Sedari tadi Sean tidak bisa berhenti tersenyum karena satu nama yang membuat harinya berbunga-bunga. Banyak alasan yang membuat Sean tersenyum, tapi segalanya karena Heera. Pertama, Heera sudah memaafkannya, mereka sudah mengobrol seperti biasa melalui telepon tadi pagi. Kedua, Keenan bercerita padanya kalau tadi siang Heera datang ke sekolahnya untuk mengantarkan makan siang. Ketiga, Heera membantah kalau dia suka Arta.
Meskipun yang ketiga Sean hanya seperti sedang menghibur dirinya sendiri. Secara logika Sean tau Heera hanya menyangkal, karena Heera pernah mengatakan kalau ia sedang menyukai pria lain, dan Sean tidak bodoh untuk peka siapa pria yang Heera maksud. Sudah pasti Arta.
Meski begitu, biarkan saja Sean berpura-pura bodoh kali ini.
DRTTT
Ponsel Sean bergetar, panggilan masuk dari Adelio yang ia tunggu-tunggu. Tanpa berpikir panjang, Sean langsung mengangkatnya dan menempelkan ponselnya ke daun telinga.
"Heera udah pulang, bang." Tanpa b
Katanya tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Tapi lagi-lagi Heera dan Keenan bertemu Arta di taman komplek. Entah ini murni kebetulan atau secara diam-diam Arta memang sering ke komplek tempat tinggal Heera tanpa Heera ketahui dengan tujuan agar bertemu Heera secara kebetulan. Padahal memang sudah Arta rencanakan. Saat pertama kali bertemu Keenan di taman komplek, anak itu sangat senang ketika Arta membelikannya ice cream. Tapi kali ini, ekspresi Keenan sangat berbeda, tak ada senyum yang Keenan berikan kepada Arta, bahkan Keenan seperti menahan kesal dan tidak suka melihat kedatangan pemuda tampan itu. "Ayah melarangku untuk makan ice cream, nanti batuk." tolak Keenan saat Arta memberikan ice cream dengan rasa kegemerannya. Heera dan Arta seketika saling melempar tatapan bingung. "Ini ice cream, bukan es cekek. Jadi gak bakal bikin kamu batuk, Ken." rayu Arta membuat Heera tertawa, tapi rayuan sekaligus guyonan itu tidak mempa untuk Keenan.
"Ayah kamu kayaknya gemukan ya, Ken.""Soalnya kalau tante Heera yang masak Ayah pasti makannya nambah!" Keenan menyahuti ucapan Lucia, membuat Lucia tersenyum lebar. Sementara Heera dan Sean dengan kompak menundukan kepalanya menahan rona di pipi."Bener begitu, Sean?" tanya Lucia sengaja ingin membuat Sean dan Heera semakin tersipu."Ya, kalau mama tidak percaya tanya saja sama Heera." kata Sean melempar atensi Lucia ke Heera yang sedang berusaha mengeluarkan jurus tembus pandang supaya keberadaannya tak terlihat. Tapi Sean malah membuat dirinya jadi pusat perhatian.Heera mengangkat pandangan lalu mengeluarkan cengiran khasnya, "He he, iya tante."Lucia tersenyum tipis saja sambil menatap Heera dalam, nilai gadis itu kian bertambah di mata Lucia. Kalau begini ia bakal tambah semangat untuk menyambut menantu barunya.Sean bangkit dari duduknya, "Sean ke ayah dulu. Ayo, Ken." kata Sean sambil mengulurkan tangannya kepada Keenan kemudi
"AYAH!!!" Keenan menjerit kaget begitu melihat hasil potongan rambutnya yang menjadi kelinci percobaan ayahnya sendiri. Sementara itu, Sean menahan tawa melihat rambut Keenan yang tidak sesuai ekspetasinya. Keenan menghentakan kakinya kesal di lantai, wajahnya sudah tertekuk antara jengkel dengan Sean dan menahan tangis karena rambutnya jadi berantakan tak terarah. "Aku tidak mau tahu, pokoknya kembalikan lagi rambutku!" jerit Keenan sambil mengusap-usap matanya yang mulai berair. Menatap tak rela potongan-potongan rambutnya di lantai. Sean menggaruk tengkuknya dengan tawa yang belum juga usai. Habisnya potongan rambut Keenan aneh sekali. "Ayah!" sentak Keenan karena kesal melihat reaksi Sean yang malah tertawa puas. "Kembalikan lagi rambut aku!" imbuh Keenan seraya menarik-narik kaus yang Sean kenakan. Sean menaruh sisir dan Clipper ke atas meja kemudian ia merengkuh tubuh mungil Keenan dan mengusap-usap pundak ana
"Kamu capek ya, Ra?" Heera yang sedang merenggangkan tubuhnya seketika menoleh dan tersenyum canggung karena kedatangan Sean yang tiba-tiba. Pria itu menyodorkan Heera segelas susu coklat hangat. Tanpa sungkan, Heera menerima susu pemberian Sean. Tidak ada argumen, kedua insan itu hanya diam sambil memandang kearah depan. Kebetulan mereka sedang di balkon lantai dua rumah Sean. Keenan sudah terlelap di kamarnya, anak kecil itu jelas kelelahan setelah melewati hari yang cukup panjang dan menyenangkan. "Terimakasih ya sudah mengajarkan Keenan untuk saling berbagi. Mas bahkan tidak menyangka kalau pemikiran Keenan sudah sedewasa itu." Sean masih tidak percaya dengan yang Keenan lakukan tadi siang. Anak sulungnya itu membagikan ice cr
Wanita dengan rambut sepundak itu menghirup napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Sudah lama rasanya tidak menghirup udara ibu kota Jakarta yang sebenarnya terkontaminasi debu kendaraan. Sejuk tidak, gersang iya, makanya wanita itu langsung batuk kecil lalu menutup hidungnya menggunakan tangan."Sambutan yang mengesankan, asap bajaj!" celetuknya lalu bergegas pergi menjauh dari bajaj yang tiba-tiba saja berhenti di sampingnya. Membuat asap yang keluar dari knalpot bajaj itu menyeruak di sekitarnya.Wanita itu mendengus kesal, beberapa tahun silam, biasanya sorot lampu kamera para wartawan dan fans lah yang akan menyambutnya begitu kakinya berpijak di lantai bandara, tapi kali ini, satu pun tak ada mata yang tertuju padanya.Waktu sudah berlalu begitu cepat dengan perubahan yang sangat signifikan. Kini dirinya sudah tidak berarti apa-apa lagi di mata para penggemar yang dulu sangat memujanya.Ya, dia adalah Yuna. Perempuan yang 7 t
"Kamu pulangnya masih lama ya, Ra?"Kekehan Heera terdengar begitu Sean bertanya dengan nada manjanya."Ya ampun, mas! belum juga dua puluh empat jam aku tinggal." jawab Heera di sebrang sana.Sementara Sean yang sedang fokus menyetir kini memajukan bibirnya, kecewa. "Waktu kalau tidak ada kamu terasa lama banget jalannya." jawab Sean bete.Samar-samar Sean dengar decakan Heera, "Gak usah lebay deh, mas!" sentaknya, padahal aslinya sedang menahan senyum salah tingkah.Heera juga wanita, punya perasaan. Siapa yang tidak salah tingkah jika di goda begitu oleh Sean. Walaupun duda tapi kalau lihat tampangnya bikin pengen di halalin jadi istri barunya.Kedua alis Sean mengernyit lalu ia berkata, "Kok lebay, sih? mas serius lho ini!" jawab Sean sedikit sewot.Heera terkekeh lagi. Kalau seperti ini kan dia jadi pengan cepet pulang, ingin melihat wajah tertekuk Sean yang diam-diam Heera kagumi. Heera sudah bilang belum kalau wajah
Kedua mata Yuna tidak bisa berhenti menatap penjuru rumah Sean yang mewah dan nyaman, kakinya terus melangkah sambil menatapi foto-foto pertumbuhan Keenan yang berada di atas bupet. Selama matanya menatap foto Keenan, senyum di bibir Yuna terus mengembang. Meski dalam hatinya menyesal karena tidak bisa melihat dan menemani Keenan hingga tumbuh sebesar sekarang."Foto itu di ambil saat aku umur 4 tahun, tante." Keenan yang tadi di dapur bersama Sean tiba-tiba datang dan berdiri di samping Yuna.Segera Yuna membuang muka untuk menghapus matanya lebih dulu, lalu menatap Keenan dengan senyum tulusnya, tak lupa tangan Yuna mengusap rambut lebat Keenan."Ganteng ya, dari kecil sampai sekarang kamu tetap ganteng." puji Yuna, beberapa detik kemudian wanita itu tersentak karena bingkai foto Keenan yang berada di tangannya di rampas Sean dengan sedikit kasar.Tanpa suara Sean meletakan bingkai foto Keenan pada tempatnya, "Duduk," kata Sean dengan tegas, mau t
"Good morning, tante Yura!" sapa Keenan yang baru saja masuk ruang dapur dan mendapati Yuna yang sibuk memasak. Yuna yang sedang sibuk mengaduk buburnya praktis menoleh dan tersenyum cerah. Untuk pertama kalinya setelah 7 tahun berlalu, ia kembali dapat melihat pemandangan wajah bangun tidur Keenan. "Morning, sayang." jawab Yuna sambil berjalan kearah Keenan, mengusap kedua mata Keenan yang masih menyipit lalu mencium pipi, kening dan pucuk kepala anak itu. "Tante sedang masak, ya?" tanya Keenan penasaran, pandangannya menatap panci di atas kompor yang menyala. Pertanyaan Keenan, Yuna respon dengan anggukan penuh semangat, "Iya, tante masak bubur. Kamu suka, kan?" Keenan mengangguk tak kalah semangat, kakinya sedikit berjingkrak, penasaran ingin melihat bubur masakan Yuna, "Aku mau lihat!" katanya, dengan hati-hati Yuna langsung mengangkat tubuh Keenan. "Astaga, Ken!
Sean menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya beserta sang istri. Dengan tak sabaran pria itu menanggalkan daster Heera yang kenakan. Melihat gunung kembar Heera yang menganggur didepan mata, segera ia gunakan mulut serta tangannya untuk bekerja. Tidak perlu di jelasin apa yang Sean lakukan saat ini, karena ya, memang yang sedang pria itu lakukan sesuai dengan isi kepala kalian sekarang. Heera melenguh di antara tidurnya. Tentu wanita hamil itu tertegun saat membuka mata dan mendapati Sean sedang bersarang di tempat favorit suaminya. Memasuki bulan kelahiran, Sean dan Heera sepakat untuk puasa alias tidak melakukan hubungan badan. Tapi tetap saja, soal menyusu sudah menjadi aktivitas rutin Sean setiap malam. Terkadang Heera juga memuaskan suaminya itu dengan segala cara yang bisa ia lakukan. Tangan Sean bekerja dengan baik saat ini, memijat dan memainkan payudara sintal sang istri yang makin membesar karena efek kehamilan. Gairah Sean tak terelakkan begitu mendengar desahan H
Beberapa Tahun Kemudian... "Pegang tangan abang, Kel." perintah Keenan sambil tersenyum lembut, ia lantas menggenggam erat tangan mungil sang adik kesayangannya dengan sigap setelah mereka keluar dari mobil. Saat ini kakak beradik itu tengah berjalan menuju sebuah taman kanak-kanak tempat Keela bersekolah. Ya, Shakeela Isyana Rangadi, putri kedua Sean dan Heera. "Ayah, ayo cepetan." ujar Keela dengan suara menggemaskan. Ia tidak sabaran ingin bertemu teman-temannya, sementara Sean sedang mengeluarkan tas dan totebag berisi kotak bekal yang Heera buatkan untuk Keela. "Sabar dong, Sayang. Ayo, pegang tangan ayah." Sean menyampirkan tas berwarna pink milik Keela ke pundaknya, lalu tangan kanannya yang bebas ia gunakan untuk menggandeng tangan mungil Keela. Sambil dituntun dua bodyguard yang selalu menjaganya Keela berjalan memasuki halaman sekolahnya, seorang guru menyapanya dengan senyum manis seperti biasa. "Pagi, Keela." "Pagi, Bu Vira." jawab Keela setelah menyalimi tangan sang
"Kamu di mana, Ra?" Heera merapatkan bibirnya, mendengar suara rendah Sean, sepertinya pria itu sudah menunggunya pulang di rumah."Aku masih di mall, mas.""Masih sama Jessi?" Beberapa detik Heer terdiam, pandangannya menoleh ke arah Jessi dan dua pria yang baru saja dikenalnya. Yang satu teman kencan Jessi, yang satu lagi adalah teman dari teman kencannya Jessi. "I-iya, masih dong." Heera tak berbohong, ia memang masih bersama Jessi, hanya saja istri Sean itu tidak berterus terang kalau ada dua pria yang bersamanya sekarang. "Pulang. Keenan nyariin kamu. Mas tunggu." ucapan Sean yang menekan disetiap kalimat dan langsung mematikan sambungannya begitu saja membuat Heera membatu di tempat. Heera takut, kenapa Sean bersikap demikian? Apa ia mengetahuinya? Kepala Heera spontan menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari radar Sean, tapi tidak menemukan. "Siapa?" Rakha, pria yang duduk dihadapan Heera bertanya saat melihat kepanikan yang melanda wajah Heera. "Suami aku. Aku udah disuruh
"Mas, aku boleh keluar gak sama Jessi?" Heera bertanya, menatap dengan pandangan sedikit ragu kearah Sean yang baru saja mendudukan diri di atas sofa. Ini sudah sore, dan Sean baru bangun dari tidurnya. Pria itu langsung istirahat setelah menyetir perjalanan panjang dari rumah mertuanya. "Mau kemana, Sayang?" tanya Sean sambil mengusak rambutnya yang sedikit aut-autan. Melihat itu, tangan Heera jadi gatal dan ikut merapikan rambut sang suami. "Mau jalan aja, udah lama juga aku gak jalan sama Jessi." jawab Heera. Sean manggut-manggut. Semenjak menikah, Heera memang jarang keluar bersama temannya, selain karena kadang Sean larang, tapi Heera juga memikirkan Keenan. Siapa yang akan menjaga anak itu jika ia pergi? Meski beberapa kali Heera mengajak Keenan saat ngumpul bersama temannya. Itu pun kalau Sean izinkan."Ngajak Keenan?" tanya Sean. Heera terdiam sesaat, sebelum menggeleng perlahan. "Kasihan Keenan habis pergi jauh, lagian kan ada Mas di rumah." Alasan Heera menerima tawaran J
"Gimana ngurus suami sama anak kamu, gak ada kesulitan, kan?" Heera yang sedang menyiram tanaman di halaman lantas menoleh ke arah Prima yang lagi duduk di kursi teras. Sebelum menjawab, Heera tertawa kecil lebih dulu. "Gak ada kok, Bu. Mas Sean sama Keenan gampang diurusnya." jawab Heera dengan nada guyon. "Coba kamu duduk sini dulu bentar, Ra." perintah Prima, meminta Heera untuk duduk di kursi kosong di sebelahnya. Saat ini di rumah hanya ada mereka berdua karena Keenan, Sean dan Rahel sedang bersepeda. Kebetulan sekarang sudah sore, cuacanya cocok untuk bermain di luar rumah. Tanpa membantah, Heera mematikan keran air lebih dulu kemudian duduk di sebelah sang Ibu. Raut wajah Heera tampak serius mengikuti mimik milik Prima. "Ada apa, Bu?" tanya Heera penasaran. Tidak biasanya sang Ibu tampak hendak membicarakan hal serius begini. "Tadi Sean minta di do'akan supaya kamu cepat isi. Memangnya kamu sudah siap memberikan Sean
"Masih sakit perutnya, Sayang?"Heera yang sedang memainkan ponselnya di atas ranjang spontan menoleh dan mendapati Sean yang baru saja memasuki kamar. "Udah gak sesakit tadi," jawab Heera seraya meletakan ponselnya. Atensinya kini terfokus penuh pada Sean yang baru saja merebahkan badannya disamping sang istri. Tangan Sean bergerak, menyelinap masuk ke dalam piyama Heera lalu mengusap-usap hangat perut istrinya itu. "Syukurlah," katanya. "Mas mau nanya boleh?" sambung Sean membuat Heera mengernyitkan keningnya. "Nanya apa, Mas?" "Kamu pernah ketemu Ayah kamu di sekolah Keenan?" to the point. Sean tidak ingin ada rahasia diantara ia dan Heera. Meski Sean tahu Heera sedang berusaha menutupi hal ini darinya.Heera diam sesaat, seakan tertangkap basah rahasianya. Tapi dengan ragu cewek itu mengangguk, lengkap dengan wajah penuh sesalnya. "Iya. Tapi Ayah seperti gak kenal aku." lirih Heera tersirat kesedihan. Ia masih ingat bagaimana sikap Juni ketika bertemu dengannya dan Keenan beb
"Kita gak pernah bertemu, tapi kamu mengenali saya." Sean tersenyum tipis. Saat ini ia sedang berbicara empat mata dengan Juni di salah satu kafe yang jaraknya tidak jauh dari sekolah Keenan. Sebenarnya, Sean sudah menolak ajakan Juni karena ia khawatir meninggalkan Heera sendirian di rumah, tapi Juni memohon dan meminta waktu Sean. Karena sungkan, Sean tidak ada pilihan lain. "Tidak mungkin saya tidak mengenal mertua saya sendiri," jawab Sean. Ia memang tidak pernah bertemu langsung dengan Juni, tapi bukan Sean namanya kalau tidak bisa mendapatkan informasi orang-orang yang berhubungan dengan Heera. Kalau sekedar mencari identifikasi Juni saja dalam satu menit pun bisa Sean dapatkan."Satu minggu lalu saya bertemu Heera saat sedang mengambil rapot untuk Keenan." ujar Juni membuat Sean tak bergeming. Heera tidak mengatakan apapun tentang hal itu. "Jadi, Keenan anak kalian?" imbuh Juni dengan kerut yang tercetak di keningnya. "Tapi, setahu saya
"Sayang, you okay?" Sean bertanya khawatir kepada Heera yang meringkuk bak janin di sampingnya. Disentuhnya pundak telanjang Heera yang berkeringat dingin, sepasang mata Sean yang sayup-sayup terbuka seketika langsung sepenuhnya terjaga melihat wajah sang istri yang pucat dan banjir keringat. Tangan Heera mencengkram lemas lengan Sean, sementara satu tangannya memegangi perutnya. "Aku mens," lirih Heera tampak kesakitan. Punggung tangan Sean jatuh di kening Heera, mengusap keringat istrinya sebelum menyibak selimut dan melihat banyak darah menodai seprai. "Maaf..." lirih Heera lagi penuh sesal. Heera mencoba menegakan tubuhnya, tapi tidak bisa karena nyeri yang menjalar di perutnya luar biasa mencengkram. Sean menggeleng, mengecup telapak tangan Heera sesaat sebelum menggotong badan mungil Heera dan memindahkannya ke sofa panjang di sudut ruangan. Langkah cepat Sean berjalan menuju lemari pakaian, mengambil celana milik Heera berserta dalaman, tak lup
"Cantik ya istrinya Sean," Heera tersenyum malu, lantas menunduk sopan kepada Mira -Teman Lucia- yang baru saja memujinya. "Kalau kata Keenan, Ayahnya cuma suka sama cewek cantik. Cantik hati dan parasnya, seperti Heera." timpal Lucia menambahi, semakin membuat Heera menunduk dalam."Sudah isi belum?" tanya Mira tiba-tiba. Lucia menatap Heera dengan wajah tak enak hati. Ia tahu pertanyaan Mira mungkin mengganggu anak menantunya itu. "Belum. Masih mau fokus mengurus Keenan dulu, Tan." jawab Heera tersenyum kalem. Mira manggut-manggut, "Anak saya dulu belum sebulan nikah sudah hamil. Sekarang anaknya udah tiga, jaraknya cuma beda satu tahun." curhat Mira. "Memang sih kalau anaknya banyak istrinya jadi lebih repot, tapi keluarga mereka tambah seru lho karena banyak anggotanya." imbuhnya diakhiri tawa renyah.Tangan Lucia terulur dan jatuh dipunggung sempit Heera, mengusap lembut di sana. "Maklum bu, Heera masih muda. M