"Kapan kamu mengenalkan calon istri kamu pada Mama?"
"Mas Raditya mana mungkin memiliki calon istri? Yang ada dikepalanya setiap hari hanya pekerjaan."
"Dulu kamu juga menolak ketika Mama jodohkan. Padahal perempuan pilihan Mama itu sudah sangat cantik, Mama juga mengenal keluarganya dengan sangat baik."
"Mas Raditya nggak tertarik dengan yang cantik, Ma. Mungkin seleranya justru laki-laki tampan yang sering datang ke gym."
"Karina, kamu tuh. Mama sedang bicara dengan kakak kamu tapi selalu kamu yang menyahut."
Adik perempuan Raditya itu hanya tertawa menanggapi omelan sang Mama sementara Raditya justru membuang napas panjang sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa.
Diusianya yang memang sudah seharusnya berkeluarga, Raditya memang masih tinggal bersama keluarganya. Selain karena saat ini dirinya adalah pengganti sang Papa, Raditya juga tidak tega membiarkan sang Mama mengurus adik perempuannya yang manja itu seorang diri.
Tapi Raditya juga harus merelakan telinganya panas tiap mendapati pertanyaan yang sama hampir setiap hari dari sang Mama. Setiap malam ketika laki-laki itu sudah selesai dengan semua urusan pekerjaan dan berniat ikut mengobrol, Mamanya justru memberikan pertanyaan yang sebenarnya sudah bosan didengar laki-laki itu.
Kapan mengenalkan calon menantu pada Mama? Kapan menikah? Kapan memberikan Mama cucu?
"Aku ke kamar deh, mau tidur." Raditya bersiap akan bangkit berdiri, dan seketika tangan sang Mama terulur menahan lengannya.
"Sekarang bahkan belum jam sepuluh." kata Mamanya dengan nada heran.
"Sepertinya aku butuh waktu istirahat lebih, Ma."
"Kamu kelelahan? Makanya harus berapa kali Mama ingatkan, lebih baik kamu menikah supaya ada perempuan yang mengurus kamu."
Raditya membuang napas lelah. "Ada Mama yang akan menjagaku. Lagipula, aku hanya perlu tidur."
Kepala Raditya sempat menoleh ke arah adik perempuannya, laki-laki itu memberikan pelototan mengancam yang membuat Karina segera merapatkan bibir dan menahan kalimat apapun yang ingin keluar dari mulutnya. Setelah memastikan kalau dirinya bisa menghindari topik obrolan malam itu, Raditya buru-buru bangkit dan benar-benar pergi dari sana.
Langkah Raditya tertuju ke arah kamarnya. Begitu sampai dikamar, laki-laki itu segera berbaring di tempat tidur sambil mengecek ponselnya yang sejak tadi ditinggalnya disana. Ada beberapa pesan, tapi bukan pesan yang ingin dilihatnya.
Hanya ada beberapa pesan dari rekan kerja, pesan grup, dan pesan dari beberapa teman perempuan yang menaruh hati padanya. Tapi Raditya sedikit kecewa karena tidak ada pesan dari Aruna.
Jari Raditya bergerak lincah dilayar ponselnya. Dicarinya nama Aruna dalam daftar kontak dan segera ditekannya tombol dial. Perlu waktu sebentar sampai panggilannya diterima oleh perempuan itu.
"Ada apa?"
Senyum Raditya mengembang hanya karena kalimat pendek bernada sinis itu. Entah kenapa, mendengar suara Aruna selalu memberikan efek lain dalam diri Raditya.
"Nggak ada apa-apa." sahut Raditya tenang sambil bangkit duduk bersandar ke kepala tempat tidur.
"Lalu kenapa menghubungiku kalau nggak ada keperluan apapun?"
"Apa aku harus punya keperluan dulu sebelum menelepon kamu?"
Jeda sebentar, sampai kemudian suara pelan Aruna terdengar. "Nggak juga sih."
Raditya terkekeh lalu menanyakan pertanyaan biasa dengan nada ramah. "Sedang apa?"
"Sedang menemani Adhisty tidur. Kamu pikir apa lagi yang bisa kulakukan dirumah selain menemani Adhisty?"
"Apa kamu tidak pernah didekati laki-laki sebelumnya? Harusnya kamu tahu kalau itu hanya sekedar pertanyaan basa-basi untuk mempertahan obrolan."
"Aku tahu." Aruna terdengar sedikit geli ketika melanjutkan, "Lagipula sepertinya aku lebih berpengalaman dibanding kamu."
Raditya mengulum bibir. Laki-laki itu jelas tidak bisa menyangkal pernyataan yang baru saja dikatakan Aruna. Perempuan itu sudah pernah menikah, sekalipun mungkin pernikahannya tidak berjalan lancar, tapi Aruna tahu banyak seputar hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Sementara Raditya .. Laki-laki itu bahkan hanya mengencani tiga perempuan selama hidupnya. Dua orang saat SMA, dan satu perempuan lain saat dirinya dibangku kuliah. Mungkin kalau dibandingkan Aruna, dirinya jelas tidak termasuk punya banyak pengalaman.
"Sedang memikirkan ucapanku?"
Raditya berkedip. Laki-laki itu berdeham pelan sebelum kembali bersuara, "Sedikit. Kamu pasti punya banyak mantan selama kuliah, kan?"
"Jangan asal menebak, Raditya." protes Aruna dengan nada jengkel. "Aku nggak punya banyak mantan. Lagipula, aku juga nggak menyelesaikan kuliahku karena Mas Dipta sudah melamarku saat itu."
"Tapi kamu punya banyak pengalaman .."
"Itu karena aku sudah menikah, sementara kamu belum." Aruna terdengar gemas lalu melanjutkan lagi, "Bukan berarti aku memiliki banyak mantan. Paham?"
Raditya mengangguk-anggukan kepalanya dengan polos tanpa sadar. "Itu berarti aku masih lebih berpengalaman daripada kamu. Karena seingatku, aku sudah mengencani tiga perempuan selama hidupku."
Aruna terdengar mendengus pelan, dan Raditya yakin kalau perempuan itu pasti sedang mencebikan bibirnya di ujung sana. "Dan kamu bangga dengan itu?"
Raditya terkekeh pelan lalu memilih mengeluarkan pertanyaan lain, "Gimana hubungan kamu dengan suami kamu sekarang?"
"Nggak berjalan baik. Kamu sudah tahu soal itu, kan?"
"Maksudku, apa kamu nggak berharap untuk kembali padanya lagi setelah ini?" Raditya membasahi bibir bawah, mendadak gugup untuk meneruskan kalimatnya. "Kamu tahu kalau laki-laki juga bisa patah hati, kan? Dan aku nggak ingin diriku merasakan sakit hati karena mengejar perempuan yang masih menginginkan laki-laki lain."
"Kamu demam?"
Raditya hampir mengumpat karena balasan yang didengarnya dari Aruna. Apalagi ketika suara tawa Aruna terdengar setelahnya, terdengar geli seakan Raditya baru saja memberikan sebuah lelucon.
"Ada yang lucu, Aruna?" tanya Raditya dengan nada datar. Tapi itu tidak segera membuat Aruna menghentikan tawanya. Karena samar, Raditya masih bisa mendengar tawa renyah itu yang diam-diam membuat kedua sudut bibirnya tertarik ke atas.
"Lucu sekali." Aruna terdengar menarik napas panjang lalu melanjutkan masih dengan nada geli, "Mana mungkin aku berniat kembali pada laki-laki yang sudah menyakitiku dan Adhisty? Aku nggak sebodoh itu, Raditya."
"Aku tahu." gumam Raditya tanpa sadar. Sejak awal, Raditya tahu kalau perempuan yang menarik perhatiannya itu memang lain dari yang lain. Aruna terlihat lebih kuat dari perempuan lain, dengan aura kecantikan yang juga mampu memikat perhatian kaum Adam.
"Masih ada yang ingin kamu sampaikan? Aku mau tidur."
Raditya berdeham, merasa sedikit gugup. "Bisa ikut denganku besok malam?"
"Kemana?"
"Kerumahku." suara Raditya lebih pelan ketika melanjutkan, "Ingat yang kukatakan pada kamu beberapa hari lalu? Setahun denganku, kamu mungkin sudah mengenal keluargaku. Dan aku hanya ingin membuktikan kalimatku itu."
"Tapi aku .."
"Kamu nggak perlu mengaku sebagai kekasihku. Aku hanya ingin mengenalkan kamu sebagai teman SMA yang baru kutemui lagi."
"Oh? Oke."
"Kujemput besok malam, mungkin sekitar jam 7 malam."
"Oke."
"Selamat tidur, Aruna."
"Oke."
Aruna menggenggam erat ponsel ditangannya begitu sambungannya dengan Raditya terputus. Perempuan itu sedikit memiringkan kepala, memikirkan tentang ajakan Raditya barusan.
Raditya mengajak Aruna bertemu dengan keluarga laki-laki itu sementara mereka tidak memiliki hubungan spesial apapun.
Dalam hati kecilnya, Aruna sendiri tidak begitu berharap pada Raditya. Perempuan itu masih dalam tahap mengumpulkan kembali kepercayaannya, dan belum sepenuhnya bisa percaya pada Raditya. Bisa saja laki-laki itu mundur ketika menyadari kalau Aruna mungkin akan sangat menyusahkannya? Bisa juga laki-laki itu perlahan menjauh ketika menyadari kalau Aruna mungkin tidak sebaik yang terlihat?
Aruna membuang napas panjang. Bukan hanya Raditya yang takut sakit hati karena kedekatan mereka. Aruna juga diam-diam merasa begitu. Aruna takut kembali mengalami kegagalan dalam sebuah hubungan. Aruna takut kembali dihadapkan pada kekecewaan dan patah hati.
Pusing memikirkan itu semua, Aruna memilih meletakan ponselnya diatas meja sambil mulai membaringkan tubuhnya ke atas tempat tidur.
"Apapun itu, semoga masih ada banyak hal baik yang akan terjadi dihidupku dan Adhisty."
****Dara menjatuhkan tubuh besar Dipta ke atas tempat tidur dengan kasar. Perempuan itu mengeluh pelan ketika mencium bau minuman keras dari mulut laki-laki itu. Sekali lagi, dirinya harus menyaksikan bagaimana hancurnya Dipta setelah ditinggalkan istri dan anaknya.
Dara tersentak pelan ketika tangan Dipta menarik tangannya, membuat tubuh rampingnya jatuh tepat diatas tubuh laki-laki itu. Dara belum sempat mengelak ketika tiba-tiba saja bibir Dipta sudah tertuju ke arah bibir ranumnya, mencium disana dengan sedikit kasar.
"Aruna .."
Dara kembali mengeluh. Perempuan itu berusaha menjauhkan tubuhnya dari tubuh Dipta dengan sekuat tenaga. Setelah berhasil, dipukulnya dada bidang laki-laki itu dengan kesal. "Sudah berapa kali kuingatkan? Jangan menciumku sambil menyebut nama perempuan lain."
Hubungan keduanya memang bukan baru berjalan, mereka sudah saling mengenal sejak duduk dibangku kuliah. Dara yang merasa membutuhkan kehadiran laki-laki dihidupnya, bertemu dengan Dipta yang mudah tergoda. Mereka tetap melanjutkan hubungan mereka sekalipun sadar kalau kebersamaan mereka justru menyakiti hati Aruna.
Dara masih baik-baik saja sekalipun tahu kalau Dipta sudah memiliki istri dan akan memiliki anak. Dara masih baik-baik saja karena sadar Dipta masih memberikannya perhatian dan juga kasih sayang. Dara masih baik-baik saja karena mengira kalau Dipta akan selalu memilihnya daripada Aruna. Tapi seminggu terakhir ini, Dara tidak bisa merasa begitu karena Dipta mulai menyinggung soal istrinya beberapa kali didepan Dara.
Dara melangkahkan kakinya menuju ujung tempat tidur. Tangan kurusnya bergerak melepas sepatu berikut kaos kaki yang dipakai Dipta. Bibirnya kembali merengut ketika lagi-lagi mendengar Dipta menyebutkan satu nama yang sama, nama istri yang mulai kembali dirindukannya kembali.
"Aku nggak mengira, sekalipun hubungan kita sudah berakhir, aku masih mau melakukan ini untuk kamu."
Setelah selesai dengan pekerjaannya, Dara berdiri disisi tempat tidur. Kedua tangannya terlipat didepan dada sementara kedua matanya menatap miris ke arah Dipta yang masih belum sadarkan diri. Kepalanya menggeleng tanpa sadar dengan gaya prihatin. "Maaf karena membuat hubungan kamu dan Aruna berantakan. Tapi kamu tahu kalau aku nggak sepenuhnya bersalah, kan? Ini juga salah kamu yang nggak bisa setia dengan istri kamu."
***
"Kamu kelihatan lain hari ini."Aruna berkedip dua kali ketika mendengar ucapan yang baru saja keluar dari mulut teman serumahnya. Perempuan itu berdeham pelan sebagai jawaban lalu berpura-pura sibuk membenarkan posisi Adhisty di pangkuannya."Lipstik yang kamu pakai hari ini kelihatan lebih cerah. Atau .. Cuma perasaanku aja?""Iya, cuma perasaan Mbak aja." sahut Aruna cepat lalu menambahkan, "Ini sama dengan yang biasa kupakai, kok."Aruna masih memperhatikan Nisa ketika perempuan itu mengangguk-anggukan kepalanya, seakan mempercayai jawaban yang diberikan Aruna. Dalam hati Aruna berharap, semoga teman serumahnya itu tidak lagi membahas tentang penampilannya yang memang sedikit berbeda pagi ini.Aruna sendiri tidak menemukan alasan yang tepat tentang keinginannya untuk berdandan pagi ini. Memang benar yang dikatakan Nisa, warna lipstiknya pagi ini memang beda dengan yang biasa dipakai Aruna. Dan lagi, Aruna membiarkan rambut panjangnya terurai al
Dara mengerjap beberapa kali sebelum benar-benar berhasil membuka kedua matanya. Pandangan perempuan itu segera tertuju ke arah laki-laki yang berbaring nyaman di sebelahnya. Dipta. Kedua mata Dipta masih terpejam, terlihat damai dalam tidurnya. Mau tidak mau, Dara tersenyum memperhatikan wajah laki-laki itu. Memang selalu menjadi hal kesukaannya, memperhatikan Dipta yang terlelap. Dara menarik selimut, menarik benda itu semakin merapat ke tubuh polosnya lalu sedikit bergerak untuk mencari posisi nyaman. Tapi sepertinya gerakannya yang pelanpun mampu membuat Dipta terganggu. Karena tepat setelah itu, kedua mata Dipta mulai terbuka. "Jam berapa sekarang?" tanya Dipta dengan suara serak yang terdengar seksi ditelinga Dara. "Masih jam empat." "Masih jam empat dan kamu sudah bangun?" Dipta mengerutkan dahinya, menatap Dara dengan heran. "Aku haus." Dara
"Dara? Kenapa nggak bilang kalau kamu akan datang ke rumah sekarang? Dan .. Kamu bertemu dengan suamiku?"Aruna berkedip lambat ketika melihat Dara berjalan mendekat ke arah Dipta. Perempuan itu berhenti tepat di sebelah Dipta, sama sekali tidak terlihat kalau ia akan menjawab pertanyaan yang baru saja di berikan Aruna padanya.Aruna masih diam. Tetap berdiri di depan kedua orang itu dengan raut bingung yang terlihat samar di kedua matanya. Tapi perlahan, jantungnya mulai berdegup cepat. Terlebih ketika pelan-pelan, tangan Dipta bergerak meraih tangan Dara.Suaminya menggenggam tangan sahabatnya sendiri di depan kedua mata Aruna."Aruna .. Mulai sekarang, mungkin kamu akan lebih sering melihat Dara dirumah ini."Karena dia seorang teman, kan? Aruna tahu, Dara bisa bebas datang ke rumahnya karena mereka juga su
Aruna meletakan ponselnya setelah memutuskan telepon dari Raditya tadi. Ini ketiga kalinya Raditya menghubunginya pagi ini dan maksud dari teleponnya tadi hanya untuk mengabarkan kalau laki-laki itu sudah selesai menghabiskan sarapannya.Aruna menggeleng tanpa sadar, merasa tidak percaya dengan dirinya sendiri yang benar-benar mengikuti pesan yang diberikan Tiwi padanya."Kuperhatikan, kamu lebih sering menghubungi Raditya belakangan ini. Kalian juga terlihat semakin sering bersama akhir-akhir ini, kan?"Aruna melirik ke arah Nisa yang sedang memberikan tatapan curiga kepadanya. Ia berdeham pelan. "Ralat, Raditya yang sering menghubungiku. Dan aku nggak merasa semakin dekat dengannya karena kurasa ini masih sama seperti yang biasa."
"Terimakasih. Silahkan datang kembali." "Aruna?" "Maaf?" "Aruna, kan?" "..." "Ingat dengan saya? Kita pernah di kelas yang sama saat SMA dulu." "..." "Seingatku, kamu pernah menolak saat ku minta menjadi kekasihku. Alasannya, kamu bilang sedang ingin fokus belajar. Tapi dua hari kemudian, kamu justru pacaran dengan teman futsalku. Ingat?" "Err.. R-Raditya?" "Betul." "Aku ingat. Tapi maaf, aku sedang bekerja sekarang. Jadi, bisa tolong kamu pergi karena aku perlu melayani pembeli yang lain?" "Aku mengerti. Bisa bicara lagi nanti? Sebagai dua orang teman yang kembali bertemu, aku merasa perlu menanyakan beberapa hal ke kamu. Mungkin bertanya soal kabar, juga soal ajakan yang sama seperti yang terjadi beberapa tahun lalu." "..." "Boleh?" ****
"Jadi, dia teman SMA kamu?"Aruna menyandarkan tubuhnya sambil membuang napas panjang dengan gaya berlebihan. Dalam kepalanya, Aruna merasa ada yang salah dengan hari ini. Bukan karena pekerjaannya terasa lebih berat hari ini, tapi karena kahadiran seseorang dari masa lalu yang seakan menjadi sebuah tanda tanya bagi perempuan itu.Untuk apa kembali bertemu?Aruna ingat sosok itu. Namanya Raditya. Teman SMA yang pernah sekelas dengan Aruna saat duduk di bangku kelas sebelas dulu. Aruna ingat bagaimana murid-murid perempuan dikelas memuji-muji ketampanan Raditya. Aruna juga ingat bagaimana lapangan sekolah selalu ramai dengan teriakan tiap kali Raditya dan teman-temannya bermain futsal. Dan Aruna juga masih mengingat ketika laki-laki itu dengan berani mengatakan perasaannya pada Aruna.Katakan Aruna terlalu pemilih, tapi menurut Aruna, laki-laki seperti Raditya bukan tipe kesukaannya. Dengan terang-terangan, Aruna menolak Raditya. Aruna sempat mengatakan al
"Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu sudah punya anak?""Kamu bahkan nggak pernah menanyakan soal itu.""Bukan karena kamu memang memberikanku kesempatan untuk mendekati kamu?""Aku nggak merasa begitu."Raditya mengulum bibir, kedua matanya mengamati Aruna yang duduk di sebelahnya dengan tatapan menyelidik. Laki-laki itu sedang berada di ruang tamu tempat tinggal Aruna, berdua dengan perempuan itu di temani tv menyala yang menampilkan acara kartun.Sebenarnya perlu usaha sedikit keras bagi Raditya bisa ada disana. Laki-laki itu bersikap seakan dirinya baru saja 'dibohongi' karena kenyataan yang baru saja didengarnya. Dengan wajah kaku seakan menahan amarah, dia memaksa Aruna untuk mengajaknya makan malam dirumah perempuan itu sebagai permintaan maaf Aruna. Aruna sempat menolak, tapi setelah dibantu Nisa, perempuan itu mengiyakan permintaan Raditya.Dan disinilah mereka sekarang, duduk santai berdua setelah tadi sempat menyantap soto
Nisa baru saja tiba dirumah dan menyadari ketegangan yang terjadi didepan tempat tinggalnya itu. Terlihat Aruna yang sedang berdiri didepan seorang laki-laki asing yang baru kali ini dilihat perempuan itu. Dan ketika Nisa sedikit melongokan kepalanya kedalam, perempuan itu lebih terkejut lagi ketika mendapati tubuh tinggi Raditya sedang berdiri tidak jauh dibelakang sambil memandang ke arah Aruna.Nisa belum sempat mengatakan salam apapun ketika suara Raditya terdengar, memecah keheningan. "Sepertinya kamu kedatangan tamu lain. Aku pamit pulang dulu kalau begitu."Aruna terlihat mengalihkan pandangan dari laki-laki yang berdiri dipintu, balas menatap Raditya. "Terimakasih buat cemilannya, Adhisty pasti menyukainya."Nisa tidak mendengar Raditya mengatakan apapun untuk menjawab, hanya anggukan kepala pelan yang diberikan laki-laki itu sebagai jawaban atas ucapan Aruna.Raditya terlihat lain dari yang kemarin Nisa lihat. Karena ketika laki-laki itu lewat di
Aruna meletakan ponselnya setelah memutuskan telepon dari Raditya tadi. Ini ketiga kalinya Raditya menghubunginya pagi ini dan maksud dari teleponnya tadi hanya untuk mengabarkan kalau laki-laki itu sudah selesai menghabiskan sarapannya.Aruna menggeleng tanpa sadar, merasa tidak percaya dengan dirinya sendiri yang benar-benar mengikuti pesan yang diberikan Tiwi padanya."Kuperhatikan, kamu lebih sering menghubungi Raditya belakangan ini. Kalian juga terlihat semakin sering bersama akhir-akhir ini, kan?"Aruna melirik ke arah Nisa yang sedang memberikan tatapan curiga kepadanya. Ia berdeham pelan. "Ralat, Raditya yang sering menghubungiku. Dan aku nggak merasa semakin dekat dengannya karena kurasa ini masih sama seperti yang biasa."
"Dara? Kenapa nggak bilang kalau kamu akan datang ke rumah sekarang? Dan .. Kamu bertemu dengan suamiku?"Aruna berkedip lambat ketika melihat Dara berjalan mendekat ke arah Dipta. Perempuan itu berhenti tepat di sebelah Dipta, sama sekali tidak terlihat kalau ia akan menjawab pertanyaan yang baru saja di berikan Aruna padanya.Aruna masih diam. Tetap berdiri di depan kedua orang itu dengan raut bingung yang terlihat samar di kedua matanya. Tapi perlahan, jantungnya mulai berdegup cepat. Terlebih ketika pelan-pelan, tangan Dipta bergerak meraih tangan Dara.Suaminya menggenggam tangan sahabatnya sendiri di depan kedua mata Aruna."Aruna .. Mulai sekarang, mungkin kamu akan lebih sering melihat Dara dirumah ini."Karena dia seorang teman, kan? Aruna tahu, Dara bisa bebas datang ke rumahnya karena mereka juga su
Dara mengerjap beberapa kali sebelum benar-benar berhasil membuka kedua matanya. Pandangan perempuan itu segera tertuju ke arah laki-laki yang berbaring nyaman di sebelahnya. Dipta. Kedua mata Dipta masih terpejam, terlihat damai dalam tidurnya. Mau tidak mau, Dara tersenyum memperhatikan wajah laki-laki itu. Memang selalu menjadi hal kesukaannya, memperhatikan Dipta yang terlelap. Dara menarik selimut, menarik benda itu semakin merapat ke tubuh polosnya lalu sedikit bergerak untuk mencari posisi nyaman. Tapi sepertinya gerakannya yang pelanpun mampu membuat Dipta terganggu. Karena tepat setelah itu, kedua mata Dipta mulai terbuka. "Jam berapa sekarang?" tanya Dipta dengan suara serak yang terdengar seksi ditelinga Dara. "Masih jam empat." "Masih jam empat dan kamu sudah bangun?" Dipta mengerutkan dahinya, menatap Dara dengan heran. "Aku haus." Dara
"Kamu kelihatan lain hari ini."Aruna berkedip dua kali ketika mendengar ucapan yang baru saja keluar dari mulut teman serumahnya. Perempuan itu berdeham pelan sebagai jawaban lalu berpura-pura sibuk membenarkan posisi Adhisty di pangkuannya."Lipstik yang kamu pakai hari ini kelihatan lebih cerah. Atau .. Cuma perasaanku aja?""Iya, cuma perasaan Mbak aja." sahut Aruna cepat lalu menambahkan, "Ini sama dengan yang biasa kupakai, kok."Aruna masih memperhatikan Nisa ketika perempuan itu mengangguk-anggukan kepalanya, seakan mempercayai jawaban yang diberikan Aruna. Dalam hati Aruna berharap, semoga teman serumahnya itu tidak lagi membahas tentang penampilannya yang memang sedikit berbeda pagi ini.Aruna sendiri tidak menemukan alasan yang tepat tentang keinginannya untuk berdandan pagi ini. Memang benar yang dikatakan Nisa, warna lipstiknya pagi ini memang beda dengan yang biasa dipakai Aruna. Dan lagi, Aruna membiarkan rambut panjangnya terurai al
"Kapan kamu mengenalkan calon istri kamu pada Mama?""Mas Raditya mana mungkin memiliki calon istri? Yang ada dikepalanya setiap hari hanya pekerjaan.""Dulu kamu juga menolak ketika Mama jodohkan. Padahal perempuan pilihan Mama itu sudah sangat cantik, Mama juga mengenal keluarganya dengan sangat baik.""Mas Raditya nggak tertarik dengan yang cantik, Ma. Mungkin seleranya justru laki-laki tampan yang sering datang ke gym.""Karina, kamu tuh. Mama sedang bicara dengan kakak kamu tapi selalu kamu yang menyahut."Adik perempuan Raditya itu hanya tertawa menanggapi omelan sang Mama sementara Raditya justru membuang napas panjang sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa.Diusianya yang memang sudah seharusnya berkeluarga, Raditya memang masih tinggal bersama keluarganya. Selain karena saat ini dirinya adalah pengganti sang Papa, Raditya juga tidak tega membiarkan sang Mama mengurus adik perempuannya yang manja itu seorang diri.Tapi Raditya j
Nisa baru saja tiba dirumah dan menyadari ketegangan yang terjadi didepan tempat tinggalnya itu. Terlihat Aruna yang sedang berdiri didepan seorang laki-laki asing yang baru kali ini dilihat perempuan itu. Dan ketika Nisa sedikit melongokan kepalanya kedalam, perempuan itu lebih terkejut lagi ketika mendapati tubuh tinggi Raditya sedang berdiri tidak jauh dibelakang sambil memandang ke arah Aruna.Nisa belum sempat mengatakan salam apapun ketika suara Raditya terdengar, memecah keheningan. "Sepertinya kamu kedatangan tamu lain. Aku pamit pulang dulu kalau begitu."Aruna terlihat mengalihkan pandangan dari laki-laki yang berdiri dipintu, balas menatap Raditya. "Terimakasih buat cemilannya, Adhisty pasti menyukainya."Nisa tidak mendengar Raditya mengatakan apapun untuk menjawab, hanya anggukan kepala pelan yang diberikan laki-laki itu sebagai jawaban atas ucapan Aruna.Raditya terlihat lain dari yang kemarin Nisa lihat. Karena ketika laki-laki itu lewat di
"Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu sudah punya anak?""Kamu bahkan nggak pernah menanyakan soal itu.""Bukan karena kamu memang memberikanku kesempatan untuk mendekati kamu?""Aku nggak merasa begitu."Raditya mengulum bibir, kedua matanya mengamati Aruna yang duduk di sebelahnya dengan tatapan menyelidik. Laki-laki itu sedang berada di ruang tamu tempat tinggal Aruna, berdua dengan perempuan itu di temani tv menyala yang menampilkan acara kartun.Sebenarnya perlu usaha sedikit keras bagi Raditya bisa ada disana. Laki-laki itu bersikap seakan dirinya baru saja 'dibohongi' karena kenyataan yang baru saja didengarnya. Dengan wajah kaku seakan menahan amarah, dia memaksa Aruna untuk mengajaknya makan malam dirumah perempuan itu sebagai permintaan maaf Aruna. Aruna sempat menolak, tapi setelah dibantu Nisa, perempuan itu mengiyakan permintaan Raditya.Dan disinilah mereka sekarang, duduk santai berdua setelah tadi sempat menyantap soto
"Jadi, dia teman SMA kamu?"Aruna menyandarkan tubuhnya sambil membuang napas panjang dengan gaya berlebihan. Dalam kepalanya, Aruna merasa ada yang salah dengan hari ini. Bukan karena pekerjaannya terasa lebih berat hari ini, tapi karena kahadiran seseorang dari masa lalu yang seakan menjadi sebuah tanda tanya bagi perempuan itu.Untuk apa kembali bertemu?Aruna ingat sosok itu. Namanya Raditya. Teman SMA yang pernah sekelas dengan Aruna saat duduk di bangku kelas sebelas dulu. Aruna ingat bagaimana murid-murid perempuan dikelas memuji-muji ketampanan Raditya. Aruna juga ingat bagaimana lapangan sekolah selalu ramai dengan teriakan tiap kali Raditya dan teman-temannya bermain futsal. Dan Aruna juga masih mengingat ketika laki-laki itu dengan berani mengatakan perasaannya pada Aruna.Katakan Aruna terlalu pemilih, tapi menurut Aruna, laki-laki seperti Raditya bukan tipe kesukaannya. Dengan terang-terangan, Aruna menolak Raditya. Aruna sempat mengatakan al
"Terimakasih. Silahkan datang kembali." "Aruna?" "Maaf?" "Aruna, kan?" "..." "Ingat dengan saya? Kita pernah di kelas yang sama saat SMA dulu." "..." "Seingatku, kamu pernah menolak saat ku minta menjadi kekasihku. Alasannya, kamu bilang sedang ingin fokus belajar. Tapi dua hari kemudian, kamu justru pacaran dengan teman futsalku. Ingat?" "Err.. R-Raditya?" "Betul." "Aku ingat. Tapi maaf, aku sedang bekerja sekarang. Jadi, bisa tolong kamu pergi karena aku perlu melayani pembeli yang lain?" "Aku mengerti. Bisa bicara lagi nanti? Sebagai dua orang teman yang kembali bertemu, aku merasa perlu menanyakan beberapa hal ke kamu. Mungkin bertanya soal kabar, juga soal ajakan yang sama seperti yang terjadi beberapa tahun lalu." "..." "Boleh?" ****