Astaga, benar-benar laki-laki itu!
Enak saja main sabet! "Hei, itu punyaku!" Aku mengejarnya.
"Permisi." Mall ini sangat banyak pengunjung. Aku melewati rombongan Ibu-ibu berseragam yang kompak dengan kacamata hitam mereka. Salah satu dari mereka ada yang menatapku hingga menurunkan kacamata ke hidungnya. Oh, semoga saja ia bukan teman Ibu.
Aku mengedarkan pandangan. "Aish, kemana laki-laki itu?" Aku tak bisa menemukannya. Apa dia di lantai atas? Oh, jangan sampai ia keluar. Gelas-gelas unyu itu hanya milikku!
"Ah, di sana." Dia sedang bersama seorang wanita dengan anak perempuan digendongnya. Apa itu keluarganya? Masa bodoh dengan wajah tampannya itu, mengambil hak atas orang jomblo adalah sebuah kenistaan!
"HEII!!—"
Brukk!
"Aduuh." Aku menggigit bibirku menahan rasa perih di lengan karena menabrak troli. Kuharap lenganku tak berdarah.
"Heh, Neng!! Kalo jalan jangan main nyosor nabrak orang! Enak aja nabrak nggak liat-liat dulu kalo jalan. Liat tuh hp saya, jadi jatuh kan! Kalo jalan itu pake mata dong!"
Astaga, di mana mata Ibu-ibu ini? Jelas-jelas aku memperhatikan sekitar, termasuk dia yang asyik cekikikan dengan orang diteleponnya itu. Aku menghembuskan napas kasar. Astaghfirullah, sabarlah wahai Zafirah, jangan julid ke orang tua.
Dengan pelan aku berusaha bangkit dengan kami yang mulai menjadi pusat perhatian. Tentu saja karena suara Ibu itu yang terlalu keras. Sial.
"Maaf Bu, saya nggak sengaja," aku berucap pelan. Jangan pernah mencari masalah dengan orang tua, apalagi jika ia adalah ras terkuat di bumi. Setidaknya begitulah nasihat Karina. Ah benar, di mana manusia satu itu? Dan laki-laki itu apa dia sudah pergi?
"HEH! Ngeliat apa kamu?! Nggak sopan banget ngomong sama orang tua! Kamu nggak pernah diajar sopan sama Ibu Bapak kamu?! Gampang banget minta maaf. Itu Hp saya jatuh, SAYA MINTA GANTI RUGII!"
Aku tak akan keberatan jika harus mendapat semprotan atas kesalahan yang murni kulakukan. Tapi ... mengapa harus orangtua yang menjadi patokan atas kesalahan yang kulakukan sendiri? Kedua tanganku kukepal kuat. Bisik-bisik mulai mencemari telingaku.
Ibu-ibu yang umurnya kutaksir 40-an ini mendelik tajam padaku. Lipstik merah, dempulan bedak yang tebal, dengan alis menanjak memenuhi otakku.
Aku berjongkok mengambil handphone yang ditunjuk Ibu itu tadi. Dan kondisi Hp ini masih menyala. Layarnya pun baik-baik saja, nyaris hanya goresan-goresan kecil.
"Handphone-nya baik-baik aja, Bu. Tapi saya bakal tanggung jawab. Tolong jangan bawa-bawa nama orang tua saya."
"Halaah! ... Yaudah mana sini gantinya?!"
Aku menghela napas berat. "Untuk sekarang saya belum bisa ngasih. Saya kelupaan bawa uang, Ibu bisa mengirimkan nomor rekening, Bu. Lagian, saya nggak sepenuhnya salah, Bu," gumamku dengan suara kecil di akhir kalimat.
Dan Ibu itu malah berdecih. "Trus maksud kamu saya yang salah?! Saya udah paham modelan orang yang kek kamu! Kamu mau lari dari tanggung jawab kamu, 'kan? Kasih ke saya, nomor orang tua kamu itu, biar mereka yang ganti!"
Apa yang diharapkannya dari seorang Ayah yang terbaring di rumah sakit? Tidak-tidak! Aku mengusap bulir air di sudut mataku. Oh jangan menangis Zafir. Ayah tidak akan suka jika aku terlalu cengeng.
Apa yang harus kukatakan untuk membuat Ibu-ibu ini percaya?
"Saya memang nggak salah sepenuhnya, Bu. Ibu juga nggak ngeliat sekitar, Ibu yang asyik nelpon sampai nggak sadar nabrak saya."
"Enak aja! Heh, saya itu—"
"Bu, tolong jangan buat keributan di sini. Kenyamanan pembeli adalah prioritas kami. Dan yang lain, tolong jangan berkerumun. Mari kita selesaikan dengan kepala dingin," ucap seorang security Mall ini tiba-tiba menghentikan pertengkaran kami.
"Ini, sebagai ganti kerusakan Handphone Anda." Seseorang memberikan uang berwarna merah pada Ibu-ibu itu. Hei, apa yang dilakukan laki-laki yang tadi mengambil gelas-gelasku ini?
Tak ada hujan tak ada petir ia menyodorkan uang yang kutaksir sejumlah 500 ribu pada Ibu-ibu itu. Oh, no! Aku menggelengkan kepala. "Jangan, nggak usah. Ini urusan saya." Ibu itu lagi-lagi mendelik tajam padaku. "Apa?" ketusnya. "Ini baru bener. Makasih ya, Aa Tampan." Lihatlah mata Ibu-ibu itu, mirip lampu sen motor Mio asik berkedip-kedip. Dan benar saja, wanita itu langsung melongos pergi dengan mengibaskan rambutnya. Astaghfirullah, hari ini aku benar-benar julid.Atensiku kembali pada sosok laki-laki yang sampai sekarang tak kutahu namanya. Ia melangkah menuju kasir. "H–hei!"Benar saja, ia membawa semua barang pembelinya ke kasir. Jika dilihat dari belakang, outfit laki-laki yang umurnya 25-an ini layaknya orang Korea. Dan aku baru sadar, laki-laki ini begitu tinggi, mungkin 175 cm.Aku berdeham. Dan sekilas ia melirikku. "Eumm makasih, ya. Nanti uang kamu bakal saya ganti. Dan ... Oh, ini ...." Aku merogoh isi tas selempangku. Menyodorkannya buku note kecil beserta pulpen.
Aku berlari menyusuri lorong rumah sakit. Teriakan dari Karina yang berlari di belakangku tak acuhkan. Begitu mencapai pintu bercat coklat kamar di mana Ayah dirawat aku membuka pintu. Pemandangan pertama yang aku lihat adalah wajah Ayah yang balik menatapku sedang duduk di atas brangkar. Aku langsung berhambur ke pelukan Ayah, pria baruh paya yang telah berkepala lima. "Ayah, Ayah nggak papa, 'kan? Ayah udah sembuh? Mana yang sakit, Yah? Kasih tau Zafirah." Namun Ayah tak membalas pertanyaan, ia mengelap air mataku lalu mengusap pucuk hijab. Ayah mengembangkan senyum yang membuatku merasa semakin tak berguna. "Ayah nggak papa. Alhamdulilah Ayah udah sembuh. Emang kamu kenapa kek orang ditagih hutang gitu, Nak? " "Alhamdulillah. Hehee, nggak papa, Yah. Zafirah kira penyakit Ayah kambuh. Zafirah dapat kabar tentang Ayah." Aku mengelap air mataku, merasa kikuk. Syukurlah Ayah baik-baik saja. Ayah menderita penyakit maag yang belakangan ini sering kambuh. "Ooh. Kamu tau itu d
"Iya, Yah?""Jadi langsung saja, Nak Gerald ini sedang mencari calon istri. Ayah berniat menjodohkan kamu dengan dia, Ra. Kepribadian dan agama Nak Gerald baik dan insyaallah mampu membimbing kamu." "Bentar, Yah ... Ayah mau menjodohkan aku dengan laki-laki yang sama sekali nggak aku kenal?Aku menatap Gerald diam-diam yang mengalihkan pandangannya ke samping. Lihat, 'kan? Apa laki-laki ini terlalu pemalu? Tadi berperilaku menyebalkan! Aku tak bisa membayangkan terus-terusan membuka topik obrolan dengannya! Hembusan napas berat Ayah membuatku tersadar menatap kembali manik coklat yang mirip denganku itu. Awas saja, pokoknya aku tidak mau! Lagi pula aku masih ingin mempertahankan cintaku yang sudah 5 tahun aku jaga dengan penuh kasih sayang, seperti Malika, kedelai kecap Bango yang—"Zara, Ayah mengenal Gerald. Gerald ini anak teman Ayah. Ayah ngelakuin ini demi kebaikan kamu, Nak. Kalau bukan Gerald siapa lagi?" Revi, Yah. Aku mengepalkan kedua tanganku. Apa Ayah pikir pernikahan i
Sebenarnya aku merasa masih tidak mengerti dengan apa maksud perjodohan ini. Sekarang aku tengah menemani anak perempuan yang memanggil Gerald dengan sebutan Abi sedang menyantap es krimnya. Apa aku sudah termasuk perawan tua hingga harus menikah dengan seorang duda? Usiaku bahkan belum masuk 25. Hah! Apa aku bisa? Oh, memikirkannya saja membuatku hampir merana.Jangan tanyakan Karina, karena ia sedang ada acara keluarga dadakan. Ayah dan Ibu memaksaku mengajak anak Gerald ini untuk jalan-jalan. "Aunty, es krimnya tumpah." "Eh, astaga." Aku segera tersadar, benar saja es krim coklat meluber di tanganku. Aku terkekeh geli. Anak perempuan ini lucu sekali, caranya berbicara dengan sedikit cadel membuatnya tampak imut. Aku membersikan tanganku."Makasih, ya. Nama kamu siapa? Aunty pengen kenalan," ujarku, sembari mengulurkan tangan.Selang lima detik menghabiskan es krim nanasnya anak ini lalu mencium tanganku. Aku sedikit terkejut, tentu saja. Kupikir ia akan mengacuhkanku seperti di
Sejenak aku terdiam. Menatap mata polos yang rasanya menaruh harapan penuh. "Insyaallah iya Aunty mau," gumamku, aku bahkan tidak yakin dengan keputusanku. Bayangan Revi dan Bella yang berciuman di cafe masih terngiang di kepalaku. "Yeaayy!! Makasih, Aunty!" Aku tersenyum membalas pelukan Qonita. "Eh, Ummi maksudnya." Qonita tertawa ceria. Mendengar tawanya mirip seperti tokoh utama dari film kartun Marsha and the Bear."Qonita." Aku menoleh begitu mendengar suara yang kukenal. Deg."Eh, Uncle Epi!" Qonita berlari dan menghambur pelukan pada seseorang yang tadi kupikirkan. Mengapa dia bisa ada di sini? Di mana pacarnya? Rasa-rasanya aku ingin tertawa sumbang merutuki diriku sendiri.Sementara Gerald berjalan lebih di belakang Revi dengan kedua tangan di saku celana dan pandangan yang terkesan ... tak suka? Ah, lupakan. Tunggu, mereka saling kenal?"Eh, ponakan Uncle. Comot banget, ih. Makan es krim lagi, hm?"Qonita tertawa riang. "Iya, Uncle. Abi yang ngasih es krimnya, sekalian ju
"Mah, aku belum mau nikah. Kalo pun aku nikah, aku mau nikah sama orang yang aku cintai. Bukan lewat dijodohin kek gini, Ma." "Revi, Mama nggak akan nuntut kamu sampe begini kalo kamu nggak sama Rani. Dia bukan perempuan baik untuk kamu. Sadar! Buka mata dan pikiran kamu itu. Mama juga ngelakuin ini demi kebaikan kamu." Lelaki itu mengusap rambut hitamnya kasar. Emosi dan lelah yang ditahan di wajah laki-laki berkepala dua itu begitu kentara. Perdebatan antara anak dan orang tua perihal perjodohan ternyata bisa saja terjadi. Hanya saja aku tak menyangka akan jadi begini. "Ma, Rani perempuan yang tepat buat aku. Dia baik. Mungkin karena Mama aja belum kenal dia secara keseluruhan. Ini juga bukan zaman Siti Nurbaya Ma, aku juga berhak untuk menikah dengan pilihan aku. Nggak dengan dijodohkan. Lagipula aku sama Zaf nggak deket. Cinta pun enggak. Bener, 'kan Zaf?" Aku mendadak tersedak oleh minumanku. Pandanganku menunduk, panas menjalari kerongkongan. Jilbab hitamku jadi sedikit ba
"REVII! GEAN! CEPAT KESINI!" teriakku lagi tiga kali lebih keras ke arah anak tangga. Aku terbatuk. Apa aku harus ke atas dan menendang pintu kamar pria itu? Benar-benar anak durhaka. Aku berharap Tante Riana mendoakan anaknya menjadi Gean Kundang! Rasa-rasanya aku ingin menangis."Gean itu panggilan kesayangan untuk Revi, yah, Ra?" "Eh?" Aku berkedip dua kali. Air wajah kesakitan tadi berganti dengan tatapan polos Tante Riana yang menunggu. Aku tak yakin apa wajahku masih terlihat imut saat ini. Namun aku bersyukur Tante Riana sudah sadar. "Bukan, Tan. Tante udah nggak papa? Tante udah ngerasa baikan? Oh atau Tante mau aku pijitin?" Tangan Tante Riana yang memiliki sedikit kerutan kupijat sedemikian rupa. Menuntun Tante Riana duduk di sofa. Ada guratan lelah yang tertangkap di wajahnya.Wanita yang sudah memasuki kepala empat itu menghela napas berat dan mencari posisi nyaman menyandarkan kepalanya di bahuku. Rasa bersalah mendekapku karena sengaja mengalihkan pertanyaan Tante Ri
Aku meremas tanganku, gugup. Pandanganku terus mengarah ke jendela memperhatikan kendaraan lalu-lalang. Aku menyesal lupa membawa handphone-ku sehingga suasana akward ini akan terus berlanjut sampai tujuh menit ke depan. Jika saja aku membawanya, tentu leherku takkan keram karena terus menoleh ke samping, sukar melirik manusia setengah batu ini. Hanya suara desing mobil BMW ini saja yang seolah menertawai kesunyian kami. Bahkan Revi tak menggeluarkan sepatah kata pun setelah aku mengucapkan maaf karena telah mengganggu waktu pekerjaannya. Aku menghela napas gusar. Namun, kedua netraku langsung menyipit begitu memastikan wanita yang sedang menangis di halte bus itu. Aku mengenalnya. Kemana lelaki brengsek itu? "Kak Revi, tolong berhenti, kak." "Kenapa?" Revi memberhentikan mobilnya di pinggir jalanan tak jauh dari halte itu. Aku merogoh tas selempangku sembrono tak mengindahkan pertanyaannya. Meringis diri ini melihat gopek melompat dari tasku. Aku tersenyum malu-malu. Haish, d
Sejenak aku terdiam. Menatap mata polos yang rasanya menaruh harapan penuh. "Insyaallah iya Aunty mau," gumamku, aku bahkan tidak yakin dengan keputusanku. Bayangan Revi dan Bella yang berciuman di cafe masih terngiang di kepalaku. "Yeaayy!! Makasih, Aunty!" Aku tersenyum membalas pelukan Qonita. "Eh, Ummi maksudnya." Qonita tertawa ceria. Mendengar tawanya mirip seperti tokoh utama dari film kartun Marsha and the Bear."Qonita." Aku menoleh begitu mendengar suara yang kukenal. Deg."Eh, Uncle Epi!" Qonita berlari dan menghambur pelukan pada seseorang yang tadi kupikirkan. Mengapa dia bisa ada di sini? Di mana pacarnya? Rasa-rasanya aku ingin tertawa sumbang merutuki diriku sendiri.Sementara Gerald berjalan lebih di belakang Revi dengan kedua tangan di saku celana dan pandangan yang terkesan ... tak suka? Ah, lupakan. Tunggu, mereka saling kenal?"Eh, ponakan Uncle. Comot banget, ih. Makan es krim lagi, hm?"Qonita tertawa riang. "Iya, Uncle. Abi yang ngasih es krimnya, sekalian ju
Sebenarnya aku merasa masih tidak mengerti dengan apa maksud perjodohan ini. Sekarang aku tengah menemani anak perempuan yang memanggil Gerald dengan sebutan Abi sedang menyantap es krimnya. Apa aku sudah termasuk perawan tua hingga harus menikah dengan seorang duda? Usiaku bahkan belum masuk 25. Hah! Apa aku bisa? Oh, memikirkannya saja membuatku hampir merana.Jangan tanyakan Karina, karena ia sedang ada acara keluarga dadakan. Ayah dan Ibu memaksaku mengajak anak Gerald ini untuk jalan-jalan. "Aunty, es krimnya tumpah." "Eh, astaga." Aku segera tersadar, benar saja es krim coklat meluber di tanganku. Aku terkekeh geli. Anak perempuan ini lucu sekali, caranya berbicara dengan sedikit cadel membuatnya tampak imut. Aku membersikan tanganku."Makasih, ya. Nama kamu siapa? Aunty pengen kenalan," ujarku, sembari mengulurkan tangan.Selang lima detik menghabiskan es krim nanasnya anak ini lalu mencium tanganku. Aku sedikit terkejut, tentu saja. Kupikir ia akan mengacuhkanku seperti di
"Iya, Yah?""Jadi langsung saja, Nak Gerald ini sedang mencari calon istri. Ayah berniat menjodohkan kamu dengan dia, Ra. Kepribadian dan agama Nak Gerald baik dan insyaallah mampu membimbing kamu." "Bentar, Yah ... Ayah mau menjodohkan aku dengan laki-laki yang sama sekali nggak aku kenal?Aku menatap Gerald diam-diam yang mengalihkan pandangannya ke samping. Lihat, 'kan? Apa laki-laki ini terlalu pemalu? Tadi berperilaku menyebalkan! Aku tak bisa membayangkan terus-terusan membuka topik obrolan dengannya! Hembusan napas berat Ayah membuatku tersadar menatap kembali manik coklat yang mirip denganku itu. Awas saja, pokoknya aku tidak mau! Lagi pula aku masih ingin mempertahankan cintaku yang sudah 5 tahun aku jaga dengan penuh kasih sayang, seperti Malika, kedelai kecap Bango yang—"Zara, Ayah mengenal Gerald. Gerald ini anak teman Ayah. Ayah ngelakuin ini demi kebaikan kamu, Nak. Kalau bukan Gerald siapa lagi?" Revi, Yah. Aku mengepalkan kedua tanganku. Apa Ayah pikir pernikahan i
Aku berlari menyusuri lorong rumah sakit. Teriakan dari Karina yang berlari di belakangku tak acuhkan. Begitu mencapai pintu bercat coklat kamar di mana Ayah dirawat aku membuka pintu. Pemandangan pertama yang aku lihat adalah wajah Ayah yang balik menatapku sedang duduk di atas brangkar. Aku langsung berhambur ke pelukan Ayah, pria baruh paya yang telah berkepala lima. "Ayah, Ayah nggak papa, 'kan? Ayah udah sembuh? Mana yang sakit, Yah? Kasih tau Zafirah." Namun Ayah tak membalas pertanyaan, ia mengelap air mataku lalu mengusap pucuk hijab. Ayah mengembangkan senyum yang membuatku merasa semakin tak berguna. "Ayah nggak papa. Alhamdulilah Ayah udah sembuh. Emang kamu kenapa kek orang ditagih hutang gitu, Nak? " "Alhamdulillah. Hehee, nggak papa, Yah. Zafirah kira penyakit Ayah kambuh. Zafirah dapat kabar tentang Ayah." Aku mengelap air mataku, merasa kikuk. Syukurlah Ayah baik-baik saja. Ayah menderita penyakit maag yang belakangan ini sering kambuh. "Ooh. Kamu tau itu d
Tak ada hujan tak ada petir ia menyodorkan uang yang kutaksir sejumlah 500 ribu pada Ibu-ibu itu. Oh, no! Aku menggelengkan kepala. "Jangan, nggak usah. Ini urusan saya." Ibu itu lagi-lagi mendelik tajam padaku. "Apa?" ketusnya. "Ini baru bener. Makasih ya, Aa Tampan." Lihatlah mata Ibu-ibu itu, mirip lampu sen motor Mio asik berkedip-kedip. Dan benar saja, wanita itu langsung melongos pergi dengan mengibaskan rambutnya. Astaghfirullah, hari ini aku benar-benar julid.Atensiku kembali pada sosok laki-laki yang sampai sekarang tak kutahu namanya. Ia melangkah menuju kasir. "H–hei!"Benar saja, ia membawa semua barang pembelinya ke kasir. Jika dilihat dari belakang, outfit laki-laki yang umurnya 25-an ini layaknya orang Korea. Dan aku baru sadar, laki-laki ini begitu tinggi, mungkin 175 cm.Aku berdeham. Dan sekilas ia melirikku. "Eumm makasih, ya. Nanti uang kamu bakal saya ganti. Dan ... Oh, ini ...." Aku merogoh isi tas selempangku. Menyodorkannya buku note kecil beserta pulpen.
Astaga, benar-benar laki-laki itu! Enak saja main sabet! "Hei, itu punyaku!" Aku mengejarnya. "Permisi." Mall ini sangat banyak pengunjung. Aku melewati rombongan Ibu-ibu berseragam yang kompak dengan kacamata hitam mereka. Salah satu dari mereka ada yang menatapku hingga menurunkan kacamata ke hidungnya. Oh, semoga saja ia bukan teman Ibu. Aku mengedarkan pandangan. "Aish, kemana laki-laki itu?" Aku tak bisa menemukannya. Apa dia di lantai atas? Oh, jangan sampai ia keluar. Gelas-gelas unyu itu hanya milikku! "Ah, di sana." Dia sedang bersama seorang wanita dengan anak perempuan digendongnya. Apa itu keluarganya? Masa bodoh dengan wajah tampannya itu, mengambil hak atas orang jomblo adalah sebuah kenistaan! "HEII!!—" Brukk! "Aduuh." Aku menggigit bibirku menahan rasa perih di lengan karena menabrak troli. Kuharap lenganku tak berdarah. "Heh, Neng!! Kalo jalan jangan main nyosor nabrak orang! Enak aja nabrak nggak liat-liat dulu kalo jalan. Liat tuh hp saya, jadi jatuh kan!
Entah aku harus bagaimana menangani Karina. "Rin? Emangnya bener dia lagi tidur sama cewek lain pas Video call sama kamu?" Kutatap mata bulat Karina yang kini menunduk. "I–iya, Ra. Walaupun suara mereka nggak terlalu jelas." "Rin, lo kok bego banget sih?!" Aku berdiri memandangi Karina tak percaya. Aliran darah di dalam dadaku seolah ikut tersulut emosi. "Kenapa lo mau aja dikibulin sama si brengsek itu? Bagus deh, kalo dia mau putusin lo. Laki nggak cuma dia doang, Rin. Masih banyak yang lebih baik daripada dia!" Sekonyong-konyong otak Karina telah berada di dengkulnya. Apa yang lebih buruk daripada diselingkuhi secara terang-terangan? Kurang ajar!"Yaudah mana tuh sekarang mantan lo itu? Biar gue kasih pelajaran sama dia!" "Nggak, nggak usah, Ra. Please, jangan." Lihatlah, dengan cepat perempuan di hadapanku ini menyeka air matanya. Sementara senyum palsu itu kembali ia hamparkan. "Aku nggak papa, kok, Za. Beneran." Dan sekarang dia mencoba tertawa. "Kita beli es krim aja yuk?"
Aku meremas tanganku, gugup. Pandanganku terus mengarah ke jendela memperhatikan kendaraan lalu-lalang. Aku menyesal lupa membawa handphone-ku sehingga suasana akward ini akan terus berlanjut sampai tujuh menit ke depan. Jika saja aku membawanya, tentu leherku takkan keram karena terus menoleh ke samping, sukar melirik manusia setengah batu ini. Hanya suara desing mobil BMW ini saja yang seolah menertawai kesunyian kami. Bahkan Revi tak menggeluarkan sepatah kata pun setelah aku mengucapkan maaf karena telah mengganggu waktu pekerjaannya. Aku menghela napas gusar. Namun, kedua netraku langsung menyipit begitu memastikan wanita yang sedang menangis di halte bus itu. Aku mengenalnya. Kemana lelaki brengsek itu? "Kak Revi, tolong berhenti, kak." "Kenapa?" Revi memberhentikan mobilnya di pinggir jalanan tak jauh dari halte itu. Aku merogoh tas selempangku sembrono tak mengindahkan pertanyaannya. Meringis diri ini melihat gopek melompat dari tasku. Aku tersenyum malu-malu. Haish, d
"REVII! GEAN! CEPAT KESINI!" teriakku lagi tiga kali lebih keras ke arah anak tangga. Aku terbatuk. Apa aku harus ke atas dan menendang pintu kamar pria itu? Benar-benar anak durhaka. Aku berharap Tante Riana mendoakan anaknya menjadi Gean Kundang! Rasa-rasanya aku ingin menangis."Gean itu panggilan kesayangan untuk Revi, yah, Ra?" "Eh?" Aku berkedip dua kali. Air wajah kesakitan tadi berganti dengan tatapan polos Tante Riana yang menunggu. Aku tak yakin apa wajahku masih terlihat imut saat ini. Namun aku bersyukur Tante Riana sudah sadar. "Bukan, Tan. Tante udah nggak papa? Tante udah ngerasa baikan? Oh atau Tante mau aku pijitin?" Tangan Tante Riana yang memiliki sedikit kerutan kupijat sedemikian rupa. Menuntun Tante Riana duduk di sofa. Ada guratan lelah yang tertangkap di wajahnya.Wanita yang sudah memasuki kepala empat itu menghela napas berat dan mencari posisi nyaman menyandarkan kepalanya di bahuku. Rasa bersalah mendekapku karena sengaja mengalihkan pertanyaan Tante Ri