Share

Bab 2

Penulis: Emira Zeynath
Sekelilingku menjadi gelap gulita.

Aku terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa, hanya bisa berdeham untuk menenangkan diri.

"Ini hanya cerita legenda wisata Desa Kelabang. Kalau kelabang benar-benar sebahaya itu, penduduk desa pasti sudah membasminya dengan pestisida."

Namun, nenek itu tetap menatapku dengan sorot mata yang aneh, tak bergerak sedikit pun.

"Tapi, penduduk desa nggak akan rela membasmi kelabang itu."

Kenapa?

"Daging kelabang bisa menyembuhkan banyak penyakit kalu dimakan."

"Dan harganya bisa dijual mahal."

Seketika, bulu kudukku berdiri.

Aku melirik pria di sebelahku.

Wajahnya pucat seperti selembar kertas. Anehnya, meski malam ini cukup sejuk, keringat mulai membasahi dahinya.

Saat kami saling berpandangan, tiba-tiba dia berdiri.

Dengan panik, dia mengambil barang bawaannya dan berjalan cepat menuju pintu gerbong.

Apa yang terjadi?

Dia tak seharusnya turun di stasiun ini!

Aku jelas melihat stasiun tujuannya saat petugas memeriksa tiket tadi.

Seketika, mataku tertuju pada jaket yang ditinggalkan di kursi sebelah.

Di dekat pintu gerbong, orang-orang mulai berkerumun.

Aku segera melihatnya. Saat kami bertatapan, ada ekspresi yang sulit dijelaskan di matanya.

Kemudian, dia menggelengkan kepala dengan keras dari balik kerumunan, sebelum menghilang begitu saja di antara kerumunan orang.

Aku ingin mengejarnya, tetapi orang-orang yang turun sudah memisahkan kami cukup jauh.

Dia menyeret kopernya dengan langkah tergesa, seolah takut ada sesuatu yang menimpa dirinya.

Apa maksud semua ini?

Apakah ini ada hubungannya dengan cerita manusia kelabang tadi?

Aku menggelengkan kepala, mencoba menjauhkan pikiran-pikiran yang tidak masuk akal itu.

Itu hanya cerita legenda.

Kelabang yang bisa mengontrol manusia dan membuat mereka saling memakan satu sama lain? Mana mungkin itu benar?!

Sebelum pintu kereta menutup, aku berhasil naik kembali.

Saat kembali ke tempat dudukku, area di sekitarnya sudah kosong.

Nenek itu juga menghilang.

Malam yang terasa seperti mimpi aneh itu berlalu, seolah tak pernah terjadi.

Beberapa hari berikutnya, aku menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan dan merekam.

Materi di kameraku semakin banyak, tetapi hampir semuanya terasa tak berguna.

Namun, cerita manusia kelabang terus menghantui pikiranku.

Sebagai seorang jurnalis, jika aku kembali tanpa membawa hasil yang berarti, kemungkinan besar surat PHK sudah menungguku.

Aku mulai bertanya ke penduduk sekitar, tetapi tak peduli seberapa keras aku mencoba, semua orang mengaku tak pernah mendengar apapun tentang cerita itu.

Hari berlalu begitu saja selama tiga hari, aku sudah kehilangan semangat dan berencana untuk pulang.

Hingga akhirnya, aku bertemu dengan seorang pelancong.

"Di sana ada jalan pegunungan tua yang sudah lama terbengkalai, kamu harus ke sana."

"Pemandangannya alami, tanpa sentuhan manusia sama sekali."

Dia mengenakan topi yang menutupi wajahnya. Tanpa sengaja, aku melihat sesuatu di pergelangan tangannya.

Seperti ada sesuatu yang bergerak di kulitnya.

Dia segera menyadari tatapanku dan segera menyerahkan peta rute kepadaku.

Mungkin aku hanya salah lihat.

Aku pun mulai memperhatikan peta yang dia berikan.

Rutenya sangat terpencil, bahkan tidak ada penginapan di sepanjang jalan.

Sepertinya dia ingin memancingku ke suatu tempat yang misterius.

Kemarin aku sempat mendengar dari seorang pemandu lokal bahwa tempat itu berbahaya dan tidak disarankan untuk dikunjungi.

"Jangan dengarkan omongan pemandu itu," katanya seolah bisa membaca pikiranku, lalu melanjutkan lagi, "Mereka hanya nggak suka karena desa itu nggak ikut dalam pengelolaan tempat wisata, jadi mereka nggak bisa dapat komisi."

"Percayalah, kalau kamu nggak pergi, kamu akan menyesal seumur hidup."

"Selama bertahun-tahun ini, nggak pernah ada masalah di sana. Kamu juga punya peta, jadi kenapa harus takut?"

Desa? Apa itu Desa Kelabang?

Aku mulai penasaran.

Ketika aku ingin bertanya lebih lanjut, pria itu sudah pergi.

Hanya tersisa suara napasku sendiri, suara angin dan nyanyian serangga yang tak henti-hentinya di sekitarku.

Cerita nenek itu dan ekspresi ketakutan pria di kereta kembali terngiang-ngiang di pikiranku.

Reaksi berlebihan seperti itu hanya karena mendengar cerita legenda seram?

Atau mungkin itu bukan sekedar cerita?

Saat pikiran itu melintas, tiba-tiba terdengar suara berdesir dari semak-semak di sampingku.

Aku segera kembali sadar, hatiku mulai gelisah.

Meski masih jam 2 siang, langit mendadak terasa lebih gelap. Cahaya yang menembus dedaunan menjadi satu-satunya petunjuk jalan.

Aku mengikuti peta itu, tetapi suara berdesir di belakangku semakin mendekat.

Suara itu terdengar seperti tubuh kelabang yang bergerak di atas daun-daun kering dan ranting. Begitu banyak kaki yang menyapu tanah dengan suara mengerikan.

Aku merasa mereka hampir mendekat, siap merayap ke kakiku, naik ke tubuhku dan menembus dagingku.

Aku hampir bisa merasakan rasa sakit dari kulit yang tertusuk.

Langkahku semakin cepat.

Jalan pegunungan tua itu penuh dengan lumut hijau yang licin di mana-mana.

"Aaaaa!"

Suara angin yang berdesir di telinga tiba-tiba berubah menjadi lebih kencang.

Pergelangan kakiku terasa nyeri tajam dan anak tangga yang keras menghantam tubuhku seolah membuat setiap tulang dalam tubuhku remuk.

Aku terjatuh hingga ke anak tangga terakhir dan belum sempat aku bangkit,

aku melihat sesuatu yang jauh lebih mengerikan terjadi ...

Dalam redupnya cahaya ponsel, aku melihat sesuatu yang tak jelas menempel di tanganku!

Aku mengayunkan tangan sekuat tenaga, tapi benda itu tetap melekat erat.

Benda itu tetap menempel di kulitku. Bentuknya yang panjang dan lentur bergerak mengikuti aliran darahku.

Dengan gemetar, aku mengarahkan ponsel untuk melihat lebih jelas.

Dia ... bukan sedang merayap di kulitku, tapi sedang bergerak di bawah kulitku!

Tanganku yang gemetar menarik baju untuk memastikan.

Dan ... bukan hanya di tanganku, tapi di lengan, kaki dan bahkan perutku!

Di balik kulit yang putih, satu per satu benda itu muncul, bergeliat tak henti.

Apa ini ...
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dyandra Mulya
Aaaahh... Mimpi kaliii... Yo bangun, yooo...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Manusia Kelabang   Bab 3

    Ini tubuh manusia yang dipenuhi kelabang!Mereka sedang melahap tubuhku.Siapapun ... tolong aku!Tolong selamatkan aku!Saat aku kembali sadar, yang kulihat bukan lagi anak tangga tempatku terjatuh, melainkan sebuah rumah kayu sederhana.Aku segera membuka bajuku untuk memeriksa tubuhku.Kulitku terlihat mulus dan rata, hanya terlihat urat biru yang samar di bawahnya.Namun, pergelangan kaki kananku dibalut perban.Sesekali terasa rasa nyeri."Aduh, perban ini baru saja kubalut, kenapa dilepas lagi?"Terdengar suara yang familiar memasuki kamar. Melihat tanganku yang sedang bersiap untuk melepas perban, tiba-tiba wanita tua itu datang menghentikanku.Dia adalah nenek yang kutemui di kereta.Bagaimana dia bisa ada di sini ... ?Sebuah dugaan berani muncul di benakku.Apakah dia yang sengaja memancingku ke sini?Apakah semua yang terjadi, termasuk cerita manusia kelabangnya adalah jebakan untukku?Dengan paksa, aku mendorong nenek itu, sambil menahan rasa sakit, aku melepas perban di p

  • Manusia Kelabang   Bab 4

    Dalam perjalanan menuju gudang bawah tanah, aku menyadari bahwa hampir semua anak muda di desa ini adalah laki-laki.Hanya ada beberapa perempuan, itu pun semuanya sudah lanjut usia.Seolah menyadari kebingunganku, nenek itu berkata, "Para perempuan pergi ke pasar hari ini, mereka baru akan pulang sore nanti.""Di desa ini nggak membedakan perempuan dan laki-laki. Banyak pekerjaan rumah yang justru dilakukan oleh laki-laki."Aku sedikit terkejut dan bertanya, "Jadi perempuan nggak turun ke ladang?""Para pria di desa kami sangat sayang pada perempuan, mana tega menyuruh mereka turun ke ladang?"Sambil berbicara, entah sudah berapa lama kami berjalan hingga akhirnya tiba di gudang bawah tanah.Rasa sakit di perutku perlahan mulai mereda.Saat itulah, aku mulai merasa ada yang aneh."Nenek, kenapa gudang bawah tanah kalian begitu jauh dari rumah?""Kenapa obat yang dipakai sehari-hari nggak disimpan di rumah saja?"Ekspresi nenek itu berubah menjadi kaku. Tanpa sadar, aku memundurkan la

  • Manusia Kelabang   Bab 5

    "Ada orang di sana?"“Coba lihat, kok bisa meninggal begitu saja?""Aku rasa ini bukan dibunuh manusia ... anehnya lagi, nggak ada bekas darah sama sekali."Tiba-tiba terdengar percakapan dari luar pintu.Aku berdiri kaku di dalam gudang bawah tanah, seperti terpaku ke lantai, bertatapan dengan nenek itu."Hei, nenek! Apa yang kalian lakukan di sini? Cepat ikut kami untuk penyelidikan!"Dua pria berseragam polisi berjalan mendekati nenek itu.Ada yang meninggal?Nenek segera mengganti ekspresi wajahnya dengan senyuman dan melangkah menghampiri mereka, bahkan mengajakku untuk ikut keluar.Aku keluar dengan raut wajah tegang, tidak mungkin aku bisa tersenyum dalam situasi seperti ini.Dari percakapan antara polisi dan nenek, aku mulai memahami situasinya.Seorang perempuan muda, berusia sekitar dua puluh tahunan, ditemukan tewas di desa ini.Dia baru menikah ke desa ini dua tahun lalu.Hari ini, suaminya pulang dari luar desa dan menemukan istrinya tergeletak di halaman rumah.Tubuh pere

  • Manusia Kelabang   Bab 6

    "Kenapa kamu mau mencari jalan ke gudang bawah tanah? Kamu juga mau mendapatkan kitab itu?"Aku memandangnya dengan penuh kewaspadaan.Namun, Benson hanya menggelengkan kepala, sambil berkata, "Orang yang sudah mati nggak bisa dihidupkan kembali. Nggak ada yang berhak mengorbankan nyawa orang lain demi menyelamatkan satu nyawa.""Aku percaya ayahku juga nggak ingin hidup seperti ini."Usai bicara, dia menyeka air mata yang mulai menggenang di matanya, lalu tatapannya menjadi teguh."Sekarang kamu hanya bisa percaya padaku, karena akulah yang melapor polisi hari ini.""Begitu banyak perempuan yang menghilang, tapi ini pertama kalinya polisi datang ke desa ini.""Orang yang mati itu adalah perempuan yang dulu kusukai saat SMA."Seketika, keinginan untuk kepo menjadi terasa berat dan menyakitkan.Perempuan yang dia sukai saat SMA, kini telah menjadi istri orang lain.Dan bahkan terbunuh dengan begitu tragis oleh neneknya sendiri di desa ini.Aku juga segera menyadarinya.Terlepas dari ap

  • Manusia Kelabang   Bab 7

    Nada bicara Kakek Wulon semakin cepat dan terburu-buru.Namun, belum sempat dia melanjutkan, tiba-tiba suaranya terpotong, "Nak, kenapa kamu malah ke sini?""Sudah malam begini, jangan keluyuran sembarangan. Desa ini berbahaya sekali sekarang.""Aku dan cucuku sudah menunggumu pulang untuk makan malam ... "Nenek berjalan mendekat untuk menarikku.Kakek Wulon langsung berpura-pura pikun, bergumam, "Aduh, sudah tua ... otak ini semakin nggak bisa diandalkan ... ""Bisa-bisanya lupa menaruh barang di mana."Dia lalu berbalik menuju dalam rumah. Sementara itu, nenek mencengkeram tanganku dengan sangat kuat, aku dipaksa kembali ke rumahnya."Apa yang diberikan kakek tua itu padamu?"Tanya nenek sambil melirik ransel yang diberikan Kakek Wulon padaku."Nggak ada," jawabku sambil menyembunyikan ransel di belakang tubuhku.Mata keruhnya menatapku tajam, tapi kemudian dia tak menanyakannya lagi.Aku tahu dia menyimpan kecurigaan, tetapi memilih tidak mempertanyakannya lagi. Mungkin agar aku

  • Manusia Kelabang   Bab 8

    "Hanya dengan dirimu, kamu mau mengancamku?"Dia kehilangan kesabaran, tubuhnya bergerak semakin cepat. Dalam sekejap, dia sudah berada tepat di hadapanku. Tangannya langsung menjulur ke arah leherku, mencengkeram leherku dengan kuat.Semuanya terjadi begitu cepat sehingga aku tidak sempat bereaksi. Rasanya seluruh kekuatan tubuhku menghilang. Pisau dapur di tanganku terlepas dan jatuh ke lantai."Sangat disayangkan, aku masih berpikir dengan memakanmu, aku bisa sepenuhnya menjadi manusia. Tapi sepertinya aku hanya bisa membunuhmu saja."Ucapnya dengan suara dingin dan tajam, seperti ular berbisa, membuat rasa takut di hatiku semakin menggelagar.Saat aku berada di ambang kematian, terdengar suara lain dari arah pintu masuk ruang bawah tanah."Lepaskan dia!"Itu suara polisi yang kutemui sebelumnya.Kemunculannya yang tiba-tiba mengalihkan perhatian manusia kelabang ini.Aku segera menarik napas panjang, menghirup udara segar dan dengan sisa tenaga, aku menendangnya keras hingga dia t

  • Manusia Kelabang   Bab 9

    Akhirnya, pintu ruang bawah tanah terbuka, memperlihatkan kegelapan pekat di dalamnya.Manusia kelabang tampaknya tak lagi bergerak, tetapi sebagai seorang gadis perawan, aku menjadi umpan yang paling sempurna.Langkahku perlahan memasuki ruang bawah tanah, menapaki setiap langkah dengan hati-hati.Dari dalam terdengar suara berdecit, suara air liur manusia kelabang yang mengerikan, seolah dia akan menerkamku kapan saja.Namun, aku baru berjalan beberapa langkah, kegelapan sudah hampir sepenuhnya menelanku. Ini jelas seperti menyerahkan diri ke dalam sarang macam.Aku berbalik, memberi isyarat pada Benson untuk menyerahkan pisau kecil kepadaku.Di sisi lain, nenek semakin meronta dengan keras, tetapi usahanya sia-sia.Saat bau darah mulai memenuhi udara ...Pong!Manusia kelabang kehilangan akal sehat sepenuhnya, melesat keluar dengan brutal.Benson dengan sigap menyiramkan darah segar ke arahnya."Siiiiii ... aarrggg ... aaaaaa ... "Tubuh manusia kelabang itu langsung jatuh ke lantai

  • Manusia Kelabang   Bab 1

    Menjelang akhir tahun, aku ditugaskan ke daerah Bet untuk merekam beberapa materi. Di daerah ini ada banyak desa dengan kisah-kisah aneh yang beredar.Aku duduk di atas kereta hijau tua, perhatianku tertuju pada seorang pria di dekatku.Pria itu menutupi tubuhnya rapat-rapat, selain wajahnya, tidak ada bagian tubuh lain yang terlihat.Dia diam membisu, seperti mayat yang dibalut kain kafan dan ditinggalkan begitu saja.Aku berbincang santai dengan seorang pemuda di sebelahku.Tiba-tiba, seorang nenek yang duduk di dekat jendela membuka suara. Wajahnya penuh kerutan yang dalam, menyerupai daging asap yang telah dikeringkan.Dia berkata, "Mau ke Desa Kelabang? Kamu ... pasti akan suka di sana."Belum sempat aku bertanya lebih jauh, tiba-tiba pria itu mendongak.Nenek itu melirik ke arah pria itu dengan pandangan tajam.Aku pun penasaran dan bertanya, "Desa kelabang?"Nenek itu menjawab pelan, "Benar, Desa Kelabang."Aku mengernyitkan kening dan bertanya lagi, "Apa ada yang aneh dari tem

Bab terbaru

  • Manusia Kelabang   Bab 9

    Akhirnya, pintu ruang bawah tanah terbuka, memperlihatkan kegelapan pekat di dalamnya.Manusia kelabang tampaknya tak lagi bergerak, tetapi sebagai seorang gadis perawan, aku menjadi umpan yang paling sempurna.Langkahku perlahan memasuki ruang bawah tanah, menapaki setiap langkah dengan hati-hati.Dari dalam terdengar suara berdecit, suara air liur manusia kelabang yang mengerikan, seolah dia akan menerkamku kapan saja.Namun, aku baru berjalan beberapa langkah, kegelapan sudah hampir sepenuhnya menelanku. Ini jelas seperti menyerahkan diri ke dalam sarang macam.Aku berbalik, memberi isyarat pada Benson untuk menyerahkan pisau kecil kepadaku.Di sisi lain, nenek semakin meronta dengan keras, tetapi usahanya sia-sia.Saat bau darah mulai memenuhi udara ...Pong!Manusia kelabang kehilangan akal sehat sepenuhnya, melesat keluar dengan brutal.Benson dengan sigap menyiramkan darah segar ke arahnya."Siiiiii ... aarrggg ... aaaaaa ... "Tubuh manusia kelabang itu langsung jatuh ke lantai

  • Manusia Kelabang   Bab 8

    "Hanya dengan dirimu, kamu mau mengancamku?"Dia kehilangan kesabaran, tubuhnya bergerak semakin cepat. Dalam sekejap, dia sudah berada tepat di hadapanku. Tangannya langsung menjulur ke arah leherku, mencengkeram leherku dengan kuat.Semuanya terjadi begitu cepat sehingga aku tidak sempat bereaksi. Rasanya seluruh kekuatan tubuhku menghilang. Pisau dapur di tanganku terlepas dan jatuh ke lantai."Sangat disayangkan, aku masih berpikir dengan memakanmu, aku bisa sepenuhnya menjadi manusia. Tapi sepertinya aku hanya bisa membunuhmu saja."Ucapnya dengan suara dingin dan tajam, seperti ular berbisa, membuat rasa takut di hatiku semakin menggelagar.Saat aku berada di ambang kematian, terdengar suara lain dari arah pintu masuk ruang bawah tanah."Lepaskan dia!"Itu suara polisi yang kutemui sebelumnya.Kemunculannya yang tiba-tiba mengalihkan perhatian manusia kelabang ini.Aku segera menarik napas panjang, menghirup udara segar dan dengan sisa tenaga, aku menendangnya keras hingga dia t

  • Manusia Kelabang   Bab 7

    Nada bicara Kakek Wulon semakin cepat dan terburu-buru.Namun, belum sempat dia melanjutkan, tiba-tiba suaranya terpotong, "Nak, kenapa kamu malah ke sini?""Sudah malam begini, jangan keluyuran sembarangan. Desa ini berbahaya sekali sekarang.""Aku dan cucuku sudah menunggumu pulang untuk makan malam ... "Nenek berjalan mendekat untuk menarikku.Kakek Wulon langsung berpura-pura pikun, bergumam, "Aduh, sudah tua ... otak ini semakin nggak bisa diandalkan ... ""Bisa-bisanya lupa menaruh barang di mana."Dia lalu berbalik menuju dalam rumah. Sementara itu, nenek mencengkeram tanganku dengan sangat kuat, aku dipaksa kembali ke rumahnya."Apa yang diberikan kakek tua itu padamu?"Tanya nenek sambil melirik ransel yang diberikan Kakek Wulon padaku."Nggak ada," jawabku sambil menyembunyikan ransel di belakang tubuhku.Mata keruhnya menatapku tajam, tapi kemudian dia tak menanyakannya lagi.Aku tahu dia menyimpan kecurigaan, tetapi memilih tidak mempertanyakannya lagi. Mungkin agar aku

  • Manusia Kelabang   Bab 6

    "Kenapa kamu mau mencari jalan ke gudang bawah tanah? Kamu juga mau mendapatkan kitab itu?"Aku memandangnya dengan penuh kewaspadaan.Namun, Benson hanya menggelengkan kepala, sambil berkata, "Orang yang sudah mati nggak bisa dihidupkan kembali. Nggak ada yang berhak mengorbankan nyawa orang lain demi menyelamatkan satu nyawa.""Aku percaya ayahku juga nggak ingin hidup seperti ini."Usai bicara, dia menyeka air mata yang mulai menggenang di matanya, lalu tatapannya menjadi teguh."Sekarang kamu hanya bisa percaya padaku, karena akulah yang melapor polisi hari ini.""Begitu banyak perempuan yang menghilang, tapi ini pertama kalinya polisi datang ke desa ini.""Orang yang mati itu adalah perempuan yang dulu kusukai saat SMA."Seketika, keinginan untuk kepo menjadi terasa berat dan menyakitkan.Perempuan yang dia sukai saat SMA, kini telah menjadi istri orang lain.Dan bahkan terbunuh dengan begitu tragis oleh neneknya sendiri di desa ini.Aku juga segera menyadarinya.Terlepas dari ap

  • Manusia Kelabang   Bab 5

    "Ada orang di sana?"“Coba lihat, kok bisa meninggal begitu saja?""Aku rasa ini bukan dibunuh manusia ... anehnya lagi, nggak ada bekas darah sama sekali."Tiba-tiba terdengar percakapan dari luar pintu.Aku berdiri kaku di dalam gudang bawah tanah, seperti terpaku ke lantai, bertatapan dengan nenek itu."Hei, nenek! Apa yang kalian lakukan di sini? Cepat ikut kami untuk penyelidikan!"Dua pria berseragam polisi berjalan mendekati nenek itu.Ada yang meninggal?Nenek segera mengganti ekspresi wajahnya dengan senyuman dan melangkah menghampiri mereka, bahkan mengajakku untuk ikut keluar.Aku keluar dengan raut wajah tegang, tidak mungkin aku bisa tersenyum dalam situasi seperti ini.Dari percakapan antara polisi dan nenek, aku mulai memahami situasinya.Seorang perempuan muda, berusia sekitar dua puluh tahunan, ditemukan tewas di desa ini.Dia baru menikah ke desa ini dua tahun lalu.Hari ini, suaminya pulang dari luar desa dan menemukan istrinya tergeletak di halaman rumah.Tubuh pere

  • Manusia Kelabang   Bab 4

    Dalam perjalanan menuju gudang bawah tanah, aku menyadari bahwa hampir semua anak muda di desa ini adalah laki-laki.Hanya ada beberapa perempuan, itu pun semuanya sudah lanjut usia.Seolah menyadari kebingunganku, nenek itu berkata, "Para perempuan pergi ke pasar hari ini, mereka baru akan pulang sore nanti.""Di desa ini nggak membedakan perempuan dan laki-laki. Banyak pekerjaan rumah yang justru dilakukan oleh laki-laki."Aku sedikit terkejut dan bertanya, "Jadi perempuan nggak turun ke ladang?""Para pria di desa kami sangat sayang pada perempuan, mana tega menyuruh mereka turun ke ladang?"Sambil berbicara, entah sudah berapa lama kami berjalan hingga akhirnya tiba di gudang bawah tanah.Rasa sakit di perutku perlahan mulai mereda.Saat itulah, aku mulai merasa ada yang aneh."Nenek, kenapa gudang bawah tanah kalian begitu jauh dari rumah?""Kenapa obat yang dipakai sehari-hari nggak disimpan di rumah saja?"Ekspresi nenek itu berubah menjadi kaku. Tanpa sadar, aku memundurkan la

  • Manusia Kelabang   Bab 3

    Ini tubuh manusia yang dipenuhi kelabang!Mereka sedang melahap tubuhku.Siapapun ... tolong aku!Tolong selamatkan aku!Saat aku kembali sadar, yang kulihat bukan lagi anak tangga tempatku terjatuh, melainkan sebuah rumah kayu sederhana.Aku segera membuka bajuku untuk memeriksa tubuhku.Kulitku terlihat mulus dan rata, hanya terlihat urat biru yang samar di bawahnya.Namun, pergelangan kaki kananku dibalut perban.Sesekali terasa rasa nyeri."Aduh, perban ini baru saja kubalut, kenapa dilepas lagi?"Terdengar suara yang familiar memasuki kamar. Melihat tanganku yang sedang bersiap untuk melepas perban, tiba-tiba wanita tua itu datang menghentikanku.Dia adalah nenek yang kutemui di kereta.Bagaimana dia bisa ada di sini ... ?Sebuah dugaan berani muncul di benakku.Apakah dia yang sengaja memancingku ke sini?Apakah semua yang terjadi, termasuk cerita manusia kelabangnya adalah jebakan untukku?Dengan paksa, aku mendorong nenek itu, sambil menahan rasa sakit, aku melepas perban di p

  • Manusia Kelabang   Bab 2

    Sekelilingku menjadi gelap gulita.Aku terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa, hanya bisa berdeham untuk menenangkan diri."Ini hanya cerita legenda wisata Desa Kelabang. Kalau kelabang benar-benar sebahaya itu, penduduk desa pasti sudah membasminya dengan pestisida."Namun, nenek itu tetap menatapku dengan sorot mata yang aneh, tak bergerak sedikit pun."Tapi, penduduk desa nggak akan rela membasmi kelabang itu."Kenapa?"Daging kelabang bisa menyembuhkan banyak penyakit kalu dimakan.""Dan harganya bisa dijual mahal."Seketika, bulu kudukku berdiri.Aku melirik pria di sebelahku.Wajahnya pucat seperti selembar kertas. Anehnya, meski malam ini cukup sejuk, keringat mulai membasahi dahinya.Saat kami saling berpandangan, tiba-tiba dia berdiri.Dengan panik, dia mengambil barang bawaannya dan berjalan cepat menuju pintu gerbong.Apa yang terjadi?Dia tak seharusnya turun di stasiun ini!Aku jelas melihat stasiun tujuannya saat petugas memeriksa tiket tadi.Seketika, mataku tertuju p

  • Manusia Kelabang   Bab 1

    Menjelang akhir tahun, aku ditugaskan ke daerah Bet untuk merekam beberapa materi. Di daerah ini ada banyak desa dengan kisah-kisah aneh yang beredar.Aku duduk di atas kereta hijau tua, perhatianku tertuju pada seorang pria di dekatku.Pria itu menutupi tubuhnya rapat-rapat, selain wajahnya, tidak ada bagian tubuh lain yang terlihat.Dia diam membisu, seperti mayat yang dibalut kain kafan dan ditinggalkan begitu saja.Aku berbincang santai dengan seorang pemuda di sebelahku.Tiba-tiba, seorang nenek yang duduk di dekat jendela membuka suara. Wajahnya penuh kerutan yang dalam, menyerupai daging asap yang telah dikeringkan.Dia berkata, "Mau ke Desa Kelabang? Kamu ... pasti akan suka di sana."Belum sempat aku bertanya lebih jauh, tiba-tiba pria itu mendongak.Nenek itu melirik ke arah pria itu dengan pandangan tajam.Aku pun penasaran dan bertanya, "Desa kelabang?"Nenek itu menjawab pelan, "Benar, Desa Kelabang."Aku mengernyitkan kening dan bertanya lagi, "Apa ada yang aneh dari tem

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status