"Mah, aku belum mau nikah. Kalo pun aku nikah, aku mau nikah sama orang yang aku cintai. Bukan lewat dijodohin kek gini, Ma."
"Revi, Mama nggak akan nuntut kamu sampe begini kalo kamu nggak sama Rani. Dia bukan perempuan baik untuk kamu. Sadar! Buka mata dan pikiran kamu itu. Mama juga ngelakuin ini demi kebaikan kamu."
Lelaki itu mengusap rambut hitamnya kasar. Emosi dan lelah yang ditahan di wajah laki-laki berkepala dua itu begitu kentara. Perdebatan antara anak dan orang tua perihal perjodohan ternyata bisa saja terjadi. Hanya saja aku tak menyangka akan jadi begini.
"Ma, Rani perempuan yang tepat buat aku. Dia baik. Mungkin karena Mama aja belum kenal dia secara keseluruhan. Ini juga bukan zaman Siti Nurbaya Ma, aku juga berhak untuk menikah dengan pilihan aku. Nggak dengan dijodohkan. Lagipula aku sama Zaf nggak deket. Cinta pun enggak. Bener, 'kan Zaf?"
Aku mendadak tersedak oleh minumanku. Pandanganku menunduk, panas menjalari kerongkongan. Jilbab hitamku jadi sedikit basah. Mengapa aku terdengar seperti spesies yang menyukai sesama jenis? Apakah laki-laki tua ini takut mendadak mencret jika menyebutkan namaku dengan betul? Z-A-F-I-R-A-H, panggil saja "Nunung."
Namun bagaimanapun, aku tetap mengangguk setuju. "Bener, Tante. Apa yang dibilang Kak Rrr-revigeano bener. Aku sama kak Revi nggak ada hubungan apa-apa. Kita cuma sebatas adik-kakak kelas pas waktu SMA." Aku menebar senyum terbaik seperti iklan pasta gigi.
Acara membawa kue brownies pesanan tante Riana harus berakhir dengan masalah perjodohan. Aku tak percaya. Kalo masalah sekedar guyonan belaka, aku akan dengan senang hati berpura-pura tertawa anggun sembari menggelengkan kepala.
Nah ini? Tanpa tendeng aling-aling Tante Riana sudah menentukan hari pernikahannya bulan depan, lengkap dengan pilihan berapa jumlah cucunya nanti!
"Loh, bukannya kalian dulu deket setelah boncengan pas sepeda kamu rusak, Zara?"
Aku menggaruk pipiku yang mendadak gatal. "Nggh ... tapi nggak deket-deket amat juga sih, Tante. Itu ... kebetulan pas ban sepeda aku bocor, Kak Revi lewat, trus karena kita searah makanya Kak Revi mau angkut aku sampe rumah. Setelahnya kita temenan aja kok, Tante."
Menjadi tetangga baru dengan Revi ternyata membuat Tante Riana menjelma menjadi sepupu jauh dari detektif konan. Ia akan mengawasi dan bertanya-tanya padaku dan anaknya.
Aku ingat dulu bagaimana hebohnya Tante Riana begitu mengetahui anak sulung laki-lakinya memboncengku, sementara sepedaku memisahkan jarak kami berdua. Terbayang bagaimana aku yang kenyang makan angin di belakang karena laki-laki itu yang ngebut-ngebutan. Aku yang tetap kekeh tak ingin meninggalkan sepeda kesayanganku menang melawan ego seorang Revigeano yang merupakan titisan batu berjalan. Anggap saja tak tahu diri, toh dia tetap mengijinkanku.
"Tapi setelah itu kalian jadi akrab, 'kan? Buktinya setelah itu Revi sering main ke rumah kamu, Zara. Iya, 'kan? Udahlah, kalian itu udah cocok tau nggak sih, dari jabang bayi emang Tante udah pengen ngejodohin kamu sama Revi. Mama kamu bilang, kamu juga sering nanya-nanya tentang Revi."
Mataku membola. Oh, tidak. Tante Riana salah paham."Ah, nggak. Nggak gitu Tante–"
"Ma, udah yah. Revi capek, mau izin istirahat. Mama juga jangan lupa istirahat." Tanpa persetujuan laki-laki yang berusia tiga tahun di atasku itu beranjak dan berjalan melewati anak tangga begitu saja.
Sekonyong-konyong aku bisa melihat air wajah Tante Riana berubah marah sejalan dengan beliau yang beranjak ke dekat anak tangga. "Revigeano William! Mama belum selesai bicara sama kamu!"
Aku lantas berdiri mendekati Tante Riana yang masih tersulut emosi. Tak ada tanda-tanda Revigeano akan turun. Mungkin gumpalan mimpi bersama Rani telah memeluk jiwa Revi. Pulang benar-benar opsi terbaik. Aku tak ingin ikut campur.
Dehamanku menarik atensi Tante Riana. "Mohon maaf banget ya Tante, aku izin mau pulang. Soalnya mau nganter Mama ke toko elektronik sore ini." Aku tak berbohong. Mama memang menyuruhku mengantarnya ke toko elektronik untuk membeli mesin cuci baru. Padahal mesin cuci itu baru dua bulan pemakaian.
"Ah iya-iya. Kamu hati-hati yah. Tante mewakili Revi minta maaf atas sikap dia. Anak itu makin nambah umur bukannya makin baik malah makin– Astaghfirullah kepala Tante." Tanganku yang tergantung ingin mencium tangan Tante Riana, dengan sigap menahan tubuh beliau yang hampir terjatuh. Tante Riana menjerit kesakitan memegangi kepalanya.
Degup jantungku berpacu lebih cepat. Khawatir dengan wajah Tante Riana yang terlihat pucat dan tersiksa. Aku memegangi pipi Tante Riana memeriksa. "Tante? Tan? Ta–tante mau di bawa ke rumah sakit?" –Oh astaga, pertanyaan bodoh! "Kak Revi! Kakk! Tolong Tante Riana pingsan." Aku berteriak keras. Sayup-sayup mata beliau tertutup lemas. Aku menyesal tak mengikuti ucapan Mama untuk membawa kendaraanku.
"REVII! GEAN! CEPAT KESINI!" teriakku lagi tiga kali lebih keras ke arah anak tangga. Aku terbatuk. Apa aku harus ke atas dan menendang pintu kamar pria itu? Benar-benar anak durhaka. Aku berharap Tante Riana mendoakan anaknya menjadi Gean Kundang! Rasa-rasanya aku ingin menangis."Gean itu panggilan kesayangan untuk Revi, yah, Ra?" "Eh?" Aku berkedip dua kali. Air wajah kesakitan tadi berganti dengan tatapan polos Tante Riana yang menunggu. Aku tak yakin apa wajahku masih terlihat imut saat ini. Namun aku bersyukur Tante Riana sudah sadar. "Bukan, Tan. Tante udah nggak papa? Tante udah ngerasa baikan? Oh atau Tante mau aku pijitin?" Tangan Tante Riana yang memiliki sedikit kerutan kupijat sedemikian rupa. Menuntun Tante Riana duduk di sofa. Ada guratan lelah yang tertangkap di wajahnya.Wanita yang sudah memasuki kepala empat itu menghela napas berat dan mencari posisi nyaman menyandarkan kepalanya di bahuku. Rasa bersalah mendekapku karena sengaja mengalihkan pertanyaan Tante Ri
Aku meremas tanganku, gugup. Pandanganku terus mengarah ke jendela memperhatikan kendaraan lalu-lalang. Aku menyesal lupa membawa handphone-ku sehingga suasana akward ini akan terus berlanjut sampai tujuh menit ke depan. Jika saja aku membawanya, tentu leherku takkan keram karena terus menoleh ke samping, sukar melirik manusia setengah batu ini. Hanya suara desing mobil BMW ini saja yang seolah menertawai kesunyian kami. Bahkan Revi tak menggeluarkan sepatah kata pun setelah aku mengucapkan maaf karena telah mengganggu waktu pekerjaannya. Aku menghela napas gusar. Namun, kedua netraku langsung menyipit begitu memastikan wanita yang sedang menangis di halte bus itu. Aku mengenalnya. Kemana lelaki brengsek itu? "Kak Revi, tolong berhenti, kak." "Kenapa?" Revi memberhentikan mobilnya di pinggir jalanan tak jauh dari halte itu. Aku merogoh tas selempangku sembrono tak mengindahkan pertanyaannya. Meringis diri ini melihat gopek melompat dari tasku. Aku tersenyum malu-malu. Haish, d
Entah aku harus bagaimana menangani Karina. "Rin? Emangnya bener dia lagi tidur sama cewek lain pas Video call sama kamu?" Kutatap mata bulat Karina yang kini menunduk. "I–iya, Ra. Walaupun suara mereka nggak terlalu jelas." "Rin, lo kok bego banget sih?!" Aku berdiri memandangi Karina tak percaya. Aliran darah di dalam dadaku seolah ikut tersulut emosi. "Kenapa lo mau aja dikibulin sama si brengsek itu? Bagus deh, kalo dia mau putusin lo. Laki nggak cuma dia doang, Rin. Masih banyak yang lebih baik daripada dia!" Sekonyong-konyong otak Karina telah berada di dengkulnya. Apa yang lebih buruk daripada diselingkuhi secara terang-terangan? Kurang ajar!"Yaudah mana tuh sekarang mantan lo itu? Biar gue kasih pelajaran sama dia!" "Nggak, nggak usah, Ra. Please, jangan." Lihatlah, dengan cepat perempuan di hadapanku ini menyeka air matanya. Sementara senyum palsu itu kembali ia hamparkan. "Aku nggak papa, kok, Za. Beneran." Dan sekarang dia mencoba tertawa. "Kita beli es krim aja yuk?"
Astaga, benar-benar laki-laki itu! Enak saja main sabet! "Hei, itu punyaku!" Aku mengejarnya. "Permisi." Mall ini sangat banyak pengunjung. Aku melewati rombongan Ibu-ibu berseragam yang kompak dengan kacamata hitam mereka. Salah satu dari mereka ada yang menatapku hingga menurunkan kacamata ke hidungnya. Oh, semoga saja ia bukan teman Ibu. Aku mengedarkan pandangan. "Aish, kemana laki-laki itu?" Aku tak bisa menemukannya. Apa dia di lantai atas? Oh, jangan sampai ia keluar. Gelas-gelas unyu itu hanya milikku! "Ah, di sana." Dia sedang bersama seorang wanita dengan anak perempuan digendongnya. Apa itu keluarganya? Masa bodoh dengan wajah tampannya itu, mengambil hak atas orang jomblo adalah sebuah kenistaan! "HEII!!—" Brukk! "Aduuh." Aku menggigit bibirku menahan rasa perih di lengan karena menabrak troli. Kuharap lenganku tak berdarah. "Heh, Neng!! Kalo jalan jangan main nyosor nabrak orang! Enak aja nabrak nggak liat-liat dulu kalo jalan. Liat tuh hp saya, jadi jatuh kan!
Tak ada hujan tak ada petir ia menyodorkan uang yang kutaksir sejumlah 500 ribu pada Ibu-ibu itu. Oh, no! Aku menggelengkan kepala. "Jangan, nggak usah. Ini urusan saya." Ibu itu lagi-lagi mendelik tajam padaku. "Apa?" ketusnya. "Ini baru bener. Makasih ya, Aa Tampan." Lihatlah mata Ibu-ibu itu, mirip lampu sen motor Mio asik berkedip-kedip. Dan benar saja, wanita itu langsung melongos pergi dengan mengibaskan rambutnya. Astaghfirullah, hari ini aku benar-benar julid.Atensiku kembali pada sosok laki-laki yang sampai sekarang tak kutahu namanya. Ia melangkah menuju kasir. "H–hei!"Benar saja, ia membawa semua barang pembelinya ke kasir. Jika dilihat dari belakang, outfit laki-laki yang umurnya 25-an ini layaknya orang Korea. Dan aku baru sadar, laki-laki ini begitu tinggi, mungkin 175 cm.Aku berdeham. Dan sekilas ia melirikku. "Eumm makasih, ya. Nanti uang kamu bakal saya ganti. Dan ... Oh, ini ...." Aku merogoh isi tas selempangku. Menyodorkannya buku note kecil beserta pulpen.
Aku berlari menyusuri lorong rumah sakit. Teriakan dari Karina yang berlari di belakangku tak acuhkan. Begitu mencapai pintu bercat coklat kamar di mana Ayah dirawat aku membuka pintu. Pemandangan pertama yang aku lihat adalah wajah Ayah yang balik menatapku sedang duduk di atas brangkar. Aku langsung berhambur ke pelukan Ayah, pria baruh paya yang telah berkepala lima. "Ayah, Ayah nggak papa, 'kan? Ayah udah sembuh? Mana yang sakit, Yah? Kasih tau Zafirah." Namun Ayah tak membalas pertanyaan, ia mengelap air mataku lalu mengusap pucuk hijab. Ayah mengembangkan senyum yang membuatku merasa semakin tak berguna. "Ayah nggak papa. Alhamdulilah Ayah udah sembuh. Emang kamu kenapa kek orang ditagih hutang gitu, Nak? " "Alhamdulillah. Hehee, nggak papa, Yah. Zafirah kira penyakit Ayah kambuh. Zafirah dapat kabar tentang Ayah." Aku mengelap air mataku, merasa kikuk. Syukurlah Ayah baik-baik saja. Ayah menderita penyakit maag yang belakangan ini sering kambuh. "Ooh. Kamu tau itu d
"Iya, Yah?""Jadi langsung saja, Nak Gerald ini sedang mencari calon istri. Ayah berniat menjodohkan kamu dengan dia, Ra. Kepribadian dan agama Nak Gerald baik dan insyaallah mampu membimbing kamu." "Bentar, Yah ... Ayah mau menjodohkan aku dengan laki-laki yang sama sekali nggak aku kenal?Aku menatap Gerald diam-diam yang mengalihkan pandangannya ke samping. Lihat, 'kan? Apa laki-laki ini terlalu pemalu? Tadi berperilaku menyebalkan! Aku tak bisa membayangkan terus-terusan membuka topik obrolan dengannya! Hembusan napas berat Ayah membuatku tersadar menatap kembali manik coklat yang mirip denganku itu. Awas saja, pokoknya aku tidak mau! Lagi pula aku masih ingin mempertahankan cintaku yang sudah 5 tahun aku jaga dengan penuh kasih sayang, seperti Malika, kedelai kecap Bango yang—"Zara, Ayah mengenal Gerald. Gerald ini anak teman Ayah. Ayah ngelakuin ini demi kebaikan kamu, Nak. Kalau bukan Gerald siapa lagi?" Revi, Yah. Aku mengepalkan kedua tanganku. Apa Ayah pikir pernikahan i
Sebenarnya aku merasa masih tidak mengerti dengan apa maksud perjodohan ini. Sekarang aku tengah menemani anak perempuan yang memanggil Gerald dengan sebutan Abi sedang menyantap es krimnya. Apa aku sudah termasuk perawan tua hingga harus menikah dengan seorang duda? Usiaku bahkan belum masuk 25. Hah! Apa aku bisa? Oh, memikirkannya saja membuatku hampir merana.Jangan tanyakan Karina, karena ia sedang ada acara keluarga dadakan. Ayah dan Ibu memaksaku mengajak anak Gerald ini untuk jalan-jalan. "Aunty, es krimnya tumpah." "Eh, astaga." Aku segera tersadar, benar saja es krim coklat meluber di tanganku. Aku terkekeh geli. Anak perempuan ini lucu sekali, caranya berbicara dengan sedikit cadel membuatnya tampak imut. Aku membersikan tanganku."Makasih, ya. Nama kamu siapa? Aunty pengen kenalan," ujarku, sembari mengulurkan tangan.Selang lima detik menghabiskan es krim nanasnya anak ini lalu mencium tanganku. Aku sedikit terkejut, tentu saja. Kupikir ia akan mengacuhkanku seperti di
Sejenak aku terdiam. Menatap mata polos yang rasanya menaruh harapan penuh. "Insyaallah iya Aunty mau," gumamku, aku bahkan tidak yakin dengan keputusanku. Bayangan Revi dan Bella yang berciuman di cafe masih terngiang di kepalaku. "Yeaayy!! Makasih, Aunty!" Aku tersenyum membalas pelukan Qonita. "Eh, Ummi maksudnya." Qonita tertawa ceria. Mendengar tawanya mirip seperti tokoh utama dari film kartun Marsha and the Bear."Qonita." Aku menoleh begitu mendengar suara yang kukenal. Deg."Eh, Uncle Epi!" Qonita berlari dan menghambur pelukan pada seseorang yang tadi kupikirkan. Mengapa dia bisa ada di sini? Di mana pacarnya? Rasa-rasanya aku ingin tertawa sumbang merutuki diriku sendiri.Sementara Gerald berjalan lebih di belakang Revi dengan kedua tangan di saku celana dan pandangan yang terkesan ... tak suka? Ah, lupakan. Tunggu, mereka saling kenal?"Eh, ponakan Uncle. Comot banget, ih. Makan es krim lagi, hm?"Qonita tertawa riang. "Iya, Uncle. Abi yang ngasih es krimnya, sekalian ju
Sebenarnya aku merasa masih tidak mengerti dengan apa maksud perjodohan ini. Sekarang aku tengah menemani anak perempuan yang memanggil Gerald dengan sebutan Abi sedang menyantap es krimnya. Apa aku sudah termasuk perawan tua hingga harus menikah dengan seorang duda? Usiaku bahkan belum masuk 25. Hah! Apa aku bisa? Oh, memikirkannya saja membuatku hampir merana.Jangan tanyakan Karina, karena ia sedang ada acara keluarga dadakan. Ayah dan Ibu memaksaku mengajak anak Gerald ini untuk jalan-jalan. "Aunty, es krimnya tumpah." "Eh, astaga." Aku segera tersadar, benar saja es krim coklat meluber di tanganku. Aku terkekeh geli. Anak perempuan ini lucu sekali, caranya berbicara dengan sedikit cadel membuatnya tampak imut. Aku membersikan tanganku."Makasih, ya. Nama kamu siapa? Aunty pengen kenalan," ujarku, sembari mengulurkan tangan.Selang lima detik menghabiskan es krim nanasnya anak ini lalu mencium tanganku. Aku sedikit terkejut, tentu saja. Kupikir ia akan mengacuhkanku seperti di
"Iya, Yah?""Jadi langsung saja, Nak Gerald ini sedang mencari calon istri. Ayah berniat menjodohkan kamu dengan dia, Ra. Kepribadian dan agama Nak Gerald baik dan insyaallah mampu membimbing kamu." "Bentar, Yah ... Ayah mau menjodohkan aku dengan laki-laki yang sama sekali nggak aku kenal?Aku menatap Gerald diam-diam yang mengalihkan pandangannya ke samping. Lihat, 'kan? Apa laki-laki ini terlalu pemalu? Tadi berperilaku menyebalkan! Aku tak bisa membayangkan terus-terusan membuka topik obrolan dengannya! Hembusan napas berat Ayah membuatku tersadar menatap kembali manik coklat yang mirip denganku itu. Awas saja, pokoknya aku tidak mau! Lagi pula aku masih ingin mempertahankan cintaku yang sudah 5 tahun aku jaga dengan penuh kasih sayang, seperti Malika, kedelai kecap Bango yang—"Zara, Ayah mengenal Gerald. Gerald ini anak teman Ayah. Ayah ngelakuin ini demi kebaikan kamu, Nak. Kalau bukan Gerald siapa lagi?" Revi, Yah. Aku mengepalkan kedua tanganku. Apa Ayah pikir pernikahan i
Aku berlari menyusuri lorong rumah sakit. Teriakan dari Karina yang berlari di belakangku tak acuhkan. Begitu mencapai pintu bercat coklat kamar di mana Ayah dirawat aku membuka pintu. Pemandangan pertama yang aku lihat adalah wajah Ayah yang balik menatapku sedang duduk di atas brangkar. Aku langsung berhambur ke pelukan Ayah, pria baruh paya yang telah berkepala lima. "Ayah, Ayah nggak papa, 'kan? Ayah udah sembuh? Mana yang sakit, Yah? Kasih tau Zafirah." Namun Ayah tak membalas pertanyaan, ia mengelap air mataku lalu mengusap pucuk hijab. Ayah mengembangkan senyum yang membuatku merasa semakin tak berguna. "Ayah nggak papa. Alhamdulilah Ayah udah sembuh. Emang kamu kenapa kek orang ditagih hutang gitu, Nak? " "Alhamdulillah. Hehee, nggak papa, Yah. Zafirah kira penyakit Ayah kambuh. Zafirah dapat kabar tentang Ayah." Aku mengelap air mataku, merasa kikuk. Syukurlah Ayah baik-baik saja. Ayah menderita penyakit maag yang belakangan ini sering kambuh. "Ooh. Kamu tau itu d
Tak ada hujan tak ada petir ia menyodorkan uang yang kutaksir sejumlah 500 ribu pada Ibu-ibu itu. Oh, no! Aku menggelengkan kepala. "Jangan, nggak usah. Ini urusan saya." Ibu itu lagi-lagi mendelik tajam padaku. "Apa?" ketusnya. "Ini baru bener. Makasih ya, Aa Tampan." Lihatlah mata Ibu-ibu itu, mirip lampu sen motor Mio asik berkedip-kedip. Dan benar saja, wanita itu langsung melongos pergi dengan mengibaskan rambutnya. Astaghfirullah, hari ini aku benar-benar julid.Atensiku kembali pada sosok laki-laki yang sampai sekarang tak kutahu namanya. Ia melangkah menuju kasir. "H–hei!"Benar saja, ia membawa semua barang pembelinya ke kasir. Jika dilihat dari belakang, outfit laki-laki yang umurnya 25-an ini layaknya orang Korea. Dan aku baru sadar, laki-laki ini begitu tinggi, mungkin 175 cm.Aku berdeham. Dan sekilas ia melirikku. "Eumm makasih, ya. Nanti uang kamu bakal saya ganti. Dan ... Oh, ini ...." Aku merogoh isi tas selempangku. Menyodorkannya buku note kecil beserta pulpen.
Astaga, benar-benar laki-laki itu! Enak saja main sabet! "Hei, itu punyaku!" Aku mengejarnya. "Permisi." Mall ini sangat banyak pengunjung. Aku melewati rombongan Ibu-ibu berseragam yang kompak dengan kacamata hitam mereka. Salah satu dari mereka ada yang menatapku hingga menurunkan kacamata ke hidungnya. Oh, semoga saja ia bukan teman Ibu. Aku mengedarkan pandangan. "Aish, kemana laki-laki itu?" Aku tak bisa menemukannya. Apa dia di lantai atas? Oh, jangan sampai ia keluar. Gelas-gelas unyu itu hanya milikku! "Ah, di sana." Dia sedang bersama seorang wanita dengan anak perempuan digendongnya. Apa itu keluarganya? Masa bodoh dengan wajah tampannya itu, mengambil hak atas orang jomblo adalah sebuah kenistaan! "HEII!!—" Brukk! "Aduuh." Aku menggigit bibirku menahan rasa perih di lengan karena menabrak troli. Kuharap lenganku tak berdarah. "Heh, Neng!! Kalo jalan jangan main nyosor nabrak orang! Enak aja nabrak nggak liat-liat dulu kalo jalan. Liat tuh hp saya, jadi jatuh kan!
Entah aku harus bagaimana menangani Karina. "Rin? Emangnya bener dia lagi tidur sama cewek lain pas Video call sama kamu?" Kutatap mata bulat Karina yang kini menunduk. "I–iya, Ra. Walaupun suara mereka nggak terlalu jelas." "Rin, lo kok bego banget sih?!" Aku berdiri memandangi Karina tak percaya. Aliran darah di dalam dadaku seolah ikut tersulut emosi. "Kenapa lo mau aja dikibulin sama si brengsek itu? Bagus deh, kalo dia mau putusin lo. Laki nggak cuma dia doang, Rin. Masih banyak yang lebih baik daripada dia!" Sekonyong-konyong otak Karina telah berada di dengkulnya. Apa yang lebih buruk daripada diselingkuhi secara terang-terangan? Kurang ajar!"Yaudah mana tuh sekarang mantan lo itu? Biar gue kasih pelajaran sama dia!" "Nggak, nggak usah, Ra. Please, jangan." Lihatlah, dengan cepat perempuan di hadapanku ini menyeka air matanya. Sementara senyum palsu itu kembali ia hamparkan. "Aku nggak papa, kok, Za. Beneran." Dan sekarang dia mencoba tertawa. "Kita beli es krim aja yuk?"
Aku meremas tanganku, gugup. Pandanganku terus mengarah ke jendela memperhatikan kendaraan lalu-lalang. Aku menyesal lupa membawa handphone-ku sehingga suasana akward ini akan terus berlanjut sampai tujuh menit ke depan. Jika saja aku membawanya, tentu leherku takkan keram karena terus menoleh ke samping, sukar melirik manusia setengah batu ini. Hanya suara desing mobil BMW ini saja yang seolah menertawai kesunyian kami. Bahkan Revi tak menggeluarkan sepatah kata pun setelah aku mengucapkan maaf karena telah mengganggu waktu pekerjaannya. Aku menghela napas gusar. Namun, kedua netraku langsung menyipit begitu memastikan wanita yang sedang menangis di halte bus itu. Aku mengenalnya. Kemana lelaki brengsek itu? "Kak Revi, tolong berhenti, kak." "Kenapa?" Revi memberhentikan mobilnya di pinggir jalanan tak jauh dari halte itu. Aku merogoh tas selempangku sembrono tak mengindahkan pertanyaannya. Meringis diri ini melihat gopek melompat dari tasku. Aku tersenyum malu-malu. Haish, d
"REVII! GEAN! CEPAT KESINI!" teriakku lagi tiga kali lebih keras ke arah anak tangga. Aku terbatuk. Apa aku harus ke atas dan menendang pintu kamar pria itu? Benar-benar anak durhaka. Aku berharap Tante Riana mendoakan anaknya menjadi Gean Kundang! Rasa-rasanya aku ingin menangis."Gean itu panggilan kesayangan untuk Revi, yah, Ra?" "Eh?" Aku berkedip dua kali. Air wajah kesakitan tadi berganti dengan tatapan polos Tante Riana yang menunggu. Aku tak yakin apa wajahku masih terlihat imut saat ini. Namun aku bersyukur Tante Riana sudah sadar. "Bukan, Tan. Tante udah nggak papa? Tante udah ngerasa baikan? Oh atau Tante mau aku pijitin?" Tangan Tante Riana yang memiliki sedikit kerutan kupijat sedemikian rupa. Menuntun Tante Riana duduk di sofa. Ada guratan lelah yang tertangkap di wajahnya.Wanita yang sudah memasuki kepala empat itu menghela napas berat dan mencari posisi nyaman menyandarkan kepalanya di bahuku. Rasa bersalah mendekapku karena sengaja mengalihkan pertanyaan Tante Ri