Liam menutup pintu unit apartemennya dan satu per satu membuka sepatu, lalu menaruh tas kerja.
Suara langkah kaki itu membuat Liam mengalihkan pandangan, menegakkan kepalanya dan mendapati Indira mendekatinya dengan piama tidur. “Kamu belum tidur?”
Pria itu bisa melihat sorot kantuk yang sepertinya ditahan Indira.
Perempuan itu menggeleng dan menjawab, “Nggak biasa tidur kalau nggak ada kamu,” balasnya dan membuat Liam sedikit menerbitkan senyumnya.
“Jadi, kamu lembur sendirian?”
Indira tidak ingin mengatakan lebih lugas, terlalu membesarkan rasa gengsinya daripada harus bertanya pada inti.
Telinganya masih bisa mendengar suara yang sangat dikenalnya saat menelepon Liam. Perasaan lain itu masih terpantik di dalam hatinya, membuat perempuan itu tidak bisa melakukan aktifitasnya dengan baik-baik saja.
Ia bahkan tidak bisa tidur hanya untuk bertanya, lalu memastikan jika semuanya masih terkendali aman.
“Serra? Xavier ada di rumah?”“Ada. Dia lagi di taman belakang, masih sibuk sama pekerjaannya.”“Oke. Aku ke sana dulu,” tutup Liam pada Kakak Iparnya yang terlihat ingin menaiki anak tangga, membawa beberapa mainan mobil, tampak membereskan milik anak lelakinya.Pria itu bergegas menuju taman yang tidak terlalu luas itu. Ia mendapati Xavier sedang duduk dengan beberapa berkas di meja, laptop yang masih menyala dan beberapa kali pria itu berdecak kesal.“Kamu kayaknya sibuk banget dari kemarin.”Xavier mendongak, baru menyadari kehadiran Adiknya yang mengambil duduk di samping pria itu. “Belum di minum tehnya?”Mata Xavier memicing dan mendengkus pelan, lalu mendorong cangkir itu ke hadapan Liam. “Ambil aja. Belum aku minum dan baru di bawa Serra,” balasnya membuat Liam tertawa kecil dan berucap terima kasih, lalu mengambil alih teh tersebut.“Pakaianmu rapi
“Seharusnya Kakak nggak usah jemput aku. Mana udah sore dan kayaknya ... Kakak baru pulang kerja, kan?”Indira menatap bersalah pria keturunan Jepang di sampingnya.Xavier.Pria bertubuh atletis itu masih membalut tubuhnya dengan setelan jas formal. Bahkan, Indira masih melihat dasi itu terpasang rapi di sana. Ia tidak enak hati saat tahu yang menjemputnya adalah Xavier ditemani sopirnya. Terlebih, pria itu dengan senang hati mengantar Naomi pulang ke kompleks perumahannya.Saat bersama Naomi, Indira tidak banyak bicara pada Xavier. Apalagi dengan sikap datar dan kaku pria itu, ia memang enggan bertanya lebih sementara waktu.Tapi lama-lama ia cukup tahu diri dan meminta maaf karena merepotkan pria itu menjemputnya, membuat ia harus berucap lebih dulu.“Aku baru selesai bertemu klien dan restorannya nggak jauh dari sekolah kamu. Jadi, aku rasa sekalian anterin kamu pulang nggak masalah.”Perempuan itu tersenyum
Indira diam di depan pintu kamar. Ia memerhatikan Liam yang kembali memeriksa isi kopernya. Pria itu tampak memastikan jika besok ia tidak lupa untuk membawa satu barang pun yang penting.Perempuan itu menatap Liam dengan perasaan sedih, menyadari jika ia pun akan meninggalkan apartemen ini selama satu minggu kedepan.Sebenarnya, Indira sudah terbiasa dengan kehadiran Liam, lalu tidur berdua. Biasanya ia terbiasa tidur sendiri, melakukan apa pun di kamar sendiri. Bahkan, salto pun tidak akan ada yang melihat.Ia benar-benar tidak berstatus jomlo lagi. Jadi, sudah pasti jika ia biasanya bersama Liam, harus bersabar dan menunggu pria itu kembali untuk menciptakan suasana yang sudah mereka rasakan bersama lagi.Liam yang berniat mengambil Macbook di atas meja belajar Indira terkesiap, mendapati perempuan itu masih diam terpaku di sana. “Hati-hati berdiri di sana, apalagi melamun. Kalau kesurupan, pulihkan sendiri, ya?”Perempuan itu menger
“Sebenarnya lo cinta apa nggak sih, sama Kak Liam?”Indira mendongak, menghentikan aktifitasnya mencoret kertas yang seharusnya ia gunakan untuk mencari jawaban dari beberapa latihan matematika. Perempuan itu menatap memicing Naomi yang duduk di hadapannya. Mereka sudah selesai dengan persiapan ujian selama di sekolah. Tapi Indira memaksa perempuan itu untuk pulang ke rumahnya dan makan bersama. Lebih tepatnya makan malam dan perempuan itu pun bisa mandi di rumah Indira.Beberapa pakaian Naomi memang ditinggal di rumahnya.Sudah lama mereka tidak berada di satu kamar yang sama layaknya teman dekat pada umumnya. Jadi, Indira menggunakan hari yang sudah terlewati, diisi dengan kebersamaannya bersama Naomi.“Lo nggak salah tanya hal begituan ke gue?” tanyanya memastikan.Angin sore sedikit memainkan helaian rambut keduanya yang duduk di kursi taman belakang.Naomi mengernyit. “Perasaan, gue udah tanya benar-benar.&
Sentuhan itu lepas perlahan, membiarkan untuk sesaat jemari tangan kanan Bianca masih menempel di pipi kanan Liam, membawa manik keduanya bersitatap cukup dekat.Debaran dalam jantung Liam kian tidak keruan bersama maniknya yang nyaris tidak berkedip menatap perempuan di hadapannya. Senyum Bianca terulas, mengusap lembut; membelai dengan sangat halus, pipi Liam.“Kamu pernah ngerasain kalau ada sorot mata aku yang merindukan kebersamaan di antara kita, nggak?”Ia tersenyum getir, ganti membawa punggung jemari tangan mengusap pipi Liam, membawanya kian turun membelai rahang itu. “Pertama kali kita bertemu setelah melewati beberapa tahun, aku sangat ingin memeluk kamu, sangat erat. Setelah itu, membiarkan satu kecupan sebagai hal terbaik untuk menyadarkan sesuatu di dalam diriku.”“Meyakinkan jika sampai sekarang aku belum bisa melupakan kamu, Liam.”Tubuh Liam membeku, mengunci pandangannya dengan perempuan yang b
“Maaf ya, Nom, kalau kamu kesal sama permintaan mendadak Dira yang paksa kamu makan malam di sini sebelum pulang. Jadi, makin malam kamu sampai rumah.”Indira mencebik kesal, menatap Mamanya yang duduk di seberang dan memandang lurus Naomi yang mengambil duduk di samping Indira.Wanita itu seolah mengatakan jika Naomi sangat terpaksa menerima permintaan dari teman dekatnya. Padahal, mereka baru kali pertama bisa menghabiskan waktu dengan baik setelah Indira menikah. Ini sindiran yang membuatnya hampir kehilangan selera makan.Apalagi ia jarang tinggal di rumahnya sendiri. Apa Mamanya tidak merindukan suasana di saat Indira ada di rumah dan membawa Naomi ke mari?Naomi tertawa kecil, memandang Indira sekilas dan menatap wanita yang duduk di hadapannya, tetap setia menemani suaminya yang memimpin makan malam hari ini.“Nggak apa-apa, Tante. Naomi juga udah lama nggak mampir ke sini dan juga menghabiskan waktu sedikit lama di luar ur
“Aku nggak mau terlalu cepat masuk unit. Malam ini, kita bisa santai sebentar di area rooftop.”Liam terkesiap saat jemari tangan kirinya bertautan dengan jemari tangan Bianca. Perempuan itu tersenyum manis, lalu dengan semangat mengajak pria itu melangkah sedikit terburu ke area rooftop di lantai atas dari restoran.Keduanya meninggalkan rekan mereka masing-masing. Itu adalah permintaan Bianca yang sangat mendadak. Liam mengikuti dari belakang, melihat rambut itu sedikit terombang ambing, serta kedua sudut bibir itu tersungging manis saat Bianca sekilas kembali menoleh ke arahnya.Embusan angin malam sudah menyambut keduanya ketika Bianca membuka pintu kaca, disusul Liam dari belakangnya yang kini membawa keduanya berada di tengah-tengah rooftop. “Cuacanya dari tadi siang cerah. Malam ini juga bintangnya banyak, kan?”Bianca melepaskan tautannya, mendekati Liam sejenak untuk meminta balasan pendapatnya.Pria itu mendongak d
Tiga kali melakukan panggilan telepon. Selama tiga kali itu pula membuat Indira menggerutu, mendapatkan balasan dari operator, bukan pria di seberang sana yang ingin ia dengar suaranya.“Ke mana sih, si Om-om mesum itu? Belagu banget, nggak di angkat telepon dari gue. Sok sibuk di pagi hari!” ketusnya menatap sebal layar ponselnya yang sudah berhenti memanggil Liam, tidak diangkat sama sekali oleh pria di seberang sana.“DIRA .... KAMU MAU SEKOLAH ATAU TIDUR TERUS KAYAK KEBO?!”Indira terlonjak kaget.Hampir saja ia menjatuhkan ponselnya, mendengar teriakan menggelegar dari Mama tercintanya yang sepertinya sudah menunggu di lantai bawah. Sarapan pagi sudah terhidang dan perempuan satu-satunya yang menjadi anak di rumah ini sedang dinantikan kehadirannya.Indira mengusap bagian jantungnya. Perempuan itu merasakan debarannya semakin kuat dan mengembuskan napas lelah. Kemudian, pandangannya menatap tajam layar ponsel yang menam
Ketukan sandal, kedua tangan yang dilipat depan dadan serta sorot tajam itu membuat Liam menatap bingung istri kecilnya. Ia baru saja tiba di rumah pukul sembilan malam, sesuai perjanjian di antara dirinya dan Indira. Pria itu mendapatkan izin untuk mengikuti reuni dan pulang di saat acara belum selesai.Apa yang salah?Bahkan, selama mereka menikmati liburan bulan madu, Indira membebaskan Liam pergi datang ke reuni dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Tidak sekali, melainkan beberapa kali dan satu hari mereka pulang ke Jakarta, Indira mengingatkan Liam.Ia sudah paham dan tidak akan membuat istrinya marah atau menangis lagi.Tapi belum sempat ia membuka pintu unit apartemen. Indira sudah berada di depannya, menunggu dengan raut wajah berbeda. Sebenarnya Liam sudah sangat ketakutan karena jika Indira marah ... maka ia harus menenangkannya. Liam pernah gagal untuk meluluhkan hati Indira ketika marah. Suasana hati istrinya kerap tidak terduga akan lulu
Indira tidak pernah menduga. Sekali jatuh cinta, maka ia merasakan kebahagiaan luar biasa selalu melingkupi dirinya bersama orang terkasih. Ia mencintai Liam, menerima semua kekurangan ... kesalahan yang pernah suaminya buat. Tapi apa pun itu, mereka sudah melangkah bersama, menata pecahan yang pernah menghunus tepat di hati.Bahkan, Indira sudah membuang rasa salah tingkah tiap Liam mulai menggoda atau ingin bermesraan dengannya. Karena sejak malam itu, ia ingin menjadi perempuan yang bisa mengimbangi sikap dewasa Liam, ikut mesum dan tentunya ikut romantis!Perempuan itu sedikit mendongak saat fotografer yang mereka sewa, memberikan aba-aba. Senyumnya semringah saat Liam memeluk pinggangnya dari samping, lalu membawa bibir basah itu ke leher istrinya. Mereka sudah menghabiskan banyak pose di tempat berbeda.“Cium, dong,” pinta perempuan itu merona saat pelukan mereka terurai.“Dari tadi kamu nggak pernah cium bibir aku,” gerutu I
‘Ingat, Dira Sayang. Sekarang kamu udah tau bagaimana isi hati kamu dan ternyata ... kamu juga sangat mencintai suamimu. Jadi, lupakan semua hal yang bisa membuat kamu malu dengan keadaan sebelumnya dan jadilah perempuan yang terlihat dewasa untuk merayu pria tampan.’‘Keberhasilanmu kali pertama adalah bagian terpenting yang bisa membuat Liam terus mengenang hal mendebarkan sama kamu, Nak.’‘Jangan kecewakan suamimu yang sudah menunggu kamu selama ini. Lakukan penuh cinta dan sayang yang kamu pancarkan dengan ketulusan hati.’Indira berdebar.Perempuan cantik itu memegang bagian di mana jantungnya berdetak kuat. Ia merasakan kedua pipi memanas saat di hadapannya ... ia terlihat sedikit lebih dewasa dari usianya dan juga bagaimana ia merias diri; memperlihatkan bagian yang harus terkesan sensual.Bibir kemerahan oleh lipstik dan juga riasan yang tidak terlalu tebal. Selama tinggal dalam satu unit yang sama. Indir
Tidak ada hari yang membuat mereka lelah untuk menciptakan kebersamaan yang manis. Liam dan Indira membuktikan, jika hal kecil bisa sangat berarti dan membuat komunikasi di antara keduanya terjalin kuat.Setelah pulang bekerja atau Indira yang memang kerap pulang cepat karena dalam masa ujian, mereka akan menyiapkan makan malam. Baik Indira ataupun Liam sudah saling mengerti dan memusatkan status mereka sebaik mungkin.Mereka akan menonton bersama di sore hari dan di tiap malam, Liam akan menjadi tutor bagi Indira dalam mengulas materi apa pun untuk besok harinya.Hmm, lebih tepatnya tutor tampan. Suami yang merangkap sebagai guru private sangat menyenangkan bagi Indira. Ia bisa meminta hadiah istimewa dan mendebarkan. Apalagi jika bukan sebuah ciuman panjang. Karena akhir-akhir ini Liam terlalu jual mahal.Dari mereka kembali bersama ke unit, sepertinya Indira yang memperlihatkan sisi agresif. Setiap malam pun ia sengaja memeluk Liam dan membawa satu kak
“Gimana? Jawabannya udah benar semua, kan?”Indira tampak nyaman melingkarkan kedua tangannya di leher Liam, merangkul pria itu dari belakang seraya membiarkan suaminya duduk memeriksa materi yang mereka ulas bersama di meja belajar Indira.Malam sudah menunjukkan pukul sembilan. Tapi ditemani suaminya, Indira tetap semangat untuk ujian nasional di hari pertama besok. Harinya berlanjut dengan bahagia tanpa beban dan belajar ... tentu saja ia memahami dengan baik, tanpa berpikir hal pelik seperti beberapa waktu lalu.Omong-omong, suami ya? Tentu saja! Indira dengan perasaan berdebar melirik cincin di jemari tangannya. Ia mengulum senyum, menghadirkan rona merah yang begitu kentara. Pun, jemari tangan Liam di atas meja belajar Indira yang sesekali membuka lembaran materi, memperlihatkan jemari itu tetap tersemat cincin pernikahan mereka.Keduanya memberikan simbol cinta dengan cincin pernikahan yang tidak akan mereka lepas, kecuali untuk sementa
Liam tersenyum miris saat pandangannya sangat lekat memandang foto pernikahan yang ia diam-diam simpan dengan rapi di galeri. Ruang khusus dengan nama yang tertera ringkas ‘Pernikahan’, entah kenapa pernah ia pisahkan dan membuat folder sendiri.“Setelah pernikahan kita yang aku ingat hanya untuk terus sadar kalau waktu itu aku udah punya kamu. Aku nggak menjalani hari sebagai pria lajang dan ada seorang perempuan yang menjalani komitmen bersamaku.”Liam mengulas senyum manis, meskipun perih dan gemuruh dalam dadanya kian menguat seiring jemari tangan mengusap lembut layar ponsel. Foto pernikahan ia dan Indira yang terlihat banyak orang manis. Tapi Liam tahu, dalam hati Indira menatap dirinya dengan umpatan yang terlalu banyak.Ia tertawa kecil, membayangkan kemarahan Indira yang memantik bagian terdalam hatinya. Pria itu tidak pernah menemukan kesan seringan dan semanis ini saat berkomunikasi dengan seorang perempuan.Itu yang mem
Bianca mengalihkan pandangan saat wanita itu menatapnya lurus, meskipun ia tahu jika ada air mata di pelupuk matanya. Diam-diam, jemari tangan itu mengepal di bawah meja, membawa dirinya pada keadaan yang tidak diinginkan.“Pernikahan putri Tante hancur, Bi. Kamu tau hal itu, kan?”Rahang Bianca mengetat ketika suara itu bergetar. Nyaris berupa bisikan dan itu sangat membuat Bianca kian mengepalkan kedua tangan, membuat buku jemari tangannya memutih. Ia membenci jika yang membawanya ke mari adalah Mama Indira.Ia tidak sengaja bertemu wanita itu di supermarket dan sekarang? Bianca terjebak dalam percakapan yang serius dan wanita itu adalah sosok pertama yang akan melindungi Indira.“Pernikahan Dira sudah berada di ujung tanduk,” lanjut wanita itu.Bianca langsung menatap manik mata Mama Indira dengan sorot tegasnya. Ia seolah tersudut ... dipojokkan dengan sangat tidak adil. Senyumnya tertarik sedikit, tampak menatap dan mem
Tangis Indira pecah saat ia memeluk erat wanita yang telah melahirkan dan meyakinkan Indira tentang suaminya sendiri. Ia mengatakan semua ... tanpa ada satupun yang ditutupi mengenai keretakan hubungan di antara dirinya dan Liam.Bahkan, Mama Indira membungkam mulutnya, nyaris bergetar saat Indira mengatakan hubungan asmara yang sempat dijalin antara Liam dan Bianca.Wanita itu hanya duduk tenang bersama suaminya di ruang tengah. Sampai ia mendengar satu tamu yang datang magrib, ia langsung membuka dan mendapati Indira memeluknya erat dalam mata sembab dan air mata yang tidak berhenti usai.Orangtua Indira kaget, mengenai hal yang tidak pernah perempuan itu ungkapkan sama sekali.Namun, bukan hanya air mata Indira yang terus saja membawa pilu dan sesak dalam hati orangtuanya. Mama Indira dan Papanya pun tampak sakit ... ketika Indira membuang begitu saja kue ulang tahun yang telah disiapkan pria itu untuknya.“Naomi datang ke unit Dira dan Li
‘Maaf, Indira. Aku harus pergi sebelum kamu bangun. Pagi tadi Xavier minta aku temani dia ke Bandung dan kami berdua akan balik lagi ke Jakarta setelahnya. Kamu pergi ke sekolah sendiri, ya. Sarapan paginya udah aku siapkan.’Indira menggerutu sebal dan melempar asal secarik kertas di tempel bagian depan kulkas. Ia menaruhnya di atas meja dapur, lalu duduk di sana dengan mengembuskan napas lelah.“Kenapa, sih?”“Giliran kemarin bangun pagi, dia masih tidur dan suasananya aman-aman aja. Sekarang harus ditinggal, tepat di saat gue ulang tahun,” sahutnya mengusap wajahnya yang masih kusut.Indira pikir, ia kembali berada di posisi Liam kemarin. Perempuan itu baru bangun jam enam kurang lima belas menit dan beranjak terlebih dulu keluar kamar saat tidak mendapati Liam berada di sisi ranjang.Namun, kenyataannya Liam memang tidak ada di unit dan sudah pergi duluan.Indira menilik piama tidurnya. “Ya udah,