Waktu sudah menunjukkan angka tujuh malam, udara di luar berhembus sejuk, membalut malam dengan keheningan yang pekat.Viona baru saja keluar dari walk-in closet, mengenakan dress selutut berwarna biru gelap yang melambai lembut setiap kali ia melangkah.Gaun itu memeluk tubuhnya dengan anggun, memberikan kesan sederhana namun memikat, seperti pesona bintang yang tenang namun berkilau di langit malam.Ia merapikan rambutnya, tatapannya sejenak terpaku pada cermin, mencoba mengusir keraguan yang berbisik di balik gaun indah itu.“Aku juga sudah siap. Ayo!” Suara bariton Mark mengejutkan lamunannya. Viona menoleh, dan di sana ia melihat sosok suaminya, mengenakan kemeja hitam yang kontras dengan kulitnya, menambah kesan misterius dan penuh wibawa yang selalu menyelimuti dirinya.Mark sedang mengancingkan kemejanya, jemarinya yang tegas bergerak perlahan, seperti berusaha menunjukkan bahwa setiap detik kehadirannya penting untuk mengukuhkan kehadiran Viona malam ini.“Kau… sungguh akan ik
Mereka tiba di hotel, lampu-lampu chandelier memantulkan kilauan lembut yang menyelimuti ruangan, menciptakan suasana yang hangat dan mewah.Mark melingkarkan lengannya di pinggang Viona, gerakan yang membuat wanita itu terhenyak sejenak. Sentuhan itu begitu akrab, tetapi sekaligus terasa asing, seolah ia berhadapan dengan sosok yang bukan dirinya.‘Dia semakin berani,’ batin Viona sambil menatap Mark dari sudut matanya.Di bawah cahaya temaram, ekspresi wajahnya yang dingin tampak melembut, menunjukkan sisi tersembunyi yang selama ini tak pernah ia perlihatkan. ‘Entah apa maksudnya. Namun, ini benar-benar aneh. Aku seperti melihat sisi lain suamiku sendiri.’Viona merasakan kehadiran Mark yang kini tak lagi membiarkan jarak di antara mereka, seakan menegaskan posisinya di sampingnya.Mark, yang dulu begitu dingin dan seringkali mengabaikan keberadaannya, kini justru seolah tak ingin melepasnya walau hanya sedetik.Dan semua ini terjadi setelah Viona berani menegaskan keinginannya untu
Mark mulai menunjukkan kejenuhannya setelah dua jam berlalu di tengah pesta yang terasa baginya seperti tanpa akhir.Ia hanya duduk diam, jemarinya menggoyangkan gelas wine dengan gerakan monoton, matanya tak henti-henti melirik Viona yang terlihat begitu menikmati suasana, tawanya berbaur dengan denting gelas dan musik yang mengalun lembut.Dalam batinnya, ada perasaan yang enggan ia akui—sebuah rasa cemburu yang halus, yang makin menyiksanya setiap kali ia melihat senyum Viona saat berbincang dengan orang-orang di sekelilingnya."Sampai kapan ini akan berakhir? Kau belum ingin pulang?" tanyanya, suaranya datar namun penuh tuntutan, membuat Viona menoleh dan menatapnya dengan sorot mata yang sedikit jengkel."Sebentar lagi, Mark. Kau sudah bosan? Kalau ingin, pulanglah duluan. Lina bisa mengantarku nanti," balas Viona dengan nada santai.Mark langsung menatapnya tajam, matanya menyiratkan ketidaksetujuan yang tak bisa ditawar. "Tidak," ucapnya keras, nada tegasnya seperti belati yang
Mark menghela napas lega begitu langkahnya melewati ambang pintu rumah. Di sini, di tempat di mana dinding-dinding terasa lebih bersahabat dibanding hiruk-pikuk yang membungkus mereka sepanjang malam, ia akhirnya bisa bernapas.Bayang-bayang keramaian tadi masih menempel seperti kabut, membuatnya merasa terbelenggu dalam suara-suara yang tidak pernah sunyi."Padahal kalau kau ingin joget-joget di sana pun tidak akan ada yang melarang, Mark," gerutu Viona, menatapnya dengan tatapan setengah jengkel, setengah geli, seperti tak percaya pada keluh kesah suaminya yang terus berulang dari tadi.Mark menoleh, menatap Viona dengan ekspresi yang hanya bisa digambarkan sebagai perpaduan antara keengganan dan rasa ingin menjaga wibawa yang sudah terpatri. "Citraku akan hilang jika aku melakukannya," ucapnya dengan nada datar, seolah jawabannya sudah cukup menegaskan segalanya.Viona hanya mendesah pelan, memutar bola matanya, kemudian beranjak menuju cermin. Jemarinya mulai membersihkan sisa-sis
Waktu baru menunjukkan pukul sepuluh pagi ketika Mark dan Viona melangkah ke dalam supermarket, menepati janji Mark yang akan menemani istrinya berbelanja kebutuhan kehamilan.Meski hari masih pagi, atmosfer sekitar terasa seolah berdenyut dalam kebersamaan yang janggal; Viona merasakan kehadiran Mark yang tanpa kompromi, seperti bayangan yang tak memberinya ruang untuk bernapas."Mark," suara Viona akhirnya pecah setelah beberapa saat membungkam kata-kata yang sejak tadi bergema dalam benaknya."Aku bisa belanja sendiri. Jadi, sebaiknya kau pergi ke kantor saja. Aku tidak terbiasa denganmu yang tiba-tiba hadir dan menemaniku seperti ini."Namun, tanpa ragu, Mark menyela, suaranya rendah tapi mengandung ketegasan yang sulit dilawan. "Tidak bisa! Aku tetap ingin menemanimu membeli semua keperluanmu selama masa kehamilanmu. Aku harus memastikan yang kau beli itu baik untuk bayiku."Bayiku. Kata itu menggantung di udara, memenuhi ruang di antara mereka dengan makna yang sulit diterjemahk
Viona menolehkan kepalanya perlahan, tatapannya menelusuri wajah Mark, mencoba menembus dinginnya sikap pria itu yang baru saja melontarkan pertanyaan yang menyayat relung jiwanya. Napasnya terhembus kasar, meresapi kegetiran yang selama ini terpendam.“Bersikap seperti apa?” tanyanya pelan, suaranya lembut namun penuh beban yang tak terucapkan.“Seperti ini. Seperti mengabaikanku, seolah aku hanya bayang-bayang yang tak pernah berarti dalam hidupmu,” jawab Mark, nadanya dingin, namun sorot matanya mencerminkan kekecewaan yang tak mampu ia sembunyikan. “Apa kau sedang balas dendam padaku?”Viona menggelengkan kepala, gerakannya lambat, nyaris tak kasatmata, seolah setiap helaan napas adalah perjuangan untuk menahan beban yang tak terlihat.“Aku bukan manusia pendendam, Mark. Aku hanya… lelah.” Suaranya mengandung sebersit getir, seperti angin yang menyusup lewat celah-celah luka yang tak pernah sembuh.Mata Viona menatap Mark, dingin dan datar, seakan hati yang dulu penuh cinta kini t
Waktu telah menunjuk angka tujuh malam ketika Mark tiba di apartemen Stella.Malam itu membawa suasana muram yang menggantung di udara, seolah semesta pun memahami niat Mark untuk mengakhiri semua keraguan yang menjeratnya, membebaskan dirinya dari rasa bersalah yang selama ini menekan dadanya dalam diam.“Mark! Akhirnya kau datang,” seru Stella dengan senyum cerah yang menghiasi bibirnya, seolah kedatangannya adalah angin segar di tengah keheningan.Mata Stella berbinar penuh harap, namun tatapan Mark tetap datar, dingin seperti angin malam yang menyelusup tanpa ampun.“Stella. Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Aku hanya ingin menyelesaikan semuanya,” ucap Mark, suaranya tanpa basa-basi, seakan setiap kata adalah keputusan yang telah lama ia pendam, kini menyeruak tanpa ampun.Raut wajah Stella berubah. Senyumnya memudar, dan keningnya berkerut bingung. “Apa maksudmu, Mark? Menyelesaikan apa?” tanyanya, nada suaranya mengandung kepedihan yang ia coba sembunyikan, namun tak mampu.
“Viona?” Suara Mark bergema, menyusuri ruangan kosong yang sunyi. Setiap panggilan seolah tenggelam dalam kesunyian yang menggantung, dan hatinya mulai diliputi keresahan.Ia melangkah semakin cepat, mencari sosok sang istri yang biasanya menyambutnya dengan senyum lembut, tetapi kini terasa bagai bayang-bayang yang tak terjangkau.Ia berhenti sejenak di dapur, menemui Merry yang tengah membersihkan piring. “Merry, di mana Viona?” tanyanya, nadanya tak mampu menyembunyikan ketakutan yang mulai merambat.“Nona Viona tadi masuk ke dalam kamarnya, Tuan,” jawab Merry dengan suara pelan, seakan merasakan ketegangan yang melingkupi Mark.Tanpa ragu, Mark bergegas menuju kamar, setengah berlari, hingga panggilannya terhenti oleh suara lirih dari kamar mandi.“Viona?” Suaranya gemetar saat mendengar suara mual-mual yang lemah dari balik pintu.Dengan cemas, ia melangkah masuk dan mendapati Viona, tubuhnya tersandar lemah di tepi wastafel, wajahnya pucat bak kapas yang kehilangan warna.“Viona
Suara tawa riang mengisi ruang keluarga. Mark duduk di lantai beralas karpet, kedua bayi kembarnya berada di pelukannya. Di sebelahnya, Viona tertawa kecil sambil merapikan seragam anak sulung mereka, Leo, yang sedang bersiap berangkat ke sekolah.“Ayah, aku sudah besar. Aku bisa pasang sepatu sendiri,” ucap Alleta dengan penuh percaya diri, meski tali sepatunya masih belum terikat sempurna.Mark tersenyum sambil mengangkat salah satu bayi, yang memekik kegirangan. “Benar, Nak, Ayah sekarang sibuk sama dua jagoan kecil ini. Kamu harus bantu Mama, ya?”Alleta mengangguk dengan wajah ceria, lalu melompat-lompat di tempat. “Iya, Pa. Nanti aku belajar cara mengganti popok juga!”Viona tertawa sambil menggelengkan kepala. "Kau kakak yang baik untuk kedua adikmu, Alleta.”Alleta mengecup pipi ibunya, bahagia mendapatkan pujiannya.Salah satu bayi menoleh ke arah Mark dan berseru, “Ayah!” sambil meraih wajahnya dengan tangan mungilnya. Yang satunya tidak mau kalah dan berseru, “Ibu!” dengan
Satu tahun kemudian …."Ayah, lihat boneka Letta!" seru Alleta dengan suara riang, mengangkat boneka Barbie bergaun merah berkilauan. Matanya berbinar-binar, pipinya memerah karena kegirangan.Mark menunduk, mengangkat Alleta ke pangkuannya. "Siapa yang memberikan ini, hm?" tanyanya sambil tersenyum lebar."Kakek Alex!" jawab Alleta antusias, memeluk boneka itu erat. "Kata Kakek, ini spesial!""Spesial sekali, ya? Kamu harus bilang terima kasih sama Kakek Alex," ujar Mark, mengusap rambut anak perempuannya yang lebat dan hitam.Alleta bangkit dari pangkuan Mark berjalan cepat mengecup pipi Alex, "Thank you, grand Pa!" celoteh Alleta dengan suara cerianya.Alex, yang duduk di sofa bersebelahan dengan Viona, hanya terkekeh. "Anak ini benar-benar tahu bagaimana mencuri hati seorang kakek," katanya sambil mengangguk puas."Ayah saja yang terlalu memanjakannya." goda Viona sambil membawa nampan berisi minuman hangat. Bayi mungil mereka kini sedang aktif-aktifnya. Namanya Alleta, ceria dan
Mark terbangun dengan mata yang terasa berat. Ia melihat ke sekeliling kamar dengan bingung, suara tangisan bayi membelah keheningan malam. Pukul tiga pagi, pikirnya sambil mengusap wajah yang lelah."Viona?" panggilnya pelan, tapi tidak ada jawaban. Ia berbalik, menemukan sisi ranjang Viona kosong.Mark bergegas keluar kamar, menuju suara tangisan itu. Di ruang bayi, ia melihat Viona dengan sabar menggendong bayi mereka, menepuk-nepuk punggungnya yang mungil dengan lembut."Kenapa kau tidak membangunkanku?" tanya Mark, suaranya serak.Viona menoleh dengan senyum lelah tapi lembut. "Kau sudah terlalu capek, Mark. Biar aku yang mengurusnya.""Tidak, ini juga tanggung jawabku," kata Mark tegas, lalu mendekat untuk mengambil bayi mereka. Namun begitu bayi itu berpindah ke pelukannya, tangisannya malah semakin kencang."Kenapa dia makin menangis? Aku sudah pegang dengan benar, kan?" tanya Mark panik, mengayun-ayunkan bayi mereka dengan canggung.Suara melengking yang memekakkan telinga b
Viona merasakan kontraksi yang begitu kuat saat sedang duduk di sofa. Tiba-tiba, aliran hangat merembes ke bawah, membuatnya panik."Mark!" panggilnya dengan suara gemetar. "Air ketubanku pecah!"Mark, yang sedang membaca laporan di ruang kerjanya, langsung berlari ke ruang tamu dengan wajah panik. "Apa? Pecah? Apa yang harus kita lakukan?!" Serangkaian pertanyaan meluncur tanpa henti dari mulutnya.Mark mendekat namun tak tahu harus apa. Rasa panik menguasai pikirannya. "Bagaimana ini?" Sakitkah?" Pertanyaan konyol Mark malah keluar melihat wajah puas istrinya yang kembali merasakan kontraksi."Rumah sakit, Mark! Kita harus segera ke rumah sakit!" kata Viona, mencoba tetap tenang meski rasa sakit mulai menusuk.Mark mengangguk, lalu berlari ke sana kemari, mengambil kunci mobil, tas bayi, dan bahkan jas kerjanya."Di mana kunci mobil? Ah, ini! Tas? Apa kita butuh pakaian? Kenapa pakaianku yang kubawa? Ya Tuhan, aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan!"Viona tersenyum lemah
Di sebuah toko perlengkapan bayi yang megah, Mark dan Viona sibuk memilih barang untuk menyambut kelahiran buah hati mereka.Usia kehamilan Viona sudah menginjak sembilan bulan, dan pasangan itu tengah dipenuhi suka cita.Mereka sengaja tidak mengetahui jenis kelamin bayi mereka, berharap mendapatkan kejutan yang manis saat kelahiran tiba.Mark memegang sepasang sepatu bayi mungil berwarna putih di tangannya. Ia memandangi sepatu itu dengan tatapan penuh rasa bangga. "Bagaimana menurutmu? Sepatu ini sempurna, bukan?"Viona yang sedang memeriksa selimut bayi bermotif bunga menoleh, alisnya terangkat. "Putih lagi, Mark? Kita sudah punya lebih dari cukup barang putih. Haruskan semuanya berwarna polos?""Putih itu elegan dan netral," Mark menjawab sambil mengangkat bahu, senyumnya lebar. "Lagipula, kita tidak tahu jenis kelamin bayi. Putih adalah pilihan yang paling aman."Viona menghela napas panjang, meletakkan selimut yang sedang ia periksa. "Mark, bayi kita juga butuh warna! Hidup itu
Mark sedang berdiri di depan jendela besar kantornya. Langit mendung di luar, menggambarkan suasana kota yang penuh hiruk-pikuk.Ia memutar gelas kopi di tangannya, pikirannya melayang. Suara ketukan pintu memecah lamunannya."Masuk," katanya tegas, tanpa menoleh.Ben, sekretaris pribadinya, masuk dengan langkah hati-hati. Wajahnya tampak lebih serius dari biasanya.“Tuan Mark, ada kabar penting yang perlu Anda ketahui,” ucap Ben dengan nada pelan tapi jelas. Ben tampak ragu namun ia harus melakukan ini.Mark mengangkat alis dan memutar tubuhnya, menatap Ben dengan ekspresi datar. “Apa itu, Ben?”Ben menelan ludah, seolah mencari cara terbaik untuk menyampaikan berita tersebut. “Tuan saya tahu anda tidak mau mendengar laporan tentang nona Stella, namun kali ini anda harus mendengarkan. Stella … dia sudah tiada.”Mark mengerutkan kening, matanya menyipit. “Maksudmu … sudah tiada? Jelaskan, Ben.”Ben menarik napas dalam sebelum melanjutkan. “Kondisinya semakin memburuk di rumah sakit te
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar di ruang tamu. Viona sedang merapikan bunga di vas ketika bel pintu berbunyi.Ia berjalan menuju pintu dan membuka perlahan, menatap sosok yang sudah familiar berdiri di depan rumah.“Ayah,” sapanya lembut. Senyum kecil menghiasi wajahnya.Alex lega melihat senyum segar Viona. Mereka berdua berpelukan dan Viona mengajak masuk mertuanya itu.Alex, dengan jas abu-abu yang rapi, mengangguk singkat. “Pagi, Viona. Maaf datang tanpa memberi tahu. Aku sengaja datang untuk melihat keadaanmu."“Tidak perlu memberi tahu juga tidak masalah, Ayah. Silakan masuk. Aku akan menyiapkan teh hijau kesukaanmu," senyum akrab keduanya bagai ayah dan anak. Viona mempersilahkan ayah mertuanya itu duduk di sofa.Alex melangkah masuk, memperhatikan interior rumah yang terasa hangat dan nyaman. Bahagia melihat keadaan menantunya yang sehat. Ia duduk di sofa, sementara Viona menuangkan teh hangat untuknya.“Ada sesuatu yang ingin Ayah bicarakan?” Viona bertanya, d
Pintu rumah megah itu terbuka dengan suara klik lembut, memperlihatkan sosok Mark yang baru saja pulang.Jas hitamnya masih rapi, meskipun ekspresi wajahnya terlihat tegang. Ia meletakkan tas kerjanya di meja ruang tamu tanpa berkata apa-apa.“Mark,” suara Viona yang lembut menyambutnya dari sofa. Wanita itu menoleh dari dokumen yang sedang ia baca, wajahnya menyiratkan kekhawatiran.Mark mengangguk singkat. “Ada apa?” tanyanya dengan nada datar, meskipun matanya sedikit melunak saat melihat Viona.Hati Mark perih melihat istrinya yang hamil dan selama ini ia acuhkan. Viona mendekat dan debar kerinduan Mark membuncah melihat wajah cantik penuh kesabaran Viona.Viona menatapnya ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara, memilih kata-katanya dengan hati-hati.“Mila meneleponku tadi siang. Dia … memarahiku, katanya semua ini salahku karena aku yang membuat putrinya kesusahan dan sakit. Jujur Mark, apa benar kau menutup akses Stella di rumah sakitmu?”Mark menghela napas berat, kemudian dud
Langit pagi yang cerah terasa kontras dengan suasana hati Mila yang kacau balau.Stella terbaring lemah di ruang perawatan sebuah rumah sakit biasa, jauh dari kenyamanan fasilitas rumah sakit mewah milik Mark. Nafas Stella masih berat, namun kondisinya perlahan stabil.Ranjang kecil dengan kasur yang tidak nyaman jauh dari kata mewah seperti yang biasa Milla terima dari rumah sakit sebelumnya.Mila sedih menatap putrinya berjajar dalam ruangan besar bersama pasien lain yang entah sakit apa.Tirai untuk privasi ruangan pasien memang mampu menutup tubuh putrinya agar tidak terlihat pasien lain tetapi malah membuat ia sangat kegerahan.Apalagi kamar mandi yang digunakan juga bersama. Mila tidak yakin keadaan putrinya membaik dengan segala fasilitas minim yang ia lihat saat ini.Mila sampai tidak bisa menyembunyikan kemarahan dan frustasinya. Ia menggenggam erat ponselnya, mencoba menghubungi Mark lagi untuk yang kesekian kalinya, tetapi tidak ada jawaban. Mila tahu Mark dengan sengaja me