Langit malam menggantung gelap di atas kota, diselingi gemerlap cahaya lampu jalan yang berpendar di kejauhan. Viona melangkah ringan menuju pintu masuk café, senyum kecil menghiasi bibirnya saat ia menata rambut yang sedikit berantakan oleh angin malam.Suara riuh pengunjung yang bercengkerama di dalam café menyambutnya, membawa kehangatan tersendiri yang sudah lama ia kenal.Di sinilah ia bekerja setiap malam, menghibur pengunjung dengan suara merdunya, membawakan lagu-lagu yang seolah menjadi pelipur lara bagi mereka yang ingin sejenak melupakan hiruk-pikuk kehidupan.Setelah bertegur sapa dengan beberapa karyawan café, Viona melangkah ke atas panggung kecil di sudut ruangan, tempat ia biasa menyanyi.Ia merapikan mikrofon yang sedikit miring, lalu menarik napas panjang sebelum mulai membawakan lagu pertamanya malam itu.Suaranya mengalun lembut, merdu, dan penuh emosi, seakan ia berbicara langsung kepada hati setiap orang yang mendengarkannya.Malam semakin larut, dan pengunjung c
Setelah tiga puluh menit perjalanan dalam kebisuan yang canggung, Mike menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah sakit. Ia berbalik menatap Viona yang tampak gelisah di kursi penumpang.“Terima kasih, Mike. Dan maaf sudah merepotkanmu. Seharusnya kau tidak perlu mendengarkan apa kata Ronald tadi,” Viona berkata dengan suara pelan, hampir berbisik, menundukkan wajahnya agar tak perlu menatap mata Mike yang tajam namun lembut.Mike tersenyum samar, memiringkan kepalanya sedikit. “Tidak masalah, Viona. Aku mengerti, keadaan sedang sulit bagimu. Tapi maaf, aku tidak bisa mengantarmu ke dalam. Aku ada urusan.”Ia berbicara dengan tenang, namun ada nada sayang yang tersembunyi di balik setiap kata-katanya, sesuatu yang tak pernah berani ia ungkapkan secara langsung.Viona mengangguk cepat, berusaha menutupi kecanggungan yang semakin menguasainya. “Sudah mengantarku sampai gerbang pun aku sudah sangat berterima kasih, Mike. Kalau begitu, aku pamit. Selamat malam, Mike.”“Selamat mal
Pagi itu, matahari sudah tinggi di langit, sinarnya yang cerah membanjiri gedung-gedung tinggi dengan warna keemasan yang hangat.Namun, di dalam ruang kantor yang dingin dan steril, suasana terasa gelap dan tegang.Jam dinding menunjukkan pukul delapan pagi ketika Mark membuka pintu kantornya dengan langkah tergesa-gesa, wajahnya kusut dan lelah seolah malam tak memberinya kesempatan untuk beristirahat.Baru saja ia meletakkan tas kerjanya di atas meja, Ben, asisten setianya, langsung menghampiri dengan ekspresi gelisah yang sulit disembunyikan.Ia tahu, berita yang akan disampaikannya mungkin akan memicu badai. Namun, tidak ada jalan lain selain menyampaikannya dengan jujur.“Selamat pagi, Tuan,” Ben membuka pembicaraan dengan suara yang terdengar berat. “Saya hanya ingin menyampaikan jika hari ini Nona Viona akan mengajukan surat perceraian ke pengadilan.”Wajah Mark seketika memucat. Ia mendongak dengan cepat, matanya menatap Ben dengan keterkejutan yang jelas.“Apa? Kenapa kau ba
Mark menatap Viona dengan tatapan tajam, matanya penuh amarah yang membara seolah mengharapkan satu kata penjelasan yang bisa menenangkan hatinya.Tetapi Viona tetap pada pendiriannya, wajahnya dingin, seperti lautan yang tenang sebelum badai datang.“Apa yang ingin kau jelaskan, Mark?” Viona bertanya, suaranya pelan namun penuh dengan penekanan.“Kau tidak kalah, kau hanya ingin aku tunduk padamu. Sementara aku... aku merasa kau tak pernah sekalipun berusaha mengerti apa yang kurasakan.”Viona menggeleng perlahan, ekspresi wajahnya antara kecewa dan lelah. Rasanya ia sudah tak punya energi lagi untuk bertarung dengan pria yang selama ini menyakiti hatinya, tapi tetap berusaha memaksakan kehendaknya.“Aku tidak peduli, Viona. Aku tidak akan membiarkanmu melayangkan gugatan cerai itu,” ucap Mark dengan suara datar, matanya menatap Viona tanpa henti, seolah mencari celah dalam keteguhannya.“Lalu apa maumu?” Viona menantang, menatap balik tanpa rasa takut.“Kalau begitu kau saja yang me
Mark kembali ke kantornya dengan hati yang penuh sesak, pikirannya kacau oleh ucapan Viona yang terus mengusik pikirannya seperti gema yang tak kunjung pudar.Kepalanya berdenyut, dan jemarinya bergerak memijat keningnya seolah itu bisa menghilangkan beban yang menindih.“Tak bisakah kau mendengarkan penjelasanku, Viona?” gumamnya lirih, suara itu merayap dalam kehampaan ruang kantornya.“Apakah terlalu dalam, luka yang kuberikan padamu? Sedalam apa?” Kalimat itu terdengar getir, penuh penyesalan yang terpendam dalam diam.Ia menghela napas panjang, menatap kosong ke luar jendela, mencoba memahami betapa dalam jurang yang telah ia gali antara dirinya dan wanita yang dulu ia cintai dengan segenap hati.Dering ponselnya memecah keheningan itu. Perlahan ia mengalihkan pandangannya ke layar ponsel, melihat nama yang tertera di sana — Stella.Mata Mark berubah dingin. Ia menekan tombol untuk menolak panggilan, lalu tanpa ragu, memblokir nomor itu, membiarkan pesan terakhirnya bergema di ha
Ruangan itu hening. Mark duduk di hadapan Viona, mencoba menahan napas saat matanya bertemu dengan tatapan dingin sang istri yang penuh dengan pertanyaan.Ia tahu, ia tak akan bisa menghindari pembicaraan ini lebih lama lagi. Akhir-akhir ini, pernikahan mereka telah berubah menjadi permainan tarik ulur yang menguras energi, dan hari ini, ia merasa tak memiliki daya untuk melanjutkannya.“Katakan saja yang sebenarnya, jangan ada yang kau sembunyikan jika masih ingin mempertahankan rumah tangga kita, Mark,” ujar Viona, suaranya tegas namun tetap dingin.Di balik ketegasan itu, ada luka yang ia tutupi dengan baik, dan itu membuat hatinya terasa kian berat.Mark menghela napas panjang, seolah mencoba menghirup sisa-sisa keberanian yang mungkin tersisa dalam dirinya. “Aku selalu berkata jujur padamu, Viona. Hanya saja, kau tak pernah mendengarku dan sepertinya kau tidak pernah percaya padaku,” jawabnya lirih.Namun, nada suara Mark terdengar seperti rengekan yang nyaris tak berdaya, seolah
Viona menatap hampa ke arah jendela, menarik napas panjang, mencoba memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjawab Mark.Pernyataan suaminya tadi masih terngiang di telinganya. Mark, yang dulu selalu enggan berbicara tentang keluarga, kini mengaku sudah siap menjadi seorang ayah. Namun, di dalam hatinya, Viona merasakan perasaan yang sulit diungkapkan."Maaf, Mark," ucapnya pelan, nyaris berbisik. "Aku… aku belum siap untuk saat ini."Mark menatapnya dengan alis berkerut, ekspresi kesal mulai tampak di wajahnya. "Ada apa denganmu, Viona? Bukankah kau yang selalu menginginkan seorang anak di rumah tangga kita?“Sekarang aku sudah siap, tapi kau malah mengatakan bahwa kau belum siap." Suaranya meninggi, mengiringi nada kecewa yang menyelinap di setiap kata-katanya.Viona memejamkan mata sejenak, mencoba menahan lautan emosi yang siap menggelegak. "Seharusnya kau paham alasanku tidak siap, Mark," balasnya lirih, tatapan matanya jatuh pada wajah suaminya yang kini mengeras, penuh kemaraha
Mark menatap Viona dengan tatapan tajam yang tak bisa ia hindari. Kedua matanya yang gelap mengunci pandangan ke arah wanita yang selama ini menjadi penenang sekaligus belenggu pikirannya.Ia menarik napas dalam, lalu melepaskannya perlahan, membiarkan udara seolah membawa sedikit rasa frustasinya pergi.“Jangan pernah berharap untuk sesuatu yang tidak akan terjadi, Viona. Kau akan tetap menjadi istriku, selamanya,” ucapnya dengan suara datar yang penuh kepastian, seolah tak ada ruang bagi Viona untuk menentang atau bertanya lebih lanjut.Viona menghela napas, merasa berat beban yang selama ini menekan dadanya semakin bertambah. Ia meraih keberanian untuk membalas pandangan suaminya, meski mata Mark tetap tak tergoyahkan.“Entah apa yang membuatmu tetap mempertahankanku, Mark,” ujarnya dengan suara rendah, ada getir yang terselip di setiap kata.“Jika hanya karena orang tuamu, dan kau tidak bahagia dengan pernikahan ini, maka sebaiknya kita berpisah saja. Itu sudah yang terbaik untuk
Suara tawa riang mengisi ruang keluarga. Mark duduk di lantai beralas karpet, kedua bayi kembarnya berada di pelukannya. Di sebelahnya, Viona tertawa kecil sambil merapikan seragam anak sulung mereka, Leo, yang sedang bersiap berangkat ke sekolah.“Ayah, aku sudah besar. Aku bisa pasang sepatu sendiri,” ucap Alleta dengan penuh percaya diri, meski tali sepatunya masih belum terikat sempurna.Mark tersenyum sambil mengangkat salah satu bayi, yang memekik kegirangan. “Benar, Nak, Ayah sekarang sibuk sama dua jagoan kecil ini. Kamu harus bantu Mama, ya?”Alleta mengangguk dengan wajah ceria, lalu melompat-lompat di tempat. “Iya, Pa. Nanti aku belajar cara mengganti popok juga!”Viona tertawa sambil menggelengkan kepala. "Kau kakak yang baik untuk kedua adikmu, Alleta.”Alleta mengecup pipi ibunya, bahagia mendapatkan pujiannya.Salah satu bayi menoleh ke arah Mark dan berseru, “Ayah!” sambil meraih wajahnya dengan tangan mungilnya. Yang satunya tidak mau kalah dan berseru, “Ibu!” dengan
Satu tahun kemudian …."Ayah, lihat boneka Letta!" seru Alleta dengan suara riang, mengangkat boneka Barbie bergaun merah berkilauan. Matanya berbinar-binar, pipinya memerah karena kegirangan.Mark menunduk, mengangkat Alleta ke pangkuannya. "Siapa yang memberikan ini, hm?" tanyanya sambil tersenyum lebar."Kakek Alex!" jawab Alleta antusias, memeluk boneka itu erat. "Kata Kakek, ini spesial!""Spesial sekali, ya? Kamu harus bilang terima kasih sama Kakek Alex," ujar Mark, mengusap rambut anak perempuannya yang lebat dan hitam.Alleta bangkit dari pangkuan Mark berjalan cepat mengecup pipi Alex, "Thank you, grand Pa!" celoteh Alleta dengan suara cerianya.Alex, yang duduk di sofa bersebelahan dengan Viona, hanya terkekeh. "Anak ini benar-benar tahu bagaimana mencuri hati seorang kakek," katanya sambil mengangguk puas."Ayah saja yang terlalu memanjakannya." goda Viona sambil membawa nampan berisi minuman hangat. Bayi mungil mereka kini sedang aktif-aktifnya. Namanya Alleta, ceria dan
Mark terbangun dengan mata yang terasa berat. Ia melihat ke sekeliling kamar dengan bingung, suara tangisan bayi membelah keheningan malam. Pukul tiga pagi, pikirnya sambil mengusap wajah yang lelah."Viona?" panggilnya pelan, tapi tidak ada jawaban. Ia berbalik, menemukan sisi ranjang Viona kosong.Mark bergegas keluar kamar, menuju suara tangisan itu. Di ruang bayi, ia melihat Viona dengan sabar menggendong bayi mereka, menepuk-nepuk punggungnya yang mungil dengan lembut."Kenapa kau tidak membangunkanku?" tanya Mark, suaranya serak.Viona menoleh dengan senyum lelah tapi lembut. "Kau sudah terlalu capek, Mark. Biar aku yang mengurusnya.""Tidak, ini juga tanggung jawabku," kata Mark tegas, lalu mendekat untuk mengambil bayi mereka. Namun begitu bayi itu berpindah ke pelukannya, tangisannya malah semakin kencang."Kenapa dia makin menangis? Aku sudah pegang dengan benar, kan?" tanya Mark panik, mengayun-ayunkan bayi mereka dengan canggung.Suara melengking yang memekakkan telinga b
Viona merasakan kontraksi yang begitu kuat saat sedang duduk di sofa. Tiba-tiba, aliran hangat merembes ke bawah, membuatnya panik."Mark!" panggilnya dengan suara gemetar. "Air ketubanku pecah!"Mark, yang sedang membaca laporan di ruang kerjanya, langsung berlari ke ruang tamu dengan wajah panik. "Apa? Pecah? Apa yang harus kita lakukan?!" Serangkaian pertanyaan meluncur tanpa henti dari mulutnya.Mark mendekat namun tak tahu harus apa. Rasa panik menguasai pikirannya. "Bagaimana ini?" Sakitkah?" Pertanyaan konyol Mark malah keluar melihat wajah puas istrinya yang kembali merasakan kontraksi."Rumah sakit, Mark! Kita harus segera ke rumah sakit!" kata Viona, mencoba tetap tenang meski rasa sakit mulai menusuk.Mark mengangguk, lalu berlari ke sana kemari, mengambil kunci mobil, tas bayi, dan bahkan jas kerjanya."Di mana kunci mobil? Ah, ini! Tas? Apa kita butuh pakaian? Kenapa pakaianku yang kubawa? Ya Tuhan, aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan!"Viona tersenyum lemah
Di sebuah toko perlengkapan bayi yang megah, Mark dan Viona sibuk memilih barang untuk menyambut kelahiran buah hati mereka.Usia kehamilan Viona sudah menginjak sembilan bulan, dan pasangan itu tengah dipenuhi suka cita.Mereka sengaja tidak mengetahui jenis kelamin bayi mereka, berharap mendapatkan kejutan yang manis saat kelahiran tiba.Mark memegang sepasang sepatu bayi mungil berwarna putih di tangannya. Ia memandangi sepatu itu dengan tatapan penuh rasa bangga. "Bagaimana menurutmu? Sepatu ini sempurna, bukan?"Viona yang sedang memeriksa selimut bayi bermotif bunga menoleh, alisnya terangkat. "Putih lagi, Mark? Kita sudah punya lebih dari cukup barang putih. Haruskan semuanya berwarna polos?""Putih itu elegan dan netral," Mark menjawab sambil mengangkat bahu, senyumnya lebar. "Lagipula, kita tidak tahu jenis kelamin bayi. Putih adalah pilihan yang paling aman."Viona menghela napas panjang, meletakkan selimut yang sedang ia periksa. "Mark, bayi kita juga butuh warna! Hidup itu
Mark sedang berdiri di depan jendela besar kantornya. Langit mendung di luar, menggambarkan suasana kota yang penuh hiruk-pikuk.Ia memutar gelas kopi di tangannya, pikirannya melayang. Suara ketukan pintu memecah lamunannya."Masuk," katanya tegas, tanpa menoleh.Ben, sekretaris pribadinya, masuk dengan langkah hati-hati. Wajahnya tampak lebih serius dari biasanya.“Tuan Mark, ada kabar penting yang perlu Anda ketahui,” ucap Ben dengan nada pelan tapi jelas. Ben tampak ragu namun ia harus melakukan ini.Mark mengangkat alis dan memutar tubuhnya, menatap Ben dengan ekspresi datar. “Apa itu, Ben?”Ben menelan ludah, seolah mencari cara terbaik untuk menyampaikan berita tersebut. “Tuan saya tahu anda tidak mau mendengar laporan tentang nona Stella, namun kali ini anda harus mendengarkan. Stella … dia sudah tiada.”Mark mengerutkan kening, matanya menyipit. “Maksudmu … sudah tiada? Jelaskan, Ben.”Ben menarik napas dalam sebelum melanjutkan. “Kondisinya semakin memburuk di rumah sakit te
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar di ruang tamu. Viona sedang merapikan bunga di vas ketika bel pintu berbunyi.Ia berjalan menuju pintu dan membuka perlahan, menatap sosok yang sudah familiar berdiri di depan rumah.“Ayah,” sapanya lembut. Senyum kecil menghiasi wajahnya.Alex lega melihat senyum segar Viona. Mereka berdua berpelukan dan Viona mengajak masuk mertuanya itu.Alex, dengan jas abu-abu yang rapi, mengangguk singkat. “Pagi, Viona. Maaf datang tanpa memberi tahu. Aku sengaja datang untuk melihat keadaanmu."“Tidak perlu memberi tahu juga tidak masalah, Ayah. Silakan masuk. Aku akan menyiapkan teh hijau kesukaanmu," senyum akrab keduanya bagai ayah dan anak. Viona mempersilahkan ayah mertuanya itu duduk di sofa.Alex melangkah masuk, memperhatikan interior rumah yang terasa hangat dan nyaman. Bahagia melihat keadaan menantunya yang sehat. Ia duduk di sofa, sementara Viona menuangkan teh hangat untuknya.“Ada sesuatu yang ingin Ayah bicarakan?” Viona bertanya, d
Pintu rumah megah itu terbuka dengan suara klik lembut, memperlihatkan sosok Mark yang baru saja pulang.Jas hitamnya masih rapi, meskipun ekspresi wajahnya terlihat tegang. Ia meletakkan tas kerjanya di meja ruang tamu tanpa berkata apa-apa.“Mark,” suara Viona yang lembut menyambutnya dari sofa. Wanita itu menoleh dari dokumen yang sedang ia baca, wajahnya menyiratkan kekhawatiran.Mark mengangguk singkat. “Ada apa?” tanyanya dengan nada datar, meskipun matanya sedikit melunak saat melihat Viona.Hati Mark perih melihat istrinya yang hamil dan selama ini ia acuhkan. Viona mendekat dan debar kerinduan Mark membuncah melihat wajah cantik penuh kesabaran Viona.Viona menatapnya ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara, memilih kata-katanya dengan hati-hati.“Mila meneleponku tadi siang. Dia … memarahiku, katanya semua ini salahku karena aku yang membuat putrinya kesusahan dan sakit. Jujur Mark, apa benar kau menutup akses Stella di rumah sakitmu?”Mark menghela napas berat, kemudian dud
Langit pagi yang cerah terasa kontras dengan suasana hati Mila yang kacau balau.Stella terbaring lemah di ruang perawatan sebuah rumah sakit biasa, jauh dari kenyamanan fasilitas rumah sakit mewah milik Mark. Nafas Stella masih berat, namun kondisinya perlahan stabil.Ranjang kecil dengan kasur yang tidak nyaman jauh dari kata mewah seperti yang biasa Milla terima dari rumah sakit sebelumnya.Mila sedih menatap putrinya berjajar dalam ruangan besar bersama pasien lain yang entah sakit apa.Tirai untuk privasi ruangan pasien memang mampu menutup tubuh putrinya agar tidak terlihat pasien lain tetapi malah membuat ia sangat kegerahan.Apalagi kamar mandi yang digunakan juga bersama. Mila tidak yakin keadaan putrinya membaik dengan segala fasilitas minim yang ia lihat saat ini.Mila sampai tidak bisa menyembunyikan kemarahan dan frustasinya. Ia menggenggam erat ponselnya, mencoba menghubungi Mark lagi untuk yang kesekian kalinya, tetapi tidak ada jawaban. Mila tahu Mark dengan sengaja me