Jo mengerutkan keningnya, dia tidak mengerti apa sebenarnya maksud Nara. Dan hal apa yang ingin dia bicarakan dengannya.“Bisakah Anda ikut dengan saya, sekretaris Jo?” tanya Nara.Karena Jo penasaran mengenai hal yang ingin di tanyakan Nara padanya, Jo pun akhirnya setuju untuk mengikuti permintaan Nara. “Baiklah,” jawabnya.Setelah mendengar persetujuan dari sekretaris Jo, Nara lalu melangkahkan kakinya terlebih dulu. Sedangkan sekretaris Jo mengikutinya dari belakang. Sebenarnya Nara masih belum hafal tempat-tempat yang ada di rumah ini. Jadilah dia hanya mengikuti ke mana langkah kakinya membawanya. Dia akan berhenti melangkah saat setelah menemukan tempat yang dirasanya cocok untuk berbicara dengan sekretaris Jo. Dan dia juga tidak mungkin mengajak Jo ke dalam kamarnya, karena itu adalah kamar Zico, jika Zico tahu dirinya membawa seorang laki-laki ke dalam kamarnya, entah apa yang akan dia lakukan.“Anda ingin membawa saya ke mana, Nona?” tanya Jo, yang mulai waspada dengan s
"Kenapa ak ....” Nara tidak bisa melanjutkan kata-katanya saat dia melihat ponselnya yang berada di tangan Zico. 'Ponselku,' ucapnya dalam hati. 'Jadi, dia yang mengambilnya,' lanjutnya.Zico melihat arah pandangan Nara yang terfokus kepada tangannya yang sedang memegang ponsel miliknya. Zico menyeringai dan akan mulai menjalankan aksinya untuk membuat wanita di hadapannya ini kembali menangis menderita.“Jo bilang kau sedang mencari benda ini?” tanyanya, sembari memain-mainkan ponsel Nara yang dipegangnya.“Kembalikan ponselku!” pinta Nara.“Apakah kau masih membutuhkan benda ini? Memangnya siapa yang akan kau hubungi. Semua keluargamu kan sudah berada di neraka. Lalu kau ingin menghubungi siapa, hm?”Nara menunjukkan ekspresi marah dan bencinya pada Zico, karena dia kembali membawa-bawa nama keluarganya dengan menghinanya lagi. Kedua orang tua dan juga adiknya adalah orang-orang yang sangat baik. Mereka tidak akan berada di neraka, tapi pria di hadapannya inilah yang akan menja
Nara menangis tersedu-sedu di dalam kamarnya, dia merenungkan nasibnya yang berubah tiba-tiba. Kehidupan bahagianya bersama keluarganya hilang begitu saja bak angin yang lewat. Semuanya berubah, senyum kebahagiaan yang dulu selalu terlukis, kini berubah menjadi kesedihan yang begitu dalam. Apakah dulu dirinya terlalu bahagia, hingga karena rasa bahagia yang berlebihan itu kini ter bayarkan dengan lunas oleh penderitaan.Nara menghentikan tangisannya saat melihat ponselnya yang terletak di sofa bekas Zico duduki tadi. “Ponselku,” ujarnya. Nara langsung beranjak dari tempat tidurnya dan mengambil ponsel miliknya. Dia membuka ponselnya dan langsung melihat foto album yang ada di dalamnya. Nara tidak bisa berkata-kata lagi saat melihat album foto yang ada di ponselnya itu benar-benar hilang tanpa sisa. “Huhuhu, dia benar-benar menghapusnya hiks hiks,” tangisnya.“Sebenarnya aku menikahi manusia seperti apa? Kenapa dia tidak punya rasa belas kasih walau sedikit pun. Papa, mama, Najwa. Na
Nara duduk kembali di atas tempat tidurnya dan mengambil pil kontrasepsinya lagi, dia meminumnya dengan air matanya yang terus menetes membasahi pipinya. Nara menangis, karena dia harus meminum pil kontrasepsi ini segera setelah melakukan hubungan dengan Zico. Tapi Nara juga khawatir, dirinya tidak akan memiliki anak karena meminum pil ini terus menerus.“Bodohnya aku, bukankah aku memang tidak akan pernah bisa punya anak. Karena aku tidak akan terlepas dari penjara ini. Dan jika pun aku terlepas, aku akan berada di kuburan,” ucapnya.***Esoknya, ketika Nara membuka matanya. Dia dikejutkan oleh 2 pelayan yang berdiri di samping tempat tidurnya. “Selamat pagi Nona,” sapa mereka secara bersamaan. “Kami akan membantu Anda bersiap-siap, mari Nona.” Kedua pelayan itu membantu Nara untuk berdiri dan mengantarnya ke kamar mandi.Nara menghentikan kedua pelayan itu untuk ikut dengannya masuk ke kamar mandi karena dia tidak mau di mandikan oleh mereka. “Tunggu, kalian tidak usah ikut, aku
“Kia,” panggil Nara pada Kiara yang tengah duduk di sofa ruang tamu.Kia langsung melihat ke arah Nara dan berdiri dari duduknya, matanya mulai berkaca-kaca. Terlihat di ujung matanya air mata yang mulai turun membasahi pipinya. “Nara,” ucapnya dan melangkahkan kakinya dengan cepat menghampiri Nara lalu memeluknya dengan sangat erat.“Nar, syukurlah lu baik-baik aja. Gue khawatir banget sama lu.” Kiara terus memeluk erat tubuh Nara, air matanya sudah turun sangat deras bahkan sampai membasahi bahu Nara.Nara membalas pelukan Kia tak kalah eratnya, pelukan Nara menerjemahkan dua arti. Yaitu, dia memeluk Kia bukan hanya karena merindukannya saja, tapi juga karena penderitaan dan rasa takut yang tengah dia alami saat ini. “Gue juga kangen banget sama lu Kia,” ucapnya sambil menangis.Pak San yang berdiri tak jauh dari mereka hanya melihat dengan datar pertemuan dramatis antara dua sahabat di hadapannya ini. Dia masih harus berkonsentrasi untuk mengawasi Nara, karena jika terjadi kesa
Pak San yang berada di belakang Nara dan Kia, terus melihat tingkah Kia yang di rasanya sangat mencurigakan. Pak San menyadari bahwa sebenarnya dari tadi Kia dan Nara terus berbisik-bisik tapi sayangnya dia tidak bisa mendengar apa yang di bisikkan oleh mereka.'Apakah mereka sedang membuat rencana?’ pikirnya.***Setelah kurang lebih 15 menit mengelilingi rumah Zico, Kia menghentikan langkahnya. Dia beralasan bahwa kakinya sudah sangat lelah, karena rumah Zico sangat besar, jadi sepertinya dia tidak bisa mengelilingi rumah ini lebih lama lagi. “Nar, gue capek banget. Kayaknya udah cukup deh, lagi pula ini udah hampir malem, gue harus pulang.” Kia mengedipkan sebelah matanya pada Nara, itu merupakan kode bahwa Nara harus tenang karena sebentar lagi rencana mereka akan di jalankan.Glek! Nara menelan salivanya. Dia sangat gugup, padahal dia belum memutuskan apa pun. Tapi dari ekspresi Kia, Nara tahu bahwa Kia tidak main-main dan dia juga benar-benar ingin melihatnya bebas.“Nar,
Malam ini terasa mencekam, terutama bagi gadis bernama Nara Juliana Putri. Semilir angin yang berembus tenang tidak bisa menenangkan hatinya yang sedang dalam keadaan gugup dan takut. Bulan dan bintang yang bersinar terang, tidak bisa menerangi hatinya yang tertutup oleh kegelapan. Nara ingin lari dari kegelapan ini, tapi awan gelap berwujud laki-laki tampan di hadapannya ini terus saja mengejarnya dan mengekangnya.Glek!Nara kembali menelan salivanya saat melihat tubuh Zico yang menjulang tinggi berdiri di hadapannya dan mengatakan kata-katanya yang selalu terdengar mengerikan.“Kau sudah tertangkap basah, menurutmu hukuman apa yang pantas bagi seorang pemberontak nakal sepertimu, tikus kecil?” Zico menunjukkan smirknya yang sangat menakutkan dari biasanya.“Jo!”“Baik Tuan.” Jo menghampiri Kia dan memaksanya untuk ikut dengannya. Sedangkan Nara dan Zico masih berdiri di sana. “Dan kau, kau ingin aku menarikmu paksa atau berjalan sendiri?”Tanpa banyak bicara, Nara langsung
Nara duduk bersimpuh di lantai ruang tamu Zico, dia menangis tersedu-sedu di sana. Nara mengkhawatirkan sahabatnya Kiara, dia takut bahwa Zico juga akan membunuhnya. Kia adalah satu-satunya orang yang dia sayangi yang masih tersisa saat ini, jika Zico juga membunuhnya. Entah sehancur apa perasaannya.“Kia, kamu di mana. Maafin aku Kia,” ucapnya di sela-sela tangisannya.“Nona,” panggil seorang pelayan kepada Nara. Nara yang mendengar seseorang memanggilnya pun sontak terdiam, dia langsung mengangkat wajahnya yang tadi tertunduk dan melihat ke arah suara yang tadi memanggilnya.“Nona, tuan menyuruh Anda untuk ke ruangannya,” lanjut pelayan itu.Ekspresi Nara langsung berubah, saat pelayan itu menyebut nama tuan. Yang dimana tuan yang dimaksud pelayan itu tak lain adalah Zico. “Aku tidak mau!” tolaknya seraya menundukkan kembali wajahnya.“Tapi Nona, tuan bilang ini berkaitan dengan sahabat Anda.”Nara langsung melihat dengan cepat ke arah pelayan itu lagi, saat dia mengatakan ka
“Bangun!” titah seseorang pada seorang gadis yang masih terlelap dalam tidurnya. Gadis itu pun terbangun dengan perlahan, dia tersentak setelah mendengar suara seseorang yang dingin dan berat itu sedang membangunkannya. Dia mengucek-ngucek matanya, agar matanya itu mau terbuka dan melihat sosok pria yang saat ini sedang membangunkannya.“Tu-tuan Zico,” kagetnya, setelah matanya itu terbuka dengan sempurna dan melihat sosok yang saat ini tengah membangunkannya.“Cihh, kau bisa tidur dengan lelapnya?” tanya Zico dengan dinginnya.Nara menunduk, sebenarnya ketika memikirkan masalah antara papanya dan keluarga Zico. Dia tidak sadar bahwa dia ketiduran. Tapi, Nara kembali melihat sekelilingnya, bukankah dia semalam ada di sofa? Kok tiba-tiba dirinya terbangun di atas tempat tidur? Apa mungkin Zico yang memindahkannya ke sini? Eyyy tidak mungkin, seorang Zico mau memindahkan gadis yang di bencinya ke tempat yang lebih nyaman? Dia mungkin memang akan melakukannya tapi bukan memindahkan ke
Zico masuk ke ruang kerjanya. Saat ini pikirannya tengah sangat kacau, dia kembali mengingat pembicaraannya dengan dokter yang merawatnya tadi. 1 jam yang laluDokter jiwa bernama Rifky itu membawa Zico ke ruangannya. Seperti yang tadi dia katakan pada Zico, bahwa ada yang ingin dia beritahukan padanya.Rifky mempersilakan Zico untuk duduk di kursi yang sudah ada di ruangannya, sedangkan Jo berdiri dengan setianya di samping Zico. Saat Rifky duduk di kursinya, terlihat raut penyesalan dari wajah dokter Rifky ketika dia hendak menyampaikan apa yang ingin dia katakan.“Ada apa dokter Rifky?” tanya Zico.Dokter Rifky menaruh kedua tangannya di atas meja kerjanya, dia menautkan kedua tangannya itu satu sama lain. Dia takut, apa yang akan dia sampaikan ini bisa membuat Zico marah dan itu akan berbahaya untuknya. Di negara ini, siapa yang tidak tahu Zico Alexander Tan, orang yang berkuasa. Dan siapa pun takluk padanya. Dia memiliki tangan kanan hebat yang setia padanya seperti Jonatha
Namun, tiba-tiba tatapan itu kembali menajam. Terlihat kebengisan yang sangat jelas dari ekspresi itu. Zico mengangkat tangannya dan menjepit pipi Nara dengan sangat kuatnya. “Kau pikir, siapa yang membuatnya menjadi seperti itu, hah?!” tanyanya dengan nada marah. “Papamu, papamu yang melakukannya. Jika dia tidak menghancurkan keluargaku dan membuat papaku bunuh diri, dia tidak akan menjadi seperti ini. Dan dia juga tidak akan membenciku! Dia tidak akan mengusirku, dia tidak akan membuangku. Kau pikir ini ulah siapa? Ayahmu yang membuat ini semua, dan putrinya sekarang ingin menenangkanku? Tidak kah menurutmu ini lucu. Jawab aku? Bukankah ini lucu?!” tanyanya dengan marah.Nara membelalakkan matanya saat melihat Zico yang dipenuhi dengan amarah. Tapi kemarahan ini berbeda, dia memang marah bahkan sangat marah. Tapi mata itu, terlihat sangat jelas dari mata itu bahwa dia juga menahan luka yang sama besarnya dengan kemarahannya. “Aku ... aku hanya ingin menenangkanmu saja,” ujarnya d
Dengan masih merasakan perasaan terkejut, Nara semakin mendekati Haruna yang memang sedang tertidur karena pengaruh obat penenang. Nara kembali memandang intens wajah dari wanita di hadapannya itu. Menurutnya wajahnya tidak banyak berubah, dia masih terlihat sangat cantik sama seperti yang ada di foto itu, yang berubah hanya dari kulitnya saja yang terliat menua. Memangnya siapa yang bisa merubah faktor usia, jika usia bertambah maka kedewasaan juga bertambah termasuk semakin menuanya kulit.Tapi, walaupun begitu Nara mengagumi kecantikan yang dimiliki oleh Haruna, kecantikan alami yang luar biasa. Sekarang Nara mengerti, dari mana Zico memperoleh ketampanannya yang luar biasa itu.Tanpa sadar tangan Nara terangkat, di dalam hatinya dia sangat ingin menyentuh puncak kepala dari Haruna, karena walau bagaimanapun Haruna tetaplah ibu mertuanya. Walaupun dirinya dan Zico menikah karena paksaan. Tapi, ibu mertuanya ini tidak salah. Bahkan tidak tahu apa pun yang terjadi antara dirinya da
Melihat Zico memasuki bangunan itu, Nara juga ingin mengikutinya. Namun, saat dia melihat ke sekelilingnya dia pun menyadari bangunan apa ini. “Ini, ini kan rumah sakit jiwa,” gumamnya, “kenapa? Kenapa Zico ke sini? Siapa yang sedang di rawat di sini?”Merasa sangat penasaran, Nara juga mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah sakit jiwa itu. Dia berusaha sebaik mungkin untuk menjaga jarak dari Zico dan Jo. Karena dia tidak mau sampai Zico maupun Jo menyadari kehadirannya.Nara menghentikan langkahnya, saat melihat Zico dan Jo juga berhenti. Terlihat mereka yang sedang berbicara dengan seorang pria yang memakai jas dokter. Sepertinya pria itu adalah dokter yang mengurus orang yang saat ini ingin Zico temui. Tapi siapa, siapa orang yang ingin Zico temui di sini. Rasa penasaran Nara semakin memuncak, dia sangat ingin tahu siapa orang yang dirawat di sini dan ingin Zico temui. Apakah itu ada hubungannya dengan jawaban dari pertanyaannya?Nara kembali melanjutkan langkahnya, saa
Nara memberhentikan larinya tepat di hadapan Zico. Dia mendongak dan memandang Zico dengan lekat. “Tuan, bolehkah saya pergi keluar?” Izinnya.Zico mengernyit sesaat setelah mendengar permintaan dari Nara. “Tidak boleh!” jawabnya tegas.Nara langsung tersentak, setelah mendengar jawaban pasti dari Zico. “Kenapa?” tanyanya lagi.“Karena kau pasti sedang mencari kesempatan untuk melarikan diri,” jawab Zico.“Tidak, aku sungguh tidak akan melarikan diri. Bukankah aku sudah berjanji padamu. Kalau aku tidak akan pernah melarikan diri lagi.”“Ucapanmu tidak bisa kupercaya,” ujar Zico.Nara merasa sangat kesal dengan pria di hadapannya ini, kenapa dia sangat takut kalau dirinya akan melarikan diri. ‘Apakah dia sangat tidak rela kalau tidak menyiksaku. Atau jika aku melarikan diri dia tidak bisa membunuhku,’ batinnya. “Percayalah padaku, aku hanya ingin keluar sebentar. Aku ingin menikmati udara segar di luar. Aku bersumpah, aku tidak akan melarikan diri.” Dengan sekuat tenaganya Nar
Di pagi hari, Nara terbangun dari tidurnya. Dia langsung terduduk dan melihat ke arah jam dinding. Dia menghela nafas leganya saat melihat waktu masih menunjukkan pukul 07.30 pagi. Dia takut kesiangan karena sepanjang malam dia tidak bisa tidur.Nara bertekad, dia tidak mau tertinggal informasi tentang kepergian Zico dan Jo yang akan ke suatu tempat yang terbilang misterius karena bahkan mereka tidak berbicara tentang tempat itu di telepon dan hanya mengatakan waktu kepergian mereka saja.Nara berdiri dan merapikan kembali alas tidur yang dia gunakan. Dia melihat ke arah tempat tidur. Tapi ternyata Zico sudah tidak ada di sana. “Ke mana dia? Apa sudah berangkat. Tapi ini masih pukul 7.30. Apa mungkin mereka mengubah waktunya. Ini gawat, aku harus bagaimana? Lebih baik aku mandi dulu sekarang dan setelah itu kembali mencarinya, mungkin saja dia sedang olahraga dulu atau semacamnya,” gumamnya.Nara pun bergegas pergi ke kamar mandi. Namun saat membuka pintu kamar mandi, tiba-tiba Nar
Nara hanya duduk di kamarnya, dia memutuskan untuk tidak makan malam. Dia lebih memilih memikirkan bagaimana rencananya selanjutnya. Saat ini Zico sangat marah padanya dan sepertinya tidak akan mudah untuk membujuknya. Padahal dia baru saja ingin bersikap baik padanya untuk mencari petunjuk darinya, tapi karena insiden tadi pagi. Akhirnya semuanya menjadi gagal dan sekarang dia tidak tahu harus bagaimana.“Sepertinya dia benar-benar marah, bagaimana ini? Jika dia semarah ini, akan sulit untuk mendekatinya. Dan rencanaku pasti akan gagal,” gumamnya.Satu jam berlalu, dua jam berlalu, empat jam pun telah berlalu. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 12 tengah malam. Tapi Zico belum juga kembali ke kamar. Nara masih setia menunggunya untuk kembali ke kamar. Karena dia masih berpikir bahwa Zico akan marah, kalau dirinya tidur lebih dulu. Ya, walaupun memang seperti itu sih kenyataannya.Ceklek, Nara langsung melihat ke arah pintu saat mendengar suara pintu terbuka. “Tuan,” ujarnya se
Nara masih sibuk dengan dunia halunya. Ya, dia saat ini masih membaca buku-buku novel yang dia temukan di perpustakaan Zico. Sebenarnya Nara masih tidak mengerti, kenapa di perpustakaan pribadi Zico terdapat buku-buku novel romantis yang memang bisa dibilang buku-buku ini sangat terkenal di kalangan para peminat buku novel romantis. Tapi, yang lebih anehnya lagi. Kenapa Zico tidak tahu keberadaan buku-buku ini di perpustakaannya. Buktinya dia kemarin mengejek salah satu buku novel yang hendak Nara baca.Tok tok. “Nona, ini sudah sore. Mungkin sebentar lagi Tuan akan pulang,” ujar Melly yang mengingatkan Nara, bahwa mungkin sebentar lagi Zico akan pulang.Nara yang mendengar ketukan pintu dan suara Melly pun langsung tersadar, dia melihat jam tangannya. Ternyata sudah pukul 6 sore, Melly benar. Sebentar lagi Zico mungkin akan pulang. Nara pun membereskan semua buku-buku yang tadi dia bawa. Dan menaruhnya kembali ke tempatnya semula.Setelah itu, Nara berjalan ke arah luar perpustaka