“Akhh … aahh … nghh ….” Desahan demi desahan lolos dengan begitu indah dari mulut manis Ranesha pada saat Hail sibuk menjamah leher dan meraba punggungnya erotis.
Pria itu semakin hilang kendali mendengar desahan nikmat dari sekretarisnya ini. Ia jadi ingin melakukan lebih dan lebih lagi. Lidah Hail menyapu bersih leher jenjang Ranesha, kembali mencium, menjilat, bahkan menggigit dan mengisap leher putih tersebut. Membuat lenguhan antara rasa sakit dan kenikmatan dari Ranesha kembali menyapa telinga Hail, menjadikan pria ini tambah menggila.
“Ja—nghh … di—hh … sini—akkhh!” ucap Ranesha terbata-bata diselingi dengan desahan. Tangan Hail yang meraba punggungnya bergerak melepas pengait bra yang ia kenakan. Lelaki itu juga sudah membuka habis kancing kemeja kerjanya.
“Really?” gumam Hail. Menatap mata hazelnut Ranesha dengan sa
Hari pertama, kembalinya Meriel di kediaman Hail.Meriel mendesah ringan, ia menatap nanar layar ponselnya. Tadi salah satu pengawal Aron yang menjaga anak itu di rumah sakit, baru saja memberi kabar, bahwa Aron masih dirawat di sana dengan kondisi yang cukup stabil.Hanya saja, tulang pipi kanannya retak akibat dihantam oleh kaki Hail, tulang tangan yang ia gunakan untuk melindungi diri juga ada bagian yang retak, mirisnya lagi bagian terparah adalah tiga tulang rusuk Aron yang patah.Meriel merinding ngeri ketika membaca pesan teks berisi keadaan dan foto Aron saat ini, ia jadi bertanya-tanya sekuat apa sebenarnya suaminya itu. Karena yang ia tahu dan kenal selama ini hanyalah sosok Hail yang kadang dingin tapi begitu lembut dan perhatian padanya.Namun demikian, Meriel merasa Hail sudah benar-benar berubah sekarang. Ia tidak hanya melihat sosok lembut itu berbah jadi seseorang yang bengis bak mons
Mata biru milik Meriel menatap nyalang manik netra hazelnut Ranesha. “Mengaku saja, kau mengincar suamiku, kan?” tuduhnya dengan nada dingin yang tajam.Ranesha hampir saja tertawa nyaring. Sekarang kecurigaannya sudah jelas, sang pemeran utama wanita ini memang mengajaknya berperang. Jadi, benar bahwa hati Meriel tidak sesuci yang digambarkan. Ranesha sangat ingin berteriak mengungkapkan topeng wanita itu.“Iya, saya mencintai suami Nyonya. Apa ada masalah?” tantangnya kelewat berani. Mata mereka beradu sengit.Meriel lantas tertawa hambar. Ia menyibak rambut pirang bergelombangnya ke belakang dan tersenyum dengan raut wajah begitu merendahkan lawan.“Baiklah, baiklah. Sekarang aku bisa mengerti, terima kasih,” ujar Meriel membuat alis Ranesha bertaut jadi satu, mengerutkan kening dalam. Masih berusaha mencerna apa maksud kalimat yang keluar dari bibir berwarna pe
“Padahal aku dan Juan sudah mencadangkan data setiap malam, tapi ada kecoak yang mengacaukannya.” Alexi menyindir seluruh orang di dalam ruangan. Ia tidak segan-segan menyembunyikan rasa curiganya. Kasus ini tentu tidak akan terjadi tanpa adanya campur tangan pihak ketiga.Alis Hail bertaut. Ia memandang Alexi dengan tatapan yang menuntut penjelasan lebih. Maka di situlah Juan berusaha mengambil alih.“Begini, Mikhail hanya orang yang menjalankan perintah. Ada pihak yang memintanya, dan ada satu pihak lagi yang membantu mereka,” tukas ketua dari tim pengembangan tersebut.“Makanya.” Alexi berdiri, mengedarkan pandangan. “Pasti ada kecoak di sini,” sindirnya lagi.Kali ini Sean sudah tidak dapat menahan diri, tangan yang mengepal itu langsung melayang pada kerah baju Alexi, menarik pemuda itu dengan sangat kasar. “Maksudmu apa berkata seperti itu!&
Lapangan hijau yang sangat luas sepanjang mata memandang, dihiasi dengan beberapa pohon rindang dan bukit-bukit kecil. Di salah satu bukitnya, ada dua gundukan yang dilapisi marmer mahal dengan warna abu-abu cemerlang. Pada masing-masing dari dua gundukan itu, tertuliskan nama orang yang berbaring di bawah sana, sebagai tempat peristirahatan terakhir mereka.Ranesha membersihkan rerumputan liar yang masih bersisa sedikit, ia juga mengusap penuh sayang debu yang menempel pada marmer-marmernya. Bunga yang perempuan itu bawa tadi ia letakkan satu-satu pada dua kuburuan itu.“Helena Seibert, Damian Seibert,” eja Ranesha pada dua nama yang tertulis di sana. Wajahnya mendadak muram.“Apa … kalian tahu kalau Ranesha yang kalian kenal sudah tiada? Makasudku, aku bukan Ranesha yang kalian kenal, dia … hilang. Aku juga tidak tahu ke mana, tapi sekarang jiwaku menempati tubuh Ranesha ini,” raca
“Apa?” Ranesha mengarahkan pandangan netranya pada manik mata indah Juan. Seakan berusaha mencari celah kebohongan dan menuntut penjelasan lebih atas kata-kata ambigu lelaki itu barusan.Pasokan oksigen terasa semakin menipis dikala tubuh gadis itu masih sedikit gemetar kedinginan. Hal ini adalah kemungkinan besar ia tidak dapat mencerna dengan baik kata-kata Juan tadi.“K-Kau tadi bilang apa?” ulang Ranesha lagi, seolah mendesak agar mulut yang hanya tersenyum tipis itu kembali terbuka agar bicara.I’m into you, Ranesha. Hati Juan menjerit ingin mengeluarkan kalimat tersebut. Namun, ia malah terkekeh ringan dan mengacak pelan rambut Ranesha yang tadi ia rapikan.“Pasti CEO kita itu lagi, kan? Wah … sangat menyebalkan,” ujar Juan tidak jelas, ia memutar kepala lurus ke depan, memandang pada jalan yang lengang.“Maksu
Juan mengikuti Ranesha yang baru keluar dari mobilnya. Gadis itu Juan paksa ikut pulang bersamanya saja karena saat makan-makan tadi, Ranesha malah muntah tiba-tiba. Sungguh perempuan yang selalu berhasil memberikan Juan efek kejutan dan perhatian penuh. Masalah mobil yang Ranesha bawa, bisa menyuruh pelayan aau supir khusus untuk mengambilnya ke sana.“Yakin kalau kau baik-baik saja? Tidak ke rumah sakit dulu? Atau menemui Dokter Sylvia saja, akan aku antar,” bujuk lelaki itu untuk keseribu kalinya—mungkin. Ia tidak bisa berhenti cemas dengan wajah pucat dan mata bengkak gadis yang tengah bersamanya kini.Ranesha yang merasa dirinya masih sehat sentosa itu kembali menggeleng sebagai penolakan halus. Ia malah lebih memikirkan rasa malu paling mengerikan yang terus-terusan ia tunjukkan pada Juan. Apa aspal yang dia pijaki saat ini tidak bisa memuai jadi air laut saja? Ranesha ingin menyembunyikan diri sekarang.
Hancur. Satu kata yang masih tidak dapat menggambarkan perasaan kedua orang di dalam satu ruangan ini. Baik Hail mau pun Ranesha terlihat enggan bahkan untuk saling berbicara satu sama lain. Seolah ada jarak lintas dimensi yang menjulang dalam dan tinggi di antara keduanya. Dinding tak kasat mata yang semakin kokoh, lebih gelap dari pada kegelapan sekali pun.“Rating My Teacher meningkat dengan signifikan. Sampai saat ini tidak ada yang melaporkan masalah terkait bug, eror, atau yang lainnya,” lapor Ranesha tanpa menatap sang atasan di hadapan. Ia sok sibuk berbicara dengan tablet di tangan.“Ok,” balas Hail bahkan lebih dingin dari pada lautan di kutub es. Wajah pria itu terlihat lebih parah dari pada hari-hari sebelumnya. Dengan mata sedikit bengkak, garis hitam di kantung mata yang semakin terlihat, dan tentu titik kejenuhan yang tidak dapat wajah tersebut sembunyikan—meskipun tampan.
“Ugh ….” Mata Ranesha memandang dengan perasaan berkecamuk pada tiga anak manusia yang tengah duduk di atas sofa dengan dua komputer di atas meja. Ketiga pria di sana tengah berdiskusi dengan nyaman dalam ruang baru yang telah disiapkan sang sekretaris piawai dengan sempurna.Namun, entah kenapa Ranesha malah kesal sendiri. Memang dirinya jadi tidak berenang dalam kolam dokumen-dokumen seperti biasa, akan tetapi itu bukan berarti dia harus jadi penyiap makan dan minum ketiga orang di sana bukan?“Aku sudah seperti pembantu saja,” gumam perempuan bersurai cokelat terang ini. Tangannya yang memegang nampan berisi cemilan dan kopi jadi gemetar menahan rasa kekesalan. ia bagaikan bom yang dijinakan, tak bisa meledak lagi.“Oh? Makanan sudah datang!” seru Juan setelah mengangkat kepala dan menoleh, ia bisa merasakan aura kehadiran Ranesha yang mematung di ambang pintu.
Satu bulan telah berlalu sejak hari itu. Meriel sendiri telah kembali tinggal bersama ayahnya yang adalah seorang diktator. Secara sembunyi-sembunyi, Ranesha mendengar obrolan antara Caspian dengan kepala pelayan. Ternyata Caspian masih menyimpan dendam dengan Meriel. Wajar sekali sih, pria paruh baya itu hampir saja kehilangan satu-satunya harta paling berharga yang ia miliki di dunia ini—Ranesha. Walau bagaimanapun, Caspian ingin memastikan bahwa orang itu—Meriel—mendapat ganjaran yang lebih mengerikan dari pada penjara. Benar. Ranesha tahu sendiri bahwa bagi Meriel, kembali tinggal di rumah ayahnya yang bagaikan psikopat itu adalah hukuman paling berat di muka bumi ini. Bahkan tidak menutup kemungkinan, Meriel saat ini sedang merasa lebih buruk dari pada di neraka. “Apa aku sangat buruk karena senang dengan hal itu?” Ranesha bergumam. Saat ini rambut Ranesha sudah lebih panjang, mata hazelnut indahnya menatap pe
“Aku berjanji,” lanjut Hail lagi semakin menunduk dalam. “A-aku berjanji kalau ini akan menjadi pertemuan kita yang terakhir.”“T-tunggu dulu, Pak. Apa maksudnya Anda ini sekarang—"“Ran … kata maaf saja memang tidak cukup untuk menebus segala kesalahan yang telah aku perbuat pada hidupmu.” Hail menyela kalimat Ranesha yang belum rampung. Pria dengan tampilan yang amat berantakan ini masih terus berceloteh dengan mengabaikan pendapat lawan bicaranya sendiri—sebuah kebiasaan buruk yang tak patut untuk ditiru.“Pak, saya—”“Aku akan pergi dari negara ini setelah segala urusan di perusahaan aku selesaikan. Jadi kau tenang saja. Cukup diam di sini dan beristirahatlah sebanyak mungkin. Kau tidak perlu mencemaskan apa pun lagi. Biar aku yang urus semuanya.”“Tapi saya—”&
Buruk. Ranesha bahkan hampir tidak bisa mengenali penampilan Hail saat ini. Sungguh, ketika baru saja ia selesai diperiksa oleh dokter, mengobrol ringan bersama dengan sang ayah, Ranesha hampir saja terkena serangan jantung tadi saat Hail tiba-tiba masuk ke dalam ruangan ini dengan sedikit gebrakan yang cukup mengejutkan.Dan kini, Caspian setelah menantap pria itu dengan intimidasi mengancam, pergi meninggalkan Hail dan Ranesha sendirian. Ini cukup mengejutkan karena Ranesha tahu bahwa Caspian dari dulu membenci sosok Hail—entah karena alasan apa.“Ran, aku ….” Hail masih menunduk, tidak sanggup menatap kondisi mengenaskan Ranesha. Padahal saat ini malah Ranesha yang tengah memandanginya dengan tatapan kasihan. Penampilan Hail sungguh berantakan, tidak terurus. Wajah tampannya terlihat kusam, dengan kumis danjenggot yang tidak dirapikan. Rambut legam Hail juga tampak kusut. Apalagi bajunya, apa Hail tidak meminta or
“Meriel aku ….” Hail memejamkan mata, lalu memjiat pelipisnya yang terasa berdenyut-denyut, berusaha untuk tidak berlaku kasar pada seseorang yang dulu pernah ia cintai setengah mati ini.“A-Aku mohon Hail! Jangan seperti ini … j-jangan lakukan ini! Aku minta maaf! Aku sangat menyesal, j-jadi tolong hentikan semua ini Hail! Jangan menyiksaku ... aku mohon padamu dengan sangat-sangat!” Meriel masih bersimpuh di kaki Hail, menangis sampai meraung-raung. Memohon seperti orang yang tidak memiliki harga diri lagi.Hail menengadah, mendengkus kasar, Ia sangat tidak sudi untuk menyentuh Meriel barang seujung jari pun. Memang benar kata orang dulu, kalau perbedaan antara benci dan cinta itu setipis benang saja. Hari ini kau bisa sangat membenci dia, tapi besok kau bisa saja sangat menggilainya. Begitu pula sebaliknya. Hari ini mungkin dia adalah duniamu, dia adalah segalanya bagimu, tapi besok … bisa saja
Runtuh. Hancur tanpa sisa kepingan lagi. Tiada kata-kata yang dapat menggambarkan perasaan Caspian saat ini. Ketika Ranesha, harta satu-satunya yang ia miliki di dunia ini, dikabarkan kembali mengalami kecelakaan. Apalagi ini bukanlah kecelakaan biasa. Setelah diusut oleh tim keamanan pribadinya, Caspian menemukan fakta bahwa Ranesha telah diserang.“Lalai … Ayah lagi-lagi gagal dalam menjagamu.” Caspian masih menangis sambil memeluk erat tangan Ranesha, menciumnya sesekali, meletakkan tangan kurus itu di keningnya dalam perasaan kalut bercampur haru.“Ibu dan adikmu pasti saat ini sedang mengutuk Ayah. Kau juga harus melakukannya.” Caspian masih mengoceh di sela isak tangis. “Tolong siksa Ayah dengan hal lain Ran. Kau boleh membenci Ayah. Kau juga boleh memukul Ayah. Kau boleh melakukan apa pun, tapi tolong ….” Kedua tangan Caspian yang meremas lembut jari-jari putri tercintanya ini.
Langit malam bertiup kencang melewati seonggok tubuh kecil, yang kini tengah melayang setelah terpeleset dari atap gedung dengan lima belas lantai.“Ah … perasaan dejavu,” ungkap gadis itu yang tak lain dan tak bukan adalah Julia. Benar. Sosok asli dari Ranesha yang seharusnya terjebak di dalam dunia webtoon. Lantas, kenapa di bisa berada di sini? Dia jelas pernah mengalami ini. Sebuah peristiwa nahas yang membuat jiwanya berpindah menjadi tokoh sampingan dalam webtoon Perjuangan Cinta Meriel.“Padahal aku sebagai Ranesha habis mengalami kecelakaan,” gumam si gadis berbadan mungil yang memakai jaket nan tipis tersebut. Ia ingat bagaimana mobil Ranesha terguling dan dirinya tengah sekarat saat itu. Sekarang dia berada di sini dengan sangat membingungkan. Tubuhnya yang jatuh dari atap gedung tinggi serasa melmbat. Seolah-olah gravitasi bumi tengah menolak dirinya.Mata bulat si gadis menatap
“APA?” Hail beranjak tiba-tiba sampai membuat Meriel yang hampir terlelap sambil memeluk lengannya terjungkal kaget.Namun, bukannya protes. Secara diam-diam wanita itu malah tersenyum seolah senang. Benar. Meriel kurang lebih tahu apa yang Hail dengar dari suara di seberang benda pipih tersebut. Rencananya sudah berhasil. Shade telah melenyapkan Ranesha. Ini sangat sempurna. Sekarang tidak ada lagi yang menganggu kesenangan Meriel. Sekarang, Meriel hanya perlu—“Aku harus ke rumah sakit sekarang. Kumohon kali ini saja Meriel, aku harus memeriksa keadaan Ranesha. D-Dia … sedang dalam keadaan kritis karena kecelakaan.”Apa? Ternyata benar. Hail bisa kehilangan kendali jika mengenai Ranesha. Meriel mulai kesal sekarang. Padahal dulu saat Hail masih menggilainya, Hail tetap berpikir dengan logika. Tidak urang-uringan seperti ini. Ah, sangat tidak adil. Apa istimewanya seorang Ranesha di
Ranesha sudah menumpahkan segala keluh kesah gundah gulananya pada sang ayah waktu itu. Tentu saja Caspian sempat mengamuk dan hendak menyerang langsung ke rumah Hail. Namun, Ranesha tidak mengingankan hal tersebut. Ia mati-matian menahan Caspian dengan air mata yang berderai.Caspian memang luluh dan kembali tenang. Hanya saja, Ranesha tidak dapat menghentikan niat ayahnya itu yang ingin menarik semua investasi kepada Delmara Company. Karena alasan Caspian menjabat sebagai salah seorang investor tertinggi di sana hanya demi Ranesha. Kalau putri semata wayangnya itu sudah tidak bekerja dengan Delmara Company lagi, maka Caspian tidak memiliki alasan untuk membantu perusahaan tersebut.Meski hasil yang ia dapat dari saham yang Caspian miliki di Delmara Company cukup besar. Sang ayah sudah tidak peduli lagi. Baginya, kebahagiaan si putri kecil lebih utama dari pada harta. Caspian tidak ingin memiliki hubungan dengan orang yang sudah menyakiti R
“Ada yang ingin kau bicarakan, Meriel? Harusnya kau istirahat saja. Apa kau sudah lupa yang dokter katakan waktu itu? Janinmu—maksudku, anak kita … dia masih dalam kondisi yang tidak stabil. Kau sebagai ibunya harus banyak-banyak istirahat.” Hail berceramah panjang kali lebar, sambil mengambilkan segelas air putih, memberikannya pada Meriel, lalu duduk di samping sang istri.Bahaya. Hail bahkan tidak bisa merasakan apa pun lagi terhadap Meriel. Debaran jatuh cinta atau pun gairah yang menggelora, semuanya sudah tidak ada Hail rasakan lagi selain pada Ranesha. Ini sangat menyiksa. Ia harus terjebak tinggal dengan bersama orang yang dulu pernah Hail cinta. Perihal kecantikan Meriel yang dulu sangat ia kagumi pun telah sirna. Berganti dengan rasa rindu yang sangat berat pada Ranesha.“Anak kita sedang rindu ingin melihat wajah ayahnya.” Meriel bergeser untuk lebih mendekat, lalu memeluk lengan Hail yang suda