“Belakangan ini, kamu semakin sering pulang malam, Ridan. Kapan kita bisa bersantai seperti biasa lagi? Padahal, aku sudah bersemangat menyelesaikan target harian menulisku,” protes Vela sembari melirik ke arah jam. Suaminya selalu pulang lewat dari pukul 9.
“Maaf, Vel. Pekerjaanku sedang menumpuk. Bersabarlah sampai masalah ini selesai, hm?” tutur pria berwajah lelah. Dengan penuh harapan, ia membelai wajah sang istri.
“Masalah apa? Kamu enggak pernah cerita kalau di kantor sedang ada masalah,” geleng perempuan yang tidak mengerti. Mulut Eridan sontak menganga. Ia telah melontarkan kalimat yang salah.
“Hm, sulit untuk dijelaskan, tapi percayalah padaku. Aku pasti bisa mengatasinya,” angguk pria yang sedang mengusahakan senyum. Ia tidak tahu bahwa bibirnya tidak bisa lagi melengkung. Sudutnya hanya tertarik datar menuju pipi.
Sadar akan kebohongan sang suami, Vela pun menggembungkan pipi. “Apakah malam ini kamu mau
“Kamu mau pergi? Bukankah kamu baru saja memintaku menemanimu makan malam?” tanya Vela dengan kerut alis tak terima. Perempuan itu hanya bisa pasrah melihat sang suami bergegas menuju motornya.“Maaf, Vel. Aku harus pergi. Permintaan klien kali ini sangat mendesak.”“Oh, begitukah? Lebih penting dari kebersamaan kita?” Mata sang wanita mulai berkaca-kaca.“Maaf, Vel. Besok malam, kita makan bersama. Oke?”Tanpa menggerakkan kepala sedikit pun, Vela melihat motor Eridan melaju. Otaknya sudah teralihkan oleh rasa sesak dalam dada. Bernapas pun sulit bagi wanita itu.“Lihatlah, Vel. Siapa yang kamu harapkan? Laki-laki yang bahkan tidak memandang dirimu penting,” ucap Vela kepada diri sendiri. Sedetik kemudian, ia tertunduk dan menelan ludah.“Ah, kenapa sakit sekali?” Dengan mata terpejam, perempuan itu memukul-mukul dada, berharap rasa nyeri berhenti menggerogoti asa.
“Jangan paksa aku, Ridan! Aku enggak mau mengandung anakmu!” Vela terus memberontak meski sia-sia. Tenaganya terlalu lemah bagi seorang pria yang dilanda keberingasan.Tanpa melakukan pemanasan, Eridan menyerbu masuk dan menghujam dengan kekuatan penuh. Erangan kesakitan sontak terdengar pilu.“Akh …! Ridan … kumohon,” rintih Vela lirih. Tangannya terus menggapai-gapai, mencoba meraih apa pun yang berada dalam jangkauan. Namun, yang ia dapat hanyalah seprai yang bahkan tidak bisa digenggam.“Ridan! Engh …. Hentikan!” seru Vela di sela desah. Erangan tertahan membuntuti kata-katanya. Perempuan berwajah merah itu sudah tidak bisa melawan. Serangan suaminya terlalu brutal, sama sekali tak kenal ampun.“Kumohon, Ridan …” bisik wanita yang telah pasrah. Akan tetapi, Eridan tetap mendesak tubuhnya. Alhasil, Vela pun terpejam dan meringis dalam rintihan. Hatinya tidak bisa lagi diselamatkan. Kepingannya telah berhamburan m
Setiap pagi, Eridan menatap sisi ranjang yang tidak ditempati. Hatinya meringis perih. Setelah memejamkan mata menenangkan emosi, ia berangkat kerja dan menyibukkan diri sebisa mungkin.Saat siang datang, pria itu masih menemui Cassie, berharap bahwa keputusannya untuk membantu wanita itu tidak sia-sia. Kemudian, ia kembali ke kantor dan mendesak pikiran untuk fokus pada pekerjaan. Pada malam hari, Eridan mengunjungi mantan kekasih lagi. Setelah memastikan perempuan itu makan dan meminum obat, barulah ia pulang dan mengurung diri bersama kerinduan.“Apa yang sedang Vela lakukan? Apakah dia sudah tidur? Semoga saja dia tidak lupa makan. Ah, aku benar-benar ingin memeluknya,” batin Eridan sembari mengeratkan dekapan. Boneka dalam lingkar lengannya kini tidak lagi berbentuk bintang.“Vela bahkan tidak membawa Star bersamanya. Dia pasti benar-benar ingin melupakanku,” pikir pria yang lagi-lagi dilanda kenegatifan. “Jika tidak, bagaimana
“Ah, kenapa badanku terasa tak nyaman?” gumam Vela sembari mengangkat jemari dari keyboard. Setelah memijat tengkuk dan pundak sejenak, perempuan itu mendesah. “Ah, sepertinya … aku perlu istirahat. Tangannya pun meraih sebungkus roti dan susu.Begitu hendak menyobek kemasan, gerakannya membeku. “Apakah hari ini aku makan di luar saja?” pikirnya sambil mengerutkan alis. “Sepertinya, aku perlu asupan yang lebih bergizi.”Setelah mengangguk ragu, Vela akhirnya keluar dari sarang. Dengan kepala terus menatap jalan, ia berjalan menuju warung makan terdekat.Ketika hendak memasuki warung, mata Vela terbelalak. Sosok yang ia kenal sedang menatap balik dengan mata yang tak kalah besar. Kopi yang hendak diminum langsung diletakkan kembali ke atas meja. Sebelum pria itu bereaksi, Vela secepat mungkin berbalik dan melarikan diri.“Vela? Kenapa dia
“Bagaimana, Sus? Apa benar tekanan darahnya rendah?” tanya Roger begitu perawat mulai membuka lilitan di lengan kiri Vela.“Benar. Tensinya hanya 88/59 mmHg.”“Lalu, bagaimana, Dok?” tanya Roger sembari mengalihkan pandangan menuju wanita berjas putih yang tampak sedang berpikir.“Sus, tolong siapkan ruang USG. Saya curiga, sepertinya pasien ini sedang hamil.”Deg! Mata Roger langsung terbuka lebar dan jantungnya berdebar hebat. “Vela hamil?”“Itu baru dugaan saja, Pak. Tapi, Bapak tidak perlu khawatir. Sebentar lagi, istri Anda akan segera sadar. Pasien hanya memerlukan infus dan vitamin.”Roger mengangguk dengan tampang datar. “Terima kasih, Dok.” Setelah sang dokter pergi, tatapan Roger terfokus pada Vela. “Jika kamu benar-benar hamil, apa yang harus kulakukan?” tanyanya dalam hati. Dengan tangan terkepal dan desah napas samar, sang pria mencari jawaban dalam benaknya.***
“Apa ada yang perlu kubantu, Mbok?” tanya Vela ketika memasuki dapur. Wanita yang sedang menyiapkan sarapan pun menoleh.“Eh, Non Vela ... pagi sekali sudah bangun,” sahut Mbok Sum seraya menyunggingkan senyum hangat. “Kenapa enggak pakai baju dari lemari?”Sang tamu langsung tersenyum dan menggeleng. “Aku lebih nyaman pakai bajuku sendiri, Mbok,” sahut perempuan berkaus oblong yang sudah agak pudar itu.“Ya sudah, kalau begitu, sekarang Non Vela duduk dulu. Sarapan sepuluh menit lagi siap.”“Mau kubantu, Mbok?” tanya Vela sembari memeriksa bahan makanan yang tersedia.“Enggak perlu, Non. Cuma bikin dadar telur dan rebusan sayur.”“Enggak apa-apa, Mbok. Biar aku enggak cuma menumpang hidup di sini.”“Jangan, Non .... Den Roger melar
“Kamu benar-benar gila, Roger. Untuk apa kamu memberiku rumah baru sebagus ini?” protes Vela ketika pria itu menyeret kopernya memasuki ruang tamu.“Sudah kubilang, ini bukan rumah baru, Vel. Ini rumah warisan orang tuaku yang jarang ditempati. Daripada sia-sia, lebih baik kamu tinggal di sini.” Laki-laki itu terus menyeret koper menuju kamar. Meskipun Vela berusaha menghadang, ia tetap melaju.“Tetap saja, Roger. Ini terlalu banyak. Aku tidak bisa menerima ini.”Tiba-tiba, Roger melepas gagang koper dan berbalik menangkap lengan wanita yang berusaha merebut kopernya. “Vela, tidak bisakah kamu mengerti? Kalau kamu tidak bisa menerima hatiku, setidaknya terimalah rumah ini. Apakah sesulit itu menerima sebagian kecil dari diriku?”Deg! Jantung Vela melontarkan keterkejutan. Ia tidak menyangka bahwa Roger berani melepas kejujuran dari kandangnya. Kini, tid
Setelah pertengkaran dengan Eridan, Roger tidak berani menampakkan diri di hadapan Vela. Ia tidak ingin menambah beban pikiran wanita hamil itu. Jika Vela tahu keadaan Eridan yang sekarang, bukan tidak mungkin perempuan itu akan menangis tanpa henti dan Roger tidak suka melihat Vela menangis.Malangnya, selang dua hari sejak insiden itu, Vela menghubunginya. Wanita hamil itu ingin membicarakan hal penting dengannya. Mau tidak mau, Roger pun datang menemui sang cinta.“Astaga, Roger .... Ada apa dengan wajahmu? Apa yang terjadi?” tanya Vela ketika ia menyambut kedatangan tamunya yang baru melewati pagar. Sembari meringis, diperhatikannya setiap memar.“Ah, ini ....”“Apakah kamu bertengkar dengan Ridan?” terka Vela tanpa terduga. Perempuan itu memiliki imajinasi yang terkadang memang masuk akal dan sesuai dengan kenyataan.“Hm, ya,”
“Kamu tunggu di sini, ya. Aku cari dulu di mana mainannya. Carina pasti meletakkannya sembarangan,” perintah Vela saat ia dan Eridan masuk ke rumah.“Oke! Jangan lama-lama, ya!”Anak laki-laki itu pun menurut dan langsung duduk di ruang tamu. Sambil celingak-celinguk, ia mengetuk-ngetuk jari pada batas celana merahnya di lutut.“Mainan ular yang seperti asli? Seperti apa bentuknya?” gumam bocah itu seraya mengingat penjelasan Vela tadi pagi. Selang beberapa detik, ia pun berteriak. “Sudah ketemu belum, Vel?”“Belum! Sabar!”Eridan kecil pun berdecak dan melangkah masuk ke ruang tengah. Ketika ia melewati lemari TV, kakinya berhenti. Matanya tertuju pada ular kecil berwarna hijau yang melintang di dekat kaki lemari.“Loh? Ini mainannya. Vel, sudah ketemu. Ada di sini.” Dengan berani, Eridan mencengkeram ekor ular dan membawanya menemui Vela.Di saat yang hampir bersamaan, gadis kecil itu menghampiri dengan senyum semringah. Tangannya sedang m
“Ridan, kamu masih berutang penjelasan kepadaku!” desak Vela ketika suaminya masuk ke dalam kamar. Ia bahkan tidak membiarkan pria itu mengenakan baju terlebih dulu.“Penjelasan apa sih, Vel?” desah Eridan seraya menarik celana dari lemari dan mengenakannya.“Kamu jangan pura-pura lupa, deh. Tentang ciuman pertama kita. Kenapa kamu menjawab di perpustakaan?”“Kalau aku jujur, kamu bakal marah, enggak?” tanya sang pria dengan sebelah alis terangkat. Dengan langkah santai, ia menghampiri istrinya yang duduk di ranjang.“Tergantung,” sahut Vela seraya mengangkat sebelah bahu.Dengan senyum misterius, Eridan ikut duduk di atas kasur. Sambil menatap istrinya lekat-lekat, ia pun memulai cerita. “Dulu itu, kita sering belajar di perpustakaan, kan? Tempatnya sepi, cocok untuk belajar tapi bikin mengantuk.”Mulut Vela tiba-tiba menganga tanpa suara. Setelah mengangguk-angguk, barulah perempu
“Ridan ... kamu harus membayar berapa untuk menyewa tempat ini?” bisik Vela ketika sang suami menarik tangannya memasuki sebuah gedung mewah. Dengan sudut bibir terangkat misterius, pria berkemeja merah itu mendekat ke telinga istrinya.“Tidak mahal, kok. Aku dapat diskon karena pemilik gedung ini berteman dekat dengan Roger.” Setelah mengedipkan sebelah mata, ia membawa istrinya masuk ke lift.“Terima kasih, ya, Ridan. Kamu sudah melakukan banyak hal untukku,” tutur sang wanita selagi lantai yang mereka pijak bergerak naik.“Vela, pesta bahkan belum dimulai, tapi kamu sudah berterima kasih kepadaku? Bagaimana kalau kamu simpan rasa syukurmu itu sampai tiga minggu lagi,” tutur Eridan seraya mengangkat alis. Dengus napas langsung berembus dari hidung istrinya.“Sampai kita boleh berhubungan, maksudmu?”“Tepat sekali
“Loh, Pa? Sepatu siapa ini?” tanya Nyonya Aster begitu mendapati sepatu asing di samping tempat anak bungsunya meletakkan sepatu.“Bukan sepatu Carina?” celetuk sang suami dengan raut tak acuh.“Bukan dong, Pa. Ukurannya saja besar begini,” terang sang istri heran.“Mama,” sapa seorang anak kecil berambut panjang. Mata bingung sang wanita sontak berubah hangat. “Eh, Carina ... kamu lagi apa?”“Nonton TV.”“Sama Kakak?” tanya sang ibu sambil menghampiri.“Sendiri.”“Tumben? Kakakmu mana?” tanya Nyonya Aster seraya membelai rambut putrinya.“Di kamar. Katanya mau mengerjakan tugas bareng teman.”“Teman?” Mata Nyonya Aster terbelalak. Setelah berkedip-kedip cepat, wanita
“Aku pergi ke bar itu karena Roger memintaku untuk menemaninya,” jawab Eridan seraya merapikan rambut Vela yang menutupi leher.“Kenapa dia mau ditemani? Apakah dia mau memperkenalkanmu kepada seseorang?” terka perempuan itu asal. Tanpa terduga, pria yang sedang duduk di tepi ranjang mengangguk dengan tampang datar. “Siapa?” Mata Vela otomatis membulat.“Orang tuanya.”Kerut alis si wanita sontak bertambah dalam. “Orang tuanya? Tapi, kenapa memilih tempat di bar?”“Karena bar itu milik orang tua Roger.”Mulut Vela spontan menganga. “Seorang pengacara memiliki bar?”Tawa kecil pun berembus dari mulut Ridan. “Bukan orang tua angkat Roger, Vel, tapi orang tua kandungnya.”Sang istri seketika berkedip-kedip heran. “Tunggu dulu. Jadi, Roger itu anak angkat?”Eridan kembali mengangguk. “Ya. Aku tidak bisa menceritakan secara rinci, tapi intinya, Roger dul
“Kamu sedang apa, Vel? Bukankah dokter bilang kamu enggak boleh melakukan aktivitas berat dulu?” tanya Eridan ketika mendapati istrinya sedang mencuci beras.“Memasak bukan aktivitas berat, Ridan.”“Tetap saja, kamu mengeluarkan energi ketika memasak,” protes pria yang berkacak pinggang di samping istrinya.“Bernapas juga mengeluarkan energi. Jadi, aku enggak boleh bernapas?” celetuk Vela menggemaskan. Sang suami langsung terpancing untuk mengecup bibirnya yang mengerucut.“Apa kamu lupa? Ada urusan penting yang harus kita selesaikan,” tutur Eridan seraya menaikkan alis.“Tunggu sampai aku selesai memasak, ya,” timpal Vela tanpa perlu mengingat-ingat. Hal itu sudah memenuhi otaknya sejak tadi malam, saat orang-orang yang menjenguknya sudah pulang.“Tidak usah memasak, Vela. Kita pes
“Kenapa Oma bertanya seperti itu?” selidik Vela tak langsung memberikan jawaban.“Karena saat bertemu dengan Ares, dia mengatakan seperti itu. Kalau memang benar demikian, maka pernikahan kalian tidak seharusnya dilanjutkan. Oma tidak akan memaksamu dengan pria mana pun lagi.”Deg! Jantung Vela sontak memompa darah lebih kencang. Ia tidak menyangka jika topik tentang perceraian kembali mencuat. “M-maksud Oma?” tanyanya pura-pura tak mengerti.“Ya, kalau memang benar itu alasan pernikahan kalian, maka sekarang kalian harus bercerai. Bukankah keadaan sudah berubah. Kamu tidak perlu seseorang untuk dijadikan tameng dari perjodohan.”Helaan napas pun berembus samar. Udara di sekitar Vela mendadak beku, sama dengan raganya yang mematung. Otaknya terlalu sibuk mencerna perintah neneknya.“Kenapa? Kamu tidak mau menceraikan Eridan?” tukas sang nenek sukses menarik kembali perhatian cucunya. Alis Vela kini
“Vela ..., ini aku, Vel. Eridan,” ucap sang pria dengan suara lembut dan pelan.Bukannya sadar, Vela malah semakin menunduk, menyembunyikan setengah wajah di balik lipatan tangan. Ketika sang suami melangkah maju, ia bahkan bergeser menjauh tanpa peduli batas kasur.“Vel, jangan takut ...” bisik Eridan yang terus berjalan. Sebelah tangannya pun terangkat perlahan, mencoba menaklukan kekalutan sang istri. Akan tetapi, semakin pendek jaraknya dengan pundak Vela, semakin gemetar tubuh wanita itu.“Vel,” panggil pria itu lembut. Tangannya telah berhasil menyentuh sang istri. Namun, belum sempat ia lanjut bicara, suara tangis sudah lebih dulu pecah.“Jangan takut, Vel. Ada aku di sini. Hm?” ucap Eridan ketika menyejajarkan pandangan. Alih-alih menjawab, perempuan itu hanya menggeleng-geleng tanpa kata.“Vela, tatap mataku,” pinta sang pria sembari memindahkan tangannya dari pundak menuju pipi sang istri.
“Kau yakin itu tidak apa-apa?” tanya pria yang mengernyit melihat darah di celana Vela. Tampangnya seperti baru saja memakan lemon yang sangat masam.“Astaga, Res. Kenapa kau pengecut sekali, sih? Itu cuma darah menstruasi. Tidak apa-apa. Kita saja pernah melakukannya ketika aku sedang dalam periode.”Selang keheningan sejenak, pria itu kembali menggeleng. “Tidak mungkin. Dia enggak memakai pembalut. Pasti itu bukan darah menstruasi.”Cassie pun menggaruk-garuk kepala tak habis pikir. “Jadi, sekarang, kau mau menyia-nyiakan semua usaha kita? Kau tinggal sedikit lagi mendapatkan Vela, Res. Come on!”“Tapi tidak dalam kondisi seperti ini, Cas. Kalau seandainya terjadi apa-apa pada Vela, bagaimana? Aku tidak mau dituduh sebagai pembunuh.”Helaan napas lelah kini berembus dari mulut si pencetus ide. “Ares, dar