Niat hati awalnya mau masak mie instan, tapi setelah membuka laci dapur disana sama sekali nggak ada makanan instan. Satu mie pun nggak ada. Aku lupa, kalau tadi siang cuma masak bahan makanan sisa-sisa di kulkas.
“Kamu sedang apa?”
Ah, lagi-lagi suara itu! Setelah mengomel tanpa suara, sambil berbalik badan aku memutar bola mata. Jengkel. Ya, kenapa sih dia selalu bicara tiba-tiba? Selalu!
“Mau masak mie tapi nggak ada!” ketusku.
“Makan malam diluar, mau? Sekalian belanja isi kulkas.” katanya.
Kalau bukan karena perut udah lapar nggak ketulung, aku ogah menganggukan kepala. Duh!
“Ayo,” tanpa kata lain dia menarik tanganku, membawaku keluar dari rumah.
“Tapi aku belum ganti baju... Masa ke supermarket pake kaos begini, nanti dikira aku tuh jalan salam om-om.” cerocosku sambil terus berusaha melepas cekalan tangannya di per
Senyum bahagiaku belum luntur barang sedikitpun. Terserah mau bibir jadi kering atau dibilang kayak orang gila, aku nggak peduli. Yang penting aku senang. Senang karena sudah membuat Hanna pulang dari rumah ini.Yak, beberapa menit lalu, setelah dia menangkap basah aku dan Mas Arsan sedang ciuman, dia langsung pamit pulang. Nggak langsung sih sebenarnya, Hanna bantu aku cuci gelas dulu terus dia pamit. Katanya sih mau ke Surabaya, melihat butiknya yang lagi ada masalah.Berbeda denganku yang sekarang lagi bahagia, Mas Arsan sedang kebingungan sejak tadi karena harus mencari jawaban pas untuk pertanyaan Alin yang menanyakan mengenai kejadian tadi, waktu Mas Arsan sedang berduaan denganku.“Ayah.. jawab dong! Kok diem terus...!” Alin mulai merengek. Ini bukan kali pertama dia merengek, daritadi dia bahkan berteriak didepan Ayahnya yang tak kunjung memberi jawaban.Aku jadi k
“Tante.. parfum aku dimana...?”Aku buru-buru menguncir rambut asal sambil keluar dari kamar menuju kamar sebelah. Masuk ke dalam, kulihat Alin sedang mengobrak-abrik meja, mencari parfum.“Masih di tas kali.. kemarin kan kamu bawa waktu renang.” kataku.“Ambilin dong!”Bahkan nggak ada kata 'tolong' sama sekali. Tapi aku tetap mengambilkan parfumnya. Menyerahkannya secara nggak ikhlas. Baru hendak melangkah keluar, suara Alin lagi-lagi memerintahkanku.“Tante, kok poni aku miring begini? Ada yang panjang ada yang pendek, nggak pas..” katanya.Aku balik badan, melihat dia sedang bercermin sambil memegangi poninya yang menjulang hampir menutupi mata. “Nggak kelihatan kok.” jawabku.“Ish! Tapi kan nggak enak buat kedip. Hari ini aku mau UTS, aku nggak mau waktu ngerjain soal jadi keganggu sama poni.” curhatnya.
Matahari pagi bersinar cerah di arah sana. Namun tidak dengan diriku. Pagi ini aku bersinar suram karena di landa rasa marah berkelebihan. Gimana tidak marah coba? Kalau pagi-pagi, sekitar pukul 07:00 Mas Arsan sudah memberi kabar tak mengenakan. Dia bilang, kalau hari ini aku sudah di bolehkan untuk pulang. Yak, setelah bedrest selama dua hari, akhirnya aku bisa lepas juga dari ruangan membosankan ini. Jelas aku senang dengan kabar itu. Tapi, yang bikin aku tidak senang adalah, kami pulangnya bukan ke rumah Mas Arsan. Melainkan ke rumah Orangtuanya Mas Arsan.Katanya, untuk sementara kami tinggal disana dulu. Agar aku ada yang merawat dan Alin juga ada yang menjaga. Aku menolak mentah-mentah alasan itu dengan bilang kalau aku bisa merawat diri sendiri sekaligus merawat Alin. Tapi tetap saja di tentang olehnya. Yang pada akhirnya aku kalah. Fix, mulai dari sekarang aku harus siap sedia usus panjang agar tidak terpan
Author POV Sudah lebih dari lima menit Nawang termenung dalam duduknya. Mulutnya terkatup tanpa sepatah kata. Sesekali ia mengganti posisi duduk dengan merebahkan kepala di punggung sofa ruang tengah. Otaknya kini tengah berfikir mengenai panggilan Alin untuknya, yaitu 'Mama'. Sedangkan Alin memanggil Arsan dengan sebutan 'Ayah'. Bukankah Ayah pasangannya sama Bunda? Mama sama Papa. Papi sama Mami. Dady sama Mommy. Appa sama Amma. Ummi sama Abi. Babeh sama Enyak.Dan, entah bagaimana kenapa ia harus memikirkan hal yang tidak terlalu penting ini? Seperti tidak ada hal lain saja untuk di pikirkan.Nawang mendesah kesal, merasa salah dengan otaknya. Pandangan matanya kini beralih pada sosok yang barusan ia pikirkan. Alin tengah duduk lesehan di bawah permadani, sibuk pada dunianya sendiri. Bermain dengan buku gambar dan krayon. Akhir-akhir ini dia jadi sering menggambar. Apa
Matanya selalu sembab. Dia selalu diam dengan posisi yang sama. Tubuh ringkihnya selalu menghindar dari siapapun, kecuali sang Ibu. Hatinya tidak pernah membaik. Begitulah sekiranya keadaan Nawang.Sudah satu Minggu lebih setelah kepergian sang calon anak, yang dilakukan Nawang di dalam kamar hanyalah duduk termenung di tengah tempat tidurnya, memeluk kedua lutut tanpa daging itu dan menangisi kepergian anaknya.Dalam diamnya dia selalu berpikir bagaimana caranya untuk membalas perbuatan Mama Mertuanya. Ya, Nawang berniat balas dendam. Dia masih tidak terima dengan kejahatan Mama Mertuanya.Pintu kamar Nawang terbuka, Mama Nawang masuk membawa nampan berisi makan siang. Beliau memang selalu membawa makan untuk Nawang, walau pada akhirnya tidak di makan oleh Nawang. Tapi entah untuk siang ini. Mama Nawang berharap anak bungsunya itu mau makan. Beliau meletakkan nam
Keputusan Nawang tidak di setujui oleh para Kakak-kakaknya. Terutama Kakak laki-lakinya yang kedua, yaitu Reza. Lelaki itu membantah mentah keputusan gila adik bungsunya. Dan, dengan egoisnya, di depan para keluarganya, Reza memutuskan untuk membawa Nawang ke rumah barunya yang ada di Bekasi.“Abang nggak mau tahu, kalau kamu masih membantah, Arsan yang bakal kena akibatnya.” ujar Reza setelah mendengar penolakan Nawang.Nawang yang memang hatinya belum benar-benar membenci Arsan, tidak bisa berbohong bahwa dirinya khawatir. Tahu sekali sifat Reza seperti apa. Kakak keduanya itu orang yang keras dalam mendidik apapun. Bisa lihat sendiri bagaimana bentuk sifat Luna yang notabene-nya anak Reza, jelas sekali keduanya sama-sama keras. Dia tidak bisa memilih.Disisi lain, ingin rasanya Nawang membiarkan apa yang akan Reza lakukan pada Arsan. Namun, ketika mengigat kembali ucapan Mamanya, Nawan
Usai mengantar pulang Alin dan Hanna, Arsan tidak langsung pulang ke rumah sendiri, lebih dulu ke rumah Orangtuanya. Guna untuk meminta restu, dukungan serta saran pada anggota keluarganya.Masuk ke ruang tengah, Arsan tidak menemukan siapapun. Dia melangkah menuju dapur. Dan melihat anggota keluarganya tengah menyantap makan malam.Semua pasang mata terlihat terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Karena memang selama ini Arsan jarang berkunjung ke rumah ini. Dia akan berkunjung jika sang Papa memaksanya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Arsan masih belum bisa bertatap muka terlalu lama dengan sang Mama. Perasaannya akan terasa kacau jika dirinya menatap sang Mama. Di sisi lain ia sudah bisa memaafkan Mamanya, namun jika sudah mengingat bagaimana wajah histeris Nawang saat itu, ingin rasanya Arsan mencabik-cabik Mamanya sendiri.Setelah memasang ekspresi terkejut beberapa detik, Ma
Usai mengantar pulang Alin dan Hanna, Arsan tidak langsung pulang ke rumah sendiri, lebih dulu ke rumah Orangtuanya. Guna untuk meminta restu, dukungan serta saran pada anggota keluarganya.Masuk ke ruang tengah, Arsan tidak menemukan siapapun. Dia melangkah menuju dapur. Dan melihat anggota keluarganya tengah menyantap makan malam.Semua pasang mata terlihat terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Karena memang selama ini Arsan jarang berkunjung ke rumah ini. Dia akan berkunjung jika sang Papa memaksanya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Arsan masih belum bisa bertatap muka terlalu lama dengan sang Mama. Perasaannya akan terasa kacau jika dirinya menatap sang Mama. Di sisi lain ia sudah bisa memaafkan Mamanya, namun jika sudah mengingat bagaimana wajah histeris Nawang saat itu, ingin rasanya Arsan mencabik-cabik Mamanya sendiri.Setelah memasang ekspresi terkejut beberapa detik, Ma
Ruangan tengah dipenuhi oleh suara tangis anak kecil laki-laki berusia dua tahunan itu. Dia terduduk dengan mainan berserakan diatas permadani. Tangisnya semakin pecah ketika menyadari bahwa dirinya sudah lama sekali menangis namun belum ada satupun manusia yang sudi menghampiri dan menggendongnya.Suara derap langkah terdengar. Itu Arsan. Dia baru pulang mengajar segera mempercepat langkahnya kala melihat Aiden Dwi Arsyad, anak keduanya menangis kencang sedangkan disekelilingnya tidak ada siapa-siapa.Tanpa pikir panjang ia menggendong Aiden dan menenangkannya.Nawang datang sambil membawa kemasan biskuit untuk Aiden. Dia menatap mainan yang berantakan macam kapal pecah.“Jangan lagi biarin Aiden main sendiri. Tadi dia nangis kencang banget, kamu nggak dengar?” ujar Arsan sedikit marah.“Tadi aku nyuruh Alin buat jagain kok. Aku pikir Aiden nangis cuma gara-gara Kakaknya
Lelaki itu menghela napas melihat pemandangan di depannya. Pemandangan kamar yang memperlihatkan Nawang dan Alin saling memeluk satu sama lain. Sudah berkali-kali mulut memanggil keduanya untuk bangun, namun sama sekali tidak ada yang menyahut. Sebenarnya, mimpi apa yang tengah mereka impikan sampai-sampai telinganya setuli itu.“Alin.. bangun Sayang. Kamu nggak berangkat sekolah?” ujar Arsan untuk kesekian kalinya.Masalah Nawang yang tidak mau bangun, Arsan tidak masalah tapi kalau Alin juga ikut-ikutan tidak mau bangun, itu menjadi masalah untuk Arsan. Alin yang selalu bangun pagi-pagi untuk berangkat sekolah kini berubah setelah seminggu belakangan ini pindah tempat tidur, kembali tidur bersamanya dan Nawang.“Sekali lagi Ayah panggil nggak bangun, Ayah buang semua boneka di kamar loh.” mungkin dengan ancaman Alin akan bangun.“Alin nggak mau berangkat sekolah! Mau tidur aja sama Mama!” teri
Senyum Nawang mengembang bak adonan roti ketika melihat bayi laki-laki berusia 3 bulan dalam gendongannya itu tersenyum memamerkan isi mulut yang belum tumbuh gigi. Nawang tidak bisa lagi menahan rasa untuk tidak mendaratkan kecupan kecil di pipi gembul si bayi. Dengan gemas dia menciumi kedua pipi bayi itu hingga dirinya tertawa sendiri.“Ya ampun... Ucul banget sih kamu Arya...” katanya, menyebut nama si bayi.“Dih.. dibilang ucul ketawa dia, hahaha..” Nawang kembali mencium pipi Arya dan membuat bayi itu semakin tertawa bahak. “Mas, lihat deh Arya, dia ketawa mulu.” ujar Nawang memberitahu pada Arsan yang tengah duduk di sebelahnya dan sibuk dengan ponsel.Mendengar itu Arsan menghentikan aktivitasnya, dia menyimpan ponsel dan ikut bergabung menikmati tawa Arya. Arsan melongo tidak percaya ketika melihat sendiri tingkah Arya. Tangan Arsan terulur menyentuh pipi Arya dan mengelusn
Author POV Bel istirahat berdering nyaring di setiap kelas. Nawang, murid perempuan itu yang paling heboh diantara yang lain. Dia buru-buru mengemasi buku tulis, buku paket serta pena, dia memasukkan semuanya begitu saja di kolong laci meja.Setelah dilihatnya guru yang mengajar di kelasnya sudah keluar, ia segera keluar kelas. Dengan senyum mengembang dan langkah riang, dia menyusuri kooridor sekolahan untuk menuju taman belakang gedung.Gadis SMA itu mengembangkan senyumnya semakin lebar kala melihat seorang murid laki-laki duduk kursi panjang taman itu. Dia menghampirinya dan bergabung duduk. “Maaf ya, lama.” katanya.Murid laki-laki yang tak lain adalah kekasih Nawang itu mengangguk, “Nggak apa-apa, aku juga baru sampai.” balasnya disertai senyum.“Iiih, Arman jangan senyum gitu dong... Aku kan jadi meleleh..”Laki-laki yang di panggilnya Arman itu mala
Arsan benar-benar niat sekali untuk berusaha membawa pulang Nawang. Sebelum matahari menampakkan sinarnya, dia dan Orangtuanya sudah bersiap-siap menuju rumah Reza, tepatnya di Bekasi.Kurang lebih sekitar puluk delapan, mobilnya sudah sampai di depan gerbang rumah Reza. Arsan segera turun, mengetuk beberapa kali gembok besar dengan besi gerbang. Hingga datanglah lelaki paruhbaya yang kemarin telah membukakan pintu gerbang untuknya, yaitu Pak Amad.“Ada perlu apa ya, Pak?” Pak Amad.“Eh, saya mau ketemu sama Mbak Latiefah lagi, Pak.”Pak Amad terlihat berfikir sejenak sambil memandangi satu persatu Orangtua Arsan yang mulai keluar dari mobil. “Emm... Maaf Pak, Bapak ini yang kemarin kesini juga, kan?”Arsan mengangguk sesegera mungkin.“Maaf Pak, semalam Pak Reza bilang kalau ada orang yang kemarin kesini, dia ngga
Usai mengantar pulang Alin dan Hanna, Arsan tidak langsung pulang ke rumah sendiri, lebih dulu ke rumah Orangtuanya. Guna untuk meminta restu, dukungan serta saran pada anggota keluarganya.Masuk ke ruang tengah, Arsan tidak menemukan siapapun. Dia melangkah menuju dapur. Dan melihat anggota keluarganya tengah menyantap makan malam.Semua pasang mata terlihat terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Karena memang selama ini Arsan jarang berkunjung ke rumah ini. Dia akan berkunjung jika sang Papa memaksanya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Arsan masih belum bisa bertatap muka terlalu lama dengan sang Mama. Perasaannya akan terasa kacau jika dirinya menatap sang Mama. Di sisi lain ia sudah bisa memaafkan Mamanya, namun jika sudah mengingat bagaimana wajah histeris Nawang saat itu, ingin rasanya Arsan mencabik-cabik Mamanya sendiri.Setelah memasang ekspresi terkejut beberapa detik, Ma
Usai mengantar pulang Alin dan Hanna, Arsan tidak langsung pulang ke rumah sendiri, lebih dulu ke rumah Orangtuanya. Guna untuk meminta restu, dukungan serta saran pada anggota keluarganya.Masuk ke ruang tengah, Arsan tidak menemukan siapapun. Dia melangkah menuju dapur. Dan melihat anggota keluarganya tengah menyantap makan malam.Semua pasang mata terlihat terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Karena memang selama ini Arsan jarang berkunjung ke rumah ini. Dia akan berkunjung jika sang Papa memaksanya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Arsan masih belum bisa bertatap muka terlalu lama dengan sang Mama. Perasaannya akan terasa kacau jika dirinya menatap sang Mama. Di sisi lain ia sudah bisa memaafkan Mamanya, namun jika sudah mengingat bagaimana wajah histeris Nawang saat itu, ingin rasanya Arsan mencabik-cabik Mamanya sendiri.Setelah memasang ekspresi terkejut beberapa detik, Ma
Keputusan Nawang tidak di setujui oleh para Kakak-kakaknya. Terutama Kakak laki-lakinya yang kedua, yaitu Reza. Lelaki itu membantah mentah keputusan gila adik bungsunya. Dan, dengan egoisnya, di depan para keluarganya, Reza memutuskan untuk membawa Nawang ke rumah barunya yang ada di Bekasi.“Abang nggak mau tahu, kalau kamu masih membantah, Arsan yang bakal kena akibatnya.” ujar Reza setelah mendengar penolakan Nawang.Nawang yang memang hatinya belum benar-benar membenci Arsan, tidak bisa berbohong bahwa dirinya khawatir. Tahu sekali sifat Reza seperti apa. Kakak keduanya itu orang yang keras dalam mendidik apapun. Bisa lihat sendiri bagaimana bentuk sifat Luna yang notabene-nya anak Reza, jelas sekali keduanya sama-sama keras. Dia tidak bisa memilih.Disisi lain, ingin rasanya Nawang membiarkan apa yang akan Reza lakukan pada Arsan. Namun, ketika mengigat kembali ucapan Mamanya, Nawan
Matanya selalu sembab. Dia selalu diam dengan posisi yang sama. Tubuh ringkihnya selalu menghindar dari siapapun, kecuali sang Ibu. Hatinya tidak pernah membaik. Begitulah sekiranya keadaan Nawang.Sudah satu Minggu lebih setelah kepergian sang calon anak, yang dilakukan Nawang di dalam kamar hanyalah duduk termenung di tengah tempat tidurnya, memeluk kedua lutut tanpa daging itu dan menangisi kepergian anaknya.Dalam diamnya dia selalu berpikir bagaimana caranya untuk membalas perbuatan Mama Mertuanya. Ya, Nawang berniat balas dendam. Dia masih tidak terima dengan kejahatan Mama Mertuanya.Pintu kamar Nawang terbuka, Mama Nawang masuk membawa nampan berisi makan siang. Beliau memang selalu membawa makan untuk Nawang, walau pada akhirnya tidak di makan oleh Nawang. Tapi entah untuk siang ini. Mama Nawang berharap anak bungsunya itu mau makan. Beliau meletakkan nam