Abel duduk di bangku taman sekolah, jauh dari keramaian anak-anak yang sibuk bermain. Matanya tertuju pada Anna yang sedang asyik berlari-lari bersama seorang anak laki-laki. Tawanya begitu lepas, membuat Abel sejenak terpaku. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar foto kecil yang sudah mulai lusuh di tepinya. Dengan hati-hati, ia memandang gambar itu. Seolah terpanggil oleh ingatan masa lalu, pikirannya melayang pada sebuah momen beberapa tahun silam. FlashbackAbel kecil menangis tersedu-sedu di kamar tidurnya. Matanya sembab, wajahnya memerah. Lukas berdiri di samping tempat tidur, kebingungan harus melakukan apa. “Aku mau lihat Ibu,” rengek Abel sambil memeluk bantalnya erat. Lukas menghela napas panjang. Ia tahu tangis Abel ini berbeda dari biasanya, lebih menyayat hati. “Abel, Ibu nggak ada di sini...” katanya dengan lembut, meski ada kekesalan di dalam suaranya. “Aku mau lihat!” tuntut Abel dengan suara parau. Lukas akhirnya mengalah. Ia pergi ke ruang kerjan
Sera duduk di dalam mobilnya, bersandar di kursi dengan tubuh lelah. Perjalanan ke dokter kandungan tadi menyita energinya lebih banyak dari yang ia kira. Usia kandungannya sudah memasuki trimester terakhir, dan setiap gerakan kini terasa berat. Ia menyerahkan tugas menjemput Anna kepada sopirnya, memilih menunggu di mobil dengan udara dingin dari AC yang menenangkan. Sera memeriksa ponselnya, membuka beberapa pesan dari Kai yang menanyakan keberadaan dirinya. Ia tersenyum tipis membaca kekhawatiran suaminya, tapi matanya teralihkan ke arah kaca depan saat melihat sosok Anna berjalan sambil menggandeng tangan seorang anak laki-laki.Hati Sera berdegup keras saat ia mengenali wajah datar anak itu, Abel. Ia tertegun, tidak percaya bahwa anak itu kini berada begitu dekat dengannya. Tanpa sadar, tangannya gemetar saat menurunkan ponsel ke pangkuan.Ketukan kecil di kaca jendela mengejutkan Sera dari lamunannya. Anna berdiri di luar dengan senyuman lebar, menggandeng Abel yang tampak
Di atas motor, angin sore berhembus lembut, tetapi suasana di antara Nana dan Abel terasa berat. Abel yang biasanya pendiam kini berkali-kali mengulangi pertanyaan yang tak dijawab oleh Nana. “Mbak Nana! Aku tanya, kapan Mas Rafi bisa jemput aku lagi? Kapan kakinya sembuh?” Abel bertanya dengan nada sedikit kesal. Nana, yang pikirannya melayang entah ke mana, hanya bergumam. “Hmm... mungkin sebentar lagi.” Abel mendengus, merasa tak puas. “Mbak Nana nggak dengar aku ngomong dari tadi ya? Kenapa sih nggak fokus?” Nana tersentak, menyadari sikapnya. “Maaf, Abel. Mbak Nana lagi kepikiran jemuran di rumah.” “Tuh ‘kan, nggak penting!” sahut Abel dengan polosnya, meski ada nada kesal dalam suaranya. Nana tersenyum tipis. Bagaimana ia menjelaskan kepada anak kecil ini bahwa pikirannya sedang bercabang ke arah yang bahkan tidak seharusnya ia pikirkan? Sejujurnya, sejak melihat wanita di sekolah tadi, wanita yang menjemput Anna, bayangan masa lalu berkelebat di benak Nana. Wanit
"Wat wil je, Ma?" ucap Sheynina dengan nada kesal, bibir mungilnya cemberut saat melihat ibunya, Elli, berdiri dengan tangan di pinggang.Bahasa Belanda memang menjadi kesehariannya anak keduanya yang kini sudah masuk ke taman kanak-kanak. Jadi kadang Sheynina, atau akrab dipanggil Nina itu mencampur bahasanya.Elli memejamkan mata sejenak, mencoba menahan emosinya. “Nina, Mama cuma minta kamu membereskan mainanmu. Kenapa harus berdebat dulu?” Sheynina mengangkat bahu, lalu menjawab dengan nada yang sama tinggi. “Omdat ik nog niet klaar ben met spelen. Kenapa sih Ma, selalu nyuruh-nyuruh?” Raquel yang mendengar percakapan mereka dari ruang tengah segera masuk ke dalam kamar anak perempuan mereka. “Elli, sudahlah. Nina cuma anak-anak. Biarkan dia main sebentar lagi,” ucap Raquel sambil menatap Sheynina dengan senyum lembut. “Mas, jangan terus-terusan belain dia!” tukas Elli dengan nada frustrasi. “Anak ini keras kepala banget, sih! Nggak pernah mau denger apa yang aku bilang.”
Elli berbaring diam di sisi ranjang, tubuhnya diselimuti rasa hangat yang masih tersisa. Tatapannya terpaku pada wajah Raquel yang tengah menatap langit-langit, napasnya teratur, dan senyumnya tipis. Cahaya lampu kamar yang redup membuat garis wajah Raquel tampak semakin lembut, hampir seperti lukisan yang sempurna. Elli mendekat, menyandarkan kepalanya di dada Raquel, mendengar detak jantungnya yang tenang dan stabil. Padahal beberapa saat lalu, dia terlihat masih enggan dengan Raquel. Tapi sentuhan Raquel tidak pernah bisa ia tolak. Mereka pun berbagi lenguhan dan kenikmatan bersama. Hingga beberapa saat kemudian, Raquel menoleh, matanya yang hangat menangkap Elli yang kini mengamati wajahnya dengan seksama. "Apa?" tanya Raquel sambil tersenyum, tangannya perlahan terulur untuk mengusap pipi istrinya. Elli tersenyum kecil, tapi matanya menyiratkan rasa bersalah yang sulit disembunyikan. "Nggak apa-apa," bisiknya, suaranya sedikit gemetar. Namun, di dalam hatinya, perasaan itu
Di Jakarta, Sera menghela napas panjang di dalam mobilnya, menatap ke luar jendela sebelum akhirnya memutuskan untuk menjemput Anna dari sekolah. Hari itu, ia berencana mengajak putri sulungnya makan di salah satu restoran cepat saji dengan ikon ayam terkenal. Namun, semangat Anna yang biasanya ceria semakin membuncah saat ia tiba-tiba meminta izin untuk membawa Abel ikut serta. "Abel harus ikut, Mama! Dia belum pernah makan di sana," kata Anna dengan mata berbinar. Sera tersenyum, tapi hatinya sedikit ragu. Ia tahu situasi antara keluarganya dan Lukas, ayah Abel, masih terasa rumit. "Anna, kalau Abel mau ikut, dia harus pamit dulu sama Papanya, ya. Mama nggak mau nanti dibilang bawa-bawa Abel tanpa izin," ujar Sera dengan lembut, sambil menepuk kepala putrinya. Anna mengangguk dengan penuh keyakinan. "Iya, Ma! Aku akan bilang sama Abel.”Sera mengamati Anna yang berlari mendekat ke arah wanita bernama Nana dan Abel. Tak lama, wanita itu mengeluarkan ponsel dan tampak berbicara
“Tentu. Tante gak berpikir aku benar-benar lahir dari batu kan? Apa kabar Mamaku? Namanya Mama Ellinor ‘kan?”Sera menahan napas. Suara Abel begitu tenang, tetapi pertanyaannya membawa beban yang berat. Anak sekecil itu, dengan nada bicara yang begitu datar, tampak jauh lebih dewasa daripada umurnya. "Ya... Mama kamu namanya Elli," jawab Sera akhirnya, memilih untuk jujur. "Dan dia baik-baik saja." Abel mengangguk kecil, pandangannya tetap pada Sera. "Kenapa dia nggak datang? Kenapa dia nggak pernah cari aku?"Pertanyaan itu membuat Sera merasa seolah ditusuk. Darimana sebenarnya dia tahu tentang ibu kandungnya. Lukas? Jika Lukas yang membawanya pergi, kenapa dia tidak menceritakan semuanya atau mengubur semuanya sekalian? Sera menjadi posisi yang serba salah saat ini.Ia mencoba menata kata-katanya dengan hati-hati. "Mama kamu... sangat sayang sama kamu, Abel. Tapi kadang, ada situasi yang membuat orang dewasa sulit bertindak seperti yang mereka inginkan. Dia nggak pernah berhen
"Abel?" Elli mengulang, suaranya bergetar. Wajahnya di layar menunjukkan keterkejutan yang tak bisa disembunyikan. "Kamu bilang... Abel?"Sera segera mencoba menenangkan suasana. "Anna, sayang, kenapa nggak kamu temani Abel dulu? Mama lagi bicara sama Tante Elli."Namun, sebelum Anna pergi, Nana muncul di waktu yang tepat. "Abel, ayo ikut aku sebentar. Kita lihat-lihat menu yang lain." Suara Nana terdengar lembut namun tegas, dan ia menggandeng tangan Abel menuju meja pemesanan.Sera menarik napas panjang, menunggu hingga Abel cukup jauh sebelum kembali ke panggilan video. "Kak, aku bisa jelasin—"Elli menghentikan Sera dengan lambaian tangan. Air matanya sudah mengalir di pipi. "Dia Abelku, Ra? Ra… Abel... dia sama kamu?" tanyanya, suaranya terdengar serak.Sera mengangguk pelan, wajahnya penuh rasa bersalah. "Iya, Kak. Tapi ini bukan rencana aku. Aku nggak tahu dia akan muncul di hidupku seperti ini."Setelah memastikan Abel cukup jauh bersama Nana, Sera menghela napas panjang dan m
Langit biru cerah diiringi sinar matahari yang hangat menyinari taman besar tempat pernikahan Anna dan Eric berlangsung. Di tengah suasana yang dipenuhi tawa dan kebahagiaan, keluarga dan sahabat berkumpul untuk merayakan awal baru bagi dua hati yang akhirnya bersatu. Anna tampak anggun dalam gaun putih yang sederhana namun memikat, rambutnya ditata rapi dengan aksen bunga kecil. Eric, dengan setelan jas hitamnya, berdiri di samping Anna dengan senyum yang tidak pernah lepas sejak prosesi dimulai. Sera, dengan Kai di sampingnya, memandangi putri sulung mereka dengan mata berkaca-kaca. Dua anak laki-laki mereka, Raiden dan Leon, tampak gagah dalam setelan formal mereka. Leon bahkan sempat bercanda dengan Anna sebelum prosesi dimulai, mengingatkan kakaknya untuk tetap ceria di hari bahagianya. “Raiden, Leon, kalian akan menjaga Mama dan Papa ‘kan kalau Kak Anna sudah menikah,” ujar Sera dengan suara lembut. “Tenang aja, Ma,” jawab Leon sambil tersenyum lebar, sementara Raiden
Restoran kecil di pinggir kota itu dipenuhi dengan suasana yang hangat dan tenang. Cahaya lilin di setiap meja memantulkan bayangan lembut pada dinding bata ekspos. Anna duduk di meja pojok, matanya memperhatikan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman kecil di luar. Eric, dengan kemeja putih sederhana, duduk di depannya. Ada ketegangan yang tak biasa di wajahnya, meskipun senyumnya tetap menghiasi bibir.“Bang Eric serius pilih tempat ini?” tanya Anna sambil tersenyum. “Aku pikir kamu bakal pilih restoran mewah atau semacamnya.”Eric mengusap belakang lehernya, tampak gugup. “Saya hanya ingin suasananya nyaman. Lagipula, Saya ingin lebih fokus dengan kamu, bukan dengan tempatnya.”Anna tersenyum lebih lebar. Dia selalu menyukai sisi Eric yang apa adanya.“Jadi gimana hari ini? Suka di antar Papa?”“Antara suka dan gak suka.”“Kenapa?”“Suka karena akhirnya gak ada yang berani ngomongin dan gak suka karena aku masih ingin ngeliat betapa irinya orang dengan hidup orang lain. Kay
Anna berdiri di depan lobi kantor, menunggu mobil jemputannya seperti biasa. Sore itu, ia mengenakan blazer pastel yang membalut tubuhnya dengan rapi, rambutnya tergerai lembut. Namun, lamunannya terhenti ketika mendengar suara yang familiar. “Ann!” Ia menoleh dan melihat Eric melambaikan tangan dari mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu lobi. Tanpa ragu, Anna berjalan mendekat. “Masuk, saya antar,” ajak Eric sambil membuka pintu penumpang untuknya. Anna, yang belakangan merasa semakin nyaman dengan Eric, kali ini tidak menolak. Ia tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil, merasa hangat dengan perhatian pria itu. Namun, tanpa mereka sadari, beberapa orang yang berdiri di dekat pintu mulai berbisik-bisik. “Anak itu beneran murahan ya, tiap hari sama cowok beda-beda,” gumam salah satu dari mereka. Kai, yang kebetulan sedang menunggu Sera di lobi kantor, mendengar celaan itu. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah sekelompok orang tersebut. “Pantas saja dia dekat s
Malam itu, kediaman keluarga Adnan tampak hidup dengan cahaya lampu-lampu kristal yang memantul indah di dinding-dinding mewah. Mischa berdiri di depan pintu masuk dengan gaun panjang yang membungkus tubuhnya. Udara malam di Jakarta memang tidak sedingin Inggris, namun rasa dingin di hatinya masih terasa menyesakkan.Eric berdiri di sampingnya, menatap adiknya dengan pandangan lembut. “Kita masuk, Mischa. Kamu nggak perlu takut,” ucap Eric sambil menyentuh bahunya ringan.Mischa menarik napas panjang. Ia mengangguk pelan, melangkahkan kakinya memasuki rumah besar itu. Interior megah di dalam mengingatkannya pada rumah masa kecil mereka di Inggris. Sebuah tempat yang pernah penuh tawa sebelum semuanya berubah menjadi kehancuran. Bayangan masa lalu melintas cepat di benaknya, membuat dadanya terasa sesak.Eric tampaknya menangkap kegelisahan itu. Ia menoleh ke adiknya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Kamu baik-baik aja, Mish?” tanyanya pelan.Mischa menatap Eric dan memaksakan sen
Malam itu, di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, Mischa duduk sambil mencuri dengar percakapan Eric di telepon. Sebagai adik kandung Eric, Mischa selalu punya kebiasaan memperhatikan tingkah kakaknya, dan malam ini tak ada bedanya. Eric, dengan kopi di tangan, terlihat santai, tapi sorot matanya menunjukkan senyum lebar yang jarang terlihat.“Anna, saya cuma ingin memastikan kamu tahu,” kata Eric sambil tersenyum kecil. “Saya serius soal ini. Saya nggak main-main.”Mischa mengernyitkan dahi, mencoba mencerna maksud kata-kata Eric. Telepon itu berlangsung beberapa menit lagi sebelum akhirnya Eric meletakkan ponselnya di meja dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Jadi,” kata Mischa akhirnya, memecah keheningan. “Apa ini Anna yang sama dengan Anna sepupu Khalif?”Eric menatap adiknya dengan ekspresi tak terduga. “Kamu nguping, ya?”Mischa mengangkat bahu santai. “Nggak perlu nguping. Kamu terlalu jelas kalau lagi ngobrol soal dia. Kamu benar-benar suka sama Anna? Annalie A
Pagi itu, Anna berjalan dengan langkah cepat menuju pantry kantor. Matanya sedikit mengantuk karena malam sebelumnya ia terjaga hingga larut, menyelesaikan laporan magangnya. Setelah menuangkan kopi ke dalam gelas, ia berdiri di dekat jendela, menikmati pemandangan kota Jakarta yang sibuk. "Ann!" suara ceria Erica membuyarkan lamunannya. Anna menoleh, melihat sahabatnya itu berjalan ke arahnya dengan senyum lebar, membawa setumpuk dokumen di tangannya. “Pagi,” sapa Anna sambil menyeruput kopinya. “Lo sibuk banget kayaknya?” “Banget!” jawab Erica sambil menaruh dokumen-dokumen itu di meja dekat pantry. “Kepala Divisi lagi cuti, jadi semua tugasnya dilempar ke bawah. Gue pusing banget, Ann.” Anna menaikkan alisnya. “Kepala Divisi? Pak Eric?” “Iya, siapa lagi?” Erica menghela napas panjang sambil membuka kotak bekalnya. “Dia udah izin cuti seminggu, tapi nggak bilang mau ke mana. Katanya sih, urusan pribadi.”Anna terdiam, gelas kopinya berhenti di tengah jalan menuju bibirny
Eric membuka pintu apartemennya dan disambut oleh suasana yang sunyi. Apartemen itu kecil, hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, dan balkon kecil yang menghadap ke hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski ukurannya tak sebanding dengan rumah-rumah besar yang pernah ia tinggali di Inggris, Eric telah berusaha menyulap ruang sederhana ini menjadi tempat yang nyaman. Langkahnya membawa Eric ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air dingin, lalu menuangnya ke dalam gelas. Pandangannya sesaat tertuju pada meja makan kecil di sudut dapur yang sering ia gunakan untuk membaca atau bekerja. Tapi malam ini, meja itu terasa kosong, seperti mencerminkan perasaannya yang sama. Eric berjalan ke ruang tengah, meletakkan gelas airnya di atas meja kopi. Ia merosot ke sofa, melemparkan dasinya ke sandaran kursi. "Hidup di sini memang berbeda," gumamnya, menatap langit-langit. Di Inggris, ia tinggal di rumah yang luas dengan
Anna berdiri di depan lobi kantor, tangan memegang ponsel sambil menunggu mobil jemputannya datang. Sore itu, gedung sudah mulai lengang, sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor. Ia sengaja ingin pulang sendiri hari ini, ingin menikmati waktu tanpa terlalu banyak interaksi. Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang akrab. “Ann,” panggil seseorang dari belakang. Anna menoleh dan melihat Eric berdiri tak jauh darinya. Pria itu tampak rapi seperti biasa, dengan dasi yang sedikit longgar dan jaket di lengannya. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun matanya tampak lelah. “Kamu belum pulang?” tanya Eric sambil mendekat. Anna mengangguk kecil. “Iya, lagi nunggu mobil. Bapak nggak lembur?” Eric menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, menatap Anna dengan tenang. “Saya pulang lebih awal hari ini. Mau makan di luar, tapi rasanya nggak enak makan sendiri. Mau menemani saya?” Anna terkejut dengan tawaran itu. “Makan? Kenapa nggak ajak Kak Khalif aja? Dia kayakn
Pagi itu, Anna turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah, menandakan ia baru saja selesai mandi terburu-buru. Ketika memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti saat melihat Khalif sedang berbincang akrab dengan Eric. Eric duduk santai di sofa dengan segelas kopi di tangannya. Khalif, yang duduk di sebelahnya, terlihat santai namun mata jenakanya langsung menangkap kehadiran Anna. “Selamat pagi, Ann,” sapa Khalif dengan senyum lebar. “Lo mau berangkat? Udah jam berapa nih? Kalau nggak berangkat sekarang, nanti telat loh.” Anna mengerutkan kening, bingung. “Iya, tapi masih nunggu Abel, Kak.” Khalif berdiri, menepuk bahu Eric dengan nada penuh kelakar. “Berangkat sama Eric aja, Ann. Kalian kan satu kantor. Jadi kalian bisa barengan.” Eric memandang ragu Khalif, “Gue kira Anna setiap pagi berangkat dengan Om Kai?” Khalif tertawa kecil, “Gue kira juga gitu awalnya, tapi nggak ada yang tahu Anna itu anak Om Kai. Selama ini dia terus-terusan berangkat bareng sama