-abu terlentang di atas meja dengan alas merah. Beberapa makanan, minuman dan kembang tujuh rupa berada di tampah kecil. Bau menyan dan arang menyebar ke segala penjuru ruangan. Benda pusaka berada di dekat kepala gadis itu. Ia menangis histeris ketika pakaian di robek paksa. Bagian dalam terlihat menonjol dan dapat membangkitkan keinginan tersembunyi di dalam diri laki-laki.Pria berjas berusia tiga puluh tahun berada di depannya, menatap penuh hasrat. Menyentuh bagian tersebut hingga sang pemilik mencoba berteriak akan tetapi mulutnya masih tertutup kain. Mereka yang menyaksikan kejadian itu menatap tajam gadis yang akan menjadi tumbal. Mengelilingi kedua insan membentuk sebuah lingkaran. "Baca mantramu Darso," ucap Nyai. Mulutnya komat-kamit membaca mantra untuk mendatangkan makhluk itu. Darso membaca mantra, tangannya sibuk menjamah agar makhluk yang dipanggilnya segera datang. Gadis di atas meja hanya bisa mena
Suasana malam ini begitu mencengkam. Tak ada warga yang keluar pada jam delapan malam. Fika berjalan mengenakan jaket sweeter coklat. Menutup semua tubuh dari hembusan angin kencang. Berkali-kali gadis itu menoleh ke arah belakang. Seperti ada yang mengikuti. Langkah kakinya ia perlambat, mereka pun melambat. Langkah kaki Fika cepat. Mereka juga tak kalah cepat. Fika bermaksud untuk mencari makan malam. Di kontrakannya tak ada kompor. Ia mengandalkan makanan dari luar saja. Fika melangkah sedikit berlari tatapan matanya mengarah ke belakang, dua orang berpakaian serba hitam mengikutinya dari belakang. Bugh! Kaki yang tertutup sandal bermerek burung terbang menyentuh batu besar dan terbentur cukup keras. Hingga tubuh ramping Fika terjatuh ke atas tanah. Gadis itu hendak berdiri tetapi pria berpakaian serba hitam sudah berada di dekatnya. "Siapa kalian?" teriaknya. Wajahnya pucat tubuhnya bergetar. Kedua mata mencari sosok yang dapat membantunya. "Nanti juga kamu tahu." Mereka
Salah satu tangan kekar pria yang telah kerasukan makhluk kasat mata menarik pakaian Fika kasar. Kedua mata Fika tertutup rapat. Ia masih tak sadarkan diri. Kedua mata makhluk itu membulat tak percaya. Cahaya keluar dari tubuh gadis itu. Cahaya menyilaukan mata, hati dan tubuh. "Argh! Panas!" Menutup kedua mata dengan tangannya. Suara pria itu nyaring dan mengema. Semua pemuja ritual berada ruang ritual dengan hordeng hijau terkejut seketika. Membuka mata mereka dan menghindari amukan. "Apa yang terjadi?" Argh! Makhluk itu keluar dari tubuh pria yang menjadi tempat tinggalnya. Sosok tubuh makhluk tak kasat mata sungguh menyeramkan. Kedua mata berwarna merah, tanduk di kepala, rambut panjang dan hitam pekat, tubuhnya setinggi dua meter, badannya besar dengan berat dua ratus kilogram. Ia hanya mengenakan celana saja menutupi bagian bawah, semua tubuh berwarna hijau. "Argh!" Ia kepanasan ketika sinar di tubuh Fika menyinari ruangan tersebut. Sinar yang semakin merambat dan meramb
Kini, Bara berhadapan dengan Nyai dan Tuannya. Mereka berdiri berdampingan menantang Bara. Bulan tepat di atas kepala Bara. Bintang tak berani menampakkan cahayanya. Senyum Bara dan tatapan tajam bagaikan belati tak membuat nyali wanita tua berkebaya hijau mundur. "Dasar pengacau! Kami akan menghancurkan kamu!" Nyai menatap tajam Bara. Begitu juga makhluk setinggi dua meter. Mereka memliki dendam dan kebencian luar biasa."Argh!" Makhluk bertubuh hijau berteriak dan menatap wajah Bara. Ia tak sabar untuk memusnahkan Bara yang telah menghancurkan rumah ritual mereka. Rumah yang berpuluh-puluh tahun berdiri kini musnah dilahap si jago merah ciptaan Bara. "Serang!" teriak Nyai. Menunjuk ke arah Bara. Nyai lupa kalau tak ada anak buahnya yang masih hidup. Mereka telah mati di lahap api dengan napas yang masih berlangsung. Nyai melemparkan cahaya merah ke arah Bara. Ia menghindari serangan tersebut dengan tubuh gesit. Makhluk bertubuh besar dan hijau mengeluarkan kekuatannya juga hing
Suara sirine pemadam kebakaran terdengar, ketika matahari hendak terbit. Para warga berkumpul di rumah tersebut melihat penampakan rumah yang kini menjadi arang. Asap mengepul berkumpul dan menghilang terbawa angin. Tetesan hujan turun perlahan. Awan mulai menghitam. Cahaya matahari belum terlihat seluruhnya. Para warga menarik napas lega, tak ada lagi ancaman bagi para warga. Saling berpelukan dan meneteskan air mata kebahagiaan. Tiba-tiba saja hujan menguyur kampung itu. Beberapa orang mencari tempat berteduh, ada yang segera pulang ke rumah, ada juga yang masih berdiri menatap rumah tak terbentuk itu. Bara menikmati sarapan pagi, membeli nasi uduk di luar gang. Fika menyiapkan semuanya. "Mulai besok aku akan tinggal di kontrakan samping." Fika menghentikan tangannya yang hendak mengambil nasi uduk di atas piring dekat Bara. Ia juga memberikan air teh manis untuk Bara. "Kenapa tak di sini?" "Kamu tahu kita ini bukan pasangan halal. Nanti, malah di kira kumpul kebo." Bara te
"Di mana aku?" Bara mendekati makhluk berwajah setengah manusia dan hewan yang masih merintih kesakitan. Nampak noda merah berceceran di lantai. "Apakah telah terjadi peperangan?" Semua darah mengalir di atas tanah, menodai warna coklat. Seketika, kabut hitam menghilang perlahan. Bara melihat tanah seperti lautan makhluk tak berdaya yang tergeletak di atas tanah. "Ya Tuhan. Semua ini mayat." "Tolong ... Tolong!" Salah satu mereka merintih dan mengiba. Bagian perut keluar cairan merah sedikit hitam. Goresan terlihat menganga. "Bara menarik makhluk itu dari teman-temannya yang tak bernyawa. Tubuhnya tertindih beberapa makhluk lain. "Apa yang terjadi?" Bara berhasil menarik tubuhnya. Menjauhi mayat lain. "To-tolong! Istri dan anak saya," ungkapnya mengiba. Ia meringis berkali-kali. "Ke mana mereka?" "Me-mereka bu-bukit Nya- nyawang." Tak lama kemudian, tubuh makhluk itu terkulai lemas dengan bola mata membulat. Bara menguncang tubuhnya. Tak ada respon apapun, makhluk itu telah
Srek! Srek! Suara di balik semak dekat air terjun menjadi perhatian Bara, memberanikan diri untuk mendekati rumput tersebut. Rumput hijau nan lebat dan tinggi. "Siapa?" tanya Bara waspada. Kakinya terus melangkah perlahan.Semakin dekat langkahnya, semakin terlihat tubuh di balik semak-semak. Bara melihat pakaian yang dikenakannya. Putih seputih kapas. Hingga sesuatu muncul tanpa aba-aba atau tanpa izin membuat Bara terjatuh dan menahan serangan dadakan. "Gerrr." Bara mengangkat tubuh mungil makhluk yang berada di semak-semak. Wajahnya bukan seperti Kadet. Melainkan manusia seutuhnya. "Lepas! Lepaskan!" Tubuhnya memberontak. Kaki mungilnya menendang Bara. Kedua mata membulat sempurna."Sedang apa kamu di semak-semak?" Bara belum melepaskan tangannya dari tubuh mungil. "Kalian jahat! Telah membunuh ayahku!" makinya dengan berani dan lantang. Bara meletakkan tubuh bocah laki-laki berumur enam tahun ke atas tanah. Wajahnya sangat tampan dan rupawan. Kulitnya bersih seperti kapa
Fika menatap Bara dengan kebimbangan, ia terus menatap pemuda yang sedang merapikan pakaiannya. "Jangan di tatap terus, Kakak tahu kalau ganteng.""Eh, pede banget." Fika menjulurkan lidahnya ke arah Bara. pemuda yang sibuk memilih pakaiannya hanya terkekeh saja. "Kakak, kamu yakin mau kembali ke kampung. Memangnya Mak dan Abah sudah ketemu?" "Sudah, mereka baik-baik saja dan bahagia di sana." Bara mengulum senyum ketika melihat Abah dan Mak bahagia. "Kok gak ajak aku?" Fika mulai merajuk. Bara menoleh ke arah Fika yang semakin hari semakin cantik dan dewasa. umurnya sudah matang untuk berumah tangga. Bara mengusap lembut puncak kepala Fika."Abah dan emak sudah lihat kamu. Kamu juga jangan khawatirkan mereka. Berdoa untuk kesehatan mereka.""Apa jangan-jangan mereka sudah berada di kampung makanya kamu mau kembali ke sana?""Tidak ada. Mereka tak ada di sana. Apa kamu tak ingin pulang?"Wajah manis Fika menunduk lesu. Mengingat hal dulu membuatnya sakit hati. Kalau saja waktu i
Bara Seorang gadis berkemeja biru merah dengan logo di kantung depan, mengusap lembut tubuh pemuda yang kini terbaring di atas tempat tidur di dalam kamar. Tangan halusnya mengusap lembut kulit pemuda itu dengan tangkas. Perlahan memakaikan kembali pakaian yang baru untuk pria yang kini terbaring tak berdaya. Selang infus masuk dari pergelangan tangan kanan. Cairan itu yang masuk ke dalam tubuh sebagai sumber tenaga. kedua mata pemuda itu masih terpejam, entah sampai kapan mata elang akan terbuka kembali. Rasa rindu akan canda dan perhatiannya kian membuncah. Gadis berkuncir kuda tetap sabar menanti. "Sampai kapan kamu akan tertidur Kak Bara. Apakah kamu tak merindukanku. Bangunlah." Fika selalu menjaga dan merawat Bara yang sudah lima bulan tak sadarkan diri. Melalui infus, Bara mengomsumsi makanan. Setelah memastikan semua selesai, Fika merapikan peralatannya dan berpamitan. "Aku harus pergi. aku harus bekerja untuk biaya hidup kita." Fika mengusap lembut surai Bara. mengulum
Bara menghampiri dua raja yang memiliki dendam terselubung. Mereka bertaruh dengan ganas dan sadis tak memberikan ampun atau permohonan maaf. Hingga sang Raja Merah terhempas dari hadapan makhluk hijau. Kini, hanya Bara yang bisa melawan Raja Kijo.Langkah Bara pasti dan akan mengalahkan raja jahanam itu. Raja yang memiliki maksud busuk kepada manusia. Maka Bara mengorbankan diri untuk saudara-saudaranya di dua dunia. "Bocah tengil, Raja merah saja tak bisa melawanku. Kamu ingin ikut mati bersamanya, ah!" Raja Kijo tersenyum sinis menatap pemuda dihadapnya. "Kalau sudah takdirku kenapa tidak." Bara melompat dan menjulurkan kaki hingga menyentuh dada raja Kijo. Sang raja terhuyung ke belakang ketika mendapat tendangan dari Bara. "Kurang ajar!" teriak raja Kijo mengema hingga ke luar kerajaan. Para anak buah gusar mendapat teriakan dari sang Baginda raja. Raja Kijo bersiap menyerang dengan kekuatan ilmu dalam yang selama ini ia simpan untuk digunakan ketika menemukan musuh lebih
Napas Bara memburu, ia memilih menjauh. Gerak-gerik saat menghindari serangan adalah miliknya. "Sial, dari mana dia tahu gerakkan itu. Bagaimana aku bisa mengalahkannya?" geram Bara dalam hati. "Kenapa? Kamu tak bisa mengalahkan ku. Jangan harap kamu bisa!" Bara berpikir sejenak tetapi serangan tiba-tiba datang begitu cepat hingga bagian dada Bara terpukul keras, cairan merah keluar dari mulut pemuda itu. Bara terbatuk-batuk mengeluarkan cairan pekat. Raja Kijo tak memberikan ampun kepada pemuda itu. Ia melanjutkan penyerangan. Kedua kaki Bara tak berpijak. Tubuhnya melayang ke udara. "Ha ... ha ... Kekuatanmu tak sebanding denganku!" "Aku tak peduli kekuatanmu seberapa besar. Aku tak peduli berapa banyak jurusmu. Aku hanya ingin kamu musnah!" Bara melepaskan kalung merah yang melingkar di lehernya hingga dua orang muncul bersamaan menatap Raja Kijo. Mereka adalah ayah Bara dan Sang Raja yang telah hilang. Ternyata ia berada di kalung itu menunggu waktu yang tepat untuk menyer
Bara melanjutkan langkah hingga lantai yang ia pijak berubah, suasana menjadi mencekam. Sekeliling Bara berubah gelap. Hanya ada pepohonan menjulang tinggi dengan langit hitam. Tak ada bulan maupun bintang. Suara jangkrik atau kodok tak ada. Senyap dan sepi bagaikan di dalam kuburan. "Apakah aku telah kembali ke dunia nyata atau ini dunia Raja Kijo?" Monolognya dalam hati. Kaki Bara melangkah mencari jalan menuju cahaya. Tetapi, tak ada cela cahaya di sekitar ini. Suara apapun tak terdengar hingga kalung merah Bara berkelap-kelip menandakan bahaya mengintai. Bara menyentuh kalung itu saling berkomunikasi dengan penghuni kalung. Bara merasakan sesuatu mendekat sangat cepat seperti sebuah kilatan. Kedua kaki bersiap untuk menerima serangan tiba-tiba. Hingga cahaya menyerang Bara tetapi tak berwujud. Lengan Bara mengeluarkan cairan merah akibat goresan. Terasa nyeri dan perih. Bara mengindari kilatan itu agar tak terluka untuk kedua kali. Bara mengeluarkan tenaga dalam hingga diri
"Mati kau!" Suara tawa mengema di ruangan itu. Waktu yang tepat untuk menghentikan wanita berkebaya hijau. Jika ia bersuara lagi tubuh Bara bisa tak berdaya. Hingga kepala terasa berat seperti tertimpa batu besar. Bara berlari secepat kilat menghajar wanita berkebaya hijau dan menyerang sekali tebasan. Bara mengores bagian perut Nyai dengan senjata daun beracun miliki wanita itu. Bara berdiri di samping wanita itu dan menambah serangannya dengan cara mencari kelemahan Nyai. Sebuah tusuk konde berada di kepala wanita tua yang mengeram kesakitan akibat luka dari senjatanya sendiri. Teriakkan wanita tak memiliki hati mengema dan semakin kencang. "Argh ....!" Bara menjauhi wanita itu dan menatap detik-detik pertumbangan diri Nyai. Wanita yang memberikan jalan kepada Kijo ke dunia. Hingga para gadis kehilangan nyawa dan kehormatan yang harus dijaga sebelum menikah. Para ibu yang baru saja melahirkan kehilangan bayi mereka karena tubuh bayi tak berdosa menjadi santapan bagi Kijo. Banya
"Lebih baik kalian pergi. Biar aku yang hadapi." Bara tak ingin teman-temannya terluka. "Tidak, aku tak akan pergi. Mereka telah membunuh keluargaku. Aku akan melawan mereka sampai darah penghabisan." Kadet mengucapkannya lantang. Begitu juga Zamah menganggukkan kepala. "Aku juga tak akan mundur. Kita lakukan bersama." Zamah menatap kedua pemuda yang penuh keberanian. Hingga mereka mendorong kasar pagar tersebut. Seketika itu juga bola mata mereka membulat melihat segerombolan Kijo dihadapannya. "Serang!" teriak para Kijo. Seketika itu juga kalung merah menyala dan membunuh para Kijo yang hendak mendekati Bara. Tubuh mereka hancur dan berubah menjadi abu. Para Kijo yang menyadari kekuatan tak terkalahkan memilih mundur. Bara semakin melangkah kaki menyerang mereka dengan brutal begitu juga Kadek dan Zamah. Mengapa mereka tak membawa prajurit dari bangsanya. Karena sebagai prajurit mengalami luka parah. Lebih baik mereka saja bertiga menyerang bangsa Kijo yang selalu meresahkan.
Bab 55. "Abah katakan padaku. Aku tak mengerti semua ini." Bara meminta penjelasan yang sesungguhnya. "Wanita ini adalah ibumu Bara. Maaf kan kami telah merahasiakannya." Mak Djasiah terguguh. Ia takut kehilangan putranya. "Ibuku. Tapi, kenapa kalian di sini. Ini dunia bukan dunia kita.""Kami manusia hanya saja kami salah jalan hingga berakhir di sini." "Apa kalian telah berkerjasama dengan mereka, Abah?" Abah menganggukkan kepala dan suara isakan emak terdengar lebih keras. Abah memeluk tubuh rapuh istrinya. Mereka salah jalan dan beruntung masih bisa ada yang membantu. "Wanita ini adalah ibu kandungmu." "Mak, apa benar begitu?" Bara ingin tahu dari mulut wanita yang telah dianggap ibunya. "Iya, betul." Wanita berkebaya putih menatap penuh kerinduan sang buah hati. Putra yang ia jaga selama ini dari kejauhan. Bara menatap wanita yang tak terlihat tua. Tak ada goresan di wajah. Cahaya terlihat menyinari tubuhnya. "Anakku Bara." Ia mendekati Bara dan memeluk erat pemuda berw
Bab 54.Zamah menyusul Kadet, ia takut Kadet bertemu dengan Kijo. Bisa saja Kijo menyerangnya tiba-tiba. Zamah menaiki pohon lalu terbang dari satu pohon ke pohon lain. Tubuhnya terlihat ringan bagaikan kertas. "Siapa dia?" tanya Zamah ketika melihat Kadet membantu seorang wanita yang tak sadarkan diri. "Dia adalah kekasih adikku." "Astaga, bukannya dia berada di desa seberang. Apa jangan-jangan mereka juga menyerang desa seberang?""Bisa jadi. Lebih baik kita tanya saja setelah ia sadarkan diri." Zamah mengambil buah-buahan yang telah dipetik sedangkan Kadet mengendong tubuh wanita itu, Jinar. Mereka memberikan pertolongan kepada Jinar agar kembali siuman. Begitu juga Bara, mengunakan kekuatan kalung tersebut untuk menyembuhkan luka-luka di tubuhnya. Mereka beristirahat dekat pohon besar disekitar semak-semak. Para anak-anak menyantap makanan dengan lahap. Kedua bayi kembar tertidur lelap setelah menyusu ASI."Apa yang terjadi dengannya?" tanya Putra. "Kita tunggu saja setelah