Asih Sukesih tidak lagi bertanya, dia hanya tersenyum sembari mengerdipkan sebelah matanya kepada sahabat sependeritaannya, Narti, dan Narti sudah bisa membaca maksud kode dari Asih.
"Jadi, rencana kita beneran berhasil, Sih?" tanya Narti, walaupun dari kejauhan dia sudah bisa melihat, namun, dia ingin lebih memastikan.
"Berhasil, Nar. Si Karta sekarang sudah tergila-gila denganku, layaknya a*jing penjaga kepada tuannya, dan aku sekarang yang jadi tuannya." Asih tertawa cekikikan, begitupun dengan Narti. Rencana mereka berdua untuk menuntut balas kepada Sumi akhirnya bisa terlaksanakan.
"Sekarang, waktunya kita melihat penderitaan si jalang Sumi. Aku sudah berjanji, akan tertawa paling bahagia di depan biji matanya si Sumi nanti. Biar dia bisa merasakan, bagaimana sakitnya ditertawakan karena dianggap rendah dan hina," geram Asih, kembali mengutarakan sumpahnya di depan Narti, yang memang dahulu sudah Asih ucapkan ke sahabatnya itu, saat pertamakali Asih berhasil mendapatkan amalan dan rapalan mantra pelet darah kotor. Setelah beberapa kali melewati tahapan ritual yang sangat menguji hati dan keberaniannya.
Rasa dendam dan kebencian yang selama ini hanya dia pendam, membuat Asih menjadi berani mengikuti tahapan ritual yang harus dia jalani berhari-hari.
"Jika kamu, akan melakukan apa, Nar? Di depan si jalang Sumi nanti?"
Narti terlihat senyum menyeringai, dia sedang mengingat-ngingat hinaan dan semua perlakuan Sumi yang pernah dilakukan terhadapnya dulu, yang membuat dendamnya terhadap istri dari orang paling kaya di desanya ini sama besarnya dengan dendamnya Asih.
Nyala obor hanya terlihat dari Asih dan Narti di antara gelap gulitanya sisi hutan dan rumput-rumput ilalang setinggi dada orang dewasa. Suara-suara aneh sesekali terdengar dari dalam hutan, tetapi mereka berdua sudah terbiasa, terutama Asih yang memang tinggal tidak jauh dari situ. Narti sepertinya sudah bisa mengingat peristiwa yang paling menyakitkan baginya karena perbuatan Sumi.
"Kamu ingat tidak, Sih, saat kita kecil dulu, kejadian dekat jembatan bambu?" Asih mencoba untuk mengingat-ingat, dan dengan mudah dia bisa menemukannya.
"Ya, aku ingat, Nar. Saat itu hari sudah mau memasuki waktu maghrib?"
"Dan kamu masih ingat apa yang saat itu dilakukan si jalang Sumi terhadapku, Sih?"
"Aku sangat ingat, Nar. Maafkan aku jika tidak melakukan apa pun terhadap Sumi?"
"Kita berdua dulu tidak ada yang berani terhadap Sumi, begitupun sekarang. Jika dulu kita takut sama almarhum bapaknya yang jawara, sekarang kita takut dengan suaminya si lintah darat. Makanya, si jalang itu sekarang semakin semena-mena.
"Saat si Sumi jalang itu mendorongku ke bawah sungai, dengkulku sampai berdarah karena terantuk batu, tulangnya pun bergeser, dan itu yang membuat jalanku sekarang menjadi pincang," geram Narti.
"Dan si jalang itu juga yang memanggiku dengan sebutan si pincang, sehingga diikuti oleh warga yang lain. Ingin rasanya kucabik-cabik wajahnya." Wajah Narti menggambarkan kebencian dan kemarahan kepada orang yang sudah membuatnya menjadi cacat.
"Dan sekarang, si jalang itu sebentar lagi akan mendapatkan balasannya." Kali ini Asih yang bicara.
"Dan aku, si pincang ini, akan menari-nari di hadapannya, saat si jalang itu sedang menderita."
"Kamu benar, Nar, kita harus membuat si jalang Sumi mati dalam keadaan menderita, baru kita berdua merasakan puas."
Dan kedua wanita yang sama-sama memendam dendam itu kembali tertawa keras. Bersama, mereka mulai jalan beriringan menuju rumah Juragan Karta dengan masing-masing membawa obor menembus kegelapan malam.
Keduanya sudah berjanji, akan menepati sumpah mereka masing-masing di hadapan Sumiarsih nanti, bekas kembang Desa Cimangi mantan penari jaipong tersohor di wilayah sekitaran sini.
÷÷÷
Juragan Karta bergegas menuju rumahnya setelah baru saja selesai menemui Asih. Sebuah syarat diajukan oleh Asih untuknya, syarat jika Karta memang sangat menginginkannya. Membuang Sumi sang istri tanpa membawa apapun. Sebuah syarat yang mudah bagi sang juragan.
Perawan setengah tua yang tinggal sendiri di sisi dekat hutan itu sudah sangat memikat hatinya. Karta sudah tidak ingat lagi sama sekali, saat-saat dia sering menghina dan merendahkan Asih dahulu. Dia juga tidak melihat lagi kemiskinan dan kumalnya baju-baju kebaya yang selalu perawan setengah tua itu pakai. Yang terlihat di mata Karta sekarang, adalah sesosok Asih yang cantik tanpa cela. Setiap kali sang juragan melihatnya, nafsu birahinya selalu bergejolak.
Dua hari terakhir ini, setelah Karta melihat Asih. Pikiran dan hatinya tidak bisa lepas dari memikirkan si perawan tua. Wajah Asih selalu terbayang-bayang di matanya. Dia tidak bisa memikirkan apapun lagi selain perawan yang dulunya selalu dia hina sebagai si miskin yang kumal dan menjijikkan.
Karta sudah sampai di rumahnya yang terang karena cahaya lampu, tidak seperti rumah-rumah lain di desa ini. Dua orang centeng yang menjaga pintu tembok pagar halaman rumah sang juragan, dengan golok di pinggang langsung berdiri melihat kedatangan majikan mereka. Yang akhir-akhir ini mereka nilai seperti orang yang sedang linglung. Dari mulutnya selalu saja bercerita tentang kecantikan dan kemolekan Asih, dan di antara mereka tidak ada yang berani membantah.
Kedua centeng berpakaian hitam-hitam dengan ikat kepala itu jelas bingung. Mereka berdua pun tahu dan mengenal seperti apa sosok Asih, yang mereka sendiri pun segan untuk menggodanya, karena tidak ada yang luar biasa dari sosok perawan tua tersebut, kebaya yang dipakai saja terlihat kumal-kumal.
Karta langsung saja masuk ke dalam rumah dengan mendorong pintunya secara kasar dan keras, tidak dia hiraukan kedua centeng yang mengangguk melihat kedatangannya. Saat ini urusannya hanya satu, mengusir Sumi dari rumahnya.
"Sumi! Sumii ...! Juragan Karta berteriak-teriak di dalam rumahnya, sembari mencari sang istri kesana kemari. Rumahnya yang luas dan banyak memiliki kamar membuat dia harus membukanya satu persatu, bahkan dengan cara menendang pintunya, tetapi Sumiarsih sang istri belum juga dia temukan.
"Sialan! Kemana si jalang itu!" umpat Karta dengan rasa kesal, karena Sumi belum juga dia ketemukan. Padahal, Karta sudah mencari di setiap sudut rumahnya. Pintu-pintu kamar yang sudah dia buka dibiarkan begitu saja.
Karta kembali ke depan rumahnya, lantas memanggil kedua centeng yang sedang menjaga rumahnya. Berdiri bertolak pinggang di depan teras rumah. "Sarkim! Kuroo!" Tanpa menunggu lama, kedua centengnya datang dengan tergopoh-gopoh menghampiri, datang menghadap dengan tubuh terbungkuk-bungkuk. "Tabee, Juragan?" tanya Kuro, centeng Karta yang bertubuh kurus tinggi. "Nyai Sumi kemana!" tanya Karta dengan membentak. "Ti-tidak tau, Juragan.""Dasarr gob*ookk! Kerja kalian apa di sini! Makan gaji buta, haa!" bentak Karta dengan sangat gusar. "Ma-maaf, Juragan. Nyai Sumi tidak ada keluar rumah dari saat kami berjaga di sini, Gan." Sarkim kali ini yang menjawab. "Tapi nyai tidak ada!" Kedua centeng itu saling melihat satu sama lain, seperti saling memberikan kode, dan Karta membacanya sebagai sesuatu yang seperti dirahasiakan. "Kalian berdua pasti tahu sesuatu?" selidik Karta kepada keduanya. "Bicara! Atau aing suruh si Rustam buat memenggal kepala kalian?" ancam Karta kepada kedua cente
"Ti-tidak tau tepatnya kapan, Tuan? Saya dan Sarkim baru tau hampir sebulan belakang ini," jelas Kuro kepada sang juragan. "Berarti sudah cukup lama si jal*ng Sumi bermain api di belakangku. Mungkin ini yang dimaksud oleh Neng cantik Asih agar aku mengusir si jal*ng itu dari rumahku," gumam Karta, berbicara ke dirinya sendiri. Semakin tergila-gila saja sang juragan kepada perawan tua tersebut. Karta lantas memberikan perintah kepada Sarkim dan Kuro. "Nanti, saat kita masuk, jangan dikasih kesempatan bagi mereka untuk mengelak. Tangkap dan langsung seret, jika perlu maneh berdua aing persilahkan untuk memakai kekerasan.""Tabeee ... Juragann.""Di mana si babu Syarief tinggal?" "I-itu, Juragan. Di pojok yang paling kiri," jawab Kuro lagi. Karta tidak menjawab, langsung menuju ke arah gubuk yang ditunjuk oleh centengnya barusan. Satu meter lagi mendekati gubuk tempat Syarif tinggali, hati Karta malah sudah semakin panas membara. Suara Sumi yang berkali-kali mendesah, bahkan menjeri
"Apaa? Khilaf katamu? Khilaf itu sekali, bukan berkali-kali! Dasar perempuan jal*ng!" bentak Juragan Karta lagi, masih terbakar emosinya. Lantas dia ambil kain dan kebaya milik sang istri, dan langsung menyobek-nyobeknya hingga tidak lagi berbentuk. Sobekan kain dia buang sekenanya tangan melempar. "Jangan, Kang, ampunn." Berkali-kali Sumi berusaha mencegah perbuatan suaminya, tapi Karta terus saja melakukannya. Kuro dan Sarkim, yang sedari tadi diperintahkan untuk menyeret Syarif, namun keduanya hanya berdiri terdiam. Sepertinya, mereka sedang menikmati tubuh sang nyai secara gratis. Karena, siapa pun pria di Desa Kemangi ini pasti bermimpi untuk bisa tidur dengan istri dari sang juragan, tidak terkecuali dengan para centeng suaminya. "Setan alass! Dasar manusia tidak ada guna! Cepat seret mereka keluar!" bentak Karta gusar, melihat Sarkim dan Kuro hanya diam saja memperhatikan Sumi. "Maaf, maaf, Juragan," jawab keduanya sampai terbungkuk-bungkuk tubuhnya untuk meminta maaf, kar
Mak Encum tubuhnya langsung terasa lemas, menggelosor begitu saja di atas rerumputan bagai badannya tak lagi bertulang. Dia sudah menduga jika suatu hari nanti hubungan gelap putranya dengan sang nyai pasti akan terbongkar juga. Tangisannya sudah tidak lagi berarti, tidak bisa untuk menghentikan peristiwa yang sudah terjadi. Yang paling si emak sesali, mengapa putranya tidak mau mendengar dan mengikuti nasehatnya, agar jangan lagi melanjutkan hubungan gelapnya dengan Nyai Sumi. Mak Encum sangat tahu, putranya itu hanya dimanfaatkan oleh sang majikan perempuan untuk melayani hasrat birahi sang nyai yang tidak terkendali. Sejak dari pertama sang nyai masuk ke rumah Juragan Karta, bahkan hingga saat ini, Mak Encum adalah saksi dari aksi petualangan hasrat sang nyai dalam mencari mangsa untuk melampiaskan hasrat kelainan se*sualnya. Dan ternyata apesnya Nyai Sumi saat sedang bersama putranya si emak. Sekali lagi, pemandangan yang sangat menyakitkan hatinya terpampang jelas di depan ma
PELET DARAH KOTORPart 8Seperti tidak lagi punya rasa kasihan terhadap Sumi, Karta langsung menjambak rambut istrinya tersebut, memaksa menyeretnya ke halaman depan rumah yang sudah berkumpul banyak warga desa. Tubuh Sumi langsung tertarik dengan badan membungkuk. Sumi berteriak kesakitan. Berkali-kali meminta pengampunan dan minta dilepaskan, tetapi Karta seperti tidak menghiraukan. Sumi benar-benar diperlakukan dengan tidak manusiawi oleh suaminya sendiri. Teriakan meminta tolong Sumi pun dianggap percuma. Karena, tidak ada satu orang warga pun yang berani berurusan dengan Juragan Karta. Sama saja dengan mencari perkara. Suara riuh semakin ramai terdengar, setelah semua warga yang datang berkumpul juga melihat Nyai Sumi datang dengan rambut panjangnya yang dijambak oleh suaminya sendiri, juga tanpa busana. Sebagian besar warga yang kaum lelaki tidak menyia-nyiakan hal ini. Perempuan primadona istri sang juragan, yang selalu menjadi bahan hayalan dipertontonkan dengan keadaan ya
PELET DARAH KOTORPart 9Baru saja Juragan Karta hendak kembali memberikan pelajaran kepada mulut kurang ajar Sumi, seorang lelaki tua mendekatinya, sembari membawa dua lembar kain jarik yang dilipat rapih. Bapak tua itu adalah kepala dusun di Desa Ini, Ki Sukron. Juragan Karta yang melihat Ki Sukron mendatanginya dengan membawa kain, langsung membentak keras laki-laki tua itu."Buat apa kau bawa kain itu, Ki! Bukannya sudah aku larang untuk memberikan penutup apapun kepada dua orang manusia sialan ini!"Sebelum Ki Sukron menjawab, terlihat oleh semua warga yang berkumpul, jika Sumi kembali terjatuh setelah tadi bersusah payah untuk bangun. Tubuhnya terasa lemas, kepalanya pun masih terasa pusing akibat terkena hantaman balok suaminya sendiri, badannya pun mengigil kedinginan. Dia merasa sudah tidak sanggup lagi diperlakukan sekeji ini. Udara Desa Kemangi sepertinya memang sedang tidak bersahabat malam ini, teramat dingin sekali. Ditambah lagi badannya Sumi yang basah terkena air k
Part 10"Kamu mau tidak kain ini, Sum?"Halaman rumah Juragan Karta yang sudah dipenuhi banyak warga mendadak hening dan sunyi, tidak ada satu pun yang bersuara, bahkan suara jangkrik pun tak lagi terdengar.Mereka semua seperti sedang menyaksikan pertunjukan peran antara dua tokoh utama, Asih Sukesih dan Sumiarsih. Dua orang perempuan yang dulunya dianggap beda kasta. Antara seorang ratu dan budak. Penghina dan yang selalu dihina. Kelakuan Sumi sang istri juragan, memang bagi sebagian warga sering dianggap sangat keterlaluan. Mulutnya jahat dan pedas, juga sering kali menghina orang. Sebenarnya, sudah cukup banyak masyarakat yang merasakan sakit hati terhadap ucapan Nyai Sumi, atau perlakuannya yang sering meremehkan dan merendahkan. Namun, keberadaan suaminya Karta membuat warga yang sakit hati atas ucapan Sumi berpikir ribuan kali jika harus berurusan dengan mereka. "Kamu beneran mau kain ini atau tidak, Sum?" Asih kembali mengulang tawarannya, karena Sumi hanya menatap ke arahn
Bagian 11"Juragan tidak ingin menari bersama saya?" Ajakan menari dari Asih Sukesih tidak perlu diulang dua kali. Juragan Karta langsung menyambutnya dengan suka cita. Turun ke tengah arena, langsung nandak bersama Asih dengan penuh semangat. Keanehan yang tidak mungkin terjadi ternyata bisa terjadi. Juragan Karta yang sebagian orang tahu sangat membenci dan sering menghina Asih, kini terlihat berbeda 180 derajat. Dari sikap dan gerakannya saat menari jaipong, Juragan Karta terus saja memepet Asih, seolah olah tidak ingin perawan setengah tua itu jauh darinya. Dan tidak ada yang tahu mengapa Juragan Karta bisa dikenakan seperti itu, selain hanya Asih dan Narti. Satu per satu warga yang tadinya ikut berjaipong, mulai mundur meninggalkan arena. Menyisakan hanya Juragan Karta dan Asih Sukesih saja. Saking asyiknya mereka berdua seperti tidak sadar, sedang menjadi tontonan hampir seluruh warga Desa Kemangi. Dalam gigil, Sumi masih bisa melihat semuanya. Menyaksikan bagaimana suaminy
Part 30"Nartii ...! Bikinin soto nya tiga!"Narti dan Asih saling berpandangan, seperti tidak percaya jika secepat itu sudah ada pelanggan yang datang ke warung soto miliknya. "Nartii! Ini dagang nggak, sih?" Terdengar teriakan dari ruangan warung bagian depan. "Iya, Kang! Sebentarr!" jawab Narti cepat. Wajahnya terlihat cerah. "Ayuk, Sih ada pelanggan," ajak Narti meminta Asih membantunya melayani pelanggan. "Urang di dapur saja, Sih. Nanti jika Juragan Karta melihat urang, malah tidak jadi makan di sini," jelas Asih kepada Narti. "Terus, ini kuah sotonya bawa ke depan tidak?""Tidak usah, Nar. Biar di sini saja. Masa urang nanti ngangkang di depan banyak orang?"Narti tertawa kecil mendengar ucapan Asih, dan memang benar. Rahasia dagangnya ini jangan sampai diketahui oleh orang lain selain hanya dia dan Asih. "Nartii ...! Maneh pingsan di dalam!" Si pelanggan yang Narti tahu itu suara dari Kang Kosim memanggilnya kembali. Dan Kosim ini boleh dibilang mungkin jarang sekali mak
Part 29Pagi-pagi sekali, dengan ditemani oleh Asih, Narti berangkat ke pasar dadakan yang berada di Desa Sekarwangi. Untuk ke desa itu, mereka harus melewati Desa Cipandayan terlebih dahulu, baru setelah itu desa tujuan mereka untuk berbelanja kebutuhan berdagang warung soto milik Narti. Asih memang sengaja memilih menginap di rumah Narti semalam, selain karena Narti minta ditemani untuk pergi ke pasar, hari ini juga untuk yang pertama kali mereka mencoba penglaris dagang yang diberikan oleh Nyi Warsih. Selain untuk membuat agar dagangan Narti menjadi laris, penglaris dan pengharum aroma masakan ini juga bertujuan agar Juragan Karta mau mampir dan makan di warung soto santan milik Narti. Keduanya sangat bersemangat sekali. Ingin secepatnya membuktikan keampuhan penglaris dari Nyi Warsinah. Apakah benar bisa membuat dagangan Narti menjadi laris dan diserbu pembeli. Karena memang sebenarnya, warung soto milik Narti ini tidak bisa dibilang rame-rame amat, bahkan cenderung sepi pemina
Part 28Tubuh Asih sampai bergetar dan menggigil saat ada sesuatu seperti hembus angin yang tidak terlihat oleh kasat mata memasuki kemaluannya. Badannya terasa dingin, namun perlahan-lahan mulai hilang dengan sendirinya, dan sekarang justru area sekitar kehormatannya terasa hangat. Tidak ada sedikit pun rasa sakit pada area itu.Sepertinya, malam mulai memasuki waktu subuh, ketika Nyi Warsih dan Narti kembali datang untuk menjemput Asih Sukesih di lobang pohon tempat ritual berlangsung. Tidak banyak percakapan atau pun pertanyaan dari dukun tua tersebut, karena mereka langsung kembali lagi ke goa tempat di mana dukun perempuan tua itu tinggal."Gimana Sih, serem nggak ditinggal sendiri?" bisik Narti saat mereka berjalan bersisian dan sudah hampir sampai goa, sementara Nyi Warsih dengan langkah terseok-seok melangkah lebih dulu."Urang nteu berani buka mata, Nar. Merem wae ngikutin perintah dari Nyai Warsih," jawab Asih juga dengan sedikit berbisik."Tidak terjadi apa-apa gitu, Sih?"
Part 27Setelah Asih melepaskan celana dalamnya seperti yang diminta oleh Nyi Warsih, mereka bertiga segera keluar goa mengikuti langkah sang dukun pemuja penghuni alam kegelapan. Berjalan perlahan menyusuri kegelapan malam Hutan Cipelang dengan hanya membawa dua buah obor. Menerobos rumput ilalang lebih masuk lagi ke dalam hutan, dan berhenti tepat di sebuah pohon yang sangat tinggi dan besar. Suara-suara hewan hutan sesekali terdengar, diselingi suara gemerisik ranting-ranting pohon yang terkena hembusan angin malam. Bagi Narti dan Asih suasana terasa sangat mencekam. Isi dalam hutan ini masih sangat asing bagi mereka, tapi tidak buat Nyi Warsih. Nyi Warsih lantas memutari pohon besar tersebut, diikuti oleh Narti dan Asih, yang langsung terkejut setelah melihat batang pohon itu berlobang besar pada bagian bawah, mirip seperti pintu bulat yang terbuka lebar. Sesaat Nyi Warsih mengucapkan mantra-mantra dengan matanya yang terpejam, yang tidak dimengerti oleh Asih dan Narti. Seseka
Part 26"Gimana, Neng Asih. Maneh jadi nteu, ngejalankeun ritual Iyeu?" Nyi Warsih langsung bertanya kepada Asih apakah sudah siap untuk menjalankan ritual ini, yang dinilai oleh si dukun perempuan itu terlihat ragu-ragu, saat dia meminta untuk menjalani ritual pelet darah kotor. "Jika ragu-ragu lebih baik tidak usah, karena nanti kemungkinan akan gagal di tengah jalan. Buang-buang waktu. Lagipula, malam ini malam yang paling bagus waktunya untuk menjalankan ritual ini karena bertepatan dengan malam bulan purnama. Coba maneh lihat sendiri," ucap Nyi Warsinah sambil menunjuk ke dalam lorong goa sisi sebelah kiri. Narti dan Asih sesaat saling bertatapan, keduanya turun dari altar batu, lalu mulai mengikuti perintah sang nyai memasuki lorong gua sebelah kiri, dan benar saja, ternyata terdapat lobang pada langit-langit goa sehingga bisa langsung melihat angkasa raya. Dan ucapan Nyi Warsinah ternyata benar adanya. Malam ini terlihat jelas di atas langit nan luas, jika penampakan bulan te
Part 25"Siapa lagi pelakunya, Nyi Warsih, selain bapaknya si jalang Sumi?" tanya Asih dengan tatapan mata yang penuh dendam dan kemarahan."Sepertinya Juragan Karta, Sih. Karena 'kan bapaknya si Sumi setelah menghianati bapakmu, dia kerjasama dengan Karta," ucap Narti, mencoba menebak menurut pemikirannya. "Benar itu Nyi, Karta si orang lain itu selain Darto bapaknya si Sumi?""Yang urang lihat bukan si Karta, tetapi si Ruslan, tangan kanannya. Urang nteu ngerti, apa Karta tau atau tidak peristiwa itu," jelas Nyi Warsinah. "Jadi si Ruslan dan Darto pelakunya. Kasihan almarhum bapak, menjadi korban fitnah mereka, bahkan dibunuh juga oleh mereka," ucap Asih dengan nada geram. "Juragan Karta sepertinya tau, Sih. Karena Ruslan itu orang kepercayaannya. Siapa tau dia hanya diperintahkan oleh Karta untuk menghabisi nyawa ibumu itu," ujar Narti lagi. "Siapa yang ingin kalian buat mati, Neng Asih. Sumi anak si Darto atau si Karta. "Sumi pastinya, biar matinya tragis seperti si Dadang da
Part 24"Pertolongan naon, Narti. Harta? Pesugihan?""Menghabisi nyawa seseorang, Nyi. Seperti saat Nyi Warsih menghukum suami saya, Dadang."Nyi Warsinah menatap tajam, selesai Narti berucap seperti itu. "Ikut aing," ucapnya, berbalik badan lantas berjalan menembus kegelapan. Nyi Warsinah tidak membawa obor, tetapi seperti tidak menemui kesulitan menapaki jalan yang gelap. Narti dan Asih dengan masing-masing membawa obor mengikuti di belakangnya. Menembus di antara dua pohon yang sangat besar, menyibak rerumputan dan akar-akar pohon yang menjuntai, akhirnya mereka sampai di goa tempat Nyi Warsinah tinggal. Goa yang gelap gulita tanpa ada penerangan sedikit pun. Goa itu mulai terlihat sedikit terang setelah Asih dan Narti, dengan masing-masing membawa obor mulai masuk ke dalam goa. Pintu masuk goa yang tertutup ilalang dan akar-akar pohon, sekilas tidak ada yang mengira ada lobang gua di tempat itu. Goa berlobang di luar kecil sebagai pintu masuk, ternyata besar di bagian dalam.
Bagian 23Mata Asih membulat sempurna mendengar pengakuan dari sahabatnya, Asih. Dia seperti tidak percaya jika kematian Dadang akibat santet yang dilakukan oleh Nyi Warsinah. "Maneh benaran, Nar?" Narti mengangguk, matanya menyiratkan kemarahan dan kebencian. "Nyi Warsinah menawarkan kepada urang, ingin dibuat seperti apa Dadang, urang bilang ingin dia mati. Urang sakit hati, Sih. Urang hampir setiap hari dihajar dan disiksa fisik serta batin urang. Urang hanya dijadikan sebagai sapi perahan. Mematikan suami urang adalah cara yang tepat agar urang terlepas dari penderitaan.Urang tidak menyesal, Sih. "Berarti maneh tau, Nar, saat-saat Dadang meregang nyawa?" Narti mengangguk cepat, kemarahan di sorot matanya masih terlihat jelas. “Nyi Warsinah lantas menyuruh urang pulang, setelah selesai menjalani ritual, hampir dua hari urang di hutan bersama Nyi Warsih. Waktu urang bilang takut kalau pulang akan disiksa suami urang lagi, Nyi Warsih bilang Dadang hanya tinggal menunggu mati. "
Sumi kembali tertawa terbahak-bahak. Bahagia sekali dia nampaknya sudah membuat Asih menderita. Sumi pun pergi berlalu dengan diikuti oleh dua centeng suaminya. Kembali berkeliling menagih warga yang sudah berhutang riba kepadanya. Sumi sudah tidak lagi terlihat, dengan langkah terpincang-pincang Narti mulai menghampiri Asih yang terduduk di galangan. Dia sibuk membersihkan wajah dan tubuhnya dengan genangan air. Matanya terlihat berkaca-kaca. Tubuhnya memang merasakan sakit akibat perbuatan Asih, tapi luka yang menggores dalam dan berdarah justru ada di dalam hatinya. Sudah terlalu sangat menyakitkan perbuatan maupun perkataan Sumi terhadapnya. "Sih, Asih! Maneh tidak kenapa-napa 'kan? ucap Narti dengan nada panik, saat sudah ada di dekat sahabatnya itu. Entah kenapa, hari ini Asih merasakan jika dirinya sedang cengeng sekali. Biasanya, dia tidak pernah menangis saat dizholimi Sumi, tetapi tidak hari ini, hatinya merasa nelangsa sekali."Sabar, ya, Sih. Si Dazzal itu pasti akan me