"Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu sudah punya anak?"
"Kamu bahkan nggak pernah menanyakan soal itu."
"Bukan karena kamu memang memberikanku kesempatan untuk mendekati kamu?"
"Aku nggak merasa begitu."
Raditya mengulum bibir, kedua matanya mengamati Aruna yang duduk di sebelahnya dengan tatapan menyelidik. Laki-laki itu sedang berada di ruang tamu tempat tinggal Aruna, berdua dengan perempuan itu di temani tv menyala yang menampilkan acara kartun.
Sebenarnya perlu usaha sedikit keras bagi Raditya bisa ada disana. Laki-laki itu bersikap seakan dirinya baru saja 'dibohongi' karena kenyataan yang baru saja didengarnya. Dengan wajah kaku seakan menahan amarah, dia memaksa Aruna untuk mengajaknya makan malam dirumah perempuan itu sebagai permintaan maaf Aruna. Aruna sempat menolak, tapi setelah dibantu Nisa, perempuan itu mengiyakan permintaan Raditya.
Dan disinilah mereka sekarang, duduk santai berdua setelah tadi sempat menyantap soto ayam yang dibeli Raditya sebagai makan malam mereka.
"Ada lagi yang perlu kutahu?"
"Soal apa?"
"Entahlah. Mungkin tentang kebiasaan kamu yang sering tidur sambil berjalan, atau tentang Adhisty yang ternyata anak kembar?"
"Aku nggak punya kebiasaan buruk seperti itu. Dan seingatku, aku hanya melahirkan satu anak perempuan empat tahun lalu."
Raditya menganggukan kepalanya dengan gaya serius, persis seperti murid yang mendengarkan penjelasan gurunya. "Ingatan kamu bagus."
Sekali lagi, Raditya melihat Aruna mendelik ke arahnya. Laki-laki itu tertawa lalu meneguk es teh manis yang di buatkan Aruna untuknya tadi.
"Bisa tolong bawa Adhisty kesini? Aku ingin mengenalnya lebih dekat."
"Buat apa?"
"Anggap saja seperti aku sedang meminta restu pada Adhisty untuk mendekati Mamanya."
Kali ini Aruna bukan hanya mendelik, tapi memukul bahu Raditya dengan bantal yang sejak tadi di taruh perempuan itu di atas pangkuannya. Bukannya marah, laki-laki itu justru tertawa karena perlakuan Aruna padanya. Tapi tawanya menghilang ketika melihat Aruna benar-benar bangkit berdiri dan berjalan menuju kamar.
Eh? Apa Aruna akan benar-benar membawa Adhisty? Apa perempuan itu setuju dengan ucapan Raditya barusan? Mendadak Raditya merasa jantungnya kembali berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Demi Tuhan, laki-laki itu hanya akan bertemu dengan anak perempuan berusia empat tahun! Tapi kenyataan kalau Aruna memberinya kesempatan kali ini benar-benar membuat Raditya kehilangan ketenangannya.
Aruna membuka pintu kamar, senyumnya mengembang ketika melihat Nisa sedang duduk berdua dengan anak perempuan kesayangannya. Adhisty segera melompat ke pelukan Aruna begitu melihat kehadiran sang Mama, memeluknya dengan erat.
"Mbak, kamu nggak mau kenalan dengan Raditya?" Aruna duduk dipinggir tempat tidur, tepat didepan Nisa yang sedang duduk bersandar dikepala tempat tidur.
"Buat apa?"
"Bukannya kamu sudah menganggapku seperti adik kamu sendiri? Harusnya sebagai seorang kakak, kamu perlu mengenal teman adik kamu."
"Kamu ingin aku 'menyeleksi' Raditya?" tanya Nisa dengan nada menggoda.
Aruna mendengus pelan. "Terserah kamu. Aku cuma ingin kamu memberi penilaian sendiri soal Raditya."
"Baiklah. Tunggu sebentar." Nisa bangkit berdiri. Perempuan itu mengusap kepala Adhisty yang berada di pangkuan Aruna sebelum melangkah keluar dari kamar.
Dahi Raditya berkerut samar ketika mendapati Nisa keluar dari kamar. Apa lagi ketika melihat perempuan itu menutup pintu kamar dan berjalan seorang diri menghampirinya.Kemana Aruna? Bukannya perempuan itu ingin mengenalkannya dengan Adhisty?
Raditya masih duduk diam sampai Nisa benar-benar duduk disebelahnya. Perempuan yang terlihat beberapa tahun lebih tua darinya itu balas menatap Raditya dengan wajah ramah.
"Mencari Aruna?"
Raditya mengangguk. "Dia tidur?"
"Belum, tapi sedang menemani putri kecilnya tidur."
Raditya kembali mengangguk, paham. Tapi dalam kepalanya, laki-laki itu yakin kalau Aruna memang sengaja menghindarinya. Raditya sadar kalau Aruna mungkin masih perlu waktu untuk menerima kehadirannya.
"Kamu keberatan ngobrol berdua dengan Mbak?"
"Oh, nggak. Aku malah mengira Mbak nggak akan suka kalau aku mencoba mengajak ngobrol duluan."
"Mbak sudah menganggap Aruna seperti adik Mbak sendiri. Jadi wajar kalau Mbak melakukan ini, kan?"
Sekali lagi, Raditya menganggukan kepalanya sebagai jawaban. "Memangnya, sudah berapa lama Mbak kenal dengan Aruna?"
"Sekitar lima tahun mungkin?" Nisa mencoba mengingat, tapi kemudian tersenyum lebar ketika sadar kalau dirinya memberikan jawaban yang benar. "Sekitaran itu. Sejak Adhisty masih bayi dan sekarang sudah bisa melakukan banyak hal yang membuat gemas."
"Aruna sudah tinggal disini sejak Adhisty masih bayi?"
Nisa mengangguk pelan. "Mbak yang mengajak Aruna tinggal disini. Lalu mengenalkan Aruna pada pemilik rumah yang kemudian memberikan Aruna pekerjaan di mini market tempat dia bekerja sekarang."
"Pemilik rumah ini pasti orang baik." kata Raditya dengan senyum lalu menambahkan, "Mbak juga. Mbak juga orang baik karena mau membantu Aruna."
Nisa balas tersenyum. "Terimakasih."
"Mbak kerja dimana?"
"Kamu lihat laundry di seberang jalan itu? Mbak kerja disana. Itu juga punya pemilik rumah ini."
Raditya mengangguk-anggukan kepalanya beberapa kali. Mendadak dirinya begitu iri pada si pemilik rumah yang memiliki banyak kebaikan yang bisa di ceritakan orang lain.
"Kamu kenal dengan Aruna dimana?"
Raditya berkedip. "Di SMA. Kami pernah sekelas saat kelas sebelas dulu."
"Kamu menyukai Aruna saat itu?"
Raditya meringis. Laki-laki itu mengusap tengkuknya dengan malu. "Iya, tapi dia menolak."
Nisa tertawa. "Aruna pasti terlalu sombong sampai berani menolak kamu."
"Bukan sombong. Tapi seleranya rendah."
Sekali lagi, Nisa tertawa begitu mendengar penilaian Raditya soal Aruna. Raditya juga ikut tersenyum mendengar tawa tulus perempuan itu.
"Aruna nggak pernah cerita soal masa SMA-nya. Jadi, gimana dia saat itu?"
"Cantik." itu jawaban refleks, dan Raditya hampir mengumpat karena jawaban yang keluar dari mulutnya sendiri. "Maksudku, Aruna memang cantik. Tapi aku nggak bermaksud mendekati Aruna hanya karena dia cantik. Dia juga pintar, dia baik dan ramah pada teman-teman di kelasnya. Tapi memang, hal pertama yang kuingat dari Aruna adalah .. cantik."
Nisa tertawa lagi karena penjelasan panjang Raditya yang terdengar berantakan dan terburu-buru. Sepertinya perempuan itu menyadari kepanikan Raditya barusan. Tapi melihat reaksinya yang tidak menghakimi Raditya, seakan membuat laki-laki itu sedikit merasa lebih tenang.
"Aku tau, Aruna memang cantik." Nisa menganggukan kepalanya, setuju dengan penilaian itu. "Sekalipun mungkin dia nggak pintar, nggak terlalu baik dan nggak ramah ke teman sekelasnya, dia tetap cantik."
Raditya tersenyum lebar. Laki-laki itu mengambil gelas dan meneguk minumannya untuk meredakan kegugupannya barusan.
"Aruna punya pacar saat SMA?"
Raditya mengangguk. "Namanya Gilang, sekelas denganku dan Aruna juga dikelas sebelas. Juga teman futsalku."
"Pasti kamu sangat patah hati saat tahu kalau Aruna lebih memilih teman kamu dibanding kamu."
"Sedikit." Raditya mencoba mengingat dengan pandangan menerawang lalu melanjutkan. "Aku sempat mengencani perempuan lain, tapi kalah cantik dengan Aruna."
"Memang dimata kamu hanya ada Aruna, makanya perempuan lain terlihat biasa saja."
Raditya meringis dengan malu. "Nggak juga, Mbak kelihatan cantik dimataku."
"Mencoba merayu supaya diberi restu?"
Kali ini Raditya tertawa, diikuti Nisa yang juga melakukan hal yang sama.
Didalam kamarnya, Aruna yang sedang menepuk-nepuk bokong Adhisty yang sudah tertidur pulas mengerutkan dahi bingung ketika samar mendengar suara tawa yang berasal dari luar. Kepalanya mendadak diisi banyak pertanyaan, termasuk bagaimana Raditya dengan mudah mengakrabkan diri dengan Nisa?
Aruna mengenal Nisa dengan baik. Teman serumahnya itu termasuk perempuan yang anti dengan laki-laki. Nisa tidak mudah dekat dengan laki-laki, makanya sampai sekarang perempuan itu masih betah sendiri padahal umurnya sudah pantas untuk membina rumah tangga. Tapi mendengar Nisa bisa tertawa lepas diobrolan pertamanya dengan Raditya seperti itu, membuat Aruna heran sekaligus terkejut.
Apa Raditya memang begitu ahli soal mengambil hati perempuan, atau memang Nisa yang sudah mendapati kenyamannya dengan laki-laki itu?
Suara pintu kamar yang terbuka menyadarkan Aruna. Perempuan itu memandangi Nisa yang berdiri di ambang pintu, "Raditya mau pamit."
Aruna mengangguk lalu bangkit berdiri dan mengikuti Nisa melangkah menuju ruang tamu. Terlihat Raditya sudah berdiri disana, bersiap pergi.
"Aku pamit dulu." kata Raditya begitu Aruna dan Nisa sudah berdiri didepannya. "Lain kali aku pasti akan mampir lagi kesini."
"Nggak perlu repot-repot. Nggak ada yang meminta kamu melakukan itu." jawab Aruna dengan malas.
"Aku tahu kamu diam-diam mengharapkan kehadiranku, Aruna." Raditya mengerling. Laki-laki itu terkekeh pelan ketika mendapati Aruna melotot padanya lalu segera mengalihkan pandangannya pada Nisa yang tersenyum memandangi dirinya dan Aruna. "Aku pamit dulu, Mbak. Lain kali bisa kembali kita lanjutkan obrolan yang tadi?"
Nisa tertawa pelan lalu menganggukan kepalanya. "Dengan senang hati."
Raditya tertawa. Setelah berpamitan sekali lagi pada kedua perempuan disana, laki-laki itu benar-benar pergi meninggalkan tempat tinggal Aruna.
"Jadi, apa yang Mbak bicarakan dengan Raditya tadi?" tanya Aruna begitu sosok yang dibicarakannya hilang dari pandangan.
"Penasaran?" goda Nisa sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Mbak, ih!"
***
"Kamu nggak ada janji hari ini?""Nggak ada. Aku cuma akan dirumah dengan Adhisty hari ini."
Aruna sedang menikmati sarapan nasi gorengnya berdua dengan Nisa pagi itu. Adhisty masih tertidur lelap dikamar. Sementara Nisa sedang bersiap untuk pergi bekerja, Aruna mendapat waktu liburnya hari ini. Kadang Aruna ingin berterimakasih pada pemilik rumah yang masih ingat memberikannya jatah libur dua minggu sekali.
Padahal kalau diingat-ingat, pemilik rumah yang sudah berumur itu sering beberapa kali membantu Aruna melayani pembeli, meringankan pekerjaan Aruna.
"Mbak yakin nggak membicarakanku semalam?"
Nisa menatap Aruna dengan sebelah alis terangkat. Perempuan itu tidak langsung menjawab pertanyaan yang lebih terkesan seperti tuduhan itu karena mulutnya sedang sibuk mengunyah nasi goreng. Setelah makanannya berhasil turun, barulah Nisa menyahut. Suaranya terdengar santai ketika berkata, "Memangnya apa yang kamu harapkan?"
Aruna mengangkat bahu dengan gaya acuh. Tangannya terulur mengambil gelas berisi air putih, meneguk isinya sebelum kembali menjawab pertanyaan sindiran itu. "Entahlah. Tapi aku rasa, kalian bisa seakrab itu karena membicarakanku, kan?"
Nisa terkekeh pelan. "Sedikit."
"Sudah kuduga. Raditya pasti hanya akan mengatakan hal-hal buruk tentangku dan membuat Mbak ikut mengira kalau aku sejahat itu. Benar, kan?"
"Kenapa kamu berpikir dia akan membuat kamu terlihat jahat?" Nisa kembali menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya, menelan dengan cepat sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. "Dia malah mengatakan hal-hal baik soal kamu."
Aruna berkedip. "Apa?"
"Cantik. Dia bilang kamu cantik. Kamu pintar, baik dan ramah pada teman-teman kamu. Itu juga yang menjadi alasannya mendekati kamu."
Aruna berdeham, mendadak wajahnya memanas. "Aku menolak untuk mempercayai Raditya mengatakan itu."
"Dia memang mengatakan itu. Tapi, dia juga bilang kalau selera kamu rendah."
"Selera soal apa?"
"Itu karena kamu menolak dia dan lebih memilih berpacaran dengan laki-laki lain."
Aruna melotot. "Raditya menceritakan soal itu?"
Nisa mengangguk kalem. "Raditya menceritakan semuanya. Dia juga bilang pada Mbak untuk menceritakan kelanjutannya nanti ketika kami bertemu lagi."
"Aku harap Mbak bisa mengerti mana yang harus Mbak percaya dan mana yang cuma omong kosong. Aku yakin Raditya sudah menyiapkan cerita buruk tentangku dalam kepalanya."
Nisa tertawa. "Mbak mengerti. Mbak pasti akan menceritakan ke kamu apa yang dia katakan nanti."
Aruna tidak menjawab. Perempuan itu memilih diam sambil kembali menghabiskan nasi goreng dipiringnya.
Tidak banyak yang diingat Aruna soal Raditya, tapi seingatnya, Raditya itu tipe laki-laki usil yang suka membuat keributan. Aruna ingat bagaimana laki-laki itu membuat seisi kelas heboh karena menaruh kecoak didalam tas salah seorang murid perempuan. Kekanakan memang, tapi Raditya terlihat menikmati ketakutan dan jeritan yang terdengar diseluruh kelas.
"Mbak berangkat dulu." pamit Nisa begitu selesai menghabiskan sarapannya.
Aruna mengangguk. Perempuan itu segera merapihkan meja makan, mencuci semua piring kotor dan kembali ke kamar untuk melihat keadaan Adhisty.
Anak perempuan Aruna itu memang menuruni kebiasaan buruk Aruna dulu, sering bangun siang. Aruna ingat bagaimana dulu Ibunya kewalahan tiap kali membangunkan Aruna untuk berangkat sekolah. Aruna juga ingat bagaimana dirinya harus kesulitan membuka mata dipagi hari.
Aruna membuang napas pelan. Kenapa mendadak dia merindukan orangtuanya?
Raditya memasuki mini market tempat Aruna bekerja. Dahi laki-laki itu berkerut samar ketika tidak mendapati Aruna di balik mesin kasir. Ada seorang perempuan setengah baya yang berdiri disana, sibuk melayani pembeli yang sedang membayar.
Raditya melanjutkan langkahnya menuju lemari dingin, seperti biasa, laki-laki itu hanya mengambil dua botol air mineral dari dalam sana. Setelah itu, langkahnya langsung tertuju ke arah kasir. Di letakannya dua botol air mineral yang dibawanya ke atas meja kasir yang segera diambil alih oleh perempuan setengah baya tadi.
"Ada lagi?" tanya perempuan berumur itu dengan senyum ramah.
Raditya menggeleng pelan, balas tersenyum. "Nggak ada."
Dalam hati, Raditya merasa seperti inilah harusnya Aruna bersikap pada pembeli. Raditya bahkan tidak ingat kapan dirinya diberi senyuman atau suara lembut seperti yang dilakukan perempuan itu. Padahal Aruna bilang, dia selalu bersikap ramah pada pembeli yang datang. Tapi kenapa tidak pada Raditya?
"Terimakasih. Silahkan datang kembali."
Sekali lagi, Raditya tersenyum sambil mengambil barang belanjaannya yang sudah dikemas dalam kantong plastik putih. Laki-laki itu segera keluar dari sana, tapi tidak segera pergi. Raditya memilih berhenti didepan mini market, mengeluarkan ponsel dan menghubungi Aruna.
Raditya merasa perlu menanyakan keberadaan Aruna.
"Kamu dimana?" pertanyaan itu langsung keluar dari mulut Raditya begitu Aruna menjawab panggilannya. Laki-laki itu bahkan tidak merasa perlu untuk memberikan salam pembuka apapun.
"Dirumah."
"Aku datang ke tempat kamu bekerja, dan kamu malah dirumah?"
"Mana aku tahu kalau kamu datang kesana? Kamu nggak bilang."
Raditya berkedip. Benar juga.
"Aku memang nggak bilang, tapi kamu tahu kalau aku sering datang kesini untuk menemui kamu." kata Raditya, nada suaranya terdengar kesal ketika melanjutkan. "Harusnya kamu bilang kalau kamu tidak pergi bekerja hari ini. Aku bisa langsung datang ke rumah kamu tanpa perlu repot-repot datang kesini."
"Kamu marah?"
Raditya merapatkan bibir. Mendadak dirinya merasa sedikit bersalah karena sudah mengatakan itu pada Aruna. Apa dia terdengar marah? Sebenarnya dibanding marah, Raditya lebih merasa kecewa. Kenapa Aruna tidak memberinya kabar? Apa memang laki-laki itu tidak penting sama sekali baginya?
Tapi ketika mulutnya bersiap mengucapkan permintaan maaf, suara Aruna sudah lebih dulu terdengar. "Maaf."
Eh?
"A-apa?"
"Maaf. Aku minta maaf karena nggak mengabari kamu kalau hari ini aku libur kerja. Aku juga minta maaf karena nggak mengabari kamu kalau aku dirumah sejak pagi."
"Oh." Raditya mengulum bibir, dia berdeham pelan sebelum kembali melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, "Iya."
"Kamu dimana?"
Raditya berkedip. Laki-laki itu memandangi sekitar dengan linglung sebelum menjawab, "Mini market tempat kamu bekerja."
"Lebih baik kamu pulang sekarang. Sudah sore, sebentar lagi gelap."
"Kamu nggak berniat memintaku untuk datang ke rumah kamu?"
"Buat apa?"
"Lupa kalau aku datang kesini untuk menemui kamu?"
"Oh." jeda sebentar, sampai kemudian suara Aruna terdengar lirih ketika berkata, "Datang aja."
"Boleh?"
"Iya."
"Mau kubawakan sesuatu?"
****Aruna membuka pintu ketika terdengar suara ketukan dari luar. Perempuan itu terkesiap pelan ketika mendapati Raditya berdiri dibalik pintu rumahnya dengan senyuman lebar dan kantong ditangan kanan dan kirinya.
"Kamu datang sekarang?"
"Memangnya kamu berharap aku datang dua hari lagi?"
"Maksudku, nggak ada Mbak Nisa dirumah sekarang."
"Aku mencari kamu."
"Aku tahu. Kamu nggak paham maksudku tadi?"
Alis Raditya yang terangkat menyadarkan Aruna kalau laki-laki itu sedang memikirkan ucapannya barusan. Aruna mendengus melihat itu.
"Kamu mengira aku akan melakukan hal buruk hanya karena dirumah ini nggak ada orang lain?"
"Bukan itu. Maksudku, apa kata tetangga nanti kalau aku mengundang laki-laki masuk ke dalam rumah?"
"Dan apa kata tetangga nanti kalau kamu membiarkan tamu berdiri didepan pintu tanpa menawarkan masuk sama sekali?"
Aruna merapatkan bibir. Perempuan itu akhirnya mengalah dan membuka pintu sedikit lebih lebar. "Masuk."
Raditya tersenyum riang sambil melangkah memasuki rumah Aruna. Laki-laki itu tersenyum makin lebar ketika mendapati Adhisty duduk disofa ruang tamu ditemani acara kartun. Ada setoples keripik kentang dimeja sebagai cemilan."Haii, Adhisty. Lihat apa yang aku bawa untuk kamu?" Raditya segera duduk disebelah anak perempuan itu. Dikeluarkannya beberapa jenis es krim dari dalam kantong plastik yang tadi dibawanya.
Aruna melotot. "Kamu bawa sebanyak itu? Kamu berniat membuat Adhisty sakit atau bagaimana?"
"Ada kamu dan Mbak Nisa disini. Kalian bisa ikut makan es krimnya kalau takut Adhisty bisa sakit karena kebanyakan makan es krim." sahut Raditya tenang. Tangannya bergerak membuka bungkus es krim dan memberikannya pada Adhisty. Anak perempuan itu segera berseru riang dan memakan es krimnya dengan senang.
Aruna mencibir. Perempuan itu memilih duduk disebelah kiri Adhisty, memandangi anaknya yang sibuk menjilati makanan dingin itu dengan lidahnya.
"Kamu mau?" Aruna mengalihkan pandangannya pada Raditya yang mengulurkan es krim ke arahnya.
Aruna menggeleng. "Buat kamu aja."
Raditya mengangguk lalu membuka bungkus es krim ditangannya dan memakannya sendiri. "Aku minta maaf."
"Sudah kubilang, aku nggak mau. Jadi kamu nggak perlu merasa bersalah dan minta maaf."
"Bukan untuk es krimnya." Raditya mengangkat wajah, memandangi Aruna dengan kedua matanya yang tiba-tiba meneduh. "Maaf karena dulu aku nggak memberikan aba-aba dan langsung menyatakan perasaan ke kamu. Mungkin kamu terlalu terkejut makanya memilih menolakku dan menerima Gilang yang nggak ada apa-apanya."
Aruna menggeleng pelan tanpa sadar. "Mau kubuatkan minum?"
"Kamu nggak berniat menaruh sesuatu diminumanku, kan?"
"Mungkin sedikit." kata Aruna sambil bangkit berdiri. Tapi belum sempat melangkah menuju dapur, suara ketukan pintu terdengar dari luar.
Langkah Aruna berbelok ke arah pintu. Sekarang memang sudah waktunya Nisa pulang dari tempatnya bekerja, tapi Nisa tidak pernah mengetuk pintu dulu sebelum masuk. Teman serumahnya itu selalu langsung membuka pintu dan masuk ke dalam rumah tanpa perlu repot-repot mengetuk.
Apa ada tamu lain?
Dan Aruna nyaris kehilangan pijakannya ketika mengenali seseorang yang berdiri dibalik pintu. Tubuhnya membeku, dan napasnya mendadak memburu. Apalagi ketika sosok didepannya perlahan menarik kedua sudut bibir, mencoba membentuk senyum yang terlihat kaku.
"Aruna."
Raditya bangkit berdiri ketika menyadari kalau Aruna kedatangan tamu lain. Dari tempatnya, Raditya bisa melihat tubuh tinggi seorang laki-laki. Kening Raditya berkerut samar, tapi jantungnya seakan berhenti berdetak ketika mendengar suara Aruna yang tercekat.
"Mas? Kenapa .. Maksudku, kenapa kamu datang kesini?"
"Untuk menjemput kamu dan Adhisty."***
Nisa baru saja tiba dirumah dan menyadari ketegangan yang terjadi didepan tempat tinggalnya itu. Terlihat Aruna yang sedang berdiri didepan seorang laki-laki asing yang baru kali ini dilihat perempuan itu. Dan ketika Nisa sedikit melongokan kepalanya kedalam, perempuan itu lebih terkejut lagi ketika mendapati tubuh tinggi Raditya sedang berdiri tidak jauh dibelakang sambil memandang ke arah Aruna.Nisa belum sempat mengatakan salam apapun ketika suara Raditya terdengar, memecah keheningan. "Sepertinya kamu kedatangan tamu lain. Aku pamit pulang dulu kalau begitu."Aruna terlihat mengalihkan pandangan dari laki-laki yang berdiri dipintu, balas menatap Raditya. "Terimakasih buat cemilannya, Adhisty pasti menyukainya."Nisa tidak mendengar Raditya mengatakan apapun untuk menjawab, hanya anggukan kepala pelan yang diberikan laki-laki itu sebagai jawaban atas ucapan Aruna.Raditya terlihat lain dari yang kemarin Nisa lihat. Karena ketika laki-laki itu lewat di
"Kapan kamu mengenalkan calon istri kamu pada Mama?""Mas Raditya mana mungkin memiliki calon istri? Yang ada dikepalanya setiap hari hanya pekerjaan.""Dulu kamu juga menolak ketika Mama jodohkan. Padahal perempuan pilihan Mama itu sudah sangat cantik, Mama juga mengenal keluarganya dengan sangat baik.""Mas Raditya nggak tertarik dengan yang cantik, Ma. Mungkin seleranya justru laki-laki tampan yang sering datang ke gym.""Karina, kamu tuh. Mama sedang bicara dengan kakak kamu tapi selalu kamu yang menyahut."Adik perempuan Raditya itu hanya tertawa menanggapi omelan sang Mama sementara Raditya justru membuang napas panjang sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa.Diusianya yang memang sudah seharusnya berkeluarga, Raditya memang masih tinggal bersama keluarganya. Selain karena saat ini dirinya adalah pengganti sang Papa, Raditya juga tidak tega membiarkan sang Mama mengurus adik perempuannya yang manja itu seorang diri.Tapi Raditya j
"Kamu kelihatan lain hari ini."Aruna berkedip dua kali ketika mendengar ucapan yang baru saja keluar dari mulut teman serumahnya. Perempuan itu berdeham pelan sebagai jawaban lalu berpura-pura sibuk membenarkan posisi Adhisty di pangkuannya."Lipstik yang kamu pakai hari ini kelihatan lebih cerah. Atau .. Cuma perasaanku aja?""Iya, cuma perasaan Mbak aja." sahut Aruna cepat lalu menambahkan, "Ini sama dengan yang biasa kupakai, kok."Aruna masih memperhatikan Nisa ketika perempuan itu mengangguk-anggukan kepalanya, seakan mempercayai jawaban yang diberikan Aruna. Dalam hati Aruna berharap, semoga teman serumahnya itu tidak lagi membahas tentang penampilannya yang memang sedikit berbeda pagi ini.Aruna sendiri tidak menemukan alasan yang tepat tentang keinginannya untuk berdandan pagi ini. Memang benar yang dikatakan Nisa, warna lipstiknya pagi ini memang beda dengan yang biasa dipakai Aruna. Dan lagi, Aruna membiarkan rambut panjangnya terurai al
Dara mengerjap beberapa kali sebelum benar-benar berhasil membuka kedua matanya. Pandangan perempuan itu segera tertuju ke arah laki-laki yang berbaring nyaman di sebelahnya. Dipta. Kedua mata Dipta masih terpejam, terlihat damai dalam tidurnya. Mau tidak mau, Dara tersenyum memperhatikan wajah laki-laki itu. Memang selalu menjadi hal kesukaannya, memperhatikan Dipta yang terlelap. Dara menarik selimut, menarik benda itu semakin merapat ke tubuh polosnya lalu sedikit bergerak untuk mencari posisi nyaman. Tapi sepertinya gerakannya yang pelanpun mampu membuat Dipta terganggu. Karena tepat setelah itu, kedua mata Dipta mulai terbuka. "Jam berapa sekarang?" tanya Dipta dengan suara serak yang terdengar seksi ditelinga Dara. "Masih jam empat." "Masih jam empat dan kamu sudah bangun?" Dipta mengerutkan dahinya, menatap Dara dengan heran. "Aku haus." Dara
"Dara? Kenapa nggak bilang kalau kamu akan datang ke rumah sekarang? Dan .. Kamu bertemu dengan suamiku?"Aruna berkedip lambat ketika melihat Dara berjalan mendekat ke arah Dipta. Perempuan itu berhenti tepat di sebelah Dipta, sama sekali tidak terlihat kalau ia akan menjawab pertanyaan yang baru saja di berikan Aruna padanya.Aruna masih diam. Tetap berdiri di depan kedua orang itu dengan raut bingung yang terlihat samar di kedua matanya. Tapi perlahan, jantungnya mulai berdegup cepat. Terlebih ketika pelan-pelan, tangan Dipta bergerak meraih tangan Dara.Suaminya menggenggam tangan sahabatnya sendiri di depan kedua mata Aruna."Aruna .. Mulai sekarang, mungkin kamu akan lebih sering melihat Dara dirumah ini."Karena dia seorang teman, kan? Aruna tahu, Dara bisa bebas datang ke rumahnya karena mereka juga su
Aruna meletakan ponselnya setelah memutuskan telepon dari Raditya tadi. Ini ketiga kalinya Raditya menghubunginya pagi ini dan maksud dari teleponnya tadi hanya untuk mengabarkan kalau laki-laki itu sudah selesai menghabiskan sarapannya.Aruna menggeleng tanpa sadar, merasa tidak percaya dengan dirinya sendiri yang benar-benar mengikuti pesan yang diberikan Tiwi padanya."Kuperhatikan, kamu lebih sering menghubungi Raditya belakangan ini. Kalian juga terlihat semakin sering bersama akhir-akhir ini, kan?"Aruna melirik ke arah Nisa yang sedang memberikan tatapan curiga kepadanya. Ia berdeham pelan. "Ralat, Raditya yang sering menghubungiku. Dan aku nggak merasa semakin dekat dengannya karena kurasa ini masih sama seperti yang biasa."
"Terimakasih. Silahkan datang kembali." "Aruna?" "Maaf?" "Aruna, kan?" "..." "Ingat dengan saya? Kita pernah di kelas yang sama saat SMA dulu." "..." "Seingatku, kamu pernah menolak saat ku minta menjadi kekasihku. Alasannya, kamu bilang sedang ingin fokus belajar. Tapi dua hari kemudian, kamu justru pacaran dengan teman futsalku. Ingat?" "Err.. R-Raditya?" "Betul." "Aku ingat. Tapi maaf, aku sedang bekerja sekarang. Jadi, bisa tolong kamu pergi karena aku perlu melayani pembeli yang lain?" "Aku mengerti. Bisa bicara lagi nanti? Sebagai dua orang teman yang kembali bertemu, aku merasa perlu menanyakan beberapa hal ke kamu. Mungkin bertanya soal kabar, juga soal ajakan yang sama seperti yang terjadi beberapa tahun lalu." "..." "Boleh?" ****
"Jadi, dia teman SMA kamu?"Aruna menyandarkan tubuhnya sambil membuang napas panjang dengan gaya berlebihan. Dalam kepalanya, Aruna merasa ada yang salah dengan hari ini. Bukan karena pekerjaannya terasa lebih berat hari ini, tapi karena kahadiran seseorang dari masa lalu yang seakan menjadi sebuah tanda tanya bagi perempuan itu.Untuk apa kembali bertemu?Aruna ingat sosok itu. Namanya Raditya. Teman SMA yang pernah sekelas dengan Aruna saat duduk di bangku kelas sebelas dulu. Aruna ingat bagaimana murid-murid perempuan dikelas memuji-muji ketampanan Raditya. Aruna juga ingat bagaimana lapangan sekolah selalu ramai dengan teriakan tiap kali Raditya dan teman-temannya bermain futsal. Dan Aruna juga masih mengingat ketika laki-laki itu dengan berani mengatakan perasaannya pada Aruna.Katakan Aruna terlalu pemilih, tapi menurut Aruna, laki-laki seperti Raditya bukan tipe kesukaannya. Dengan terang-terangan, Aruna menolak Raditya. Aruna sempat mengatakan al
Aruna meletakan ponselnya setelah memutuskan telepon dari Raditya tadi. Ini ketiga kalinya Raditya menghubunginya pagi ini dan maksud dari teleponnya tadi hanya untuk mengabarkan kalau laki-laki itu sudah selesai menghabiskan sarapannya.Aruna menggeleng tanpa sadar, merasa tidak percaya dengan dirinya sendiri yang benar-benar mengikuti pesan yang diberikan Tiwi padanya."Kuperhatikan, kamu lebih sering menghubungi Raditya belakangan ini. Kalian juga terlihat semakin sering bersama akhir-akhir ini, kan?"Aruna melirik ke arah Nisa yang sedang memberikan tatapan curiga kepadanya. Ia berdeham pelan. "Ralat, Raditya yang sering menghubungiku. Dan aku nggak merasa semakin dekat dengannya karena kurasa ini masih sama seperti yang biasa."
"Dara? Kenapa nggak bilang kalau kamu akan datang ke rumah sekarang? Dan .. Kamu bertemu dengan suamiku?"Aruna berkedip lambat ketika melihat Dara berjalan mendekat ke arah Dipta. Perempuan itu berhenti tepat di sebelah Dipta, sama sekali tidak terlihat kalau ia akan menjawab pertanyaan yang baru saja di berikan Aruna padanya.Aruna masih diam. Tetap berdiri di depan kedua orang itu dengan raut bingung yang terlihat samar di kedua matanya. Tapi perlahan, jantungnya mulai berdegup cepat. Terlebih ketika pelan-pelan, tangan Dipta bergerak meraih tangan Dara.Suaminya menggenggam tangan sahabatnya sendiri di depan kedua mata Aruna."Aruna .. Mulai sekarang, mungkin kamu akan lebih sering melihat Dara dirumah ini."Karena dia seorang teman, kan? Aruna tahu, Dara bisa bebas datang ke rumahnya karena mereka juga su
Dara mengerjap beberapa kali sebelum benar-benar berhasil membuka kedua matanya. Pandangan perempuan itu segera tertuju ke arah laki-laki yang berbaring nyaman di sebelahnya. Dipta. Kedua mata Dipta masih terpejam, terlihat damai dalam tidurnya. Mau tidak mau, Dara tersenyum memperhatikan wajah laki-laki itu. Memang selalu menjadi hal kesukaannya, memperhatikan Dipta yang terlelap. Dara menarik selimut, menarik benda itu semakin merapat ke tubuh polosnya lalu sedikit bergerak untuk mencari posisi nyaman. Tapi sepertinya gerakannya yang pelanpun mampu membuat Dipta terganggu. Karena tepat setelah itu, kedua mata Dipta mulai terbuka. "Jam berapa sekarang?" tanya Dipta dengan suara serak yang terdengar seksi ditelinga Dara. "Masih jam empat." "Masih jam empat dan kamu sudah bangun?" Dipta mengerutkan dahinya, menatap Dara dengan heran. "Aku haus." Dara
"Kamu kelihatan lain hari ini."Aruna berkedip dua kali ketika mendengar ucapan yang baru saja keluar dari mulut teman serumahnya. Perempuan itu berdeham pelan sebagai jawaban lalu berpura-pura sibuk membenarkan posisi Adhisty di pangkuannya."Lipstik yang kamu pakai hari ini kelihatan lebih cerah. Atau .. Cuma perasaanku aja?""Iya, cuma perasaan Mbak aja." sahut Aruna cepat lalu menambahkan, "Ini sama dengan yang biasa kupakai, kok."Aruna masih memperhatikan Nisa ketika perempuan itu mengangguk-anggukan kepalanya, seakan mempercayai jawaban yang diberikan Aruna. Dalam hati Aruna berharap, semoga teman serumahnya itu tidak lagi membahas tentang penampilannya yang memang sedikit berbeda pagi ini.Aruna sendiri tidak menemukan alasan yang tepat tentang keinginannya untuk berdandan pagi ini. Memang benar yang dikatakan Nisa, warna lipstiknya pagi ini memang beda dengan yang biasa dipakai Aruna. Dan lagi, Aruna membiarkan rambut panjangnya terurai al
"Kapan kamu mengenalkan calon istri kamu pada Mama?""Mas Raditya mana mungkin memiliki calon istri? Yang ada dikepalanya setiap hari hanya pekerjaan.""Dulu kamu juga menolak ketika Mama jodohkan. Padahal perempuan pilihan Mama itu sudah sangat cantik, Mama juga mengenal keluarganya dengan sangat baik.""Mas Raditya nggak tertarik dengan yang cantik, Ma. Mungkin seleranya justru laki-laki tampan yang sering datang ke gym.""Karina, kamu tuh. Mama sedang bicara dengan kakak kamu tapi selalu kamu yang menyahut."Adik perempuan Raditya itu hanya tertawa menanggapi omelan sang Mama sementara Raditya justru membuang napas panjang sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa.Diusianya yang memang sudah seharusnya berkeluarga, Raditya memang masih tinggal bersama keluarganya. Selain karena saat ini dirinya adalah pengganti sang Papa, Raditya juga tidak tega membiarkan sang Mama mengurus adik perempuannya yang manja itu seorang diri.Tapi Raditya j
Nisa baru saja tiba dirumah dan menyadari ketegangan yang terjadi didepan tempat tinggalnya itu. Terlihat Aruna yang sedang berdiri didepan seorang laki-laki asing yang baru kali ini dilihat perempuan itu. Dan ketika Nisa sedikit melongokan kepalanya kedalam, perempuan itu lebih terkejut lagi ketika mendapati tubuh tinggi Raditya sedang berdiri tidak jauh dibelakang sambil memandang ke arah Aruna.Nisa belum sempat mengatakan salam apapun ketika suara Raditya terdengar, memecah keheningan. "Sepertinya kamu kedatangan tamu lain. Aku pamit pulang dulu kalau begitu."Aruna terlihat mengalihkan pandangan dari laki-laki yang berdiri dipintu, balas menatap Raditya. "Terimakasih buat cemilannya, Adhisty pasti menyukainya."Nisa tidak mendengar Raditya mengatakan apapun untuk menjawab, hanya anggukan kepala pelan yang diberikan laki-laki itu sebagai jawaban atas ucapan Aruna.Raditya terlihat lain dari yang kemarin Nisa lihat. Karena ketika laki-laki itu lewat di
"Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu sudah punya anak?""Kamu bahkan nggak pernah menanyakan soal itu.""Bukan karena kamu memang memberikanku kesempatan untuk mendekati kamu?""Aku nggak merasa begitu."Raditya mengulum bibir, kedua matanya mengamati Aruna yang duduk di sebelahnya dengan tatapan menyelidik. Laki-laki itu sedang berada di ruang tamu tempat tinggal Aruna, berdua dengan perempuan itu di temani tv menyala yang menampilkan acara kartun.Sebenarnya perlu usaha sedikit keras bagi Raditya bisa ada disana. Laki-laki itu bersikap seakan dirinya baru saja 'dibohongi' karena kenyataan yang baru saja didengarnya. Dengan wajah kaku seakan menahan amarah, dia memaksa Aruna untuk mengajaknya makan malam dirumah perempuan itu sebagai permintaan maaf Aruna. Aruna sempat menolak, tapi setelah dibantu Nisa, perempuan itu mengiyakan permintaan Raditya.Dan disinilah mereka sekarang, duduk santai berdua setelah tadi sempat menyantap soto
"Jadi, dia teman SMA kamu?"Aruna menyandarkan tubuhnya sambil membuang napas panjang dengan gaya berlebihan. Dalam kepalanya, Aruna merasa ada yang salah dengan hari ini. Bukan karena pekerjaannya terasa lebih berat hari ini, tapi karena kahadiran seseorang dari masa lalu yang seakan menjadi sebuah tanda tanya bagi perempuan itu.Untuk apa kembali bertemu?Aruna ingat sosok itu. Namanya Raditya. Teman SMA yang pernah sekelas dengan Aruna saat duduk di bangku kelas sebelas dulu. Aruna ingat bagaimana murid-murid perempuan dikelas memuji-muji ketampanan Raditya. Aruna juga ingat bagaimana lapangan sekolah selalu ramai dengan teriakan tiap kali Raditya dan teman-temannya bermain futsal. Dan Aruna juga masih mengingat ketika laki-laki itu dengan berani mengatakan perasaannya pada Aruna.Katakan Aruna terlalu pemilih, tapi menurut Aruna, laki-laki seperti Raditya bukan tipe kesukaannya. Dengan terang-terangan, Aruna menolak Raditya. Aruna sempat mengatakan al
"Terimakasih. Silahkan datang kembali." "Aruna?" "Maaf?" "Aruna, kan?" "..." "Ingat dengan saya? Kita pernah di kelas yang sama saat SMA dulu." "..." "Seingatku, kamu pernah menolak saat ku minta menjadi kekasihku. Alasannya, kamu bilang sedang ingin fokus belajar. Tapi dua hari kemudian, kamu justru pacaran dengan teman futsalku. Ingat?" "Err.. R-Raditya?" "Betul." "Aku ingat. Tapi maaf, aku sedang bekerja sekarang. Jadi, bisa tolong kamu pergi karena aku perlu melayani pembeli yang lain?" "Aku mengerti. Bisa bicara lagi nanti? Sebagai dua orang teman yang kembali bertemu, aku merasa perlu menanyakan beberapa hal ke kamu. Mungkin bertanya soal kabar, juga soal ajakan yang sama seperti yang terjadi beberapa tahun lalu." "..." "Boleh?" ****