Pagi itu, Anna turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah, menandakan ia baru saja selesai mandi terburu-buru. Ketika memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti saat melihat Khalif sedang berbincang akrab dengan Eric. Eric duduk santai di sofa dengan segelas kopi di tangannya. Khalif, yang duduk di sebelahnya, terlihat santai namun mata jenakanya langsung menangkap kehadiran Anna. “Selamat pagi, Ann,” sapa Khalif dengan senyum lebar. “Lo mau berangkat? Udah jam berapa nih? Kalau nggak berangkat sekarang, nanti telat loh.” Anna mengerutkan kening, bingung. “Iya, tapi masih nunggu Abel, Kak.” Khalif berdiri, menepuk bahu Eric dengan nada penuh kelakar. “Berangkat sama Eric aja, Ann. Kalian kan satu kantor. Jadi kalian bisa barengan.” Eric memandang ragu Khalif, “Gue kira Anna setiap pagi berangkat dengan Om Kai?” Khalif tertawa kecil, “Gue kira juga gitu awalnya, tapi nggak ada yang tahu Anna itu anak Om Kai. Selama ini dia terus-terusan berangkat bareng sama
Anna berdiri di depan lobi kantor, tangan memegang ponsel sambil menunggu mobil jemputannya datang. Sore itu, gedung sudah mulai lengang, sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor. Ia sengaja ingin pulang sendiri hari ini, ingin menikmati waktu tanpa terlalu banyak interaksi. Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang akrab. “Ann,” panggil seseorang dari belakang. Anna menoleh dan melihat Eric berdiri tak jauh darinya. Pria itu tampak rapi seperti biasa, dengan dasi yang sedikit longgar dan jaket di lengannya. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun matanya tampak lelah. “Kamu belum pulang?” tanya Eric sambil mendekat. Anna mengangguk kecil. “Iya, lagi nunggu mobil. Bapak nggak lembur?” Eric menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, menatap Anna dengan tenang. “Saya pulang lebih awal hari ini. Mau makan di luar, tapi rasanya nggak enak makan sendiri. Mau menemani saya?” Anna terkejut dengan tawaran itu. “Makan? Kenapa nggak ajak Kak Khalif aja? Dia kayakn
Eric membuka pintu apartemennya dan disambut oleh suasana yang sunyi. Apartemen itu kecil, hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, dan balkon kecil yang menghadap ke hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski ukurannya tak sebanding dengan rumah-rumah besar yang pernah ia tinggali di Inggris, Eric telah berusaha menyulap ruang sederhana ini menjadi tempat yang nyaman. Langkahnya membawa Eric ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air dingin, lalu menuangnya ke dalam gelas. Pandangannya sesaat tertuju pada meja makan kecil di sudut dapur yang sering ia gunakan untuk membaca atau bekerja. Tapi malam ini, meja itu terasa kosong, seperti mencerminkan perasaannya yang sama. Eric berjalan ke ruang tengah, meletakkan gelas airnya di atas meja kopi. Ia merosot ke sofa, melemparkan dasinya ke sandaran kursi. "Hidup di sini memang berbeda," gumamnya, menatap langit-langit. Di Inggris, ia tinggal di rumah yang luas dengan
“Aahh….” Lenguhan panjang mengisi ruangan dengan kasur berukuran king size.Entah berapa kali, suara itu kembali lolos dari bibir mungil Seraphina Estella–membuat suasana kamar president suite itu terasa panas.“Hentikan. Ada yang aneh….” ucap Sera kala merasakan sesuatu yang lebih aneh terasa di pusat tubuhnya. Seperti buang air kecil?Mata Sera juga terpejam sambil menggigit bibir bawahnya ketika bagian inti tubuhnya merasakan kedutan luar biasa yang tak pernah ia rasakan selama dua puluh dua tahun hidupnya. Tetapi, itu justru menambah gairah pria bertubuh atletis yang kini berada di atasnya.Pria itu tidak lagi bisa menahan dirinya–menambah tempo permainan. Aroma mawar yang menguar di leher Sera juga membuat pria dengan dada bidang itu mencium bertubi-tubi hingga meninggalkan jejak kemerahan yang kentara.“Akh….” Sera menjerit.Lagi-lagi, ia tak mengerti dengan tubuhnya sendiri yang bahkan menyerah pada gelombang kenikmatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Terus begitu, hi
Hanya saja, Ibu Sera memiliki berbagai macam cara untuk “melindungi” sang putri.Jadi di sinilah Sera sekarang. Dalam balutan gaun bertabur swarovski, ia semakin berkilau dan paling mencolok di antara seluruh tamu yang datang di gedung mewah bernuansa putih itu.Beberapa orang menatapnya dan Kai, kagum. Bahkan, ada yang menganggap ini adalah pernikahan impian. Sayangnya tak ada yang tahu, bahwa Sera dan Kai menikah dalam keadaan hati yang kacau."Kepada pengantin yang baru saja resmi menjadi suami istri, dipersilahkan untuk memasangkan cincin satu sama lain."Intonasi dan nada bicara khas seorang pewara memberikan instruksi pada Sera dan Kai. Dapat Sera rasakan tangan Kai begitu dingin saat memasangkannya.Hanya saja, ada yang aneh kala Sera gantian memasangkan cincin itu di jari Kai."Kok longgar gini, Om. Perasaan kemarin udah pas," bisik Sera. Namun, pria tampan itu hanya mendongak sedikit dan menatapnya tajam, tanpa menjawab apapun.Sera terkesiap.Mungkinkah Kai membencinya?
"Ini urusan kerja, Sera. Bahkan, sudah terjadwal sebelum adanya rencana pernikahan kita," jawab Kai, “Saya harap kamu mengerti.”"Tapi–”“Visa kamu sudah diurus. Jadi, kamu bisa menyusul. Gak masalah, kan?" jelas Kai yang begitu tenang. Sera membuang nafas panjang.Jiwa mudanya tidak bisa menelan mentah-mentah alasan Kai yang mendadak baginya. Bukankah dia bisa mengabarkan sebelumnya?Tapi, apa yang bisa Sera lakukan selain menerima itu semua?“Om mau aku bantuin siap-siap gak?” tanya Sera yang tiba-tiba memiliki ide acak untuk bisa menyiapkan pakaian Kai selama di Amerika. Entah dari mana munculnya perasaan ingin melayani Kai itu.“Gak perlu. Aku akan beli semua di sana.”Muka Sera kembali masam. Bibirnya kini bahkan mengerucut sempurna karena niat baiknya ditolak mentah-mentah.Apa perannya sebagai istri hanya sebatas di ranjang untuk Kai?Namun, Sera hanya menahan semua dalam hati.Dia tak ingin jadi istri yang merepotkan untuk Kai.Sudah cukup dengan pernikahan mendadak mereka
"Sayang, sini," panggilnya pada Sera, "Kenalin, temannya Kai. Lana, she is Sera. My cute in-law.” Ya. Diani yang menjawab siapa Sera.Bukan Kai.Saat Sera berjabat tangan dengan wanita yang lebih tinggi darinya itu, ia hanya bisa tersenyum kikuk. Jujur, ia masih terkejut dengan interaksi Diani dan Lana yang tak sungkan mempertontonkan kedekatan mereka. "Lana.”Sera mengangguk. Keduanya tampak kikuk dan tak bisa merespon banyak.“Ya udah, kita sambil jalan aja yuk,” ucap Kai yang kini sudah mengambil alih trolly dengan tumpukan koper itu.“Ayo,” ucap Diani yang kemudian kini berganti menggandeng Lana. ketiganya pun berjalan beriringan meninggalkan Sera yang mematung untuk kedua kalinya."Lana, Tante rindu denganmu." Diani memeluk Lana berulang-ulang kali. "Tante menyesal karena tidak tahu kamu akan kemari. Jika tahu, Tante sudah masak ayam kesukaanmu. Waktu kalian berkuliah di Chicago, apa kamu ingat? Kamu membawa banyak kotak makanan supaya bisa menyimpan ayam yang Tante masak.
“Jangan terlalu banyak mikirin hal-hal yang gak penting. Kalau penasaran tentang Lana, tanya ibu saja,” ucap Kai tiba-tiba, “saya keluar dulu.”Tanpa basa-basi, pria itu pun beranjak keluar begitu saja meninggalkan Sera yang diam memantung.Sebenarnya, apa yang salah? “Kira-kira kalau hamil, Mas Kai akan berubah gak ya?” monolog Sera dengan tangan yang mengusap perutnya lembut. Beberapa hari ini ia merasa mual. Jadwal menstruasinya pun mundur jauh dari tanggal seharusnya. Jadi, akhir-akhir ini ia terus mencari di internet; apakah dirinya hamil? Tapi ketika satu fakta dia temukan, fakta yang lain mengatakan berlawanan.Banyak harapan yang selalu ia rapalkan, namun nyatanya, tidak ada satu pun yang terkabul dalam pernikahan yang seumur jagung ini. Mungkinkah pernikahannya ini benar-benar sebuah kesalahan?Sayangnya, Sera tahu jika Kai demikian karena menahan nafsunya yang mendadak tinggi setelah melihat tingkah sang istri yang sungguh menggemaskan.Kai takut tak bisa mengontrol dir
Eric membuka pintu apartemennya dan disambut oleh suasana yang sunyi. Apartemen itu kecil, hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, dan balkon kecil yang menghadap ke hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski ukurannya tak sebanding dengan rumah-rumah besar yang pernah ia tinggali di Inggris, Eric telah berusaha menyulap ruang sederhana ini menjadi tempat yang nyaman. Langkahnya membawa Eric ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air dingin, lalu menuangnya ke dalam gelas. Pandangannya sesaat tertuju pada meja makan kecil di sudut dapur yang sering ia gunakan untuk membaca atau bekerja. Tapi malam ini, meja itu terasa kosong, seperti mencerminkan perasaannya yang sama. Eric berjalan ke ruang tengah, meletakkan gelas airnya di atas meja kopi. Ia merosot ke sofa, melemparkan dasinya ke sandaran kursi. "Hidup di sini memang berbeda," gumamnya, menatap langit-langit. Di Inggris, ia tinggal di rumah yang luas dengan
Anna berdiri di depan lobi kantor, tangan memegang ponsel sambil menunggu mobil jemputannya datang. Sore itu, gedung sudah mulai lengang, sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor. Ia sengaja ingin pulang sendiri hari ini, ingin menikmati waktu tanpa terlalu banyak interaksi. Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang akrab. “Ann,” panggil seseorang dari belakang. Anna menoleh dan melihat Eric berdiri tak jauh darinya. Pria itu tampak rapi seperti biasa, dengan dasi yang sedikit longgar dan jaket di lengannya. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun matanya tampak lelah. “Kamu belum pulang?” tanya Eric sambil mendekat. Anna mengangguk kecil. “Iya, lagi nunggu mobil. Bapak nggak lembur?” Eric menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, menatap Anna dengan tenang. “Saya pulang lebih awal hari ini. Mau makan di luar, tapi rasanya nggak enak makan sendiri. Mau menemani saya?” Anna terkejut dengan tawaran itu. “Makan? Kenapa nggak ajak Kak Khalif aja? Dia kayakn
Pagi itu, Anna turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah, menandakan ia baru saja selesai mandi terburu-buru. Ketika memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti saat melihat Khalif sedang berbincang akrab dengan Eric. Eric duduk santai di sofa dengan segelas kopi di tangannya. Khalif, yang duduk di sebelahnya, terlihat santai namun mata jenakanya langsung menangkap kehadiran Anna. “Selamat pagi, Ann,” sapa Khalif dengan senyum lebar. “Lo mau berangkat? Udah jam berapa nih? Kalau nggak berangkat sekarang, nanti telat loh.” Anna mengerutkan kening, bingung. “Iya, tapi masih nunggu Abel, Kak.” Khalif berdiri, menepuk bahu Eric dengan nada penuh kelakar. “Berangkat sama Eric aja, Ann. Kalian kan satu kantor. Jadi kalian bisa barengan.” Eric memandang ragu Khalif, “Gue kira Anna setiap pagi berangkat dengan Om Kai?” Khalif tertawa kecil, “Gue kira juga gitu awalnya, tapi nggak ada yang tahu Anna itu anak Om Kai. Selama ini dia terus-terusan berangkat bareng sama
Di ruang kerja Kai yang hangat dan beraroma kayu, Khalif duduk berhadapan dengan pamannya. Secangkir kopi hangat berada di hadapannya, tetapi tidak banyak disentuh.Matanya memandang keluar jendela besar yang memberikan pemandangan kebun belakang rumah Kai. Ada keraguan di wajahnya, tetapi ia tahu pembicaraan ini perlu dilakukan. Kai, yang tengah memeriksa laporan di laptopnya, mendongak dan menatap Khalif dengan tatapan penuh perhatian. “Apa yang ingin kamu bicarakan, Khal? Dari tadi kamu kelihatan gelisah.” Khalif menghela napas panjang sebelum menatap Kai dengan serius. “Om, menurut Om Eric gimana?”Kai berhenti dari aktifitasnya dan sekarang menatap Khalif dalam. “Gimana dalam konteks apa, Khal?”“Pernyataan suka Eric ke Anna kemarin, gak main-main, Om. Sebagai temen, aku pengen tahu tanggapan Om tentang Eric.” Kai menyandarkan punggungnya pada kursi. “Sejujurnya, ada yang mengganggu pikiran Om, Khal. Keluarga Williams itu bukannya cukup terpandang di Inggris? Om masih sanga
Anna terduduk di salah satu sudut teras rumahnya, memandangi bintang-bintang yang berkerlip di langit malam. Angin lembut menerpa wajahnya, membawa aroma wangi dari taman kecil yang tertata rapi di sekitarnya. Ia menghirup udara malam dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang dipenuhi oleh berbagai ingatan yang kini mulai terhubung. Eric. Nama itu terngiang-ngiang di benaknya. Ia tidak menyangka pria tampan yang kini sering membuatnya merasa gugup adalah teman masa kecilnya. Memori itu memang kabur, tapi ada sesuatu yang membuat Eric terasa familiar. Cara Eric tersenyum, cara matanya menatapnya, semua itu perlahan-lahan membangunkan ingatan-ingatan lama yang sempat terkubur oleh waktu.“Ngapain sendiri di sini, Kak?” suara Leon tiba-tiba memecah keheningan. Anna menoleh dan melihat adiknya. Leon, yang kini duduk di sebelahnya, membawa serta minuman dingin di tangannya. Sejak Raiden memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Inggris, Leon jadi lebih sering mengikuti Anna. Jika
“Anna, gimana rasanya akhirnya ketemu calon suami setelah sekian tahun berlalu?” tanyanya sambil menyeringai jahil. Semua orang di meja tertawa kecil, kecuali Anna yang langsung melotot malu ke arah Khalif. “Kak Khalif, siapa juga yang bilang kayak gitu?” protes Anna, mencoba terdengar tegas, meskipun wajahnya sudah memerah seperti tomat.Khalif hanya mengangkat bahunya santai. “Yah, waktu kamu kecil, kamu bilang mau nikah sama Eric. Gak mau balik ke Indonesia. Maunya di nikahi sama Khalif. Kalau dulu masih bayi, jadi gak boleh! Kalau sekarang kamu ‘kan udah dewasa, Eric juga udah sanggup menafkahi kamu. Umur kalian cocok,” lanjut Khalif dengan nada bercanda, membuat semua orang di meja makan terhibur.Sera dan Kai yang duduk di ujung meja ikut tertawa, meskipun mereka tidak berkata apa-apa. Mereka tampak menikmati momen itu, terutama melihat Khalif yang begitu riang menggoda adiknya. Leon, si bungsu, hanya menatap bingung sambil menggigit ayam di piringnya. “Calon suami? Kok aku n
Langit Jakarta mulai meredup saat Anna melangkah keluar dari lobi Miracle Group. Rasa lelah setelah seharian bekerja membuatnya ingin segera pulang dan beristirahat di rumah. Ia meraih ponsel untuk memesan taksi online, namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara yang sangat familiar memanggil namanya. “Annalie!”Anna mendongak, dan senyumnya langsung merekah saat melihat sosok Khalif berdiri di dekatnya. Kakak sepupunya itu tampak santai dengan kemeja putih dan celana bahan hitam, tetapi seperti biasa, kehadirannya memancarkan aura yang menarik perhatian.Bagaimana tidak, rambut kemerahan dan warna mata hijaunya sangat memukau. Belum lagi badan tingginya dan rambut yang tata rapi itu.“Kak Khalif!” serunya, langsung berlari kecil ke arahnya. Tanpa ragu, ia memeluk Khalif erat.Khalif tertawa kecil sambil membalas pelukan itu. “Santai dong, Na. Kangen banget ya?”Anna tertawa, matanya berbinar. “Aku selalu kangen sama Kak Khalif! Ngapain di sini? Nggak bilang-bilang dulu.”“Ya
Koridor di lantai delapan Miracle Group tampak sibuk pagi itu. Karyawan berseliweran dengan dokumen di tangan, langkah kaki mereka terdengar cepat di atas lantai keramik yang mengilap. Di sudut pantry, Anna sedang menggenggam secangkir kopi sambil bercakap-cakap dengan Abel, sepupunya. “Lu tau nggak, Bel? Gue hampir aja dimarahin Bu Melani gara-gara laporan yang lu suruh revisi,” keluh Anna, matanya memicing ke arah Abel yang hanya tersenyum tipis. “Lu aja yang pelupa, Ann. Gue udah bilang hari Jumat kemarin, tapi lu malah sibuk nonton drama Korea di meja lu,” balas Abel santai sambil mengangkat bahu. Anna mendesah, mengangkat cangkir kopinya. “Oke, salah gue. Tapi serius, kalau Bu Melani ngomel lagi, gue bisa stres!” Abel tertawa kecil, namun sebelum sempat menjawab, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari ujung koridor. “Permisi,” suara tegas seorang pria membuat Anna dan Abel menoleh. Eric Williams melangkah cepat ke arah mereka, mengenakan setelan jas abu-abu gelap
Sera duduk di sofa ruang tamu dengan secangkir teh hangat di tangannya. Ia menatap pintu depan dengan senyum tipis saat mendengar suara mobil suaminya yang baru saja masuk ke garasi. Tak lama, Kai masuk dengan raut lelah namun tetap tersenyum begitu melihat istrinya. “Capek, Mas?” tanya Sera lembut sambil mendekat untuk menyambutnya. Kai mengangguk sambil melepas jas kerjanya. “Lumayan. Ada beberapa perubahan di kantor yang bikin sedikit berantakan. Tadi ada pembahasan tentang direksi yang dipindahkan ke pusat.” Sera membantu Kai menyimpan tas kerjanya di meja kecil dekat sofa. “Direksi dipindahin? Siapa, Mas? Berarti Mas tambah repot dong?” Kai duduk di sofa sambil menghela napas panjang. “Iya, sementara jadi agak chaos. Yang di pindah Reno, Direktur Sumber Daya. Eh iya, Sayang, tadi aku ketemu Eric. Eric temen Khalif itu.”Sera menatapnya dengan heran. “Eric? Eric yang tinggal London itu” Kai mengangguk sambil menuang segelas air mineral dari botol di atas meja. “Iya. Ing