Koridor di lantai delapan Miracle Group tampak sibuk pagi itu. Karyawan berseliweran dengan dokumen di tangan, langkah kaki mereka terdengar cepat di atas lantai keramik yang mengilap. Di sudut pantry, Anna sedang menggenggam secangkir kopi sambil bercakap-cakap dengan Abel, sepupunya. âLu tau nggak, Bel? Gue hampir aja dimarahin Bu Melani gara-gara laporan yang lu suruh revisi,â keluh Anna, matanya memicing ke arah Abel yang hanya tersenyum tipis. âLu aja yang pelupa, Ann. Gue udah bilang hari Jumat kemarin, tapi lu malah sibuk nonton drama Korea di meja lu,â balas Abel santai sambil mengangkat bahu. Anna mendesah, mengangkat cangkir kopinya. âOke, salah gue. Tapi serius, kalau Bu Melani ngomel lagi, gue bisa stres!â Abel tertawa kecil, namun sebelum sempat menjawab, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari ujung koridor. âPermisi,â suara tegas seorang pria membuat Anna dan Abel menoleh. Eric Williams melangkah cepat ke arah mereka, mengenakan setelan jas abu-abu gelap
Langit Jakarta mulai meredup saat Anna melangkah keluar dari lobi Miracle Group. Rasa lelah setelah seharian bekerja membuatnya ingin segera pulang dan beristirahat di rumah. Ia meraih ponsel untuk memesan taksi online, namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara yang sangat familiar memanggil namanya. âAnnalie!âAnna mendongak, dan senyumnya langsung merekah saat melihat sosok Khalif berdiri di dekatnya. Kakak sepupunya itu tampak santai dengan kemeja putih dan celana bahan hitam, tetapi seperti biasa, kehadirannya memancarkan aura yang menarik perhatian.Bagaimana tidak, rambut kemerahan dan warna mata hijaunya sangat memukau. Belum lagi badan tingginya dan rambut yang tata rapi itu.âKak Khalif!â serunya, langsung berlari kecil ke arahnya. Tanpa ragu, ia memeluk Khalif erat.Khalif tertawa kecil sambil membalas pelukan itu. âSantai dong, Na. Kangen banget ya?âAnna tertawa, matanya berbinar. âAku selalu kangen sama Kak Khalif! Ngapain di sini? Nggak bilang-bilang dulu.ââYa
âAnna, gimana rasanya akhirnya ketemu calon suami setelah sekian tahun berlalu?â tanyanya sambil menyeringai jahil. Semua orang di meja tertawa kecil, kecuali Anna yang langsung melotot malu ke arah Khalif. âKak Khalif, siapa juga yang bilang kayak gitu?â protes Anna, mencoba terdengar tegas, meskipun wajahnya sudah memerah seperti tomat.Khalif hanya mengangkat bahunya santai. âYah, waktu kamu kecil, kamu bilang mau nikah sama Eric. Gak mau balik ke Indonesia. Maunya di nikahi sama Khalif. Kalau dulu masih bayi, jadi gak boleh! Kalau sekarang kamu âkan udah dewasa, Eric juga udah sanggup menafkahi kamu. Umur kalian cocok,â lanjut Khalif dengan nada bercanda, membuat semua orang di meja makan terhibur.Sera dan Kai yang duduk di ujung meja ikut tertawa, meskipun mereka tidak berkata apa-apa. Mereka tampak menikmati momen itu, terutama melihat Khalif yang begitu riang menggoda adiknya. Leon, si bungsu, hanya menatap bingung sambil menggigit ayam di piringnya. âCalon suami? Kok aku n
Anna terduduk di salah satu sudut teras rumahnya, memandangi bintang-bintang yang berkerlip di langit malam. Angin lembut menerpa wajahnya, membawa aroma wangi dari taman kecil yang tertata rapi di sekitarnya. Ia menghirup udara malam dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang dipenuhi oleh berbagai ingatan yang kini mulai terhubung. Eric. Nama itu terngiang-ngiang di benaknya. Ia tidak menyangka pria tampan yang kini sering membuatnya merasa gugup adalah teman masa kecilnya. Memori itu memang kabur, tapi ada sesuatu yang membuat Eric terasa familiar. Cara Eric tersenyum, cara matanya menatapnya, semua itu perlahan-lahan membangunkan ingatan-ingatan lama yang sempat terkubur oleh waktu.âNgapain sendiri di sini, Kak?â suara Leon tiba-tiba memecah keheningan. Anna menoleh dan melihat adiknya. Leon, yang kini duduk di sebelahnya, membawa serta minuman dingin di tangannya. Sejak Raiden memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Inggris, Leon jadi lebih sering mengikuti Anna. Jika
Di ruang kerja Kai yang hangat dan beraroma kayu, Khalif duduk berhadapan dengan pamannya. Secangkir kopi hangat berada di hadapannya, tetapi tidak banyak disentuh.Matanya memandang keluar jendela besar yang memberikan pemandangan kebun belakang rumah Kai. Ada keraguan di wajahnya, tetapi ia tahu pembicaraan ini perlu dilakukan. Kai, yang tengah memeriksa laporan di laptopnya, mendongak dan menatap Khalif dengan tatapan penuh perhatian. âApa yang ingin kamu bicarakan, Khal? Dari tadi kamu kelihatan gelisah.â Khalif menghela napas panjang sebelum menatap Kai dengan serius. âOm, menurut Om Eric gimana?âKai berhenti dari aktifitasnya dan sekarang menatap Khalif dalam. âGimana dalam konteks apa, Khal?ââPernyataan suka Eric ke Anna kemarin, gak main-main, Om. Sebagai temen, aku pengen tahu tanggapan Om tentang Eric.â Kai menyandarkan punggungnya pada kursi. âSejujurnya, ada yang mengganggu pikiran Om, Khal. Keluarga Williams itu bukannya cukup terpandang di Inggris? Om masih sanga
Pagi itu, Anna turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah, menandakan ia baru saja selesai mandi terburu-buru. Ketika memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti saat melihat Khalif sedang berbincang akrab dengan Eric. Eric duduk santai di sofa dengan segelas kopi di tangannya. Khalif, yang duduk di sebelahnya, terlihat santai namun mata jenakanya langsung menangkap kehadiran Anna. âSelamat pagi, Ann,â sapa Khalif dengan senyum lebar. âLo mau berangkat? Udah jam berapa nih? Kalau nggak berangkat sekarang, nanti telat loh.â Anna mengerutkan kening, bingung. âIya, tapi masih nunggu Abel, Kak.â Khalif berdiri, menepuk bahu Eric dengan nada penuh kelakar. âBerangkat sama Eric aja, Ann. Kalian kan satu kantor. Jadi kalian bisa barengan.â Eric memandang ragu Khalif, âGue kira Anna setiap pagi berangkat dengan Om Kai?â Khalif tertawa kecil, âGue kira juga gitu awalnya, tapi nggak ada yang tahu Anna itu anak Om Kai. Selama ini dia terus-terusan berangkat bareng sama
Anna berdiri di depan lobi kantor, tangan memegang ponsel sambil menunggu mobil jemputannya datang. Sore itu, gedung sudah mulai lengang, sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor. Ia sengaja ingin pulang sendiri hari ini, ingin menikmati waktu tanpa terlalu banyak interaksi. Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang akrab. âAnn,â panggil seseorang dari belakang. Anna menoleh dan melihat Eric berdiri tak jauh darinya. Pria itu tampak rapi seperti biasa, dengan dasi yang sedikit longgar dan jaket di lengannya. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun matanya tampak lelah. âKamu belum pulang?â tanya Eric sambil mendekat. Anna mengangguk kecil. âIya, lagi nunggu mobil. Bapak nggak lembur?â Eric menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, menatap Anna dengan tenang. âSaya pulang lebih awal hari ini. Mau makan di luar, tapi rasanya nggak enak makan sendiri. Mau menemani saya?â Anna terkejut dengan tawaran itu. âMakan? Kenapa nggak ajak Kak Khalif aja? Dia kayakn
Eric membuka pintu apartemennya dan disambut oleh suasana yang sunyi. Apartemen itu kecil, hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, dan balkon kecil yang menghadap ke hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski ukurannya tak sebanding dengan rumah-rumah besar yang pernah ia tinggali di Inggris, Eric telah berusaha menyulap ruang sederhana ini menjadi tempat yang nyaman. Langkahnya membawa Eric ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air dingin, lalu menuangnya ke dalam gelas. Pandangannya sesaat tertuju pada meja makan kecil di sudut dapur yang sering ia gunakan untuk membaca atau bekerja. Tapi malam ini, meja itu terasa kosong, seperti mencerminkan perasaannya yang sama. Eric berjalan ke ruang tengah, meletakkan gelas airnya di atas meja kopi. Ia merosot ke sofa, melemparkan dasinya ke sandaran kursi. "Hidup di sini memang berbeda," gumamnya, menatap langit-langit. Di Inggris, ia tinggal di rumah yang luas dengan
Langit biru cerah diiringi sinar matahari yang hangat menyinari taman besar tempat pernikahan Anna dan Eric berlangsung. Di tengah suasana yang dipenuhi tawa dan kebahagiaan, keluarga dan sahabat berkumpul untuk merayakan awal baru bagi dua hati yang akhirnya bersatu. Anna tampak anggun dalam gaun putih yang sederhana namun memikat, rambutnya ditata rapi dengan aksen bunga kecil. Eric, dengan setelan jas hitamnya, berdiri di samping Anna dengan senyum yang tidak pernah lepas sejak prosesi dimulai. Sera, dengan Kai di sampingnya, memandangi putri sulung mereka dengan mata berkaca-kaca. Dua anak laki-laki mereka, Raiden dan Leon, tampak gagah dalam setelan formal mereka. Leon bahkan sempat bercanda dengan Anna sebelum prosesi dimulai, mengingatkan kakaknya untuk tetap ceria di hari bahagianya. âRaiden, Leon, kalian akan menjaga Mama dan Papa âkan kalau Kak Anna sudah menikah,â ujar Sera dengan suara lembut. âTenang aja, Ma,â jawab Leon sambil tersenyum lebar, sementara Raiden
Restoran kecil di pinggir kota itu dipenuhi dengan suasana yang hangat dan tenang. Cahaya lilin di setiap meja memantulkan bayangan lembut pada dinding bata ekspos. Anna duduk di meja pojok, matanya memperhatikan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman kecil di luar. Eric, dengan kemeja putih sederhana, duduk di depannya. Ada ketegangan yang tak biasa di wajahnya, meskipun senyumnya tetap menghiasi bibir.âBang Eric serius pilih tempat ini?â tanya Anna sambil tersenyum. âAku pikir kamu bakal pilih restoran mewah atau semacamnya.âEric mengusap belakang lehernya, tampak gugup. âSaya hanya ingin suasananya nyaman. Lagipula, Saya ingin lebih fokus dengan kamu, bukan dengan tempatnya.âAnna tersenyum lebih lebar. Dia selalu menyukai sisi Eric yang apa adanya.âJadi gimana hari ini? Suka di antar Papa?ââAntara suka dan gak suka.ââKenapa?ââSuka karena akhirnya gak ada yang berani ngomongin dan gak suka karena aku masih ingin ngeliat betapa irinya orang dengan hidup orang lain. Kay
Anna berdiri di depan lobi kantor, menunggu mobil jemputannya seperti biasa. Sore itu, ia mengenakan blazer pastel yang membalut tubuhnya dengan rapi, rambutnya tergerai lembut. Namun, lamunannya terhenti ketika mendengar suara yang familiar. âAnn!â Ia menoleh dan melihat Eric melambaikan tangan dari mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu lobi. Tanpa ragu, Anna berjalan mendekat. âMasuk, saya antar,â ajak Eric sambil membuka pintu penumpang untuknya. Anna, yang belakangan merasa semakin nyaman dengan Eric, kali ini tidak menolak. Ia tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil, merasa hangat dengan perhatian pria itu. Namun, tanpa mereka sadari, beberapa orang yang berdiri di dekat pintu mulai berbisik-bisik. âAnak itu beneran murahan ya, tiap hari sama cowok beda-beda,â gumam salah satu dari mereka. Kai, yang kebetulan sedang menunggu Sera di lobi kantor, mendengar celaan itu. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah sekelompok orang tersebut. âPantas saja dia dekat s
Malam itu, kediaman keluarga Adnan tampak hidup dengan cahaya lampu-lampu kristal yang memantul indah di dinding-dinding mewah. Mischa berdiri di depan pintu masuk dengan gaun panjang yang membungkus tubuhnya. Udara malam di Jakarta memang tidak sedingin Inggris, namun rasa dingin di hatinya masih terasa menyesakkan.Eric berdiri di sampingnya, menatap adiknya dengan pandangan lembut. âKita masuk, Mischa. Kamu nggak perlu takut,â ucap Eric sambil menyentuh bahunya ringan.Mischa menarik napas panjang. Ia mengangguk pelan, melangkahkan kakinya memasuki rumah besar itu. Interior megah di dalam mengingatkannya pada rumah masa kecil mereka di Inggris. Sebuah tempat yang pernah penuh tawa sebelum semuanya berubah menjadi kehancuran. Bayangan masa lalu melintas cepat di benaknya, membuat dadanya terasa sesak.Eric tampaknya menangkap kegelisahan itu. Ia menoleh ke adiknya, menatapnya dengan penuh perhatian. âKamu baik-baik aja, Mish?â tanyanya pelan.Mischa menatap Eric dan memaksakan sen
Malam itu, di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, Mischa duduk sambil mencuri dengar percakapan Eric di telepon. Sebagai adik kandung Eric, Mischa selalu punya kebiasaan memperhatikan tingkah kakaknya, dan malam ini tak ada bedanya. Eric, dengan kopi di tangan, terlihat santai, tapi sorot matanya menunjukkan senyum lebar yang jarang terlihat.âAnna, saya cuma ingin memastikan kamu tahu,â kata Eric sambil tersenyum kecil. âSaya serius soal ini. Saya nggak main-main.âMischa mengernyitkan dahi, mencoba mencerna maksud kata-kata Eric. Telepon itu berlangsung beberapa menit lagi sebelum akhirnya Eric meletakkan ponselnya di meja dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.âJadi,â kata Mischa akhirnya, memecah keheningan. âApa ini Anna yang sama dengan Anna sepupu Khalif?âEric menatap adiknya dengan ekspresi tak terduga. âKamu nguping, ya?âMischa mengangkat bahu santai. âNggak perlu nguping. Kamu terlalu jelas kalau lagi ngobrol soal dia. Kamu benar-benar suka sama Anna? Annalie A
Pagi itu, Anna berjalan dengan langkah cepat menuju pantry kantor. Matanya sedikit mengantuk karena malam sebelumnya ia terjaga hingga larut, menyelesaikan laporan magangnya. Setelah menuangkan kopi ke dalam gelas, ia berdiri di dekat jendela, menikmati pemandangan kota Jakarta yang sibuk. "Ann!" suara ceria Erica membuyarkan lamunannya. Anna menoleh, melihat sahabatnya itu berjalan ke arahnya dengan senyum lebar, membawa setumpuk dokumen di tangannya. âPagi,â sapa Anna sambil menyeruput kopinya. âLo sibuk banget kayaknya?â âBanget!â jawab Erica sambil menaruh dokumen-dokumen itu di meja dekat pantry. âKepala Divisi lagi cuti, jadi semua tugasnya dilempar ke bawah. Gue pusing banget, Ann.â Anna menaikkan alisnya. âKepala Divisi? Pak Eric?â âIya, siapa lagi?â Erica menghela napas panjang sambil membuka kotak bekalnya. âDia udah izin cuti seminggu, tapi nggak bilang mau ke mana. Katanya sih, urusan pribadi.âAnna terdiam, gelas kopinya berhenti di tengah jalan menuju bibirny
Eric membuka pintu apartemennya dan disambut oleh suasana yang sunyi. Apartemen itu kecil, hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, dan balkon kecil yang menghadap ke hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski ukurannya tak sebanding dengan rumah-rumah besar yang pernah ia tinggali di Inggris, Eric telah berusaha menyulap ruang sederhana ini menjadi tempat yang nyaman. Langkahnya membawa Eric ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air dingin, lalu menuangnya ke dalam gelas. Pandangannya sesaat tertuju pada meja makan kecil di sudut dapur yang sering ia gunakan untuk membaca atau bekerja. Tapi malam ini, meja itu terasa kosong, seperti mencerminkan perasaannya yang sama. Eric berjalan ke ruang tengah, meletakkan gelas airnya di atas meja kopi. Ia merosot ke sofa, melemparkan dasinya ke sandaran kursi. "Hidup di sini memang berbeda," gumamnya, menatap langit-langit. Di Inggris, ia tinggal di rumah yang luas dengan
Anna berdiri di depan lobi kantor, tangan memegang ponsel sambil menunggu mobil jemputannya datang. Sore itu, gedung sudah mulai lengang, sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor. Ia sengaja ingin pulang sendiri hari ini, ingin menikmati waktu tanpa terlalu banyak interaksi. Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang akrab. âAnn,â panggil seseorang dari belakang. Anna menoleh dan melihat Eric berdiri tak jauh darinya. Pria itu tampak rapi seperti biasa, dengan dasi yang sedikit longgar dan jaket di lengannya. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun matanya tampak lelah. âKamu belum pulang?â tanya Eric sambil mendekat. Anna mengangguk kecil. âIya, lagi nunggu mobil. Bapak nggak lembur?â Eric menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, menatap Anna dengan tenang. âSaya pulang lebih awal hari ini. Mau makan di luar, tapi rasanya nggak enak makan sendiri. Mau menemani saya?â Anna terkejut dengan tawaran itu. âMakan? Kenapa nggak ajak Kak Khalif aja? Dia kayakn
Pagi itu, Anna turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah, menandakan ia baru saja selesai mandi terburu-buru. Ketika memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti saat melihat Khalif sedang berbincang akrab dengan Eric. Eric duduk santai di sofa dengan segelas kopi di tangannya. Khalif, yang duduk di sebelahnya, terlihat santai namun mata jenakanya langsung menangkap kehadiran Anna. âSelamat pagi, Ann,â sapa Khalif dengan senyum lebar. âLo mau berangkat? Udah jam berapa nih? Kalau nggak berangkat sekarang, nanti telat loh.â Anna mengerutkan kening, bingung. âIya, tapi masih nunggu Abel, Kak.â Khalif berdiri, menepuk bahu Eric dengan nada penuh kelakar. âBerangkat sama Eric aja, Ann. Kalian kan satu kantor. Jadi kalian bisa barengan.â Eric memandang ragu Khalif, âGue kira Anna setiap pagi berangkat dengan Om Kai?â Khalif tertawa kecil, âGue kira juga gitu awalnya, tapi nggak ada yang tahu Anna itu anak Om Kai. Selama ini dia terus-terusan berangkat bareng sama