"Wah.. Cantik sekali Pak. Terima kasih Pak. Saya rasanya tidak pantas menerimanya. Maaf sangat merepotkan Bapak," ucap Diandra. "Saya tidak repot kok Di. Saya sangat suka melukis potret. Saat melukis Saya teringat dengan kamu, dan jadilah lukisan ini. Saya pikir hasilnya kurang mirip, tapi syukurlah kamu suka.""Suka banget Pak. Ini mirip banget sama saya kok Pak.""Iya Pak. Bagus sekali, mirip juga.""Benarkah?" Pak Bandi ingin memastikan. Diandra dan Zaid sama sama mengangguk tanda mengiyakan. "Maaf saya merepotkan Bapak," Sekali lagi Diandra mengungkapkan rasa sungkannya. "Tidak perlu begitu Diandra, saya senang melukis kamu dan memberikan hasilnya untukmu. Oh iya Pak Zaid, saya juga punya hak untuk dibicarakan dengan Pak Zaid.""Apa itu Pak?" Tanya Zaid. "Tentang urusan bisnis kita. Saya ingin membuat iklan yang sama namun versi internasional. Saya ingin membuatnya dalam cerai bahasa asing. Apa lebih baik mengulangi syutingnya agar lebih alami, atau hanya menggantikan bahasa
Oh iya Pak Zaid, sepertinya akan ada kabar gembira lainnya.""Maksud Bapak apa?" tanya Zaid. "Ada dua wanita sekaligus di dekat Pak Zaid.." ucap salah seorang dari rekan bisnis Zaid."Wanita?" Tanya Zaid. Rekan Bisnis Zaid itu mengangguk. "Nona Diandra yang selalu bersama Pak Zaid dan juga wanita yang datang bersama Pak Zaid tadi. Sepertinya kabar bahwa Pak Zaid gila kerja tidak sepenuhnya benar.""Oh itu, Diandra adalah pegawai saya. Dan wanita yang Pak Seno maksud tadi adalah adik sepupu saya," Jawab Zaid santai. "Benarkah?" Tanya Pak Seno. Pria itu tidak yakin dengan jawaban Zaid. "Wah sayang sekali. Saya pikir, kita akan segera menghadiri pernikahan Pak Zaid." Pak Seno mengarahkan pembicaraan pada beberapa rekan bisnis lainnya. "Doakan saja Pak, Saya juga tidak tahu jodohnya masih dimana," Jawab Zaid. "Hahaha.." Mereka tertawa kecil bersama. "Kalau begitu Saya mau menyapa Pak Bandi dulu ya Pak Seno," ucap Zaid. "Silahkan P
"Tapi Saya rasa mental Saya belum siap Mba," Ucap Dikta."Kalau ditunggu sampe siap dan calonnya udah nungguin lama juga gak bagus Dik. Pacar kamu mungkin udah siap untuk jenjang pernikahan. Menggantungkan harapannya untuk menikah sama kamu itu gak baik Dik.""Saya tahu Mba. Tapi ketakutan Saya lebih besar daripada keberanian Saya. Rasanya Saya belum siap harus terikat dan mengemban tanggung jawab sebagai kepala keluarga.""Ohh.. Setiap pria yang akan menikah pasti pernah merasakan hal yang sama Dik. Setiap niatan baik banyak cobaannya.""Saya tahu Mba, Saya harap bisa segera siap. Saya tidak ingin Isabella menunggu Saya terlalu lama.""Mba harap kamu bisa memutuskan yang terbaik untuk hubungan kamu ke depannya.""Oh iya Mba, Mba gimana? Gak tertarik buat merried?" Tanya Dikta. Ternyata obrolan mereka tidak usai disana, Dikta juga penasaran dengan kehidupan percintaan Diandra. "Hemm.. Saya juga penasaran dengan percintaan diri Saya sendiri Dik. Apa boleh
"Dian..?" Bu Rina menoleh ke arah Diandra berasa saat ini. "Iya Bu," Diandra segera mengusap air matanya. "Masuk!! Ngapa ngapain disana? Kok lama banget, Ibu kan udah nungguin kamu dari tadi, Di.""Ohh.. Itu.." Diandra gagu. Segera Diandra mengusap air matanya. "Diandra tadi hampir ketiduran di kamar Diandra Bu," Jawab Diandra. Diandra berjalan ke arah sang Ibu. "Oh.. Ibu juga mikirnya gitu. Pantesan lama banget." Bu Rina segera membereskan sajadah dan membuka mukenanya. "Ibu.." Diandra memeluk Ibunya dari belakang. Ia tidak bisa membendung perasaannya yang lumayan emosional. "Ada apa Di?" Tanya Bu Rina. Tidak biasanya Diandra terlihat sangat manja pada sang Ibu. "Diandra sayang Ibu," Bisik Diandra. "Ibu juga sayang kamu, sayang." Be Rina melepaskan pelukan Diandra dan berbalik arah. Bu Rina segera memeluk Diandra kembali. "Bahkan jika Ibu tidak ada lagi di Dunia ini, Ibu akan tetap ada di hati kamu sayang. ""Ibu ngomongnya serem
Kamu pikir orang tua kamu aja Di? Keluarga saya pasti akan membunuh saya," ucap Zaid. "Ya Allah," Keluh keduanya. "Tut. Tut.." Pesan singkat masuk ke ponsel Zaid. [Menikahlah! Maka foto foto syur ini tidak akan tersebar luas. Ingat Waktu kalian hanya tiga hari!] Itulah isi pesan singkat itu. "Dari siapa Pak?" Tanya Diandra. Said segera menunjukkan isi pesan singkat itu pada Diandra. Diandra membaca pesan itu dengan seksama dan teliti. Setelah itu berlangsung keheningan beberapa saat. "Ini ulah Bapak Kan?" Tanya Diandra. "Ulah saya gimana Di? Maksud kamu apa?" Tanya Zain. "Iya ulah Bapak!! Mana ada orang ngancem suruh menikah?" Ucap Diandra. "Astaghfirullah, Ya Allah.. Dzolim kamu sama saya Di. Fitnah namanya itu," ucap Zaid. "Setir du mobilnya Pak. Kalau kita bertengkar di depan rumah saya, Ibu saya bisa denger dan curiga sama kita," ucal Diandra. Setuju dengan ucapan Diandra, Zaid segera menginjak pedal mobilnya. Zaid menyetir cukup jauh sebelum menepikan mobilnya di tam
Kita bicara lagi aja Pak. Kalau sekarang yang ada tambah emosi yang ada.""Kamu selalu bilang nanti, tapi seperti biasa permasalahan ini gak pernah selesai dibicarakan Di," ucap Zaid. "Terus, harus banget Saya menikah sama Bapak biar masalah ini selesai?""Iya kalau itu satu satunya cara buat nyelesain masalah ini Di," Jawab Zain. "Saya akan mencoba menjadi suami yang terbaik buat kamu, Diandra. Tolong percaya sama saya," jelas Zaid. "Gimana mau percaya sama Bapak? Bapak aja udah ngecewain saya!" ucap Diandra. "Diandra, tolong jangan keras kepala. Keluarga kamu, dan keluarga saya, tolong pikirkan mereka.""Beri saya waktu untuk berpikir Pak, sekarang kita ke kantor aja!" Ucap Diandra. Dengan kecanggungan mereka, Diandra dan Zaid berangkat ke kantor. "Terima kasih Pak," Ucap Diandra. Diandra turun sedikit jauh dari kantor. "Sama sama. Tolong pikirkan dengan baik Di.""Iya Pak," Jawab Diandra. Sambil berjalan menuju kantor, Dian
"Perasaan aku gak enak. Kayaknya akan terjadi sesuatu yang buruk. Yakin banget aku kali ini!" Ucap Bianca. "Wuss lambe mu, jangan sampe la! Kalau pun iya akan terjadi sesuatu, minta yang baik baik lah Bi," ucap Dikta. "Astaghfirullah, iya iya." Bianca ngucap. "Tapi feelingku sama kayak Bianca loh, Dik.""Do'ain yang terbaik aja aja deh guys," Ucap Dikta. Usai menggunjingkan kedua atasan mereka, mereka memilih untuk kembali menyelesaikan pekerjaan karena waktu pulang tidak lama lagi. Sedangkan Diandra masih menyusuri jalanan. Ia tidak tahu harus kemana, dan langkahnya berhenti di depan sebuah masjid. Waktu ashar sudah memasuki waktunya, Diandra memutuskan untuk sholat dulu. 'Indah sekali,' batin Diandra. Ia sudah bertahun-tahun bekerja di daerah sekitar sana tapi baru kali ini berkesempatan sholat disana. Jika tidak hari ini mungkin Diandra tidak akan pernah singgah disana. Lepas berwudhu, Diandra menunaikan sholat dan berdoa. Seusai
"Aku berharap kamu menemukan pria yang baik. Pria yang bisa memahami kamu, dengan keanehan dan dramanya kamu.""Hahaha.. Apa aku seburuk itu Zain?" Tanya Diandra. Wajahnya yang tadinya murung sedikit cerah dan gembira. "Iya parah banget Di. Pria itu sangat tidak beruntung mendapatkan kamu. Hahaha..." "Iih.. Dasar, nyebelin.""Hahah.." Mereka berdua tertawa. "Hemm, aku hanya bercanda Di. Pria yang menjadi suami kamu pasti sangat beruntung Di. Kamu baik orangnya, perhatian, dan penyayang. Orang tuaku saja sangat sayang padamu dan ingin kamu jadi menantu mereka karena kamu baik.""Kamu bisa aja, Om dan Tante hanya bercanda aja itu Zain." Diandra tersenyum. Akhirnya Zain bisa melihat senyum Diandra hari ini, setelah sekian lama tidak melihat Diandra. "Aku serius, dan orang tuaku serius loh Di," ucap Zain. Seketika ucapan dari mulut Zain tadi menyebabkan keheningan diantara keduanya. Sekitar lima detik berjalan, "Hahaha.. Bercandanya serius bange