Viona melangkah keluar dari kamarnya, derak pelan lantai kayu di bawah kakinya seakan memanggil seluruh keberanian yang tersisa dalam dirinya.Pemberitahuan dari pelayan bahwa mertuanya sedang menunggu di ruang tengah membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Ia menarik napas dalam, mencoba menghapus kekalutan yang masih mengintai di sudut hatinya.Ruang tengah tampak seperti panggung besar yang menuntut Viona berperan sempurna. Alex dan Sarah duduk di sana, anggun dan penuh wibawa, seperti sepasang patung marmer yang dingin namun tak terbantahkan kehadirannya.Aroma teh melati yang baru saja diseduh melayang ringan di udara, seolah menjadi saksi bisu pertemuan itu.“Ayah, Ibu. Maaf, aku tidak tahu jika kalian akan datang,” ucap Viona, mencoba menyelipkan senyum kecil ke dalam kegugupannya. Ia kemudian mengambil tempat di sofa di hadapan mereka, merasa seolah duduk di atas bara yang tak terlihat.“It’s okay, Viona. Kami datang kemari hanya untuk melihat kondisimu saja. Bagaimana, Vion
Waktu sudah menunjuk angka delapan malam, dan malam itu terasa lebih megah dari biasanya. Langit dihiasi taburan bintang yang berkilauan seperti berlian, seakan mendukung gemerlap pesta yang akan Viona dan Mark hadiri. Di depan cermin besar di kamar mereka, Viona mengenakan gaun elegan berwarna merah marun yang membalut tubuhnya dengan sempurna, seperti pelukan lembut yang membuatnya tampak anggun dan mempesona.Mark berdiri di ambang pintu, pandangannya tak lepas dari sosok istrinya yang tengah memoles bibirnya dengan lipstik merah menyala. “Cantik sekali istriku ini,” pujinya dengan nada yang tulus, matanya memancarkan kekaguman yang sulit ia sembunyikan.Viona menoleh, senyum tipis menghiasi wajahnya, seperti kelopak bunga yang baru merekah. “Terima kasih atas pujiannya. Jarang-jarang aku mendapatkan pujian darimu,” katanya sambil melirik ke arah Mark, nada suaranya sedikit menggoda namun tetap lembut.Mark terkekeh pelan, suaranya serupa bisikan angin malam yang membawa kehangatan
Mark dan Viona melangkah memasuki aula hotel megah, sebuah ruang yang memancarkan kilau kemewahan seperti istana dongeng.Lampu kristal bergantung di langit-langit, memercikkan cahaya yang berkilauan, sementara alunan musik klasik mengisi udara dengan harmoni yang lembut.Tangan Mark menggenggam tangan Viona erat, seolah-olah genggaman itu adalah jangkar yang menahannya di tengah gelombang kehidupan.“Selamat malam, Tuan Mark,” suara-suara ramah terdengar, menyapa dengan nada hormat. Mata para tamu undangan mengerling penasaran, seperti mencoba menyingkap rahasia di balik kehadiran Viona malam itu.Mark menunduk sedikit, suaranya rendah namun penuh arti, “Jangan heran. Mereka pasti bingung kenapa aku membawamu ke pesta ini. Dan kau pun tahu, aku tidak pernah membawamu selama ini.”Viona menoleh, matanya yang gelap bagaikan malam tanpa bintang, menatap suaminya. “Bagaimana dengan Stella? Apakah kau sering membawanya?”Mark tersenyum tipis, sebuah senyuman yang samar seperti bayangan bu
“Ya, enam bulan yang lalu. Suamimu sudah berniat untuk tidak mengurus Stella lagi. Ternyata dia menepati janjinya.”Nada suara Thania terdengar seperti bisikan ular, lembut tetapi penuh bisa yang menyelinap di antara celah keheningan.Senyumnya mengembang, nyaris terlihat angkuh, sementara matanya yang tajam menatap Viona, yang hanya mampu mematung.Kata-kata itu seperti duri yang menusuk telinga, membuat keheningan di ruang itu terasa mencekam.“Thania? Apa yang sedang kau lakukan di sini?” Suara Mark memecah suasana, nada beratnya seperti dentingan logam yang menyeret perhatian.Ia menyerahkan segelas jus melon ke tangan Viona, jari-jarinya menyentuh punggung tangan istrinya dengan sentuhan singkat yang terasa lebih dingin daripada hangat.“Aku hanya sedang berbincang saja dengan istrimu, Tuan Mark. Kalau begitu, aku permisi,” jawab Thania dengan manis yang dibuat-buat, mengangguk ringan sebelum melangkah pergi.Gaunnya yang panjang melambai seperti bisikan bayangan saat ia keluar d
Mark membelalakkan matanya, menatap nanar ke arah panggung, seolah dunia sekitarnya telah membeku.Suara Viona mengalun seperti angin yang membawa aroma nostalgia, mengisi setiap sudut ruang dan menyelinap masuk ke dalam relung hatinya yang terdalam.Lagu itu—lagu yang selama ini hanya menjadi bayangan samar di ingatannya—kini hidup kembali, dihidupkan oleh suara perempuan yang ia anggap terlalu sederhana untuk menyimpan misteri sebesar ini.“Bagaimana mungkin …,” bisiknya hampir tak terdengar, matanya terpaku pada sosok Viona yang berdiri di tengah cahaya panggung.Suaranya begitu jernih, penuh emosi, seolah setiap nada mengungkapkan isi hati yang tak pernah terucap. Lagu itu menelusup lembut ke dalam hatinya, mengguncang dinding-dinding yang selama ini ia bangun.Lima menit kemudian, suara Viona berhenti, meninggalkan gema keheningan yang disusul dengan riuh tepuk tangan menggema di aula hotel.Gelombang kekaguman mengalir di antara para tamu, memuji keindahan suara Viona yang memuk
“Di mana wanita itu, Ben?”Suara Mark memecah keheningan ruang kerjanya yang sunyi, seperti retakan pada permukaan kaca yang selama ini dibiarkan utuh.Ben berhenti sejenak di ambang pintu, mencoba menata napasnya sebelum menjawab. “Nona Stella maksud Anda, Tuan?” tanyanya dengan nada hati-hati, meski dalam hatinya ia tahu jawabannya tidak akan menyenangkan.“Ya. Aku sudah malas menyebut nama itu!” ucap Mark dingin, suaranya seperti es yang menyelubungi ruangan, menusuk langsung ke tulang.Ben meringis kecil, menghindari tatapan tajam yang diarahkan padanya. “Dia ada di rumahnya, Tuan. Hari ini tidak ada jadwal cek up.”Mark menatap wajah Ben dengan ekspresi datar, namun sorot matanya menyimpan badai yang siap meledak kapan saja. “Kau masih menyimpan jadwal cek up dia, huh?” tanyanya dengan nada rendah, tetapi penuh ancaman tersembunyi.Ben mengangguk ragu, merasa seperti berjalan di atas tali yang rapuh. “Ya, Tuan. Saya masih menyimpannya. Itu ada di dalam agenda—”“Hapus!” potong M
Kediaman Stella tampak sunyi, hanya diterangi oleh cahaya remang-remang dari lampu jalan di luar yang masuk ke jendela.Mark berdiri di depan pintu rumahnya, menatapnya dengan tatapan kosong, seolah ia bisa meresapi setiap lapisan kebohongan yang tersembunyi di balik dinding itu.Napasnya berat, dadanya sesak oleh amarah yang sudah menunggu waktu untuk meledak.Mark menekan bel dengan keras, suaranya memecah keheningan malam.Tak lama, pintu terbuka dan Stella muncul, wajahnya tampak terkejut, namun masih ada senyum tipis yang tergambar di bibirnya—senyum yang pernah dianggap tulus oleh Mark. Namun, kini hanya terlihat palsu di matanya.“Mark ...” Suara Stella hangat, dulu itu menenangkan bagi Mark. “Apa yang kau lakukan di sini malam-malam begini? Apa kau mengajakku makan malam? Ini kejutankah untukku?” wajah Stella ceria dan meraih tangan Mark penuh cinta.Mark menepis tangan Stella kasar. Matanya berkilat menatap dingin wanita di depannya.“Jangan sok tidak tahu, Stella,” jawab Mar
Langit pagi yang cerah terasa kontras dengan suasana hati Mila yang kacau balau.Stella terbaring lemah di ruang perawatan sebuah rumah sakit biasa, jauh dari kenyamanan fasilitas rumah sakit mewah milik Mark. Nafas Stella masih berat, namun kondisinya perlahan stabil.Ranjang kecil dengan kasur yang tidak nyaman jauh dari kata mewah seperti yang biasa Milla terima dari rumah sakit sebelumnya.Mila sedih menatap putrinya berjajar dalam ruangan besar bersama pasien lain yang entah sakit apa.Tirai untuk privasi ruangan pasien memang mampu menutup tubuh putrinya agar tidak terlihat pasien lain tetapi malah membuat ia sangat kegerahan.Apalagi kamar mandi yang digunakan juga bersama. Mila tidak yakin keadaan putrinya membaik dengan segala fasilitas minim yang ia lihat saat ini.Mila sampai tidak bisa menyembunyikan kemarahan dan frustasinya. Ia menggenggam erat ponselnya, mencoba menghubungi Mark lagi untuk yang kesekian kalinya, tetapi tidak ada jawaban. Mila tahu Mark dengan sengaja me
Suara tawa riang mengisi ruang keluarga. Mark duduk di lantai beralas karpet, kedua bayi kembarnya berada di pelukannya. Di sebelahnya, Viona tertawa kecil sambil merapikan seragam anak sulung mereka, Leo, yang sedang bersiap berangkat ke sekolah.“Ayah, aku sudah besar. Aku bisa pasang sepatu sendiri,” ucap Alleta dengan penuh percaya diri, meski tali sepatunya masih belum terikat sempurna.Mark tersenyum sambil mengangkat salah satu bayi, yang memekik kegirangan. “Benar, Nak, Ayah sekarang sibuk sama dua jagoan kecil ini. Kamu harus bantu Mama, ya?”Alleta mengangguk dengan wajah ceria, lalu melompat-lompat di tempat. “Iya, Pa. Nanti aku belajar cara mengganti popok juga!”Viona tertawa sambil menggelengkan kepala. "Kau kakak yang baik untuk kedua adikmu, Alleta.”Alleta mengecup pipi ibunya, bahagia mendapatkan pujiannya.Salah satu bayi menoleh ke arah Mark dan berseru, “Ayah!” sambil meraih wajahnya dengan tangan mungilnya. Yang satunya tidak mau kalah dan berseru, “Ibu!” dengan
Satu tahun kemudian …."Ayah, lihat boneka Letta!" seru Alleta dengan suara riang, mengangkat boneka Barbie bergaun merah berkilauan. Matanya berbinar-binar, pipinya memerah karena kegirangan.Mark menunduk, mengangkat Alleta ke pangkuannya. "Siapa yang memberikan ini, hm?" tanyanya sambil tersenyum lebar."Kakek Alex!" jawab Alleta antusias, memeluk boneka itu erat. "Kata Kakek, ini spesial!""Spesial sekali, ya? Kamu harus bilang terima kasih sama Kakek Alex," ujar Mark, mengusap rambut anak perempuannya yang lebat dan hitam.Alleta bangkit dari pangkuan Mark berjalan cepat mengecup pipi Alex, "Thank you, grand Pa!" celoteh Alleta dengan suara cerianya.Alex, yang duduk di sofa bersebelahan dengan Viona, hanya terkekeh. "Anak ini benar-benar tahu bagaimana mencuri hati seorang kakek," katanya sambil mengangguk puas."Ayah saja yang terlalu memanjakannya." goda Viona sambil membawa nampan berisi minuman hangat. Bayi mungil mereka kini sedang aktif-aktifnya. Namanya Alleta, ceria dan
Mark terbangun dengan mata yang terasa berat. Ia melihat ke sekeliling kamar dengan bingung, suara tangisan bayi membelah keheningan malam. Pukul tiga pagi, pikirnya sambil mengusap wajah yang lelah."Viona?" panggilnya pelan, tapi tidak ada jawaban. Ia berbalik, menemukan sisi ranjang Viona kosong.Mark bergegas keluar kamar, menuju suara tangisan itu. Di ruang bayi, ia melihat Viona dengan sabar menggendong bayi mereka, menepuk-nepuk punggungnya yang mungil dengan lembut."Kenapa kau tidak membangunkanku?" tanya Mark, suaranya serak.Viona menoleh dengan senyum lelah tapi lembut. "Kau sudah terlalu capek, Mark. Biar aku yang mengurusnya.""Tidak, ini juga tanggung jawabku," kata Mark tegas, lalu mendekat untuk mengambil bayi mereka. Namun begitu bayi itu berpindah ke pelukannya, tangisannya malah semakin kencang."Kenapa dia makin menangis? Aku sudah pegang dengan benar, kan?" tanya Mark panik, mengayun-ayunkan bayi mereka dengan canggung.Suara melengking yang memekakkan telinga b
Viona merasakan kontraksi yang begitu kuat saat sedang duduk di sofa. Tiba-tiba, aliran hangat merembes ke bawah, membuatnya panik."Mark!" panggilnya dengan suara gemetar. "Air ketubanku pecah!"Mark, yang sedang membaca laporan di ruang kerjanya, langsung berlari ke ruang tamu dengan wajah panik. "Apa? Pecah? Apa yang harus kita lakukan?!" Serangkaian pertanyaan meluncur tanpa henti dari mulutnya.Mark mendekat namun tak tahu harus apa. Rasa panik menguasai pikirannya. "Bagaimana ini?" Sakitkah?" Pertanyaan konyol Mark malah keluar melihat wajah puas istrinya yang kembali merasakan kontraksi."Rumah sakit, Mark! Kita harus segera ke rumah sakit!" kata Viona, mencoba tetap tenang meski rasa sakit mulai menusuk.Mark mengangguk, lalu berlari ke sana kemari, mengambil kunci mobil, tas bayi, dan bahkan jas kerjanya."Di mana kunci mobil? Ah, ini! Tas? Apa kita butuh pakaian? Kenapa pakaianku yang kubawa? Ya Tuhan, aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan!"Viona tersenyum lemah
Di sebuah toko perlengkapan bayi yang megah, Mark dan Viona sibuk memilih barang untuk menyambut kelahiran buah hati mereka.Usia kehamilan Viona sudah menginjak sembilan bulan, dan pasangan itu tengah dipenuhi suka cita.Mereka sengaja tidak mengetahui jenis kelamin bayi mereka, berharap mendapatkan kejutan yang manis saat kelahiran tiba.Mark memegang sepasang sepatu bayi mungil berwarna putih di tangannya. Ia memandangi sepatu itu dengan tatapan penuh rasa bangga. "Bagaimana menurutmu? Sepatu ini sempurna, bukan?"Viona yang sedang memeriksa selimut bayi bermotif bunga menoleh, alisnya terangkat. "Putih lagi, Mark? Kita sudah punya lebih dari cukup barang putih. Haruskan semuanya berwarna polos?""Putih itu elegan dan netral," Mark menjawab sambil mengangkat bahu, senyumnya lebar. "Lagipula, kita tidak tahu jenis kelamin bayi. Putih adalah pilihan yang paling aman."Viona menghela napas panjang, meletakkan selimut yang sedang ia periksa. "Mark, bayi kita juga butuh warna! Hidup itu
Mark sedang berdiri di depan jendela besar kantornya. Langit mendung di luar, menggambarkan suasana kota yang penuh hiruk-pikuk.Ia memutar gelas kopi di tangannya, pikirannya melayang. Suara ketukan pintu memecah lamunannya."Masuk," katanya tegas, tanpa menoleh.Ben, sekretaris pribadinya, masuk dengan langkah hati-hati. Wajahnya tampak lebih serius dari biasanya.“Tuan Mark, ada kabar penting yang perlu Anda ketahui,” ucap Ben dengan nada pelan tapi jelas. Ben tampak ragu namun ia harus melakukan ini.Mark mengangkat alis dan memutar tubuhnya, menatap Ben dengan ekspresi datar. “Apa itu, Ben?”Ben menelan ludah, seolah mencari cara terbaik untuk menyampaikan berita tersebut. “Tuan saya tahu anda tidak mau mendengar laporan tentang nona Stella, namun kali ini anda harus mendengarkan. Stella … dia sudah tiada.”Mark mengerutkan kening, matanya menyipit. “Maksudmu … sudah tiada? Jelaskan, Ben.”Ben menarik napas dalam sebelum melanjutkan. “Kondisinya semakin memburuk di rumah sakit te
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar di ruang tamu. Viona sedang merapikan bunga di vas ketika bel pintu berbunyi.Ia berjalan menuju pintu dan membuka perlahan, menatap sosok yang sudah familiar berdiri di depan rumah.“Ayah,” sapanya lembut. Senyum kecil menghiasi wajahnya.Alex lega melihat senyum segar Viona. Mereka berdua berpelukan dan Viona mengajak masuk mertuanya itu.Alex, dengan jas abu-abu yang rapi, mengangguk singkat. “Pagi, Viona. Maaf datang tanpa memberi tahu. Aku sengaja datang untuk melihat keadaanmu."“Tidak perlu memberi tahu juga tidak masalah, Ayah. Silakan masuk. Aku akan menyiapkan teh hijau kesukaanmu," senyum akrab keduanya bagai ayah dan anak. Viona mempersilahkan ayah mertuanya itu duduk di sofa.Alex melangkah masuk, memperhatikan interior rumah yang terasa hangat dan nyaman. Bahagia melihat keadaan menantunya yang sehat. Ia duduk di sofa, sementara Viona menuangkan teh hangat untuknya.“Ada sesuatu yang ingin Ayah bicarakan?” Viona bertanya, d
Pintu rumah megah itu terbuka dengan suara klik lembut, memperlihatkan sosok Mark yang baru saja pulang.Jas hitamnya masih rapi, meskipun ekspresi wajahnya terlihat tegang. Ia meletakkan tas kerjanya di meja ruang tamu tanpa berkata apa-apa.“Mark,” suara Viona yang lembut menyambutnya dari sofa. Wanita itu menoleh dari dokumen yang sedang ia baca, wajahnya menyiratkan kekhawatiran.Mark mengangguk singkat. “Ada apa?” tanyanya dengan nada datar, meskipun matanya sedikit melunak saat melihat Viona.Hati Mark perih melihat istrinya yang hamil dan selama ini ia acuhkan. Viona mendekat dan debar kerinduan Mark membuncah melihat wajah cantik penuh kesabaran Viona.Viona menatapnya ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara, memilih kata-katanya dengan hati-hati.“Mila meneleponku tadi siang. Dia … memarahiku, katanya semua ini salahku karena aku yang membuat putrinya kesusahan dan sakit. Jujur Mark, apa benar kau menutup akses Stella di rumah sakitmu?”Mark menghela napas berat, kemudian dud
Langit pagi yang cerah terasa kontras dengan suasana hati Mila yang kacau balau.Stella terbaring lemah di ruang perawatan sebuah rumah sakit biasa, jauh dari kenyamanan fasilitas rumah sakit mewah milik Mark. Nafas Stella masih berat, namun kondisinya perlahan stabil.Ranjang kecil dengan kasur yang tidak nyaman jauh dari kata mewah seperti yang biasa Milla terima dari rumah sakit sebelumnya.Mila sedih menatap putrinya berjajar dalam ruangan besar bersama pasien lain yang entah sakit apa.Tirai untuk privasi ruangan pasien memang mampu menutup tubuh putrinya agar tidak terlihat pasien lain tetapi malah membuat ia sangat kegerahan.Apalagi kamar mandi yang digunakan juga bersama. Mila tidak yakin keadaan putrinya membaik dengan segala fasilitas minim yang ia lihat saat ini.Mila sampai tidak bisa menyembunyikan kemarahan dan frustasinya. Ia menggenggam erat ponselnya, mencoba menghubungi Mark lagi untuk yang kesekian kalinya, tetapi tidak ada jawaban. Mila tahu Mark dengan sengaja me