“Kenapa enggak jawab? Apakah kamu mencintaiku?” Vela mengulangi pertanyaannya. Pria yang sedang membalas tatapannya pun mengerjap.
“Kenapa kamu tiba-tiba bertanya begitu?” ucap Eridan seraya memasang senyuman. Ia takut jika matanya menyiratkan kejujuran.
“Karena ucapanmu barusan bisa membuatku salah paham. Aku hampir mengira kalau kamu mencintaiku. Perkataanmu terlalu menyanjungku, Ridan,” terang Vela seraya menyeka air mata. “Bagus, Vela. Kamu berhasil mengendalikan situasi dengan cukup baik,” puji perempuan itu dalam hati.
“Ck, apa yang kamu bicarakan? Aku hanya mengatakan yang sesungguhnya. Sudahlah, aku masuk saja. Biar aku yang memasak untuk makan malam. Kamu coba pertimbangkan data dariku itu. Siapa tahu, kamu benar-benar menemukan platform yang lebih sesuai.” Eridan langsung berdiri dan menghilang dari hadapan Vela. Si wanita hanya terdiam menatap punggungnya.
“Lihatlah, Vel. Kamu menyakiti hatimu lagi,” batinnya sebelum mengembuskan napas pasrah.
Tawa Eridan sontak reda ketika Vela berlari tanpa sepatah kata. Beberapa detik kemudian, terdengar suara pintu dibanting dari arah luar. “Loh? Kenapa dia mengambek? Aku kan cuma bercanda.” Sambil bertanya-tanya, Eridan pergi menghampiri tempat persembunyian istrinya.“Vel? Kamu marah?” tanya sang pria setelah mengetuk pintu kamar mandi. Tak ada seorang pun yang menyahutnya.“Vel, aku minta maaf deh. Aku kan cuma bercanda. Jangan tersinggung, dong!” Lagi-lagi, keheningan yang menjawab. Eridan mulai mengaruk-garuk kepala. “Gawat! Dia benar-benar marah. Ck, apa yang harus kulakukan sekarang?”Setelah menimbang-nimbang sejenak, pria itu tidak lagi memanggil istrinya. Ia membiarkan Vela menyendiri hingga kemarahannya reda. Sementara itu, di balik pintu, Vela bersandar sembari mengelap air mata. Rasa dongkol telah memenuhi hatinya.“Lihatlah! Dia bahkan
“Kok bisa tidak diterima? Bukankah wawancaramu lancar dan pihak sekuritas memujimu dalam banyak hal? Ini benar-benar tidak masuk akal, Ridan,” protes Vela di depan suaminya yang memaksakan senyuman.“Sudahlah, Vel. Kita harus menerima hasilnya dengan lapang dada. Mungkin, aku memang enggak ditakdirkan bekerja di sana.”“Tetap saja, ini aneh Ridan. Kenapa mereka menolakmu kalau masih membutuhkan tenaga kerja? Lihat ini! Mereka masih memasang pengumuman lowongan kerja.” Vela menunjukkan poster dari website LMN Sekuritas.“Mungkin, mereka belum sempat menghapusnya.”“Enggak mungkin, Ridan.”“Vela, tolong jangan seperti ini. Sikapmu malah membuatku tak enak hati,” ucap Eridan mengungkapkan kejujuran. Hanya dengan dua kalimat tersebut, ia berhasil membungkam mulut sang istri. “Maaf kalau aku masih p
“Vela, kamu mau menunggu sampai kapan?” tanya Eridan sambil menekuk lutut di hadapan istrinya yang duduk di bangku panjang.“Sampai Pak Rion mau menerimamu bekerja di sini. Ini enggak bisa dibiarkan, Ridan. Ares selalu mengarang cerita yang tidak masuk akal. Aku heran kenapa orang-orang mau saja percaya padanya.”“Sst, pelankan suaramu. Enggak enak kalau sampai terdengar orang lain,” bisik Eridan seraya memeriksa sekeliling mereka.“Biarkan saja! Justru bagus kalau orang-orang mengetahui sifat aslinya.”Sang pria hanya bisa menghela napas menghadapi emosi istrinya yang berkobar terlampau besar. “Bagaimana kalau kita makan siang dulu? Ini sudah hampir jam satu, Vel. Jam istirahat kantor saja sudah hampir habis.”“Kamu saja yang makan. Aku enggak boleh pindah ke mana-mana. Kalau Pak Rion lewat ketika aku enggak di si
“Ridan, coba kamu pakai ini!” pinta Vela sambil memosisikan sehelai kemeja biru di depan tubuh sang suami.“Apa ini? Hadiah untukku?”“Coba saja dulu!” desak Vela sembari menarik kaus oblong sang pria. Eridan pun menurut.“Wah, pas sekali! Syukurlah,” gumam sang wanita dengan senyum kecil. Selang satu desah napas, ia memutar tubuh sang suami agar menghadap cermin. “Apa kamu suka?”Eridan mengangguk. “Suka …. Jadi, ini hadiah untukku?” tanyanya dengan sebelah sudut bibir terangkat lebih tinggi.Vela pun mengulum senyum. “Ya,” sahutnya ambigu. Nada bicaranya menyuarakan kebahagiaan sekaligus kesedihan. Sebelum sang pria mengetahui kegundahannya, ia mengerjap dan membuka kancing kemeja baru itu. “Kalau begitu, biar kucuci sekarang. Jadi, kamu bisa memakainya di hari pertama kerja besok.”“Terima kasih, Vel,” ucap Eridan tulus.“Sama-sama.” Setelah menunjukkan senyum ke
Vela menelan ludah dan mengepalkan kedua tangan. Dengan sekuat tenaga, ia membuka mulut dan menjawab, “Ya, sekarang aku istrimu.”Alis Eridan sontak berkerut heran. Sedetik kemudian, pria itu memajukan wajah meneliti ekspresi si wanita. “Kamu marah?”Mata Vela pun membulat. Ia baru sadar bahwa emosinya gagal disamarkan. “Enggak. Siapa yang marah?”“Lalu, kenapa matamu bergetar?”Pelupuk Vela berkedip-kedip tak karuan. “Karena aku sudah mengantuk.”“Lalu, kenapa hidungmu kembang-kempis?”“Enggak.” Si wanita langsung mengangkat tangan menutupi hidungnya.“Itu kembang-kempis,” sanggah Eridan setelah menurunkan tangan sang istri. “Kalau bukan marah, berarti kamu gugup,” simpulnya kemudian.Bibir Vela mulai bergetar
“Cassie? Kenapa kau di sini?” tanya Eridan dengan kerut alis melukiskan keheranan. Mata perempuan di hadapannya pun terbuka tak kalah lebar.“Aku … aku ….” Pandangan si wanita kurus kini bergerak-gerak tak tentu arah. Selang beberapa saat, kakinya melangkah mundur lalu berbalik pergi.Merasa ada yang tak beres, Eridan langsung berlari mengejar. “Tunggu dulu, Cassie.”“Apa lagi, Eri? Aku sudah tidak mengganggu istrimu. Apa lagi yang kau minta?” Sekali lagi, si wanita bergegas menjauh.“Aku bertanya kenapa kau di sini? Apa mungkin … kau hamil?”Langkah Cassie pun terhenti. Setelah menimbang-nimbang sejenak, ia berbalik dan mendongakkan wajah ke arah si mantan kekasih. “Tidak. Aku tidak hamil. Aku sakit, Eri.”Kerut alis sang pria otomatis bertambah dalam. “Sakit?”“Kanker mulut rahim. Sekarang, apa kau senang sudah membuatku menderita?”Pelupuk Eridan
“Belakangan ini, kamu semakin sering pulang malam, Ridan. Kapan kita bisa bersantai seperti biasa lagi? Padahal, aku sudah bersemangat menyelesaikan target harian menulisku,” protes Vela sembari melirik ke arah jam. Suaminya selalu pulang lewat dari pukul 9.“Maaf, Vel. Pekerjaanku sedang menumpuk. Bersabarlah sampai masalah ini selesai, hm?” tutur pria berwajah lelah. Dengan penuh harapan, ia membelai wajah sang istri.“Masalah apa? Kamu enggak pernah cerita kalau di kantor sedang ada masalah,” geleng perempuan yang tidak mengerti. Mulut Eridan sontak menganga. Ia telah melontarkan kalimat yang salah.“Hm, sulit untuk dijelaskan, tapi percayalah padaku. Aku pasti bisa mengatasinya,” angguk pria yang sedang mengusahakan senyum. Ia tidak tahu bahwa bibirnya tidak bisa lagi melengkung. Sudutnya hanya tertarik datar menuju pipi.Sadar akan kebohongan sang suami, Vela pun menggembungkan pipi. “Apakah malam ini kamu mau
“Kamu mau pergi? Bukankah kamu baru saja memintaku menemanimu makan malam?” tanya Vela dengan kerut alis tak terima. Perempuan itu hanya bisa pasrah melihat sang suami bergegas menuju motornya.“Maaf, Vel. Aku harus pergi. Permintaan klien kali ini sangat mendesak.”“Oh, begitukah? Lebih penting dari kebersamaan kita?” Mata sang wanita mulai berkaca-kaca.“Maaf, Vel. Besok malam, kita makan bersama. Oke?”Tanpa menggerakkan kepala sedikit pun, Vela melihat motor Eridan melaju. Otaknya sudah teralihkan oleh rasa sesak dalam dada. Bernapas pun sulit bagi wanita itu.“Lihatlah, Vel. Siapa yang kamu harapkan? Laki-laki yang bahkan tidak memandang dirimu penting,” ucap Vela kepada diri sendiri. Sedetik kemudian, ia tertunduk dan menelan ludah.“Ah, kenapa sakit sekali?” Dengan mata terpejam, perempuan itu memukul-mukul dada, berharap rasa nyeri berhenti menggerogoti asa.
“Kamu tunggu di sini, ya. Aku cari dulu di mana mainannya. Carina pasti meletakkannya sembarangan,” perintah Vela saat ia dan Eridan masuk ke rumah.“Oke! Jangan lama-lama, ya!”Anak laki-laki itu pun menurut dan langsung duduk di ruang tamu. Sambil celingak-celinguk, ia mengetuk-ngetuk jari pada batas celana merahnya di lutut.“Mainan ular yang seperti asli? Seperti apa bentuknya?” gumam bocah itu seraya mengingat penjelasan Vela tadi pagi. Selang beberapa detik, ia pun berteriak. “Sudah ketemu belum, Vel?”“Belum! Sabar!”Eridan kecil pun berdecak dan melangkah masuk ke ruang tengah. Ketika ia melewati lemari TV, kakinya berhenti. Matanya tertuju pada ular kecil berwarna hijau yang melintang di dekat kaki lemari.“Loh? Ini mainannya. Vel, sudah ketemu. Ada di sini.” Dengan berani, Eridan mencengkeram ekor ular dan membawanya menemui Vela.Di saat yang hampir bersamaan, gadis kecil itu menghampiri dengan senyum semringah. Tangannya sedang m
“Ridan, kamu masih berutang penjelasan kepadaku!” desak Vela ketika suaminya masuk ke dalam kamar. Ia bahkan tidak membiarkan pria itu mengenakan baju terlebih dulu.“Penjelasan apa sih, Vel?” desah Eridan seraya menarik celana dari lemari dan mengenakannya.“Kamu jangan pura-pura lupa, deh. Tentang ciuman pertama kita. Kenapa kamu menjawab di perpustakaan?”“Kalau aku jujur, kamu bakal marah, enggak?” tanya sang pria dengan sebelah alis terangkat. Dengan langkah santai, ia menghampiri istrinya yang duduk di ranjang.“Tergantung,” sahut Vela seraya mengangkat sebelah bahu.Dengan senyum misterius, Eridan ikut duduk di atas kasur. Sambil menatap istrinya lekat-lekat, ia pun memulai cerita. “Dulu itu, kita sering belajar di perpustakaan, kan? Tempatnya sepi, cocok untuk belajar tapi bikin mengantuk.”Mulut Vela tiba-tiba menganga tanpa suara. Setelah mengangguk-angguk, barulah perempu
“Ridan ... kamu harus membayar berapa untuk menyewa tempat ini?” bisik Vela ketika sang suami menarik tangannya memasuki sebuah gedung mewah. Dengan sudut bibir terangkat misterius, pria berkemeja merah itu mendekat ke telinga istrinya.“Tidak mahal, kok. Aku dapat diskon karena pemilik gedung ini berteman dekat dengan Roger.” Setelah mengedipkan sebelah mata, ia membawa istrinya masuk ke lift.“Terima kasih, ya, Ridan. Kamu sudah melakukan banyak hal untukku,” tutur sang wanita selagi lantai yang mereka pijak bergerak naik.“Vela, pesta bahkan belum dimulai, tapi kamu sudah berterima kasih kepadaku? Bagaimana kalau kamu simpan rasa syukurmu itu sampai tiga minggu lagi,” tutur Eridan seraya mengangkat alis. Dengus napas langsung berembus dari hidung istrinya.“Sampai kita boleh berhubungan, maksudmu?”“Tepat sekali
“Loh, Pa? Sepatu siapa ini?” tanya Nyonya Aster begitu mendapati sepatu asing di samping tempat anak bungsunya meletakkan sepatu.“Bukan sepatu Carina?” celetuk sang suami dengan raut tak acuh.“Bukan dong, Pa. Ukurannya saja besar begini,” terang sang istri heran.“Mama,” sapa seorang anak kecil berambut panjang. Mata bingung sang wanita sontak berubah hangat. “Eh, Carina ... kamu lagi apa?”“Nonton TV.”“Sama Kakak?” tanya sang ibu sambil menghampiri.“Sendiri.”“Tumben? Kakakmu mana?” tanya Nyonya Aster seraya membelai rambut putrinya.“Di kamar. Katanya mau mengerjakan tugas bareng teman.”“Teman?” Mata Nyonya Aster terbelalak. Setelah berkedip-kedip cepat, wanita
“Aku pergi ke bar itu karena Roger memintaku untuk menemaninya,” jawab Eridan seraya merapikan rambut Vela yang menutupi leher.“Kenapa dia mau ditemani? Apakah dia mau memperkenalkanmu kepada seseorang?” terka perempuan itu asal. Tanpa terduga, pria yang sedang duduk di tepi ranjang mengangguk dengan tampang datar. “Siapa?” Mata Vela otomatis membulat.“Orang tuanya.”Kerut alis si wanita sontak bertambah dalam. “Orang tuanya? Tapi, kenapa memilih tempat di bar?”“Karena bar itu milik orang tua Roger.”Mulut Vela spontan menganga. “Seorang pengacara memiliki bar?”Tawa kecil pun berembus dari mulut Ridan. “Bukan orang tua angkat Roger, Vel, tapi orang tua kandungnya.”Sang istri seketika berkedip-kedip heran. “Tunggu dulu. Jadi, Roger itu anak angkat?”Eridan kembali mengangguk. “Ya. Aku tidak bisa menceritakan secara rinci, tapi intinya, Roger dul
“Kamu sedang apa, Vel? Bukankah dokter bilang kamu enggak boleh melakukan aktivitas berat dulu?” tanya Eridan ketika mendapati istrinya sedang mencuci beras.“Memasak bukan aktivitas berat, Ridan.”“Tetap saja, kamu mengeluarkan energi ketika memasak,” protes pria yang berkacak pinggang di samping istrinya.“Bernapas juga mengeluarkan energi. Jadi, aku enggak boleh bernapas?” celetuk Vela menggemaskan. Sang suami langsung terpancing untuk mengecup bibirnya yang mengerucut.“Apa kamu lupa? Ada urusan penting yang harus kita selesaikan,” tutur Eridan seraya menaikkan alis.“Tunggu sampai aku selesai memasak, ya,” timpal Vela tanpa perlu mengingat-ingat. Hal itu sudah memenuhi otaknya sejak tadi malam, saat orang-orang yang menjenguknya sudah pulang.“Tidak usah memasak, Vela. Kita pes
“Kenapa Oma bertanya seperti itu?” selidik Vela tak langsung memberikan jawaban.“Karena saat bertemu dengan Ares, dia mengatakan seperti itu. Kalau memang benar demikian, maka pernikahan kalian tidak seharusnya dilanjutkan. Oma tidak akan memaksamu dengan pria mana pun lagi.”Deg! Jantung Vela sontak memompa darah lebih kencang. Ia tidak menyangka jika topik tentang perceraian kembali mencuat. “M-maksud Oma?” tanyanya pura-pura tak mengerti.“Ya, kalau memang benar itu alasan pernikahan kalian, maka sekarang kalian harus bercerai. Bukankah keadaan sudah berubah. Kamu tidak perlu seseorang untuk dijadikan tameng dari perjodohan.”Helaan napas pun berembus samar. Udara di sekitar Vela mendadak beku, sama dengan raganya yang mematung. Otaknya terlalu sibuk mencerna perintah neneknya.“Kenapa? Kamu tidak mau menceraikan Eridan?” tukas sang nenek sukses menarik kembali perhatian cucunya. Alis Vela kini
“Vela ..., ini aku, Vel. Eridan,” ucap sang pria dengan suara lembut dan pelan.Bukannya sadar, Vela malah semakin menunduk, menyembunyikan setengah wajah di balik lipatan tangan. Ketika sang suami melangkah maju, ia bahkan bergeser menjauh tanpa peduli batas kasur.“Vel, jangan takut ...” bisik Eridan yang terus berjalan. Sebelah tangannya pun terangkat perlahan, mencoba menaklukan kekalutan sang istri. Akan tetapi, semakin pendek jaraknya dengan pundak Vela, semakin gemetar tubuh wanita itu.“Vel,” panggil pria itu lembut. Tangannya telah berhasil menyentuh sang istri. Namun, belum sempat ia lanjut bicara, suara tangis sudah lebih dulu pecah.“Jangan takut, Vel. Ada aku di sini. Hm?” ucap Eridan ketika menyejajarkan pandangan. Alih-alih menjawab, perempuan itu hanya menggeleng-geleng tanpa kata.“Vela, tatap mataku,” pinta sang pria sembari memindahkan tangannya dari pundak menuju pipi sang istri.
“Kau yakin itu tidak apa-apa?” tanya pria yang mengernyit melihat darah di celana Vela. Tampangnya seperti baru saja memakan lemon yang sangat masam.“Astaga, Res. Kenapa kau pengecut sekali, sih? Itu cuma darah menstruasi. Tidak apa-apa. Kita saja pernah melakukannya ketika aku sedang dalam periode.”Selang keheningan sejenak, pria itu kembali menggeleng. “Tidak mungkin. Dia enggak memakai pembalut. Pasti itu bukan darah menstruasi.”Cassie pun menggaruk-garuk kepala tak habis pikir. “Jadi, sekarang, kau mau menyia-nyiakan semua usaha kita? Kau tinggal sedikit lagi mendapatkan Vela, Res. Come on!”“Tapi tidak dalam kondisi seperti ini, Cas. Kalau seandainya terjadi apa-apa pada Vela, bagaimana? Aku tidak mau dituduh sebagai pembunuh.”Helaan napas lelah kini berembus dari mulut si pencetus ide. “Ares, dar