“Sebenarnya malam itu aku yang menelepon kamu.”
Liam menghentikan gerakannya yang akan mengambil potongan kentang dalam tusukan garpunya. Ia mendongak, mendapati Bianca tersenyum kecil padanya. “Maaf, aku tadinya mau bicara sama kamu mengenai pekerjaan yang sudah aku dapatkan di sini.”
Penjelasan perempuan cantik itu membuat Liam menipiskan senyumnya dan mengangguk. Ia terlalu sulit hanya untuk menatap lekat dalam manik hitam itu. Parasnya masih sama; cantik. Kulit putih dan rambut panjang itu tidak ada yang berubah. Ia tetaplah Bianca yang dulu Liam kenal.
“Tadinya aku cukup bingung karena nomor yang aku punya hanya untuk orang terdekat.”
Bianca meringis pelan dan berucap lirih, “Kak Xavier yang memberikan nomor ponsel kamu untuk aku.”
“Dia?”
“Hmm.”
Bianca menyibak sedikit helaian rambutnya yang sengaja ia urai.
Setelah permintaan maaf yang menjadi awal hu
Baru kali ini, Indira refleks menyunggingkan senyum manis mendapati Fortuner putih itu sudah berjejer rapi di dekat luar gerbang sekolahnya. Dari pos satpam itu, Indira sudah bisa melihat ada mobil Liam terparkir mengikuti pola lurus seperti kendaraan lain. Pria itu sempat mengirim pesan dan meminta Indira menunggunya setelah pulang sekolah karena akan dijemput.“Maaf kalau lama. Kebetulan gurunya kasih sedikit arahan, termasuk untuk ujian nanti sebagai latihan di rumah.”“Iya, nggak apa-apa. Aku juga baru sampai lima menit yang lalu,” balas Liam tersenyum manis, membiarkan Indira memasang sabuk pengamannya terlebih dulu.Perempuan itu menoleh, menatap Liam yang memainkan sebentar ponselnya. “Aku beneran kaget waktu tau ternyata kamu mengeluarkan Gio dan temannya dari sekolah ini.”Liam menaruh kembali ponselnya di saku jas, belum menjalankan mobilnya sama sekali dan memilih menjawab pertanyaan Indira. “Aku nggak
Indira mencoret tidak jelas buku catatannya. Ia tidak bisa berkonsentrasi penuh atau mempercantik slide satu dalam power point yang akan dipresentasikannya dua hari lagi. Niat Indira mengerjakan tugasnya lebih cepat, tapi bayangan saat mobil itu untuk kali pertama setelah pernikahannya bersama Liam, sudah dipakai perempuan lain.Ada rasa panas dan amarah yang tidak bisa dikikisnya. Tangan Indira mengepal, melampiaskan pulpen di tangannya untuk remuk. Tapi ia tidak memiliki tenaga lebih untuk melakukannya, memilih untuk melemparnya kesal di atas meja belajar.“Apa dia nggak bisa menghargai istrinya sedikit, ha? Kalau nggak ada cinta di antara gue sama dia, seenggaknya jangan buat panas perasaan bininya,” ucapnya berdecak pelan, menatap sengit layar laptop yang belum menampilkan progres apa pun.Indira tidak bisa tenang dan mengerjakan tugas dengan santai. Bukannya santai, ia justru ingin kembali memaki pria yang tampak sibuk di luar kamar.
“Selamat pagi, Liam.”“Hai, Bianca ... Selamat pagi,” balas Liam tersenyum manis berjalan mendekati meja kerja Bianca tepat di luar ruangan Xavier.“Kakakku ada di dalam?” tanyanya berucap kembali dan dibalas gelengan perempuan yang kini berdiri di hadapannya.Sesaat Liam mengakui jika hanya blus berpadu dengan celana panjang saja sudah cukup membuat tubuh ramping Bianca semakin menampilkan pesonanya. Ya, cukup sederhana dan pakaian casual pun sepertinya masih melekat di tubuh Bianca hingga kita.Style-nya tidak berubah jauh.“Pak Xavier ada rapat jam sepuluh di salah satu perusahaan rekan bisnisnya dan pergi bersama asisten pribadinya,” jelas Bianca sudah hafal jadwal kerja Xavier hari ini.Pria itu mengangguk dan menyodorkan berkas pada Bianca. “Aku titip untuk Xavier, ya? Aku takut lupa kalau harus dibawa lagi ke ruangan. Hari ini kerjaanku cukup banyak,” ungkapnya membuat Bianca
“Nggak tau kenapa, tapi hari ini gue mau mengucapkan rasa bahagia karena bisa pulang cepat. Untung aja hari ini guru ada rapat dadakan. Gue jadi bisa ketemu Liam dan bawa bekal makan siang ini,” ucapnya tersenyum manis seraya mengangkat kantung berisi makanan cepat saji yang ia beli tidak jauh dari sekolah.Indira menarik napas dan mengembuskannya perlahan sebelum melangkah masuk ke dalam lobi perusahaan milik Keluarga Ogawa.Setidaknya ia bisa memakai jaket untuk menutupi seragam putihnya, sedangkan untuk bawahannya? Sudahlah. Itu menjadi risiko Indira ketika banyak dari pegawai perusahaan mulai meliriknya aneh.“Bodo amat, deh. Kenal juga enggak. Udah, lewatin aja,” gumamnya meyakinkan dirinya karena merasa pintu lift cukup jauh.Mungkin, sepanjang langkahnya, banyak dari mereka tidak segan untuk menatap Indira. Tidak ada dari mereka yang tahu mengenai status Indira di keluarga ini. Meskipun cukup bagus, tapi tetap saja mereka se
Beberapa waktu lalu, Indira berharap jika unitnya cukup bebas dari Liam. Ia tidak ingin digoda oleh pria itu atau sekadar menjahilinya sampai perempuan itu ingin memekik dan memberikan tatapan tajamnya.Tapi hari ini berbeda setelah fakta itu membuatnya nyaris tidak bisa diam dan cukup tenang.Indira gelisah, mengingat jika perempuan itu sangat dikenalnya. Perempuan yang membuat perasaannya sedikit aneh saat mengetahui Liam sudah kembali dekat dengan mantan kekasihnya.“Liam pulang jam berapa sih?”Ia duduk di kursi meja belajar dan melirik jam di layar ponsel. Napasnya terembus gusar, melihat baru jam lima sore. “Apa gue telepon aja, ya? Gimana kalau dia sibuk?”Perempuan itu menggigit bibir bawahnya, merasa bingung dan mencoba menerka-nerka apakah Liam masih berkutat dengan pekerjaannya. “Coba dulu aja deh,” putusnya.Entah kenapa bayangan Bianca—Kakak Sepupu—Indira kian membuat perasaannya t
Liam menutup pintu unit apartemennya dan satu per satu membuka sepatu, lalu menaruh tas kerja.Suara langkah kaki itu membuat Liam mengalihkan pandangan, menegakkan kepalanya dan mendapati Indira mendekatinya dengan piama tidur. “Kamu belum tidur?”Pria itu bisa melihat sorot kantuk yang sepertinya ditahan Indira.Perempuan itu menggeleng dan menjawab, “Nggak biasa tidur kalau nggak ada kamu,” balasnya dan membuat Liam sedikit menerbitkan senyumnya.“Jadi, kamu lembur sendirian?”Indira tidak ingin mengatakan lebih lugas, terlalu membesarkan rasa gengsinya daripada harus bertanya pada inti.Telinganya masih bisa mendengar suara yang sangat dikenalnya saat menelepon Liam. Perasaan lain itu masih terpantik di dalam hatinya, membuat perempuan itu tidak bisa melakukan aktifitasnya dengan baik-baik saja.Ia bahkan tidak bisa tidur hanya untuk bertanya, lalu memastikan jika semuanya masih terkendali aman.
“Serra? Xavier ada di rumah?”“Ada. Dia lagi di taman belakang, masih sibuk sama pekerjaannya.”“Oke. Aku ke sana dulu,” tutup Liam pada Kakak Iparnya yang terlihat ingin menaiki anak tangga, membawa beberapa mainan mobil, tampak membereskan milik anak lelakinya.Pria itu bergegas menuju taman yang tidak terlalu luas itu. Ia mendapati Xavier sedang duduk dengan beberapa berkas di meja, laptop yang masih menyala dan beberapa kali pria itu berdecak kesal.“Kamu kayaknya sibuk banget dari kemarin.”Xavier mendongak, baru menyadari kehadiran Adiknya yang mengambil duduk di samping pria itu. “Belum di minum tehnya?”Mata Xavier memicing dan mendengkus pelan, lalu mendorong cangkir itu ke hadapan Liam. “Ambil aja. Belum aku minum dan baru di bawa Serra,” balasnya membuat Liam tertawa kecil dan berucap terima kasih, lalu mengambil alih teh tersebut.“Pakaianmu rapi
“Seharusnya Kakak nggak usah jemput aku. Mana udah sore dan kayaknya ... Kakak baru pulang kerja, kan?”Indira menatap bersalah pria keturunan Jepang di sampingnya.Xavier.Pria bertubuh atletis itu masih membalut tubuhnya dengan setelan jas formal. Bahkan, Indira masih melihat dasi itu terpasang rapi di sana. Ia tidak enak hati saat tahu yang menjemputnya adalah Xavier ditemani sopirnya. Terlebih, pria itu dengan senang hati mengantar Naomi pulang ke kompleks perumahannya.Saat bersama Naomi, Indira tidak banyak bicara pada Xavier. Apalagi dengan sikap datar dan kaku pria itu, ia memang enggan bertanya lebih sementara waktu.Tapi lama-lama ia cukup tahu diri dan meminta maaf karena merepotkan pria itu menjemputnya, membuat ia harus berucap lebih dulu.“Aku baru selesai bertemu klien dan restorannya nggak jauh dari sekolah kamu. Jadi, aku rasa sekalian anterin kamu pulang nggak masalah.”Perempuan itu tersenyum
Ketukan sandal, kedua tangan yang dilipat depan dadan serta sorot tajam itu membuat Liam menatap bingung istri kecilnya. Ia baru saja tiba di rumah pukul sembilan malam, sesuai perjanjian di antara dirinya dan Indira. Pria itu mendapatkan izin untuk mengikuti reuni dan pulang di saat acara belum selesai.Apa yang salah?Bahkan, selama mereka menikmati liburan bulan madu, Indira membebaskan Liam pergi datang ke reuni dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Tidak sekali, melainkan beberapa kali dan satu hari mereka pulang ke Jakarta, Indira mengingatkan Liam.Ia sudah paham dan tidak akan membuat istrinya marah atau menangis lagi.Tapi belum sempat ia membuka pintu unit apartemen. Indira sudah berada di depannya, menunggu dengan raut wajah berbeda. Sebenarnya Liam sudah sangat ketakutan karena jika Indira marah ... maka ia harus menenangkannya. Liam pernah gagal untuk meluluhkan hati Indira ketika marah. Suasana hati istrinya kerap tidak terduga akan lulu
Indira tidak pernah menduga. Sekali jatuh cinta, maka ia merasakan kebahagiaan luar biasa selalu melingkupi dirinya bersama orang terkasih. Ia mencintai Liam, menerima semua kekurangan ... kesalahan yang pernah suaminya buat. Tapi apa pun itu, mereka sudah melangkah bersama, menata pecahan yang pernah menghunus tepat di hati.Bahkan, Indira sudah membuang rasa salah tingkah tiap Liam mulai menggoda atau ingin bermesraan dengannya. Karena sejak malam itu, ia ingin menjadi perempuan yang bisa mengimbangi sikap dewasa Liam, ikut mesum dan tentunya ikut romantis!Perempuan itu sedikit mendongak saat fotografer yang mereka sewa, memberikan aba-aba. Senyumnya semringah saat Liam memeluk pinggangnya dari samping, lalu membawa bibir basah itu ke leher istrinya. Mereka sudah menghabiskan banyak pose di tempat berbeda.“Cium, dong,” pinta perempuan itu merona saat pelukan mereka terurai.“Dari tadi kamu nggak pernah cium bibir aku,” gerutu I
‘Ingat, Dira Sayang. Sekarang kamu udah tau bagaimana isi hati kamu dan ternyata ... kamu juga sangat mencintai suamimu. Jadi, lupakan semua hal yang bisa membuat kamu malu dengan keadaan sebelumnya dan jadilah perempuan yang terlihat dewasa untuk merayu pria tampan.’‘Keberhasilanmu kali pertama adalah bagian terpenting yang bisa membuat Liam terus mengenang hal mendebarkan sama kamu, Nak.’‘Jangan kecewakan suamimu yang sudah menunggu kamu selama ini. Lakukan penuh cinta dan sayang yang kamu pancarkan dengan ketulusan hati.’Indira berdebar.Perempuan cantik itu memegang bagian di mana jantungnya berdetak kuat. Ia merasakan kedua pipi memanas saat di hadapannya ... ia terlihat sedikit lebih dewasa dari usianya dan juga bagaimana ia merias diri; memperlihatkan bagian yang harus terkesan sensual.Bibir kemerahan oleh lipstik dan juga riasan yang tidak terlalu tebal. Selama tinggal dalam satu unit yang sama. Indir
Tidak ada hari yang membuat mereka lelah untuk menciptakan kebersamaan yang manis. Liam dan Indira membuktikan, jika hal kecil bisa sangat berarti dan membuat komunikasi di antara keduanya terjalin kuat.Setelah pulang bekerja atau Indira yang memang kerap pulang cepat karena dalam masa ujian, mereka akan menyiapkan makan malam. Baik Indira ataupun Liam sudah saling mengerti dan memusatkan status mereka sebaik mungkin.Mereka akan menonton bersama di sore hari dan di tiap malam, Liam akan menjadi tutor bagi Indira dalam mengulas materi apa pun untuk besok harinya.Hmm, lebih tepatnya tutor tampan. Suami yang merangkap sebagai guru private sangat menyenangkan bagi Indira. Ia bisa meminta hadiah istimewa dan mendebarkan. Apalagi jika bukan sebuah ciuman panjang. Karena akhir-akhir ini Liam terlalu jual mahal.Dari mereka kembali bersama ke unit, sepertinya Indira yang memperlihatkan sisi agresif. Setiap malam pun ia sengaja memeluk Liam dan membawa satu kak
“Gimana? Jawabannya udah benar semua, kan?”Indira tampak nyaman melingkarkan kedua tangannya di leher Liam, merangkul pria itu dari belakang seraya membiarkan suaminya duduk memeriksa materi yang mereka ulas bersama di meja belajar Indira.Malam sudah menunjukkan pukul sembilan. Tapi ditemani suaminya, Indira tetap semangat untuk ujian nasional di hari pertama besok. Harinya berlanjut dengan bahagia tanpa beban dan belajar ... tentu saja ia memahami dengan baik, tanpa berpikir hal pelik seperti beberapa waktu lalu.Omong-omong, suami ya? Tentu saja! Indira dengan perasaan berdebar melirik cincin di jemari tangannya. Ia mengulum senyum, menghadirkan rona merah yang begitu kentara. Pun, jemari tangan Liam di atas meja belajar Indira yang sesekali membuka lembaran materi, memperlihatkan jemari itu tetap tersemat cincin pernikahan mereka.Keduanya memberikan simbol cinta dengan cincin pernikahan yang tidak akan mereka lepas, kecuali untuk sementa
Liam tersenyum miris saat pandangannya sangat lekat memandang foto pernikahan yang ia diam-diam simpan dengan rapi di galeri. Ruang khusus dengan nama yang tertera ringkas ‘Pernikahan’, entah kenapa pernah ia pisahkan dan membuat folder sendiri.“Setelah pernikahan kita yang aku ingat hanya untuk terus sadar kalau waktu itu aku udah punya kamu. Aku nggak menjalani hari sebagai pria lajang dan ada seorang perempuan yang menjalani komitmen bersamaku.”Liam mengulas senyum manis, meskipun perih dan gemuruh dalam dadanya kian menguat seiring jemari tangan mengusap lembut layar ponsel. Foto pernikahan ia dan Indira yang terlihat banyak orang manis. Tapi Liam tahu, dalam hati Indira menatap dirinya dengan umpatan yang terlalu banyak.Ia tertawa kecil, membayangkan kemarahan Indira yang memantik bagian terdalam hatinya. Pria itu tidak pernah menemukan kesan seringan dan semanis ini saat berkomunikasi dengan seorang perempuan.Itu yang mem
Bianca mengalihkan pandangan saat wanita itu menatapnya lurus, meskipun ia tahu jika ada air mata di pelupuk matanya. Diam-diam, jemari tangan itu mengepal di bawah meja, membawa dirinya pada keadaan yang tidak diinginkan.“Pernikahan putri Tante hancur, Bi. Kamu tau hal itu, kan?”Rahang Bianca mengetat ketika suara itu bergetar. Nyaris berupa bisikan dan itu sangat membuat Bianca kian mengepalkan kedua tangan, membuat buku jemari tangannya memutih. Ia membenci jika yang membawanya ke mari adalah Mama Indira.Ia tidak sengaja bertemu wanita itu di supermarket dan sekarang? Bianca terjebak dalam percakapan yang serius dan wanita itu adalah sosok pertama yang akan melindungi Indira.“Pernikahan Dira sudah berada di ujung tanduk,” lanjut wanita itu.Bianca langsung menatap manik mata Mama Indira dengan sorot tegasnya. Ia seolah tersudut ... dipojokkan dengan sangat tidak adil. Senyumnya tertarik sedikit, tampak menatap dan mem
Tangis Indira pecah saat ia memeluk erat wanita yang telah melahirkan dan meyakinkan Indira tentang suaminya sendiri. Ia mengatakan semua ... tanpa ada satupun yang ditutupi mengenai keretakan hubungan di antara dirinya dan Liam.Bahkan, Mama Indira membungkam mulutnya, nyaris bergetar saat Indira mengatakan hubungan asmara yang sempat dijalin antara Liam dan Bianca.Wanita itu hanya duduk tenang bersama suaminya di ruang tengah. Sampai ia mendengar satu tamu yang datang magrib, ia langsung membuka dan mendapati Indira memeluknya erat dalam mata sembab dan air mata yang tidak berhenti usai.Orangtua Indira kaget, mengenai hal yang tidak pernah perempuan itu ungkapkan sama sekali.Namun, bukan hanya air mata Indira yang terus saja membawa pilu dan sesak dalam hati orangtuanya. Mama Indira dan Papanya pun tampak sakit ... ketika Indira membuang begitu saja kue ulang tahun yang telah disiapkan pria itu untuknya.“Naomi datang ke unit Dira dan Li
‘Maaf, Indira. Aku harus pergi sebelum kamu bangun. Pagi tadi Xavier minta aku temani dia ke Bandung dan kami berdua akan balik lagi ke Jakarta setelahnya. Kamu pergi ke sekolah sendiri, ya. Sarapan paginya udah aku siapkan.’Indira menggerutu sebal dan melempar asal secarik kertas di tempel bagian depan kulkas. Ia menaruhnya di atas meja dapur, lalu duduk di sana dengan mengembuskan napas lelah.“Kenapa, sih?”“Giliran kemarin bangun pagi, dia masih tidur dan suasananya aman-aman aja. Sekarang harus ditinggal, tepat di saat gue ulang tahun,” sahutnya mengusap wajahnya yang masih kusut.Indira pikir, ia kembali berada di posisi Liam kemarin. Perempuan itu baru bangun jam enam kurang lima belas menit dan beranjak terlebih dulu keluar kamar saat tidak mendapati Liam berada di sisi ranjang.Namun, kenyataannya Liam memang tidak ada di unit dan sudah pergi duluan.Indira menilik piama tidurnya. “Ya udah,