Selesai membersihkan diri Heera termenung di kamarnya. Tak ada yang Heera pikiran selain apa yang baru saja ia ketahui. Kenyataan bahwa Yuna datang kembali membuatnya terancam. Aneh.
Padahal Heera sudah menyakinkan dirinya bahwa ia tidak ada perasaan apapun kepada Sean. Tapi beberapa hari belakangan ini kelakuan Sean cukup membuatnya kepikiran dan kebayang.
"Mungkin gak ya..." Yang Heera ragukan sekarang adalah perasaan Sean padanya.
Dulu Sean mencintainya, namun itu sebelum kedatangan Yuna yang telah lama menghilang. Lalu sekarang, setelah wanita itu kembali, apa perasaan Sean ke dirinya masih sama?
Heera tidak munafik, Yuna sangat cantik. Cantik sekali sampai Heera sendiri tidak percaya ada wanita secantik Yuna, tidak heran kenapa Keenan begitu tampan. Gen nya saja keturunan Yuna dan Sean.
"RA!!!!"
BRAK!!!
Suara bantingan pintu kamarnya menggelegar setelah beberapa detik terdengar suara Jess
"Selama aku menginap di sini, biar aku saja yang mengantar dan menjemput Keenan ke sekolah."Perkataan Yuna beberapa jam lalu yang membuat Heera melamun pagi ini, karena tidak ada kesibukan apapun seperti hari biasanya.Heera tidak protes dan Sean juga menyetujui ucapan Yuna. Ya, memangnya Heera siapa bisa lancang melarang Yuna menggantikan posisinya. Lebih baik sekarang Heera menikmati waktu santainya. Waktu santai yang di habiskan untuk menyicil skripsi, Heera menghembuskan napas panjang sebelum membuka laptopnya.Heera merenggangkan badannya yang kaku, sudah 1 jam sudah ia berkutat dengan laptopnya. Tangan Heera bergerak meraih secangkir kopi di samping laptopnya, kemudian menegaknya hingga sisa setengah."RAAA, ADA YANG NGAPEL NIH!!!!" suara teriakan ibu kost menggema, membuat Heera mengernyitkan kening lalu bangkit dari duduknya."Siapa, bu?" tanya Heera begitu keluar dari kamarnya."Siapa lagi kalau bukan pacarmu, mas Arta." sahu
Dengan rasa emosi yang mendominasi Sean menyetir mobilnya menuju alamat yang Heera berikan. Pedal gasnya Sean injak dengan kuat, membuat kuda besinya melaju dengan kecepatan di atas rata-rata, kebetulan saat ini kondisi lalu lintas lumayan renggang dan tidak macet.Hanya butuh waktu dua puluh menit untuk Sean sampai di depan perkarangan kosan Arta, tatapan Sean semakin menajam saat melihat Heera dan Arta yang sedang duduk di kursi teras. Dengan gerakan tak sabaran Sean melepas seatbelt yang melilit tubuhnya kemudian beranjak keluar dari mobil.Kedatangan Sean dengan Ferrari merahnya yang mencolok itu tentu tidak luput dari perhatian Arta dan Heera yang semula fokus pada laptop kini menatap ke arah Sean yang sedang berjalan menuju mereka. Heera menghembuskan napas beratnya, menatap Sean dengan tatapan jengah. Heera bahkan sudah malas duluan sebelum debat bersama Sean di mulai.Sean berdiri di depan teras kosan Arta, tangannya melipat di depan dada, menambah
Demi Tuhan, dari banyaknya wanita di dunia ini, kenapa Sean harus jatuh cinta kepada gadis remaja lagi?Sean menghembuskan napas panjang, jatuh cinta kepada gadis remaja yang masih labil itu sungguh merepotkan. Terus terang saja, Sean sebenarnya juga lelah menghadapi sikap Heera yang sampai saat ini belum jelas kepastiannya.Sikap Heera terkadang menunjukan bahwa ia memiliki perasaan yang sama dengan Sean, tapi melihat sikap gadis itu ke Arta yang tidak kalah manisnya juga membuat Sean berpikir ulang. Ini Sean yang kegeeran atau Heera yang memang mudah memberi perhatian ke semua orang?"Sedang memikirkan apa, An?"Sean yang sedang melamun seketika tertegun, terkejut dengan pertanyaan yang baru saja Yuna lontarkan. Wanita dewasa yang tubuhnya terbalut piyama itu mendudukan dirinya di samping Sean.Sean menggeser duduknya spontan, memberi ruang untuk Yuna."Tidak
Gadis yang terbalut kemeja merah muda itu tengah merenung. Heera jelas tau kesalahan yang sudah ia lakukan hingga membuat Sean bersikap arogan terhadapnya hari ini.Ya, itu sudah pasti karena kejadian kemarin malam. Heera mengakui bahwa dirinya salah sudah mengabaikan perintah Sean, jangankan Sean, ibunya sendiri bahkan selalu mewanti-wanti untuk jaga diri dan tidak boleh pulang ke kost di atas jam sembilan malam.Tapi apalah daya, jika berhubungan dengan skripsi rasanya ingin cepat-cepat selesai meski harus begadang sampai pagi. Apalagi semalam ada Arta yang dengan senang hati membantunya, bagaimana Heera tidak memperdulikan waktu.Bola mata Heera melirik ke arah jarum jam, lalu ia menarik napas panjang. Tidak terasa, melamun sebentar saja tiba-tiba sudah memasuki jam makan siang. Heera bangkit dari duduknya, kemudian ia berjalan ke arah dapur rumah Sean.Sebagai permintaan maafnya kepada Sean, Heera akan
Heera mengacak rambutnya frustasi, sudah lebih dari satu jam ia membuka laptopnya, tapi tangannya tidak dapat menekan keyboard laptop. Bukan karena keyboardnya rusak, tapi karena otaknya tidak bisa di ajak berkonsentrasi. Pikirannya benar-benar blank, bahkan untuk sekedar mengetik satu baris kata pun ia tidak bisa. Siapa lagi yang berani berkeliaran di kepalanya dan mengganggu konsentrasinya selain Sean? Heera tidak tau kalau Sean dan Celita ternyata menjadi sangat dekat ketika di kantor, mereka bahkan makan siang bersama. Cih, Heera berdecih, di depannya saja Sean sok dingin dengan wanita lain, tapi kalau di luar ternyata pria itu sama saja! "Kenapa sih cowok ganteng gampang banget deket sama banyak cewek?" Heera mendumel sendiri, merasa kesal karena selama ini mengira Sean dingin dan cuek di wanita lain, kecuali dirinya. Tapi ternyata, yang Heera kira tidak benar adanya. "Eh, Arta ganteng
Karena kejadian kemarin, pagi ini Heera terbangun dengan suasana hati yang kurang baik. Bahkan semalam Heera tidak bisa tidur sebab gundah dengan perasaannya yang Sean buat berantakan. Lucunya, Heera tidak sadar kalau ia sendiri yang membuat perasaannya menjadi kusut. Karena ketidakpekaannya Heera menjadi terombang-ambing antara merasa tidak pantas dan takut salah memilah antara cinta dan rasa sekedar suka. Heera terlalu merendahkan dirinya sendiri. Sejujurnya, sampai saat ini ia meragukan ucapan Sean yang mengatakan bahwa pria itu mencintainya, karena Heera merasa tidak ada yang menarik dari dirinya, ia hanya gadis desa biasa yang bahkan tidak pernah pergi ke salon untuk sekedar facial wajah. Menurut Heera, ia terlalu biasa saja untuk Sean yang istimewa. Selain dari itu, Heera juga masih menyakinkan dirinya kalau ia hanya Arta yang dapat membuatnya jatuh hati. Karena Arta adalah pria sempurna, dia tampan, pintar dan selalu bertutur kata lembut. Tidak
Heera mendaratkan bokongnya di kursi kantin kampus dengan raut wajah lesuhnya. Dan tentu saja hal itu menarik perhatian ketiga temannya. Mereka sudah pasti hafal dengan sikap Heera, ini bukan pertama kalinya gadis itu menunjukan kelelahannya di hadapan teman-teman cowoknya. "Capek, Ra? Mau nikah aja? Gue udah siap kok jadi ayah muda." celetuk Vino yang langsung Arta pelototi. "Kenapa mas Arta? Mau marah? Selama Heera belum jadi istri lo, sah dong kalau gue perjuangin." lanjut Vino antara menantang dan meledek Arta yang tidak pernah mencoba melangkah lebih dekat dengan Heera, memperjuangkan status dengan Heera misalnya, minimal jadi kekasih lah. "Heera mau jadi sarjana dulu, gak mau nikah muda!" timpal Arta sewot. "Lho, kok mas nya yang ngegas?" Adelio ikut nimbrung, ia tidak akan absen dalam hal mengejek Arta yang lamban sekali perjuangannya. "Berisik deh, gue lagi pusing nih!" sentak Heera jengkel. Perutnya sedang lapar, belum lagi suasana hatinya ya
Sean: kamu dimana? Ini sudah jam berapa, cepat pulang! Sean: Heera, angkat telepon saya Sean: Heera, saya khawatir. Kamu dimana??? Heera mendengus melihat beberapa pesan dan puluhan panggilan tak terjawab dari Sean. Bukannya membalas pesan Sean yang katanya sedang mengkhawatirkan dirinya, Heera malah melempar ponselnya begitu saja ke atas meja. Saat ini gadis itu sedang berada di kontrakan Adelio, bersama Arta dan beberapa teman Adelio yang dari Jurusan lain di kampusnya. Adelio memang sering mengundang teman-temannya ke kontrakan, tapi baru kali ini Heera ikut menimbrung, katanya ingin mencari suasana lain karena bosan di kosan. "Kalau ngantuk bilang ya, Ra. Biar langsung gue antar pulang, jangan ketiduran di sini, banyak cowok." pesan Arta saat mendapati mata Heera yang sayup-sayup menahan kantuk. Heera mengangguk layaknya anak kecil yang patuh dengan ucapan mamanya, "Iya, Ar." Arta menghela napas berat, ia lantas bangkit dar
Sean menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya beserta sang istri. Dengan tak sabaran pria itu menanggalkan daster Heera yang kenakan. Melihat gunung kembar Heera yang menganggur didepan mata, segera ia gunakan mulut serta tangannya untuk bekerja. Tidak perlu di jelasin apa yang Sean lakukan saat ini, karena ya, memang yang sedang pria itu lakukan sesuai dengan isi kepala kalian sekarang. Heera melenguh di antara tidurnya. Tentu wanita hamil itu tertegun saat membuka mata dan mendapati Sean sedang bersarang di tempat favorit suaminya. Memasuki bulan kelahiran, Sean dan Heera sepakat untuk puasa alias tidak melakukan hubungan badan. Tapi tetap saja, soal menyusu sudah menjadi aktivitas rutin Sean setiap malam. Terkadang Heera juga memuaskan suaminya itu dengan segala cara yang bisa ia lakukan. Tangan Sean bekerja dengan baik saat ini, memijat dan memainkan payudara sintal sang istri yang makin membesar karena efek kehamilan. Gairah Sean tak terelakkan begitu mendengar desahan H
Beberapa Tahun Kemudian... "Pegang tangan abang, Kel." perintah Keenan sambil tersenyum lembut, ia lantas menggenggam erat tangan mungil sang adik kesayangannya dengan sigap setelah mereka keluar dari mobil. Saat ini kakak beradik itu tengah berjalan menuju sebuah taman kanak-kanak tempat Keela bersekolah. Ya, Shakeela Isyana Rangadi, putri kedua Sean dan Heera. "Ayah, ayo cepetan." ujar Keela dengan suara menggemaskan. Ia tidak sabaran ingin bertemu teman-temannya, sementara Sean sedang mengeluarkan tas dan totebag berisi kotak bekal yang Heera buatkan untuk Keela. "Sabar dong, Sayang. Ayo, pegang tangan ayah." Sean menyampirkan tas berwarna pink milik Keela ke pundaknya, lalu tangan kanannya yang bebas ia gunakan untuk menggandeng tangan mungil Keela. Sambil dituntun dua bodyguard yang selalu menjaganya Keela berjalan memasuki halaman sekolahnya, seorang guru menyapanya dengan senyum manis seperti biasa. "Pagi, Keela." "Pagi, Bu Vira." jawab Keela setelah menyalimi tangan sang
"Kamu di mana, Ra?" Heera merapatkan bibirnya, mendengar suara rendah Sean, sepertinya pria itu sudah menunggunya pulang di rumah."Aku masih di mall, mas.""Masih sama Jessi?" Beberapa detik Heer terdiam, pandangannya menoleh ke arah Jessi dan dua pria yang baru saja dikenalnya. Yang satu teman kencan Jessi, yang satu lagi adalah teman dari teman kencannya Jessi. "I-iya, masih dong." Heera tak berbohong, ia memang masih bersama Jessi, hanya saja istri Sean itu tidak berterus terang kalau ada dua pria yang bersamanya sekarang. "Pulang. Keenan nyariin kamu. Mas tunggu." ucapan Sean yang menekan disetiap kalimat dan langsung mematikan sambungannya begitu saja membuat Heera membatu di tempat. Heera takut, kenapa Sean bersikap demikian? Apa ia mengetahuinya? Kepala Heera spontan menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari radar Sean, tapi tidak menemukan. "Siapa?" Rakha, pria yang duduk dihadapan Heera bertanya saat melihat kepanikan yang melanda wajah Heera. "Suami aku. Aku udah disuruh
"Mas, aku boleh keluar gak sama Jessi?" Heera bertanya, menatap dengan pandangan sedikit ragu kearah Sean yang baru saja mendudukan diri di atas sofa. Ini sudah sore, dan Sean baru bangun dari tidurnya. Pria itu langsung istirahat setelah menyetir perjalanan panjang dari rumah mertuanya. "Mau kemana, Sayang?" tanya Sean sambil mengusak rambutnya yang sedikit aut-autan. Melihat itu, tangan Heera jadi gatal dan ikut merapikan rambut sang suami. "Mau jalan aja, udah lama juga aku gak jalan sama Jessi." jawab Heera. Sean manggut-manggut. Semenjak menikah, Heera memang jarang keluar bersama temannya, selain karena kadang Sean larang, tapi Heera juga memikirkan Keenan. Siapa yang akan menjaga anak itu jika ia pergi? Meski beberapa kali Heera mengajak Keenan saat ngumpul bersama temannya. Itu pun kalau Sean izinkan."Ngajak Keenan?" tanya Sean. Heera terdiam sesaat, sebelum menggeleng perlahan. "Kasihan Keenan habis pergi jauh, lagian kan ada Mas di rumah." Alasan Heera menerima tawaran J
"Gimana ngurus suami sama anak kamu, gak ada kesulitan, kan?" Heera yang sedang menyiram tanaman di halaman lantas menoleh ke arah Prima yang lagi duduk di kursi teras. Sebelum menjawab, Heera tertawa kecil lebih dulu. "Gak ada kok, Bu. Mas Sean sama Keenan gampang diurusnya." jawab Heera dengan nada guyon. "Coba kamu duduk sini dulu bentar, Ra." perintah Prima, meminta Heera untuk duduk di kursi kosong di sebelahnya. Saat ini di rumah hanya ada mereka berdua karena Keenan, Sean dan Rahel sedang bersepeda. Kebetulan sekarang sudah sore, cuacanya cocok untuk bermain di luar rumah. Tanpa membantah, Heera mematikan keran air lebih dulu kemudian duduk di sebelah sang Ibu. Raut wajah Heera tampak serius mengikuti mimik milik Prima. "Ada apa, Bu?" tanya Heera penasaran. Tidak biasanya sang Ibu tampak hendak membicarakan hal serius begini. "Tadi Sean minta di do'akan supaya kamu cepat isi. Memangnya kamu sudah siap memberikan Sean
"Masih sakit perutnya, Sayang?"Heera yang sedang memainkan ponselnya di atas ranjang spontan menoleh dan mendapati Sean yang baru saja memasuki kamar. "Udah gak sesakit tadi," jawab Heera seraya meletakan ponselnya. Atensinya kini terfokus penuh pada Sean yang baru saja merebahkan badannya disamping sang istri. Tangan Sean bergerak, menyelinap masuk ke dalam piyama Heera lalu mengusap-usap hangat perut istrinya itu. "Syukurlah," katanya. "Mas mau nanya boleh?" sambung Sean membuat Heera mengernyitkan keningnya. "Nanya apa, Mas?" "Kamu pernah ketemu Ayah kamu di sekolah Keenan?" to the point. Sean tidak ingin ada rahasia diantara ia dan Heera. Meski Sean tahu Heera sedang berusaha menutupi hal ini darinya.Heera diam sesaat, seakan tertangkap basah rahasianya. Tapi dengan ragu cewek itu mengangguk, lengkap dengan wajah penuh sesalnya. "Iya. Tapi Ayah seperti gak kenal aku." lirih Heera tersirat kesedihan. Ia masih ingat bagaimana sikap Juni ketika bertemu dengannya dan Keenan beb
"Kita gak pernah bertemu, tapi kamu mengenali saya." Sean tersenyum tipis. Saat ini ia sedang berbicara empat mata dengan Juni di salah satu kafe yang jaraknya tidak jauh dari sekolah Keenan. Sebenarnya, Sean sudah menolak ajakan Juni karena ia khawatir meninggalkan Heera sendirian di rumah, tapi Juni memohon dan meminta waktu Sean. Karena sungkan, Sean tidak ada pilihan lain. "Tidak mungkin saya tidak mengenal mertua saya sendiri," jawab Sean. Ia memang tidak pernah bertemu langsung dengan Juni, tapi bukan Sean namanya kalau tidak bisa mendapatkan informasi orang-orang yang berhubungan dengan Heera. Kalau sekedar mencari identifikasi Juni saja dalam satu menit pun bisa Sean dapatkan."Satu minggu lalu saya bertemu Heera saat sedang mengambil rapot untuk Keenan." ujar Juni membuat Sean tak bergeming. Heera tidak mengatakan apapun tentang hal itu. "Jadi, Keenan anak kalian?" imbuh Juni dengan kerut yang tercetak di keningnya. "Tapi, setahu saya
"Sayang, you okay?" Sean bertanya khawatir kepada Heera yang meringkuk bak janin di sampingnya. Disentuhnya pundak telanjang Heera yang berkeringat dingin, sepasang mata Sean yang sayup-sayup terbuka seketika langsung sepenuhnya terjaga melihat wajah sang istri yang pucat dan banjir keringat. Tangan Heera mencengkram lemas lengan Sean, sementara satu tangannya memegangi perutnya. "Aku mens," lirih Heera tampak kesakitan. Punggung tangan Sean jatuh di kening Heera, mengusap keringat istrinya sebelum menyibak selimut dan melihat banyak darah menodai seprai. "Maaf..." lirih Heera lagi penuh sesal. Heera mencoba menegakan tubuhnya, tapi tidak bisa karena nyeri yang menjalar di perutnya luar biasa mencengkram. Sean menggeleng, mengecup telapak tangan Heera sesaat sebelum menggotong badan mungil Heera dan memindahkannya ke sofa panjang di sudut ruangan. Langkah cepat Sean berjalan menuju lemari pakaian, mengambil celana milik Heera berserta dalaman, tak lup
"Cantik ya istrinya Sean," Heera tersenyum malu, lantas menunduk sopan kepada Mira -Teman Lucia- yang baru saja memujinya. "Kalau kata Keenan, Ayahnya cuma suka sama cewek cantik. Cantik hati dan parasnya, seperti Heera." timpal Lucia menambahi, semakin membuat Heera menunduk dalam."Sudah isi belum?" tanya Mira tiba-tiba. Lucia menatap Heera dengan wajah tak enak hati. Ia tahu pertanyaan Mira mungkin mengganggu anak menantunya itu. "Belum. Masih mau fokus mengurus Keenan dulu, Tan." jawab Heera tersenyum kalem. Mira manggut-manggut, "Anak saya dulu belum sebulan nikah sudah hamil. Sekarang anaknya udah tiga, jaraknya cuma beda satu tahun." curhat Mira. "Memang sih kalau anaknya banyak istrinya jadi lebih repot, tapi keluarga mereka tambah seru lho karena banyak anggotanya." imbuhnya diakhiri tawa renyah.Tangan Lucia terulur dan jatuh dipunggung sempit Heera, mengusap lembut di sana. "Maklum bu, Heera masih muda. M