Mala lagi-lagi tersipu malu. "Oke deh."Mereka turun ke meja makan. Disana Max dan Nayra sudah menunggu keduanya."Morning Mala Sayang." Nayra tersenyum dengan manisnya."Morning Tante, morning Om.""Morning Sayang," sahut Max.Mala duduk di samping Dewa, sedangkan Maxime terus memandangi leher Mala, dia sedikit menajamkan matanya dan itu membuat Dewa menghembuskan napas panjang.Untung aja nggak ada jejak. Dewa merasa aman."Om liatin apa? Ada yang aneh ya dengan Mala?"Nayra mengernyitkan kening. Ia bukan tidak memperhatikan suaminya, bahkan dia menyadari suaminya itu terus memperhatikan leher Mala."Tau nih Daddy, liatin apa sih!" ketus Nayra sambil melebarkan matanya.Max sampai hampir tersedak melihat raut istrinya barusan. "Bukan apa-apa, kok."Dewa terkekeh pelan sambil menaruh susu hangat di depan Mala. "Minum susunya ya Sayang.""Makasih Kakak." Mala mengambilnya dan langsung meminumnya pelan-pelan."Sayang, ayah bunda kamu kapan pulang dari luar kota?" tanya Nayra.Mala meng
"Pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan murid baru. Masuk, perkenalkan diri kamu ke teman-teman ya," ucap Bu Bianca wali kelas 12 IPS.Seorang cowok tingginya kira-kira 178cm, hidung mancung, bibir penuh membuat senyumnya makin terlihat manis.Ganteng banget. Murid-murid cewek di kelas tersebut langsung berdecak kagum dengan melantunkan pujian.Mala hanya terdiam, sambil kembali fokus ke buku tulisnya.Dewa love Mala. Itu yang sedang ditulis Mala di buku tulisnya sekarang, sambil tersenyum menunggu waktu pulang tiba, katanya Dewa akan memberikannya hadiah. Apa ya kira-kira?"Kenalin, Gilang Darmawan pindahan dari Jakarta." Perkenalan singkat, tapi sanggup membuat seisi kelas bergeming, bukan hanya karena parasnya, tapi pembawaan cowok itu pun sangat cool, elegant."Oke Gilang, kamu duduk di sebelah Nirmala yah. Berhubung hanya Mala yang duduk sendirian," ujar Bu Bianca.Mala hanya diam, sambil tersenyum manis ke arah Gilang.Deg. Saat itu Gilang langsung tertawan oleh senyuman Mala
Sesuai janji Dewa, sepulang Mala sekolah ia akan membelikan sesuatu sebagai hadiah untuk Mala. Mereka pergi ke pusat perbelanjaan. Mala terus menggandeng tangan kak Dewa-nya, sesekali Dewa mengusap rambut Mala yang tergerai."Kamu nggak gerah? Diikat aja rambutnya, Sayang.""Iya gerah sih, tapi Mala lupa bawa ikat rambut," jawab Mala sambil mengerucutkan bibir.Dewa menarik tangan Mala membawanya ke sebuah toko aksesoris yang ada di Mall tersebut. Sambil mengedarkan pandangan, mencari kira-kira ada ikat rambut yang cocok untuk Mala atau tidak."Kak kamu mau apa?" tanya Mala, bingung."Coba kamu lihat ini, bagus nggak?" tanya Dewa sambil menunjuk pada pilihan ikat rambut yang ada di dalam rak khusus.Mala menyentuhnya dan pilihannya jatuh pada salah satunya. "Yang ini aja Kak." Mala tersenyum sambil menunjuk pilihannya."Oke, aku bayar dulu deh. Biar bisa langsung dipakai." Dewa berjalan ke meja kasir. Mala masih berjalan di sekitar tempat itu, melihat-lihat sekeliling."Ganteng banget
"Dad. Dewa bisa jelaskan yang tadi—""Daddy udah lihat semuanya sendiri. Nggak perlu di jelaskan." Max masih menajamkan mata pada anak lelakinya yang saat ini tengah berdiri di depannya.Mala dan Nayra menunggu di luar ruangan kerja Maxime. Tadi, Max tidak memperkenankan Nayra dan Mala ikut masuk ke dalam."Tapi Dad, tadi Dewa cuma peluk Mala aja."Tentu Dewa tidak merasa itu perbuatan yang melanggar. Hanya sebuah pelukan, apa salahnya?"Oh ya? Haruskah di depan umum? Kalian berpelukan seperti tadi di depan banyak orang. Daddy udah sering bilang, Mala masih kecil. Dia belum lulus SMA, Dewa."Kali ini Dewa tidak dapat menjawab. Tapi, dia sudah cukup dewasa, meski kalau di dekat Mala, Dewa selalu merasa jauh lebih kekanakan. Tidak tahu, entah kenapa. Atau karena Mala yang masih terlalu muda? Atau karena Dewa yang begitu menyukai gadis kecil itu."Maaf Dad, Dewa salah." Tidak dapat membantah, dia tahu seharusnya dia tidak memeluk Mala di depan umum juga. Meski, keadaan saja yang tidak be
"Kak Dewa kok nggak makan?" tanya Mala."Hm, Iya Kakak makan." Dewa pun memakan bakso miliknya, tapi kali ini rasanya tidak seperti biasa, dia merasa bakso itu hambar."Kakak kok kayak sedih gitu sih? Oh iya, Mala sampai lupa, apa yang di omongin Om Max tadi? Apa Om marahin Kakak?""Enggak kok, Daddy nggak marahin Kakak. Mala tenang aja ya, Kak Dewa sayang banget sama Mala. Apapun yang terjadi meski kita akhirnya terpisah sementara waktu. Kak Dewa akan tetap menunggu Mala."Tentu saja gadis itu bingung, untuk apa juga Dewa berkata seperti itu? Mereka kan tidak akan terpisahkan, pikir Mala."Iya, tapi siapa juga yang bakalan memisahkan kita sih, Kak. Aku akan tetap di sini, di Bandung sama Kakak," tutur Mala dengan yakin."Iya, itu kan seandainya, Sayang." Dewa mengusap pipi Nirmala, gadis yang sudah seperti adik, teman, bahkan kekasih buatnya.Mala hanya tersenyum. "Kakak lagi mellow ya. Tumben berandai-andai segala."Gadis itu masih bisa tersenyum manis, dan Dewa berharap senyuman it
Dewa baru saja terjaga dari tidurnya. Meski belum sepenuhnya sadar. Waktu menunjukkan pukul 12.00. Kepalanya terasa berat, tentu karena semalaman ia tidak tidur, ditambah ia yang terus memikirkan Mala.Tangannya meraba ponsel yang ada di atas nakas dengan mata setengah terpejam. Diraihnya ponsel tersebut dan ia langsung memeriksanya. Matanya membulat saat melihat pesan masuk dari Mala yang beruntun. Ia terpaku sambil terduduk. Saat itu perlahan matanya kembali tertutup dan ia menaruh lagi ponsel itu."Mala, maafin Kakak. Tapi sepertinya lebih baik Kakak tidak balas pesan kamu."Mala Sayang : Kak Dewa, Ayah dan Bunda bilang aku harus ikut ke Korea. Aku nggak mau!Mala Sayang : Kakak kenapa sih belum On Juga! Kata Bunda ini semua atas persetujuan kakak, aku nggak mau Kak!Mala Sayang : Aku mau di Bandung sama Kakak! Titik!Mala Sayang : Kalau kakak nggak balas chat ku, aku marah, aku akan pergi ke Korea beneran!Dewa menghembuskan napasnya kasar, ingin rasanya ia membanting ponsel itu s
Pagi ini seperti biasanya, Mala bersiap untuk pergi ke sekolah. Yang berbeda adalah tidak ada lagi suara Dewa yang membuat paginya lebih berwarna. Ya, sejak dua hari lalu Mala mengurung dirinya di dalam kamar dan tidak mau keluar walau sekedar untuk makan.Mala berharap Dewa datang untuk membujuk dirinya makan. Tapi, nyatanya tidak. Mala malah tidak sengaja melihat Dewa yang sedang berboncengan naik motornya yang sudah lama tidak dia gunakan. Yang membuat Mala kaget adalah seseorang yang berada di kursi belakang motornya, dia adalah Rosy.Apakah Dewa sudah melupakan Mala? Secepat itukah? Saat itu Mala melihat senyum Dewa melingkar lebar. Senyuman yang biasa dia lihat di tujukan padanya, kali ini senyuman itu bukan untuk dia melainkan untuk gadis lain. Sejak saat itulah Mala memutuskan untuk melupakan Dewa, meski sulit, sangat sulit sekalipun Dewa telah membuat hatinya patah dan hancur berkeping-keping.Hubungan keduanya tidak bisa dikatakan berakhir, atau putus dalam artian layaknya h
Jika aku tahu menjauhinya akan sesakit ini, aku tidak akan melakukannya. Dewa ~Mala berjalan cepat menaiki anak tangga rumahnya. Bunda dan Ayahnya tidak ada di rumah. Saat itu Mala langsung masuk ke kamar sambil menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Sesak, sakit, kepalanya pusing sekarang."Kamu nggak boleh nangis, Mala."Gadis itu berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis. Tapi, tetap saja ia menangis. Saat itu ponselnya berdering, ia malas melihat siapa yang meneleponnya. Pasti itu bukan Dewa."Mala! Lupakan Dewa!" sentaknya sambil meraih ponsel itu. "Cukup Mala! Siapa juga yang nunggu telpon dari dia!" Mala menghapus air matanya, lalu menatap layar ponselnya."Kak Dewa!"Kejadian saat di kampus Dewa."Jadi lo berusaha jauhin Mala gitu, Wa?" tanya Rosy, teman dekatnya."Ya, setidaknya biarkan Mala fokus dengan pendidikannya dulu. Lagi pula dia dan gue ke depannya bakalan berjauhan. Harus terbiasa," jawab Dewa lesu."Menurut gue nih, ya, sebaiknya lo jangan bikin dia marah. Den